Redesain Seni-Budaya Jatim

Seni dan budaya memang erat dan senapas dengan pengembangan pariwisata daerah. Terlebih untuk simbol kebudayaan yang selama ini menjadi ikon utama Jawa Timur, semisal seni ludruk, tari topeng dan sapeh sono’ Madura, hingga reog Ponorogo.

ADA sejumlah agenda krusial yang harus segera direalisasikan, baik di sektor ekonomi, politik, keamanan, hingga sosial-budaya. Publik Jatim masih ingat dengan jargon strategis yang pernah digencarkan pasangan cagub-cawagub dalam kampanye mereka.

Slogan itu adalah “APBD untuk Rakyat”, menjadi cita perubahan yang wujud nyatanya masih dinanti oleh warga. Apakah itu hanya jargon statis yang berbau lips service atau benar-benar rencana program dan gerakan yang kongkret. Semua masih sumir dan butuh waktu serta aksi pembuktian.

Seni dan budaya adalah salah satu simbol keunggulan Jatim di kancah nasional. Beragam khazanah dan latar kultur yang ada di Jatim merupakan modal kekayaan serta potensi besar bagi terciptanya tatanan kebudayaan yang kondusif. SDM Jatim membentang melintasi sekat kesukuan, agama, bahasa, serta entitas kultural lainnya.

Di sini terdapat sedikitnya empat ragam suku dominan (Jawa, Madura, Tengger, dan Osing). Belum lagi eksistensi komunitas Cina dan Arab peranakan yang tersebar merata. Khazanah plural itu bukan sekadar data populasi penduduk, melainkan kekuatan yang amat besar dengan kandungan potensi kebhinnekaan bahasa, adat istiadat, seni-budaya, hingga pola hidup yang kaya warna dan saling melengkapi.

Tiarap dan Mandul
Sudah selayaknya bila slogan ‘APBD untuk Rakyat’ juga disalurkan untuk menghidupkan bidang seni-budaya. Selama ini, bidang tersebut terkesan tiarap dan mandul, jika diukur dengan melimpahnya khazanah budaya dan seni rakyat yang ada. Padahal potensi dan kekayaan seni-budaya di Jatim sangat potensial untuk dikemas sebagai komoditas unggulan.

Aribowo (2008), salah seorang tokoh seni Jatim, pernah memetakan pluralitas potensi seni-budaya ke dalam beberapa varian sub-kultur, antara lain budaya Arek, Pandalungan, Mataraman, Panaragan, Osing, Tengger, Madura, Madura Kepulauan dan Madura Kangean.

Sudah saatnya mengoptimalkan database seni dan budaya sebagai jembatan terciptanya iklim keseniaan dan kebudayaan yang dinamis. Anggaran dana pelat merah milik daerah yang di setiap kampanye selalu dijanjikan untuk kembali ke rakyat, akhirnya bisa benar-benar tepat sasaran.

Setidaknya, pengembangan dan modernisasi di bidang seni-budaya dapat melengkapi sektor-sektor yang selama ini dianggap paling vital bagi pemenuhan hajat publik, yakni ekonomi, pendidikan, dan kesehatan.

Dengan demikian, pelbagai aktivitas kebudayaan, agenda kesenian, serta kreasi kesusasteraan dapat menjadi kekuatan yang padu, sinergis, dan holistik. Semua karakteristik tradisional yang dimiliki setiap entitas kultur sebisa mungkin dipertahankan dan jika bisa didesain ulang dengan sentuhan modern yang selaras dinamika zaman.

Bagaimanapun, pemerintah dengan segala kebijakan dan rencana kerjanya, juga turut menentukan masa depan seni-budaya di masa yang akan datang. Pemilahan pada tingkat departemen, yang kemudian menyebabkan bidang kesenian-kebudayan berada pada satu payung dengan bidang pariwisata, bukanlah kendala yang harus dipersoalkan.

Sebaliknya, ditinjau dari sisi historis-filosofis, seni dan budaya memang erat dan senapas dengan pengembangan pariwisata daerah. Terlebih untuk simbol kebudayaan yang selama ini menjadi ikon utama Jawa Timur, semisal seni ludruk, tari topeng dan sapeh sono’ Madura, hingga reog Ponorogo, serta-merta harus lebih diperhatikan denyut eksistensinya, sehingga tidak mati suri.

Kasus klaim negara jiran Malaysia yang beberapa waktu silam pernah menganggap reog sebagai produk budaya milik mereka, mesti disikapi sebagai sinyal serius di balik mulai melemahnya detak kebudayaan dan kesenian tradisonal.
Di tengah impitan snobisme budaya modern, kebudayaan tradisional seolah terpinggirkan karena mulai berkurangnya peminat terhadap seni dan budaya kedaerahan, lebih-lebih di kalangan kawula muda.

Ingar-bingar kehidupan anak muda modern yang selalu menginginkan hal-hal instan dan eskapis, selayaknya dibaca sebagai tantangan berat bagi kehidupan dan masa depan kebudayaan daerah.

Sastra Pesantren
Satu lagi komitmen pasangan cagub-cawagub saat kampanye adalah janji untuk senantiasa dekat dan siap memberdayakan komunitas keagamaan di Jatim. Kantong-kantong keagamaan, semisal pondok pesantren, telah menjadi basis utama bagi kemenangan. Tekad untuk mengembangkan potensi pesantren kerap disuarakan. Wajar apabila komitmen ini ditagih guna direalisasikan. Bila pendidikan di pesantren sudah dianggap cukup maju, lain halnya dengan kesenian dan sastra pesantren.

Kedua bidang ini terkesan stagnan dan miskin kreasi. Sejumlah kegiatan kesenian pesantren yang selama ini rutin digelar lebih tampak sebagai perayaan seremonial ketimbang jenjang pembinaan yang simultan. Padahal kita tahu, Jatim adalah lumbung pesantren dengan jumlah populasi ponpes terpadat di Indonesia.

Sudah saatnya seni dan sastra pesantren digagas sebagai wacana, gerakan, maupun aktivitas kebudayaan dalam wujud yang kongkret. Sayang, apabila potensi kepesantrenan yang begitu besar hanya kelihatan bak sebuah oksimoron: pesona yang tak terawat.

Pada aras ini, pesantren juga dapat dijadikan agen strategis dari dinamika wacana keagamaan yang lebih plural, semisal dialog dan kerja sama lintas agama pada tataran praktis.

Kita berharap duet gubernur dan wakil gubernur sekarang mampu berbagi peran menjembatani aspirasi kesenian masyarakat Jatim. Pakde, dengan karakter nasionalisnya bisa menyapa rakyat, antara lain lewat jalur kesenian dan kebudayaan bernuansa tradisi kerakyatan. Sedangkan Gus Ipul, dengan identitas kesantriannya, mampu berkonsentrasi demi peningkatan kuantitas dan kualitas kesenian pesantren yang tampak mandul. []

Mohamad Ali Hisyam
Pemerhati sosial budaya, dosen Universitas Trunojoyo Madura


Surya, Rabu, 18 Maret 2009

0 tanggapan: