SUKA DUKAKU IKUT KASTING SINETRON


Gara-gara kelewat menuruti egoku , yang tergiur tawaran untuk ikut kasting menjadi bintang sinetron, hampir saja aku tertipu seperti teman-teman yang lain. Syukurlah, Tuhan pun akhirnya menyadarkanku, biarpun harus kehilangan uang dan mendapat teror yang memerahkan telinga.


SEBUT SAJA NAMAKU Vera. Awal Juli 2007 lalu, aku berkenalan dengan seorang gadis, panggil saja dia Bunda asal Sulawesi. Kepadaku dia mengaku orang yang berkecimpung dalam dunia intertaiment. Dengan kata-katanya yang manis, ia menawari ku, untuk menjadi bintang sinetron dan bisa langsung syuting di Indonesia.

Berkali-kali ku pertimbangan tawaran Bunda. Sampai pada akhirnya, aku mendaftar daftar juga. Ya, siapa tahu bisa jadi bintang sinetron beneran. Setidaknya, begitulah harapan yang tertanam dalam hatiku. Dan bukan hanya aku, banyak teman yang seprofesi denganku- BMI Hong Kong- tergiur dengan tawaran itu.

Dengan gaji yang ku peroleh tiap bulan, aku berusaha mengangsur biaya pendaftaran yang menurutku lumayan besar nilainya. Angka HK$ 11.000, tentu saja tak mungkin kulunasi sekaligus. Masih menurut Bunda, kalau semua biaya sudah lunas, aku langsung bisa pulang ke Indonesia main sinetron.

Namun, entah mengapa, semakin lama ku mengenal Bunda, menurutku semakin banyak keanehan dan perubahan pada dirinya. Makin dekat dengan Bunda , semakin aku rasakan sesuatu yang tidak beres. Bahkan, perasaanku merasa kian terkekang dengan perlakuan Bunda.

Ketika aku baru membayar angsuran sebesar HK$ 3000, hampir setiap hari, Bunda menagih, mendesak agar aku segera melunasi uang untuk biaya syuting yang jumlahnya HK$ 11.000 tadi. Seolah-olah aku ini orang yang berhutang kepadanya .

Selama ini aku menganggap Bunda sebagai seorang sahabat. Juga orang yang aku hormati. Kupikir ia sosok orang yang berhati lembut, selembut sutera. Namun, tutur katanya yang berwibawa ternyata bukan merupakan cermin untuk menilai apakah hatinya benar-benar seputih salju. Di luar itu, tentu saja aku menganggap dia sebagai pembimbingku. Orang yang selalu memberiku latihan selama di Hong Kong, untuk kasting bila pulang ke Indonesia nanti. Selama beberapa bulan aku selalu bersamanya, mulai dari makan hingga jalan-jalan saat menikmati liburan.

Bahkan, saking akrabnya, ia kemudian memperkenalkan aku pada seorang cowok yang tinggal di Indonesia. Sebut saja namanya DD. Menurut cerita Bunda, DD adalah anak buahnya yang juga ikut kasting di Indonesia.

Namun, sama seperti Bunda, lama kelamaan DD semakin menyebalkan. Ia mulai banyak tingkah. Mulai dari minta kiriman pulsa, hingga minta kiriman uang. Sekali dua kali sih nggak apa-apa. Tetapi kalau keterusan, aku bisa bangkrut.

Suatu hari, karena tak tega dengan rengekan DD, akhirnya kukirim juga HK$ 500 ke rekeningnya. Namun, apa yang terjadi? Ketika uang sudah kukirim, ternyata Bunda menghubungi DD. Dia bilang, uang tersebut bukan kiriman dariku, melainkan kiriman Bunda. Sudah pasti hal ini membuatku sangat berang dan benar-benar hilang kepercayaan pada Bunda.

Perasaan bimbang mulai menghantui perasaanku. Haruskan aku melebur kembali harapan yang sudah kugantung tinggi-tinggi untuk menjadi bintang sinetron? Masih dapat kupercayakah semua janji yang terucap dari Bunda? Sedangkan, masalah kecil saja ia sudah berani berbohong.

Sejujurnya, berbagai khayalan tentang sukses seorang pesinetron sudah menari-nari dalam benak dan otakku. Apakah Bunda benar-benar orang yang bisa menjembatani untuk mewujudkan semua khayalan itu? Ataukah, hanya memikirkan keuntungan untuk dirinya sendiri?

Terkait hasratku untuk menekuni dunia sinetron, tidak lupa aku bercerita, bahkan menyempatkan diri menelpon orang tuaku di Indonesia untuk meminta doa restu. Harapanku, dengan doa restu orang tua keinginanku untuk menjadi bintang sinetron bisa terlaksana. Namun, orang tuaku dengan tegas menolak, bahkan tidak akan pernah menyetujui niat dan keinginanku ikut kasting.

Menurut Bapak dan Ibu, ketimbang untuk ikut daftar kasting, uang sebanyak itu mending dibelikan seekor sapi yang lemu ginuk-ginuk, bisa untuk menggarap sawah. Semakin bimbanglah perasaanku. bersamaan dengan itu, di penghujung tahun 2007, banjir bandang melanda sebagian besar daerah Jawa, termasuk tempat asalku.

Tanpa pikir panjang aku turuti nasehat orang tuaku. Positif, aku mengundurkan diri dari rencana kasting dan kukubur dalam-dalam keinginanku untuk menjadi artis dan bintang sinetron. Langsung saja aku mengutarakan niatku pada Bunda, manajer yang juga produser sinetron tersebut. Dengan sendirinya, aku coba meminta kembali uang yang sudah terlanjur kubayarkan padanya. Itupun kalau masih bisa aku minta. Kalau tidak boleh ya tidak mengapa.

Namun, yang terjadi sungguh di luar dugaan. Respons dari bunda sungguh sangat menyakitkan. Bukan hanya Bunda, teman-teman yang lain pun memusuhi aku. Mereka yang semula baik dan akrab denganku, mendadak jadi berubah sikap. Bahkan, ada yang mengancamku dengan kata-kata kasar dan sangat tidak sopan. Mereka bilang akan merobek-robek mulutku, kalau sampai cerita macam-macam tentang dunia kasting yang sedang mereka geluti pada orang lain.

Aku tak pernah mempedulikan semu perlakuan buruk dari teman-teman kasting terhadapku. Hanya, aku tak pernah berhenti dan putus asa mengejar Bunda yang selalu berusaha menghindar dariku, gara-gara aku meminta kembali uangku. Suatu hari, aku mencoba mengirimkan SMS ke handphone-nya. Tetapi, yang datang bukan balasan dari dia. Melainkan dari salah seorang anak buahnya yang tinggal di Indonesia, cowok bernama Bobby. Cowok ini pula yang kemudian menerorku.

Mereka bahkan sempat mengancam, hendak menuntutku lewat jalur hukum. Mereka menuduh aku telah mencemarkan nama baik mereka. Sedangkan, aku tak pernah mencemarkan nama baik mereka. Mereka pikir aku seorang penakut! Apa yang aku katakan berdasarkan kenyataan dan pengalaman yang aku alami sendiri. Sudah begitu, aku tak pernah berurusan dan tak pernah punya masalah dengan lelaki itu. Urusanku hanya dengan manajer yang mereka sanjung-sanjung selama ini, Bunda.

Aku sebenarnya hanya butuh kepastian dari Bunda sendiri, uangku bisa aku minta kembali atau tidak? Kalau boleh ya mohon segera dikembalikan. Kalau nggak boleh, ya tidak apa-apa, asalkan ada alasan yang tepat. Jangan malah berusaha menghindar dan mengerahkan anak buahnya untuk meneror dan memaki-maki diriku.

Suatu hari, aku berusaha menemui Bunda. Masih untuk meminta kepastian darinya. Tetapi, yang kudapatkan dari Bunda dan salah seorang temannya adalah umpatan dan makian. Dengan kasar dan sadis, Bunda mengaku muak melihat aku. Muak melihat wajahku, muak melihat tampangku.

Sebenarnya aku ingin menyelesaikan masalah ini dengan baik-baik dan damai. Tidak ingin ada pertengkaran. Tapi apa boleh buat, Bunda sudah memulainya dengan permusuhan, umpatan dan cacian.

Selang beberapa bulan setelah aku mengundurkan diri dari kasting, kembali aku dipertemukan dengan beberapa teman yang dulu sama-sama ikut kasting untuk menjadi bintang sinetron. Mereka membenarkan apa yang menjadi keputusanku. Belakangan kuketahui, ternyata mereka juga dibohongi. Bahkan, teman-teman Bunda yang ikut memaki-maki aku waktu itu, kembali bersikap baik padaku. Mereka meminta maaf kepadaku.

Akhirnya, dari semua kejadian tersebut, aku bisa menarik hikmah dan pelajaran. Intinya, jangan mudah percaya pada tawaran-tawaran yang belum jelas kebenarannya. Karena itu, aku berpesan pada semua teman-teman BMI di Hong Kong untuk selalu berhati-hati. Terus terang, saat ini BMI Hong Kong selalu di jadikan obyek, atau incaran empuk berbagai macam tipu daya, yang hanya mementingkan keuntungan sendiri. Mereka tidak pernah mau menengok keadaan dan penderitaan orang lain. Waspadalah!!

(Seperti apa yang dituturkan "Vera" kapada saya).

Sumber: blog-e Annie Ristiani
Pernah dimuat Tabloid Apakabar

0 tanggapan: