Hari Migran Internasional: Mitos Perbaikan Nasib TKI

Ahmad Arif

”Suami saya dipecat dari pabrik. Anak kami tiga, masih sekolah semua. Saya ingin menjadi TKI, tapi takut ke Malaysia. Katanya, banyak TKI yang mati di sana. Saya ingin jadi TKI di Belanda. Kerja apa saja bisa...,” sepenggal surat itu dikirim ke meja saya beberapa hari lalu.



Surat dari perempuan yang mengaku bernama Anisa dari Cirebon itu adalah surat yang kedua dalam sebulan ini. Surat pertama dikirim seorang lelaki bernama Yayan, dari Jakarta. Inti suratnya sama: tuntutan hidup karena tak ada pekerjaan dan harapan untuk jadi tenaga kerja Indonesia (TKI) ke negeri orang.

Permintaan yang sama, dari puluhan orang lain, disampaikan lewat telepon setelah Kompas memuat tulisan tentang kehidupan TKI ilegal di Belanda, November 2008. Kisah-kisah pedih tentang penyiksaan TKI di luar negeri tak menyurutkan minat mereka. ”Lebih baik mencoba jadi TKI. Apa pun risikonya. Di sini sudah buntu,” kata Nina dari Serang.

Ratusan TKI mati

Di balik kisah sukses TKI, berulang kali kisah pedih tentang mereka telah disuarakan. Seperti disampaikan Sri Palupi dan kawan-kawannya dari Institute for Ecosoc Rights, yang memaparkan hasil penelitian mereka di Bentara Budaya, Jakarta, Rabu (17/12). Penelitian itu difokuskan terhadap TKI di Malaysia dan Singapura, tentang Kebijakan Ilegal Migrasi Buruh Migran dan Mitos Pembaharuan Kebijakan.

”Sudah dua tahun saya disiksa majikan dan sudah 10 bulan tidak dibagi makan nasi. Sehari-hari disuruh makan mi instan. Habis itu saya disiksa, ditendang di seluruh badan, diikat di kamar mandi. Telinga saya ditinju hingga keluar darah dari mulut saya,” kisah perempuan berusia 19 tahun, yang diwawancarai tim peneliti Institute for Ecosoc Rights, di penampungan KBRI Malaysia, April 2008.

Pada suatu malam, perempuan yang sudah tiga tahun bekerja di rumah majikannya itu akhirnya melarikan diri. Kisah-kisah pedih lainnya berserak dalam laporan penelitian itu, mulai dari kisah penyiksaan hingga pemerkosaan.

Tak hanya disiksa, ratusan TKI mati di negeri orang. Di Singapura, TKI yang mati sejak 1999 hingga 2007 tercatat 147 orang. Di Malaysia, menurut data KBRI Malaysia, dari Januari 2008 hingga November 2008 ini saja sudah 513 warga negara Indonesia yang mati, dan sebagian besar adalah TKI. Mereka mati dalam sunyi, sepi dari pemberitaan.

Angka-angka ini sering dikecilkan, dibandingkan jumlah TKI di Singapura yang mencapai 80.000 orang. Di Malaysia terdapat 2 juta TKI, sebanyak 1,2 orang di antaranya legal dan sekitar 800.000 TKI ilegal (baca: tanpa dokumen). ”Namun, kematian satu atau dua orang tetap berharga jika negara ini memang mau melindungi warganya,” kata Prasetyohadi, peneliti Institute for Ecosoc Rights.

Mitos pembaruan

Duta Besar RI untuk Singapura Wardana mengatakan, Singapura sekarang sudah berubah, misalnya perubahan dalam pembaruan kontrak kerja bagi pekerja rumah tangga (PRT) setelah masa kerja selama dua tahun habis. ”Kontrak kerja ini dilakukan oleh majikan dan TKI di depan staf KBRI Singapura. KBRI di Singapura juga sudah menata diri dengan perlindungan yang lebih baik kepada TKI. Kita membuka layanan pengaduan 24 jam untuk TKI di Singapura,” kata Wardana.

Namun, di mata Palupi, pembaruan di Singapura itu hanya polesan. Singapura tetap menolak memberikan hak libur secara resmi bagi PRT migran, setidaknya satu hari dalam sebulan.

Kebijakan pembaruan kontrak kerja itu, tambah Palupi, tidak bisa melindungi PRT dengan masa kerja satu tahun yang selama ini rentan terhadap kematian akibat bunuh diri dan ”kecelakaan kerja”. Sedangkan saluran pengaduan TKI itu dinilai masih belum memadai.

Nyatanya, angka kematian PRT di Singapura tetap tinggi. Tahun 2007, misalnya, ada 13 TKI yang mati di negeri ini. ”Mereka depresi karena tidak ada hari libur, beban kerja tinggi, waktu istirahat kurang, dan terkurung di rumah majikan,” ujar Palupi.

Malaysia tetap menjadi ladang pelecehan dan pembunuhan bagi TKI. Baik TKI yang legal maupun ilegal tak mendapat perlindungan hukum di Malaysia. Di negara itu TKI dihadapkan pada dua pilihan: bertahan pada majikan dengan risiko perbudakan atau lari dari majikan dengan risiko ilegal dan menghadapi perbudakan dalam bentuk lain.

Kegagalan negara

Riwanto Tirtosudarmo, ahli kependudukan dan migrasi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, mengatakan, masalah-masalah terkait TKI yang membesar dari tahun ke tahun adalah puncak gunung es dari kegagalan negara menghidupi dan melindungi warganya. Masalah TKI yang diusir, disiksa, atau bunuh diri itu bermula dari masalah domestik di negeri ini.

Permasalahan itu, di antaranya, adalah sempitnya lapangan kerja dalam negeri, praktik pengiriman TKI yang tanpa dibekali pengetahuan dan kemampuan kerja yang tetap menjamur, serta lemahnya diplomasi Pemerintah Indonesia terhadap pemerintah di negara tujuan TKI.

”Seharusnya kita bisa menekan Singapura dan Malaysia untuk menghargai TKI kita karena mereka juga butuh tenaga kerja dari kita untuk menopang ekonomi mereka,” kata Riwanto.

Palupi mengatakan, perlindungan TKI harus integratif, di dalam negeri maupun luar negeri. ”Presiden harus bersikap tegas untuk melindungi buruh migran, seperti yang ditunjukkan Pemerintah Filipina terhadap pekerja migran mereka,” kata Palupi.

”Kemiskinan di tanah sendiri, tak membuat mereka (TKI) takut mati dan nyeri,” tulis Budi Hardiman dari STF Driyarkarya dalam pengantar buku Tubuh-Alat dalam Kebungkaman Ruang Privat: Problem PRT Indonesia di Singapura, 2005. Namun, akankah orang-orang yang disebut-sebut sebagai ”pahlawan devisa” itu terus dibiarkan mati terhina di negeri orang? (MH)

Kompas, Kamis, 18 Desember 2008 | 03:00 WIB

http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/12/18/00455721/mitos.perbaikan.nasib.tki

0 tanggapan: