Sekali Tampil Dibayar Rp 600, Bubar karena Jarang Tanggapan

Liku-Liku Mujamil, 25 Tahun Menggeluti Kesenian Kethoprak

KUN W- JUMAI, Jember


Sebagai seorang seniman, Muzamil, 72, warga Jl Wahid Hasyim Jember ini merasa bersedih. Kesenian kethoprak yang puluhan tahun digelutinya mulai surut sejak 10 tahun terakhir. Bahkan, bisa dibilang kesenian tersebut kini tenggelam tergerus oleh perubahan zaman.



Berbincang dengan Mujamil seakan tidak pernah kehabisan topik pembicaraan. Kalimat-kalimat sederhana yang dipadu dengan humor-humor segar membuat semua orang yang diajak berbicara betah berlam-lama. Termasuk, kalimat-kalimat berisi pesan agama yang dikemas dengan dialek lawak membuat siapa pun tak tahan menawan tawa.

Maklum, kakek yang biasa disapa Mbah Jamil ini sekitar 25 tahun menggeluti dunia pelawak. Sejak tahun 1965 hingga 1980, Muzamil aktif dalam kethoprak Siswo Budoyo di Puger. "Saat main kethoprak saya menjadi pelawak, sesekali juga berperan sebagai tokoh lain," kata kakek kelahiran Puger ini.

Selama bergelut dengan dunia "entertainment" tempo doeloe itu Mujamil sepertinya mendapatkan apa saya yang dia inginkan. Mulai materi, istri, hingga kebutuhan lainnya.

Menurut ceritanya, setiap ada undangan pentas, rokok yang dilempar penonton jumlahnya mencapai puluhan pak. Rokok-rokok tersebut dilempar pentonton sebagai imbalan atas request lagu, pantun, atau salam kepada penonton yang lain. "Setiap pulang saya membawa pulang satu tas besar berisi rokok, belum lagi yang dibagi-bagikan dengan pemain kethoprak lainnya," ujarnya.

Penampilan pelawak yang banyak ditunggu penonton dan menjadi ikon kethoprak tersebut, juga membuat kantong yang diterimanya menebal. "Sekali manggung biasanya dapat bagian Rp 600. Itu sudah sangat banyak karena beras satu kilo saat itu masih Rp 10," katanya.

Dari hari ke hari, undangan tampil semakin banyak. Bahkan tak hanya di kecamatan-kecamatan di Jember namun mulai meluas hingga Lumajang dan beberapa kota lainnya di kawasan Besuki. "Sekitar tahun 1970-an, kami sering ditanggap Golkar untuk tampil di beberapa tempat," katanya. Saat itulah Mbah Jamil yang menjadi pelawak banyak menerima saweran dari penonton.

Namun, menurut dia, uang dan materi yang berlimpah itu sempat membuatnya melupakan tuhan. Hari-harinya selalu diisi dengan happy dan happy. "Semua tempat-tempat berbuat dosa di Jember ini saya sampai hafal," katanya berkisah. Tak hanya itu, karena seringnya berpindah-pindah untuk tanggapan itu Mbah Jamil mempunyai istri di beberapa tempat. "Istri saya sampai tujuh, bahkan di Sukorejo Jember istri saya sampai dua orang," katanya.

Kehidupan Mbah Jamil, berubah 180 derajat tahun 1980-an. Saat itu dia ingin mendekatkan diri kepada Tuhan. Maka Mbah Jamil pun mendalami ilmu agama pada seorang kiai terkenal di Madura. Saking getolnya menuntut ilmu agama, dia mengaku sempat enam tahun tidak pulang ke kampung halamannya di Puger.

Dia baru pulang setelah mimpi bertemu ibunya. Anehnya mimpi dia alami selama 30 hari berturut-turut. "Setelah saya konsultasikan ke ustad saya, akhirnya saya disuruh pulang dan sungkem kepada ibu saya," katanya.

Saat pulang itulah banyak keluarga dan tetangganya yang tidak percaya jika Mujamil telah mendalami ilmu agama. Maklum Mujamil muda mempunyai istri tujuh orang di mana-mana. "Yang bisa saya lakukan hanya bersabar," katanya.

Kini di usianya yang tidak muda lagi, Mujamil tetap bekerja keras mengisi hari-hari tuanya. "Kalau malam saya menjaga rumah makan di Baratan Patrang, di luar itu juga mengajar ngaji di rumah," kata kakek yang tinggal di Jl Wahid Hasyim Jember ini.

Soal kian redupnya kesenian kethoprak, Mbah Jamil mengaku bersedih. Sebab, minat generasi muda untuk melestarikan budaya sendiri dianggapnya luntur sejak adanya televisi yang sedikit banyak membawa budaya asing.(*)

Radar Jember
[Senin, 08 Desember 2008]

0 tanggapan: