Begitu banyak pengorbanan buruh migran agar bisa hidup layak di negeri sendiri. Banyak kisah kelam menyertai kepergian mereka ke luar negeri. Meski begitu, ada pula yang berhasil memberdayakan diri sambil meraup rezeki.
Subianti (28), buruh migran dari Desa Braja Gemilang, Lampung Timur, adalah salah satu yang berhasil keluar dari impitan kemiskinan. Setelah bekerja selama 4,5 tahun di Singapura, Subianti bisa menabung untuk masa depannya, memperbaiki rumah orangtuanya, serta membeli tanah dan sawah.
”Sekarang ayah sudah punya sawah sendiri. Meskipun kecil, tetapi milik sendiri,” kata Subianti yang digaji 340 dollar Singapura (setara Rp 2.142.000) per bulan. Subianti bekerja sebagai pekerja rumah tangga dan sudah berganti majikan dua kali.
Rabu (24/9) siang lalu, Subianti baru mendarat di Jakarta dengan pesawat Singapore Airlines. Ia kemudian hendak melanjutkan perjalanan ke Lampung dengan pesawat lain.
”Pesawat ke Lampung baru berangkat besok. Jadi saya menginap dulu semalam di sini,” kata Subianti yang sedang beristirahat di ruang peristirahatan gedung pendataan kepulangan TKI di Tangerang.
Di dekat Subianti, beberapa buruh migran perempuan juga sedang menunggu pesawat ke Lampung. Mereka baru pulang dari Arab Saudi, Malaysia, Taiwan, dan Hongkong untuk berlebaran.
Sementara itu, Dina Nuriyati (30) tahun ini tak bisa berlebaran dengan suaminya di Indonesia. Mantan buruh migran yang menjadi pendiri Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) ini tengah menempuh pendidikan master di Jerman. ”Aku ambil jurusan Program Kebijakan Perburuhan dan Globalisasi,” kata Dina melalui chatting di internet.
Berdayakan diri
Dina, perempuan dari Desa Patuksari, Malang, Jawa Timur, berhasil mengenyam pendidikan tinggi seperti yang ia cita-citakan. Setelah bekerja menjadi buruh migran di Hongkong selama empat tahun, Dina yang tadinya hanya lulus sekolah menengah atas (SMA) bisa melanjutkan kuliah.
Ia pun bisa membebaskan keluarganya dari lilitan utang rentenir. Setelah itu, Dina membeli truk dan membuat usaha angkutan kecil-kecilan dengan almarhum Mat Ngatemin, ayahnya. Belakangan dia mulai membuka kafe di Yogyakarta bersama teman mantan buruh migran lainnya.
Dina menjadi tahu seluk-beluk persoalan yang dihadapi buruh migran Indonesia karena aktif bergabung dengan Serikat Buruh Migran Internasional (IMWU) di Hongkong. Meski bekerja sebagai pembantu rumah tangga, Dina tak mau menyia-nyiakan dirinya.
Pada hari kerja, Dina mencuci baju, bersih-bersih rumah, atau mengasuh anak majikannya. Pada saat libur akhir pekan, ia manfaatkan waktu untuk berserikat, les komputer, dan kursus bahasa Mandarin.
Dina, anak petani miskin dan sopir angkutan kota, bersyukur nasibnya bisa berubah setelah ia bekerja menjadi buruh migran. Namun, ia juga prihatin karena tidak banyak buruh migran lain yang punya kesempatan untuk memberdayakan diri.
”Jangankan dikasih libur. Banyak teman yang ditindas dan dianiaya ketika bekerja. Pulang ke Tanah Air mereka jadi korban pemerasan,” kata Dina. Bersama teman-teman di SBMI, Dina berupaya memberdayakan dan mengangkat nasib buruh migran.
Selain perlindungan hukum, SBMI terus mengupayakan agar buruh migran Indonesia diberi pembekalan keterampilan secara profesional.
”Buruh migran harus bisa bekerja secara profesional dan mengerti hak-haknya. Mereka juga harus mengerti hukum,” kata Dina.
Mega Vristian (44), pekerja rumah tangga yang sudah 16 tahun di Hongkong, juga berusaha memberdayakan dirinya di sela-sela waktu luangnya. Ketika sedang mengantar anak majikannya sekolah, Mega menyempatkan diri menulis puisi atau cerpen di bus.
”Saya bawa buku tulis untuk menulis. Kalau sudah sore, setelah pekerjaan beres, saya pinjam komputer majikan untuk menyebarkan puisi atau cerpen saya ke milis sastra,” kata Mega.
Mega melek teknologi karena pendidikannya lumayan tinggi. Ia sempat kuliah di IKIP Negeri Malang sebelum menjadi buruh migran. Setelah menikah, Mega pergi bekerja di Hongkong. Salah satu alasannya adalah agar punya uang untuk menerbitkan puisi dan karya sastranya.
Dengan gaji setara Rp 4 juta per bulan, Mega sudah bisa mendirikan penerbitan. Ia lalu menerbitkan kumpulan cerpen yang ditulis teman-teman buruh migran di Hongkong.
Buku
Bicara soal pemberdayaan diri, buruh migran di Hongkong termasuk yang paling aktif memberdayakan diri. Dengan waktu libur empat hari dalam sebulan, sesuai peraturan perburuhan di Hongkong, para buruh migran bisa memanfaatkan waktunya untuk mengembangkan diri.
Salah satunya adalah dengan membuat kegiatan penulisan karya sastra. Dari tangan buruh migran di Hongkong telah lahir 16 buku.
Buku karya buruh migran itu antara lain berjudul Tertawa Ala Victoria Park, Indonesia Merdeka, dan Negeri Elok Nan Keras di Mana Kami Berjuang (Denok K Rokhmatika); Catatan Harian Seorang Pramuwisma (Rini Widyawati); Penari Naga Kecil (Tarini Sorita); Perempuan di Negeri Beton (Wina Karni); dan lain-lain.
Buku ini mengangkat kehidupan dan persoalan buruh migran. Selain ditulis dalam bentuk puisi dan cerpen, para buruh migran ini juga mengungkap persoalan hidupnya dalam pentas teater.
”Harapannya, aktivitas positif kami bisa mengilhami dan merangsang buruh migran Indonesia di negara lain untuk lebih memanfaatkan waktu libur atau istirahat. Daripada bengong dan nelangsa sendiri dihajar rindu pada keluarga, lebih baik memanfaatkan waktu untuk mengekspresikan diri,” kata Mega. Karya sastra Mega sudah dibuat satu buku dan bulan Oktober ini ia akan meluncurkan antologi puisi bersama teman buruh migran lainnya.
Inilah kepak sayap buruh migran di perantauan. Mereka mengubah citra dari pekerja kasar menjadi intelektual.[]
Kompas
Subianti (28), buruh migran dari Desa Braja Gemilang, Lampung Timur, adalah salah satu yang berhasil keluar dari impitan kemiskinan. Setelah bekerja selama 4,5 tahun di Singapura, Subianti bisa menabung untuk masa depannya, memperbaiki rumah orangtuanya, serta membeli tanah dan sawah.
”Sekarang ayah sudah punya sawah sendiri. Meskipun kecil, tetapi milik sendiri,” kata Subianti yang digaji 340 dollar Singapura (setara Rp 2.142.000) per bulan. Subianti bekerja sebagai pekerja rumah tangga dan sudah berganti majikan dua kali.
Rabu (24/9) siang lalu, Subianti baru mendarat di Jakarta dengan pesawat Singapore Airlines. Ia kemudian hendak melanjutkan perjalanan ke Lampung dengan pesawat lain.
”Pesawat ke Lampung baru berangkat besok. Jadi saya menginap dulu semalam di sini,” kata Subianti yang sedang beristirahat di ruang peristirahatan gedung pendataan kepulangan TKI di Tangerang.
Di dekat Subianti, beberapa buruh migran perempuan juga sedang menunggu pesawat ke Lampung. Mereka baru pulang dari Arab Saudi, Malaysia, Taiwan, dan Hongkong untuk berlebaran.
Sementara itu, Dina Nuriyati (30) tahun ini tak bisa berlebaran dengan suaminya di Indonesia. Mantan buruh migran yang menjadi pendiri Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) ini tengah menempuh pendidikan master di Jerman. ”Aku ambil jurusan Program Kebijakan Perburuhan dan Globalisasi,” kata Dina melalui chatting di internet.
Berdayakan diri
Dina, perempuan dari Desa Patuksari, Malang, Jawa Timur, berhasil mengenyam pendidikan tinggi seperti yang ia cita-citakan. Setelah bekerja menjadi buruh migran di Hongkong selama empat tahun, Dina yang tadinya hanya lulus sekolah menengah atas (SMA) bisa melanjutkan kuliah.
Ia pun bisa membebaskan keluarganya dari lilitan utang rentenir. Setelah itu, Dina membeli truk dan membuat usaha angkutan kecil-kecilan dengan almarhum Mat Ngatemin, ayahnya. Belakangan dia mulai membuka kafe di Yogyakarta bersama teman mantan buruh migran lainnya.
Dina menjadi tahu seluk-beluk persoalan yang dihadapi buruh migran Indonesia karena aktif bergabung dengan Serikat Buruh Migran Internasional (IMWU) di Hongkong. Meski bekerja sebagai pembantu rumah tangga, Dina tak mau menyia-nyiakan dirinya.
Pada hari kerja, Dina mencuci baju, bersih-bersih rumah, atau mengasuh anak majikannya. Pada saat libur akhir pekan, ia manfaatkan waktu untuk berserikat, les komputer, dan kursus bahasa Mandarin.
Dina, anak petani miskin dan sopir angkutan kota, bersyukur nasibnya bisa berubah setelah ia bekerja menjadi buruh migran. Namun, ia juga prihatin karena tidak banyak buruh migran lain yang punya kesempatan untuk memberdayakan diri.
”Jangankan dikasih libur. Banyak teman yang ditindas dan dianiaya ketika bekerja. Pulang ke Tanah Air mereka jadi korban pemerasan,” kata Dina. Bersama teman-teman di SBMI, Dina berupaya memberdayakan dan mengangkat nasib buruh migran.
Selain perlindungan hukum, SBMI terus mengupayakan agar buruh migran Indonesia diberi pembekalan keterampilan secara profesional.
”Buruh migran harus bisa bekerja secara profesional dan mengerti hak-haknya. Mereka juga harus mengerti hukum,” kata Dina.
Mega Vristian (44), pekerja rumah tangga yang sudah 16 tahun di Hongkong, juga berusaha memberdayakan dirinya di sela-sela waktu luangnya. Ketika sedang mengantar anak majikannya sekolah, Mega menyempatkan diri menulis puisi atau cerpen di bus.
”Saya bawa buku tulis untuk menulis. Kalau sudah sore, setelah pekerjaan beres, saya pinjam komputer majikan untuk menyebarkan puisi atau cerpen saya ke milis sastra,” kata Mega.
Mega melek teknologi karena pendidikannya lumayan tinggi. Ia sempat kuliah di IKIP Negeri Malang sebelum menjadi buruh migran. Setelah menikah, Mega pergi bekerja di Hongkong. Salah satu alasannya adalah agar punya uang untuk menerbitkan puisi dan karya sastranya.
Dengan gaji setara Rp 4 juta per bulan, Mega sudah bisa mendirikan penerbitan. Ia lalu menerbitkan kumpulan cerpen yang ditulis teman-teman buruh migran di Hongkong.
Buku
Bicara soal pemberdayaan diri, buruh migran di Hongkong termasuk yang paling aktif memberdayakan diri. Dengan waktu libur empat hari dalam sebulan, sesuai peraturan perburuhan di Hongkong, para buruh migran bisa memanfaatkan waktunya untuk mengembangkan diri.
Salah satunya adalah dengan membuat kegiatan penulisan karya sastra. Dari tangan buruh migran di Hongkong telah lahir 16 buku.
Buku karya buruh migran itu antara lain berjudul Tertawa Ala Victoria Park, Indonesia Merdeka, dan Negeri Elok Nan Keras di Mana Kami Berjuang (Denok K Rokhmatika); Catatan Harian Seorang Pramuwisma (Rini Widyawati); Penari Naga Kecil (Tarini Sorita); Perempuan di Negeri Beton (Wina Karni); dan lain-lain.
Buku ini mengangkat kehidupan dan persoalan buruh migran. Selain ditulis dalam bentuk puisi dan cerpen, para buruh migran ini juga mengungkap persoalan hidupnya dalam pentas teater.
”Harapannya, aktivitas positif kami bisa mengilhami dan merangsang buruh migran Indonesia di negara lain untuk lebih memanfaatkan waktu libur atau istirahat. Daripada bengong dan nelangsa sendiri dihajar rindu pada keluarga, lebih baik memanfaatkan waktu untuk mengekspresikan diri,” kata Mega. Karya sastra Mega sudah dibuat satu buku dan bulan Oktober ini ia akan meluncurkan antologi puisi bersama teman buruh migran lainnya.
Inilah kepak sayap buruh migran di perantauan. Mereka mengubah citra dari pekerja kasar menjadi intelektual.[]
Kompas