ANI EMA SUSANTI

Saya sudah mengenal Ani sejak satu tahun yang lalu. Akhir tahun 2011 silam, ketika kami baru berkenalan di Facebook, Ani meminta bantuan saya untuk menggarap English subtitle untuk film pendeknya, Donor ASI. Film ini kemudian dinobatkan sebagai film terbaik untuk kategori film documenter di FFI 2012. Tentu saja kemenangan ini tidak ada kaitannya dengan bantuan yang saya berikan. Ani sudah meraih sederetan penghargaan di berbagai festival film di tingkat nasional dan internasional. Selengkapnya di sini

Karindo (Karya Srikandi Indonesia) Wadah Baru untuk Kegiatan dan Kreativitas BMI-HK


Telah lahir satu lagi kelompok BMI kreatif di HK, yang tidak hanya peduli pada pengembangan diri mereka masing-masing, tetapi juga bertekad untuk berbagi. Mereka sepakat menamakan kelompok ini: Karindo, singkatan dari Karya Srikandi Indonesia, lebih berkonsentrasi pada bidang kerajinan, termasuk pemanfaatan limbah (misal: plastik bekas bungkus kopi).


Anda boleh menengok grup-nya di Facebook: Galeri Karindo (Karya Srikandi Indonesia) dan mendatangi serta langsung menyaksikan aktivitas mereka di hari libur (Minggu) di belakang Perpus Causeway Bay. Inilah nama-nama serta pernyataan langsung 10 orang penggagas Karindo, yang berasal dari berbagai daerah (Jawa Tengah dan Jawa Timur):

[1] Gendis Kinasih (Blitar, Jawa Timur)
”Harapan saya, semoga ke depannya Karindo bisa mencetak srikandi-srikandi yang perkasa, penuh semangat memajukan diri untuk berbagi dengan yang lain, baik ketika masih di HK maupun setelah kembali ke Indonesia. Salam Srikandi Indonesia!”

[2] Aqua Gilr (Ponorogo, Jawa Timur)
”Karindo adalah tempat yang nyaman untuk berkumpul
karena di markas Karindo terbilang bebas, tak ada ikatan apa pun, sejauh saling menjaga untuk tidak keluar dari batas-batas sopan-santun. Yang berkumpul di Karindo sudah pasti akan mendapatkan pngalaman dan keahlian, karena Karindo menyediakan banyak pelatihan ketrampilan. Harapan saya, semoga dengan adanya Karindo ini, teman-teman yang semula kebingungan mencari tempat singgah saat berlibur, sekarag memiliki tempat untuk singgah dan berkumpul, juga untuk menambah ilmu/pengalaman. Dan semoga untuk ke depanya Karindo semakin tumbuh dan berkembang sebagai wadah bagi BMI (khususnya yang ada di HK) dalam berkarya dan mengeksplorasi bakat yangg terpendam, sehingga bisa membawa perubahan yang lebih baik. Selain ikut pelatihan ketrampilan yang ada di Karindo semua anggota bebas menujukkan karya dan keahlianya. Bagi yang punya akun facebook silakan bergabung ke Grup GALERI KARINDO. Untuk teman-teman yang belum punya akun facebook, silakan datang langsung ke markas Karindo di belakang Perpus Causeway Bay. Dari Karindo, semoga akan lahir BMI yang lembut, berani, dan berprestasi.”

[3] Winnie Larasati (Wonogiri, Jawa Tengah)
”Dunia kuliner adalah hobi dan harapanku. Treus berkarya untuk mampu mandiri di negri sendri. Harapanku terhadap Karindo: tetap eksis dengan misinya yaitu dari BMI untuk BMI.... sematkan semangat Srikandi Indonesia...! Ayo belajar, berkreasi dan berkarya selagi masih ada waktu dan kesempatan sesuai dengan minat dan bakat masing-masing. Karindo merupakan wahana buat mengekspresikan karya cipta para BMI..”

[4] Annie Pur Annie (Tulungagung, Jawa Timur)
”Harapan saya, semoga ke depan Karindo lebih mantep, guyup-rukun, membawa rizki yang barokah bagi semua anggota, menjadi wadah, tempat yang nyaman, saling menjaga diri, menghormati sesama anggota, menjadi tempat untuk menyalurkan bakat, berkreasi, berkarya, dan berbagi ilmu dan semoga berlanjut sampai nanti di tanah air tetap terjalin silaturahi antarsesama anggota dan masih berlanjut hubungan kerjanya, walau berbeda daerah. Alhamdulillah, seneng bisa bergabung di Karindo, disini saya dipercaya sebagai pembina pembuatan kreasi Bros, peniti dari bahan manik-manik kpda temen BMI lain, semoga bermanfaat dan berguna. Di KARINDO ini merupakan tempat untuk berbagi berbagai ilmu, baik kerjinan tangan, masak, perpus kecil, juga dasar-dasar operasional kompter, serta butik dan masih banyak lagi yang lain.”

[5] Cinta Timur (Tulungagung, Jawa Timur)
”Berawal dari kepedulian terhadap sesama lahirlah Karindo, suatu wadah untuk para anggotanya mengekspresika karyanya, sekaligus menjadi arena kecil untuk persiapan terjun di masyarakat sebagai purna TKI yang sukses. Sukses yang saya maksudkan bukan hanya dalam hal materi, melainkan lebih dari sisi dalam bersosial memilih komunitas positif, mengingat Hong Kong adalah negara bebas. Di sini saya diberi kepercayaan dalam penggelolaan perpustakaan. Harapan saya pada Karindo, semoga semua anggota benar-benar berkomitmen dalam kepedulian kepada sesama meski pergantian penggelolaan tidak dapat dihindari mengingat masa kontrak kerja yang ada masa akhirnya. Semoga Karindo terus berkembang pesat hingga ke tanah air melahirkan anggota-anggota yang berpribadi jempol sebagai anggota masyarakat maupun ibu anak-anak dari kami nantinya mengingat di sini rata-rata adalah kaum hawa. Tetapkan tekad dan komitmen sedini mungkin untuk meraih kemakmuran di rantau maupun di tanah air. Salam generasi hebat Srikandi Indonesia!”

[6] Leny Mariana (Madiun, Jawa Timur)
”Harapan ke depannya, Karindo menjadi wadah untuk kita saling berbagi, saling mengembangkann diri. Semoga saat kita pulang kampung nati kita bisa jadi ibu-ibu yang produktif, kreatif dan berpenghasilan tanpa keluar dari rumah. Semoga kiprah Karindo tak berhenti sampai di sini. Semoga kita nanti bisa menjadi wadah kita, para mantan BMI nanti, untuk makmur bersama dengan memulai langkah dari trampil bersama, dan nantinya mampu merebut pasar bersama-sama pula. Salam para srikandi hebat...!”

[7] Ena Elcinoer (Banyumas, Jawa Tengah)
”Jujur kuakui, bahwa aku tidak punya keahlian yang menarik. Apa lagi yang pantas dibanggakan. Saya hanya bisa mengenyam sampai bangku SLTA saja, tepatnya SMK YPE Sumpiuh, Jurusan Manajemen Bisnis, Ketika lulus dan dapat panggilan untk melanjutkan kejenjang lebih tinggi. Namun, apa daya, tiada dana, xixi... Kemudian saya melanjutkan ke sekolah kehidupan di Brunai Darussalam (3 tahun: 2001 – 2004), sebagai kasir dikedai runcit. Karena minat saya di marketing dan jual beli , maka saya memilih bekerja di Brunai. Tahun 2009, saya kembali melanjutkan ke universitas kehidupan di HK. Ditahun pertama dan kedua, libur saya hanya duduk, jalan ke sana-kemari tanpa kegiatan. Tetapi, Tuhan memang adil, saya dipertemukan dengan sahabat-sahabat srikandi yang berbudi, berhati mutiara, dan berjiwa kreatif yang tinggi. Sungguh bangga, saya bisa di antara sahabat-sahabat Karindo, yang meskipun saya tidak punya keahlian seperti yang lain.

Ke depannya, saya berharap, Karindo makin maju & lebih baik dari sekarang. Makin bertambah sahabat Karindo yang bergabung dan berkreasi.
Saya juga berharap, Karindo mampu mengembangkan lagi kegiatan yang bermanfaat untuk sesama. Jujur, saya ingin sekali tetap bersosialisasi meskipun hanya sekedar memungut sampah di sekitar kita.

Sesuai dengan misi Karindo sebagai wadah dari berbagai keahlian, tentunya bertujuan juga dalam berusaha/dagang. Itu memang kembali ke individu masing-masing. Dan berharap, kebersamaan yang terjalin tidak hanya saat ini, tetapi sebisa mungkin sampai kita kembali ke negeri sendiri.

Insya-Allah saya kan tetap berkomunikasi dengan sahabat semua. Meskipun sebentar lagi saya akan melepas jabatan saya sebagai kungyan. So, tetap optimis, kreatif, dan semangat selalu para srikandiku. Kayauuu…!”

[8] Sumiati Ajah (Tulungagung, Jawa Timur)

Semoga ke depannya Karindo bisa membawa BMI menuju kemandirian di rantau dan sukses di negeri sendiri. Himbuan saya: Galang persatuan dan kerukunan untuk sesamanya. Empati diri!”

[9] Kharisma Paramitha (Magetan, Jawa Timur)
”Semoga Karindo ke depannya bisa kokoh berdiri dan berkembang sebagai wadah saling berbagi ilmu ketrampilan sekaligus mengasah bakat-bakat/hobi terpendam dengan ide-ide karya kreativitas baru. Sehingga tetap eksis dengan semangat generasi srikandi-srikandi modern yang telaten, mandiri, dan berpotensi. Dan mudah-mudahan juga Karindo konsisten & komitmen dengan slogannya: KAMI DARI BMI UNTUK BMI BERSAMA MEMBENTUK INSAN YANG BERJIWA KREATIF DEMI KEMAJUAN BERSAMA."

[10] Flo Sansiviera (Blitar, Jawa Timur)
”Semoga KARINDO bisa selalu mengepakkan sayapnya, membuktikan slogannya dari BMI untuk BMItanpa tendensi. Bagi saya, kebersamaan setelah di Indonesia, itu yang utama. Kayao!”

Usaha BMI Hongkong Mencerdaskan Masyarakat Desanya


Muntamah Sekar Cendani

Taman Bacaan “Pondok Maos Cendani” di Desa Cendono, Kandat, Kabupaten Kediri


Buku adalah jendela dunia. Metafora ini sangat po¬puler karena sangat pas menggambarkan pen¬ting¬nya buku dalam kehidupan kita. Buku dapat membuat kita tak seperti katak dalam tempurung. Bahkan, lewat buku, wawasan seseorang menjadi luas tanpa harus keliling dunia.


SAYANGNYA, selama ini ma¬sya¬ra¬¬kat Desa Cendono, Kecamatan Kan¬dat, Kabupaten Kediri, Jawa Ti¬mur, termasuk sulit untuk menda¬pat-kan buku-buku, apalagi buku yang ber¬mutu, karena di desa tersebut be-lum ada perpustakaan umum sehingga kebutuhan masyarakat akan buku kurang terpenuhi.

Kondisi desanya itu membuat Muntamah, BMI Hongkong yang memang pecinta buku, membuka taman bacaan di rumahnya, yang diberi nama Pondok Maos Cendani (PMC). Secara resmi, PMC dibuka pada Kamis (12/1) malam lalu de¬ngan acara pembacaan Surat Yasin, pemotongan tumpeng, dan doa bersama. Selain dihadiri oleh warga sekitar, acara tersebut juga dihadiri oleh sejumlah tokoh masyarakat.

PMC dibuka oleh Turmudi, tokoh masyarakat dan salah seorang perangkat Desa Cendono. Saat dibuka, koleksi PMC sudah mencapai 1.200-an. Terdiri dari aneka judul dan jenis buku, majalah, dan suratkabar. Koleksi sebanyak itu mayioritas adalah koleksi pribadi Muntamah sendiri, sebagian lagi merupakan sumbangan dari berbagai pihak yang concern terhadap pencerdasan dan pemberdayaan masyarakat.

Hadirnya taman bacaan tersebut disambut positif oleh masyarakat Cendono. Usai acara peresmian, warga yang terdiri dari bapak-bapak, ibu-ibu, sampai anak-anak menyerbu buku-buku koleksi PMC, yang tertata rapi di rak. “Ma¬sya¬ra¬kat Cendono ini adalah masyarakat re¬li¬gius. Oleh karena itu, buku-bu¬ku keagamaan sangat diminati,” ujar Supriyadi, warga Cendono yang juga dosen Uniska, Kediri, ke¬pada Berita Indonesia usai peresmian PMC.

Buku anak-anak, seperti buku cerita dan buku pelajaran, juga sangat penting disediakan oleh PMC. Mengingat, di depan rumah peninggalan orangtua Muntamah tersebut, berdiri sebuah sekolah yang cukup mentereng, yakni Madrasah Ibtidaiyah (MI).

Hal itu disampaikan oleh Agus Wahyudi, salah seorang guru di MI tersebut kepada Berita Indonesia. “Namun, setelah buku-buku bisa dipinjam secara gratis dari PMC, tinggal bagaimana kita kemudian meningkatkan minat baca di kalangan anak-anak sekolah ini maupun masyarakat umum,” ujar Agus Wahyudi.

Menurut guru MI tersebut, banyak yang minat bacanya masih perlu ditingkatkan. “Dan untuk meningkatkan minat baca itu sulit,” tambah Agus Wahyudi.

Namun, dengan upaya yang sungguh-sungguh, Agus Wahyudi optimis bahwa budaya membaca itu bisa dimasyarakatkan di Desa Cendono.

Belum 1 Bulan Sudah 600 Pengunjung


Saat ini, Muntamah masih di Hongkong. Kesehariannya, PMC dikelola oleh Khusnul Khotimah dan suaminya, Rokimi. Berbagai hal seputar PMC dibicarakan Khusnul dengan Muntamah lewat telepon.

Hingga Jumat (2/2), menurut Muntamah saat diwawancara Berita Indonesia via chat facebook, sudah ada 600 orang pengunjung PMC, padahal usia PMC belum satu bulan.

“Tambah rame, pengunjung mulai tambah. Anak kelas 1 sudah berani datang minjam buku, awalnya belum berani. Tetangga desa juga sudah mulai banyak yang datang dan pinjam,” ujar Muntamah yang bisa dihubungi di nomor HP 852 92027579.

Muntamah menjelaskan, PMC terus dikembangkan sambil jalan, termasuk penambahan sarana dan prasarana untuk lebih memberikan kemudahan dan menyamanan bagi para pengunjung PMC.

"Kemarin sdh dibelanjakan crayon/alat mewarnai gambar dan alat tulis, kertas hvs aku sdh ada, ke depan, para pengunjung akan kami tawari menggambar atau menuliskan puisi, nanti karya itu akan ditempel di PMC."

Yang agak membuat Muntamah saat ini kuwalahan adalah permintaan buku-buku dari para pengunjung karena di PMC belum tersedia. Permintaan terus mengalir, tetapi Muntamah tidak dapat menyediakan dengan segera karena keterbatasan finansial. Oleh karena itu, PMC juga membuka diri bagi siapa saja yang ingin menyumbangkan buku ke PMC demi kemajuan masyarakat. (ks)

Berita Indonesia, Edisi 126, Februari 2012

Nyonya, Izinkan Aku Pulang


YANI WIJAYA KUSUMA


Pengantar Redaksi: Agaknya karena maraknya pemakai situs jejaring sosial Facebook, membuat para blogger, termasuk dari kalangan BMI juga banyak meninggalkan blog yang sudah dibangunnya. Jarang dijenguk, jarang di-update, malahan ada yang ditinggalkan samasekali. Beberapa orang malah mengaku, ”Wadhuh, mau kuisi lagi, sudah lupa password-nya! Mau buat lagi masih malas. Beberapa di antaranya memang menunjukkan konistensi sebagai blogger sejati.

Dan ada pula yang malah baru giat-giatnya membangun blog-nya. Termasuk golongan terakahir itu, tampaknya, ialah Yany Wijaya Kusuma. Tulisan yang diambil dari blog-nya berikut ini, pernah dibacakan dan jadi topik pembicaraan mengenai ”rindu pulang” di sebuah stasiun radio di Semarang: Smart FM, dalam suasana hari lebaran beberapa waktu lalu.


Aku menengok jam dinding, ketika baru saja aku menyelesaikan pekerjaan terakhirku, mengepel lantai. Jam 10 malam, oh, sudah larut malam rupanya. Setelah benar-benar beres, bergegas aku menuju kamar untuk sejenak melepas penat. Saat berada di kamar sendirian, pikiranku mengembara pulang ke rumah. Serasa jiwaku ada di sana. Membayangkan betapa Ponorogo ramai dengan hiruk pikuknya manusia. Menjelang perayaan grebeg suro, Ponorogo selalu penuh sesak. Perayaan grebeg suro yang memang sudah menjadi tradisi dan berbagai ritual digelar di kota itu. Untuk tahun ini, konon katanya memakan biaya yang tidak sedikit. Ada yang bilang tentang kisaran biaya untuk perayaan grebeg suro kali ini yaitu 1,2 Milyar. Wow, angka yang fantastis menurutku. Ah, entahlah…toh bukan urusanku. Aku hanya kangen dengan kota kelahiranku itu dan keluargaku tentu saja.

Sungguh! aku ingin pulang saat ini. Begitu asyiknya aku dengan pengembaraanku, sampai aku tak menyadari kehadiran momonganku yang kecil. Aku terkejut saat dia tiba-tiba memelukku dan berkata,”Cece…kamu jangan pulang ya,” pintanya tanpa memandangku. Aku melirik bocah ini sekilas. Dengan wajah innocent-nya, dia mampu meluruhkan hatiku.

“Tapi aku ingin pulang untuk menengok keluargaku,” jawabku kemudian.

“Aku ga mau kamu tinggal, aku ingin kamu tetap di sini, mengantar jemput aku sekolah, bermain bersama dan selalu bersama,” ujarnya memohon.

Aku diam dan membiarkan dia bermain-main di ranjangku. Rasanya ada berton-ton beban di kepalaku. Antara rumah dan tanggung jawab pekerjaanku. Seandainya aku punya sayap, ah…aku selalu berandai-andai. Ku raih kotak ajaib dan menyalakannya. Beberapa menit kemudian, aku mulai tenggelam dengan duniaku sendiri.

Tiba-tiba sailo (momonganku) berteriak nyaring di sampingku,” mamiiiiiiii…….”

Tergopoh-gopoh nyonya menyerobot masuk ke kamarku yang pintunya tertutup separuh. Melongok kami berdua yang nangkring di ranjang. Aku asyik dengan kotak ajaibku dan sailo asyik dengan mainannya. Aku menoleh ke sailo lalu beralih ke nyonya yang berdiri dengan wajah penuh tanda tanya.

“Ada apa?” tanyanya sambil memandangi kami berdua bergantian.

“Mami, tolong bilang sama cece, jangan pulang sekarang,” jawab sailo.

Nyonya memandangku dan beranjak duduk di sampingku, lalu hati-hati dia berkata,”Yani, aku tau kamu sudah merindukan kampung halamanmu sana. Aku tahu betapa kamu merindukan putrimu dan aku tahu betapa sulitnya kamu memendam semua rasa rindu itu. Aku bisa merasakan dan aku mengerti.”

“Jadi aku boleh pulang?” sergapku penuh harap.

“Bukan aku tak mengizinkanmu pulang bertemu keluargamu, bukan pula aku tak percaya padamu, aku percaya kamu pasti kembali. Tetapi, mengertilah. Aku mohon padamu, aku masih belum bisa mengizinkanmu pulang dalam waktu dekat ini. Kamu lihat sendiri kan, suamiku baru saja pindah kerja ke Macau dan itu artinya kita, aku dan kamu harus menjaga rumah dan anak-anakku. Aku tak sanggup kamu tinggal sendiri. Bayangkan, aku akan kewalahan mengurus mereka berdua sementara aku sendiri juga harus bekerja. Aku mohon pengertianmu."

“Nyonya…aku ingin menengok anakku, aku ingin tahu keadaan rumahku sepeninggalan ibuku. Aku ingin tahu di mana makam ibuku. Kamu juga tahu saat aku mendapat kabar kepergian ibuku. Aku sangat kehilangan, terpuruk dan sampai pekerjaanku pun amburadul waktu itu. Betapa durhakanya aku kalau sampai saat ini aku belum tahu di mana makam ibuku. Saat beliau sakit pun aku tak bisa mendampinginya. Hingga ajal menjemputnya, aku tetap tak ada di sampingnya,” cerocosku tak tertahankan di antara isakku.

“Yani, aku tahu apa yang kamu rasakan, tapi apa boleh buat? Aku tahu ibumu adalah spirit hidupmu. Beliaulah yang selalu menyemangatimu tiada henti, iya kan? Aku bisa merasakan semua itu, karena aku juga pernah kehilangan ibu. Sebenarnya aku pun tak ingin melakukan ini padamu. Aku sangat bersedih tak bisa mengizinkanmu pulang. Percayalah kami semua sayang padamu dan keluargamu. Kami berdoa untuk kebaikan dan kesehatan keluargamu di kampung halaman sana. Bila saatnya tiba nanti, puaskanlah bercengkerama dengan mereka. Tapi sekali lagi aku mohon maaf, aku tak bisa mengizinkanmu dalam waktu dekat ini,” nyonya masih saja berusaha membujukku.

“Nyonya, aku pulang hanya sebentar, hanya satu bulan. Dan itu tak sebanding jika aku harus meninggalkan keluargaku selama 2 tahun. Selama ini aku selalu berusaha mengabulkan permintaanmu dan menuruti semua keinginanmu bukan semata demi uang, tapi karena tanggung jawab pekerjaan yang kau bebankan padaku. Dan kini aku punya satu keinginan. Please...izinkan aku pulang.”

Nyonya mendesah berat, aku tahu dia pun bingung. Antara iya dan tidak. Kami tenggelam dengan perasaan masing-masing. Sementara momonganku tetap dalam pangkuanku dan memelukku dengan erat. Seakan tak mau berpisah denganku. Setelah terdiam beberapa saat, nyonya meraih sailo dari pangkuanku dan beranjak keluar. Sebelum benar-benar menutup pintu nyonya kembali berkata,” Sudahlah, malam telah larut. Kamu mandi dan istirahat. Jangan terlalu banyak pikiran dulu. Kita bicarakan lagi lain kali. Ok?”

Sepeninggalan nyonya, aku pun termenung sendiri di kamar. Dan rasa rindu akan kampung halamanku, kian membuat sesak nafasku. Kalau sudah begitu, apa yang bisa aku lakukan selain meneteskan air mata. Dan ini konsekuensi yang harus aku terima. Untuk pulang ke rumah sendiri saja begitu sulitnya. Oh Tuhan, aku ingin pulang, meski hanya sejenak....*


Fanling, 26 November 2011

E-mail oh E-mail


Oleh: Anazkia

Ibu majikanku, sudah sepuh, umurnya sudah memasuki enam puluh tahun lebih. Jadi nggak heran, kalau faktor U kadang menghambat ruang gerak berpikir Ibu. Meskipun begitu, Ibu masihlah Ibu majikanku yang aktifnya luar biasahttp://www.blogger.com/img/blank.gif di luar sana. Karena keaktifannyalah, Ibu banyak bertemu dengan orang-orang generasi sekarang, yang melek akan dunia tekhnologi. Setiap ada pertemuan, ada perbincangan ketika bertukar kartu nama, sering relasinya bertanya, "Datin ada e-mail tak?"


Kadang, Ibu pulangnya sering mengadu denganku. Setelah itu, barulah Ibu memintaku mengajari menggunakan e-mail. Lantas, membuatlah aku acount e-mail untuk Ibu. Seingatku, e-mail Ibu pertama kali adalah, rusmiatiharun@yahoo.com. Saat membuat e-mail tersebut, ketika menuliskan password, Ibu memintaku untuk tidak melihatnya. Aku manut, nurut tanpa mengetahui apa password Ibu.

Selesai membuat e-mail, pelajaran pertama adalah mengajarkan Ibu, bagaimana caranya hendak mengoperasikan e-mail. Dari sejak membuka internet, mengklik browser, log in dan cara mengirim surat elektronik tersebut. Tak hanya lisan, aku juga menuliskannya dalam bentuk tulisan. Ibupun menyimpannya...

Saat kutanya, "Bu, kenapa nggak minta ajarin anak-anaknya aja?"

“Ibu lebih suka belajar dengan kamu.” Jawab Ibu

Hari berlalu, waktu berganti. Sesekali Ibu membuka e-mail-nya, juga kadang menggunakan fasilitas e-mail untuk mengirim artikel Ibu yang diminta oleh salah satu majalah religi di Malaysia. Tapi, Ibu masih belum mudheng-mudheng. Masih cenunukan sendiri, keder. Sampai suatu ketika, sewaktu membuka e-mail Ibu nanya password-nya kepadaku. Halah, wong sewaktu nulis password aku ndak lihat, yah mana aku tahu...??? Yang sampai akhirnya, password tidak ditemukan dan terbuang percuma e-mail tersebut...

Tapi Ibu pantang menyerah, beliau, lagi-lagi minta dibuatkan e-mail. Kali ini, aku memaksa biar aku tahu passwodnya. Kembali seperti semula, mengajari Ibu dari awal, membuka browser internet, log in dan bagaimana caranya mengirimkan surat elektronik kepada rekannya. Tak hanya e-mail, kita (aku, anaknya dan keponakannya) membuatkan Ibu blog. Sayangnya, kadang Ibu hangat-hangat tahi ayam, yang akhirnya terbengkalai begitu saja blognya.

Kembali ke e-mail. Aku membuatkan e-mail ke dua Ibu sudah lama, mungkin sekitar setahun lalu. Yang saat itu aku juga membuatkan akun facebook untuk Ibu. Yang lagi-lagi, terbengkalai dan tidak pernah digunakan oleh Ibu.

Sejak saya tinggal dengan anak Ibu, saya sudah tak lagi mengajari Ibu mengoperasikan internet dan tak lagi berurusan dnegan e-mail-e-mail Ibu. Entah apa kabarnya.

Suatu hari sewaktu aku sibuk-sibuk di dapur di rumah anaknya, Ibu menelpon. Entah ujung pangkalnya apa, tapi aku nyambungnya Ibu kirim e-mail ke aku. Selesai masak, aku masuk kamar, melihat hape, ada SMS dari Ibu, "Ibu ada imelkan? Cam ne ye?" Bingung... Buru-buru membuka lapi, ternyata nggak ada e-mail untuk aku dari Ibu.

Setelah makan siang, kami (aku, Kak Sham, Bang Haiyan, Arief beserta Nabila) menuju rumah Ibu. Sampai di rumah Ibu, aku langsung nanya,

"Ibu, e-mail apaan, sih?"

"E-mail Ibu, masih ingat lagi tak?"

Weks, aku nyengir sendiri. Ibu ini lho, dibuatin e-mail sejak tahun jebot kok yah ndak nyangkut-nyangkut. Kebetulan aku membawa laptop. Tapi, saat masuk ke kamar Nani anak bungsunya, dia lagi online. Aku menyuruhnya membuka yahoo, dan log in e-mail Ibu. Aku mengingat-ingat e-mail-nya. Pertama mencoba, salah. Tapi password-nya aku masih mengingat jelas. Percobaan yang ke dua, alhamdulilah berhasil. Kali ini, e-mail Ibu selamat hehehe...

Sorenya, saat aku sedang posting untuk blogspot, Ibu mencari-cariku. Menanyakan nasib e-mail-nya. Iseng, aku bertanya dengan Ibu.

"Ibu masih ingat tak, password-nya?"

"Mana Ibu tahu." Ibu mengedikan bahu. Aku ngekek... Kutulislah di atas buku, alamat e-mail, juga password-nya. Ibu tersenyum...

"Owh, ini ke?" Tanya ibu lagi sambil tersenyum.

Akhirnya, saat itu juga aku kembali mengajarkan Ibu, bagaimana cara membuka internet, menuliskan yahoo, log in juga mengantar e-mail... Tiba-tiba Bang Haiyan nyeletuk,

"Dari dulu belajar itu aje." *

Catatan:
--Dimuat di Majalah Peduli (Rubrik: “Aku dan Majikanku”) edisi Januari 2012

Nasib Pembantu

@Anna Nirwana

Hari Minggu adalah hari liburku.
Pagi-pagi berdandan yang ayu.
Janji berjumpa dengan teman karibku.
Di Victoria tempat yang teduh.
Kuhampar plastik sbagai alas dudukku
menunggu sambil termangu-mangu.
Janji jam tujuh telah lama berlalu
yang ditunggu kok nggak miscall aku,

reff:
sungguh terlaluu..
Kau terlalu
kau buat aku lama menunggu
o..o..terlalu kau terlalu
kau buat aku menjadi pilu
senduu..

Akhirnya kupulang dengan langkah lesu
wajah ayu kuberubah sayu.
Ternyata dia tak bisa jumpa aku
hari liburnya diganti Sabtu,
nasib pembantu


*persembahanku utkmu kawan's BMI. Jangan dongkol lagi ya..?! Selalu optimis!

PONIRAN

Linda Setiorini

Matahari sudah di ubun-ubun saat Dina sampai di Causeway Bay. Meskipun harus berpacu langkah dengan orang-orang yang lalu lalang, bibir Dina terus senyum. Bahkan, kadang cekikikan sendirian. Oh, tidak sendirian. Ia lagi asyik ngobrol dengan sang doi yang di Korea.

’’Udah ya say, ntar jam tiga ketemu,’’ dengan manja Dina pamitan.

’’Ketemu di mana?’’dari seberang sang kekasih menggoda.

’’Ah, kamu! Udah ah!’’ suara Dina dibikin genit seraya mengecup HP-nya sampai-sampai lipstiknya tertinggal di casingnya.

’’Kok jam segini baru datang Din?’’selalu itu yang ditanyakan Ida setiap kali ketemu, padahal entah sudah berapa kali Dina menjelaskan kepada semua temannya termasuk Ida bahwa sebelum dia keluar libur, mesti bersih-bersih rumah dulu, lalu menyiapkan sarapan, lalu membangunkan anak plus membantu mereka gosok gigi lalu mengantarkannya ke rumah bobo.

’’Ini ada lodeh kacang dan rebung kesukaanmu Din, pedes banget lho!’’ tawar Mbak Jum seraya menyodorkan piring plastik.

Hari ini Mbak Jum ulang tahun. Teman-teman seapartemen diundang sehingga suasana begitu akrab karena hampir tiap hari ketemu dan sudah saling mengenal. Dina geli saat menyaksikan Siti dan Rina duduk terpisah, padahal dulunya mereka berdua adalah sahabat akrab, setiap hari belanja bareng, libur bareng, pulang bareng, makan sepiring berdua, bahkan mulai dari sepatu sampai topi selalu kembar. Tapi, sekarang mereka ibarat air dan minyak. Rina berdiri sambil merapikan roknya, sudah jelas bahwa dia ingin meninggalkan tempat itu.

’’Mbak, aku pergi dulu ya, mau ketemu teman. Mmakasih lho atas undangan dan makanannya,’’pamit Rina basa-basi. Mbak Jum cuma tersenyum seraya mengangguk.

’’Nemuin temen ato.........?? Ida yang usil menggoda seraya melirik Siti. Mbak Jum menyodok Ida, sementara Siti pura-pura asyik membaca majalah. Dina tersenyum geli melihat tingkah mereka.

Musik dangdut mengalun merdu dari tape recorder-nya Yanti yang selalu dibawa setiap dia libur.

’’Kamu juga mau nemuin temen ya Sit?’’ledek Ida saat meliat Siti mengenakan sepatunya.

’’Nggak mau ke jisok kok,’’elak Siti.

’’Alah, paling-paling ntar baliknya di tempat chatting.’’

’’Itu kan urusan dia Da! Kamu tuh cerewet banget sih?’’ bentak Mbak Jum, sementara Ida cuma nyengir.

’’Siti sama Rina itu masih musuhan ya?’’ tanya Anik yang biasanya libur cuma sebulan dua kali.

’’Ya.......sejak Siti tahu bahwa Daniel itu adalah Poniran, lalu meledaklah perang itu,’’ jawab Ida antusias.

’’Ya ampun! Jadi mereka nggak bertegur sapa itu hanya gara-gara cowok ya?’’ tanya Gianti penasaran.

’’Ya iyalah! Tadinya sih nggak tau siapa yang Poniran duluan. Siti punya cowok namanya Jimmy, lalu Rina punya cowok namanya Daniel. Usut punya usut ternyata Jimmy ama Daniel itu satu orang, nama sesunguhnya Poniran,’’ dengan fasihnya Ida menjelaskan dan disambut tawa geli teman-teman yang ikut mendengarkan.

’’Trus gimana kok bisa ketahuan kalau cowok mereka sama?’’ tanya seseorang yang duduk disebelah tempat mereka, rupanya suara Ida yang bergema menarik perhatian dia.

’’Lho, mereka berdua dulunya kan sahabat akrab. Biasalah berbagi cerita tentang cowoknya, lalu saat Siti utak-atik HP-nya Rina dia melihat nomor HP Daniel sama dengan nomor HP Jimmy.’’

’’Trus Poniran itu siapa?’’ tanya seseorang yang juga ikut-ikutan nimbrung.

’’Ya Jimmy alias Daniel itu, biasa pakai nama samaran, masak mo ngomong Poniran… kan nggak keren?’’ jawab Ida.

’’Kok bisa ketahuan kalau ternyata dia adalah Poniran?’’ sambungnya.

’’Begini, tadinya kan Rina ngajak aku chatting, dia mau kasih tahu aku yang namanya Daniel, dan tak disangka tak diduga ternyata yang namanya Daniel alias Jimmy itu adalah Poniran tetanggaku di kampung,’’ kembali mereka tertawa mendengar cerita Ida.

’’Emang Poniran itu cakep ya Mbak?’’

’’Wow......... jangan di tanya, dia cowok macho men...! Di kampung jadi rebutan, di sekolah jadi idola, pacarnya banyak, tapi sayangnya dia buaya, hampir semua cewek sekampung digasak..."

’’Termasuk kamu kan?’’ potong Mbak Jum.

’’Ih ya nggaklah!’’ bantah Ida seraya memonyongkan bibirnya.

’’Trus Mbak............siapa tadi?’’ mereka makin penasaran dengan cerita Ida.

’’Siti dan Rina?’’ potong Ida.

’’Iya, gimana bisa kenal sama Poniran?’’

’’Ya ampun, ya lewat chattingan Non, emang nggak tahu jika mereka yang seneng chattingan itu sebenarnya orangnya yang asli belum lihat, tapi udah ngomong cintalah, sayanglah, malah manggilnya aja udah papa mama, padahal nggak tahunya di belakang mungkin dah beranak istri, atau duda, atau mungkin pacarnya seabrek tapi ngakunya masih ting-ting,’’ Ida berhenti sejenak untuk mengambil nafas sambil menelan ludah. ’’Kayak Poniran itu, memang sih masih single, cakep, dan banyak deh kelebihannya, tapi jika makan hati apa untungnya, tampangnya aja yang oke, tapi hatinya berbisa, mungkin saja selain Siti dan Rina dia juga menggombali sama cewek lain, tapi yang pasti nggak mungkinlah jika dia pake nama Poniran, makanya jika chattingan hati-hati, jangan mudah tergoda hanya karena tampang, siapa tahu nasib kita sama seperti Siti dan Rina, udah diduain persahabatan putus lagi, tapi ya.............. namanya juga cinta…’’

Dina mencibir mendengar penuturan Ida yang sok bijaksana, dari cara Ida bercerita, dan juga caranya memuji Poniran kayaknya Ida pun punya rasa suka sama Poniran, tapi pura-pura ngasih nasehat, huh dasar, emang Poniran itu kayak apa sih, dilihat dari namanya saja nggak ada yang istimewa, kampungan, pantesnya sih jadi pengembala sapi aja, ato tukang kebun juga boleh, tapi untung juga dia bisa lolos masuk Korea, batin Dina jengkel.

Jarum jam menunjukkan hampir pukul tiga sore,berarti Dina harus online untuk ketemu sama pujaan hatinya.

’’Mbak aku pergi dulu ya?’’ bisik Dina pada Mbak Jum.

’’Hati-hati ya,jangan lama-lama lo, ntar habis duit banyak, kamu mesti ngirit Din!’’ pesan Mbak Jum yang sudah paham ke mana Dina hendak pergi. Selama ini Dina memang paling dekat sama Mbak Jum.

’’Iya Mbak, nanti Mbak Jum tetap di sini kan?’’

’’Kalau nanti aku sudah nggak di sini kamu telepon saja.’’

’’Emang kamu mau ke mana Din?’’ tanya Ida.

’’E.............. ke Chandra kirim uang.’’ jawab Dina seraya berlalu. Yang namanya rahasia jangan sampai Ida tahu kalau tak ingin bocor kayak mulutnya yang ember itu. Dina berlari menerobos orang-orang yang memenuhi Taman Victoria, saat hendak naik lift disebuah building, Dina bertemu dengan Siti, sejenak Dina terpana melihat penampilan Siti yang telah berubah, tadinya Siti cuma pake kaos stret sama celana jeans, tapi sekarang dia memakai baju semacam kemben yang jika ditarik ke bawah kelihatan gunungnya dan jika ditarik ke atas kelihatan pusarnya. Perhisannya bergelantungan bak seorang artis dengan make up warna-warni. Siti benar-benar persis seperti bintang film, ah hanya demi Poniran aja sampai-sampai dia berpenampilan demikian, batin Dina.
’’Mau chattingan ya?’’ sapa Dina. Siti cuma mengangguk sambil tersenyum.

’’Sama, Poniran ya?’’ goda Dina yang membuat Siti tersipu-sipu.

’’Chattingan di mana Sit?’’ tanya Dina saat mereka telah masuk lift.

’’Di lantai 7,’’ jawab Siti.

’’Kebetulan aku juga mau ke sana, aku tadi udah pesen tempat,’’ ujar Dina.

Saat mereka tlah sampai di lantai 7, tempatnya masih penuh, sedangkan jam dinding menunjukkan pukul tiga kurang lima menit.

’’Sebentar ya Mbak, mereka bertiga hampir sign out kok,’’ ujar penjaga warnet begitu melihat Dina dan Siti datang. HP Dina bergetar, ada SMS masuk,’’Say aku dah on line lho, kapan kamu datang? Kangen nih!’’ begitu pesan dari Riyan, kekasih Dina di Korea.

’’Kamu disebelahku saja Din,’’ kata Siti saat tiga orang cewek meninggalkan meja komputernya, kebetulan tempatnya bersebelahan.

Dengan cekatan Dina segera membuka id dan password-nya, lalu masuklah beberapa pesan dari Riyan yang katanya tak sabar ingin segera melihat wajah cantiknya Dina.

Setelah saling mengirim came, Dina tersenyum menatap gambar Riyan yang kelihatan makin cakep saja dengan rambut yang dibiarkan panjang. Selain tampan, Riyan juga pandai merayu, kaya akan humor dan pintar bermain kata-kata, ditambah lagi suaranya yang merdu saat menyanyikan lagu-lagu Malaysia, sehingga Dina rela menghabiskan uangnya berdolar-dolar hanya untuk mendengarkan suara Riyan setiap malam.

Empat bulan sudah Dina menjalin cinta dengan Riyan lewat internet dan telepon, rupanya Dina sudah begitu percaya pada Riyan, sehingga Dina benar-benar mencintai Riyan setulus hati. Tak pernah sedikit pun ada keinginan di hati Dina untuk menghianati ataupun membohongi Riyan meskipun begitu banyak cowok yang menggoda dan mengharapkan cinta Dina.

Dina tersenyum-senyum setiap kali membaca tulisan yang dilemparkan Riyan dari seberang, sementara itu Siti terus cekikikan di sebelah Dina.

’’Busyet, katanya jangankan mobil, pengen pesawat aja dibeliin kalo ada yang jual, hi hi hi.....!’’ Dina cuma mencibir. Dasar rayuan gombalnya Poniran, batin Dina.

Karena Siti terus-terusan tertawa Dina jadi penasaran ingin melihat tampangnya Poniran.

’’Lho Sit, itu kan Riyan!’’ pekik Dina kaget saat karena melihat wajah Riyan ada di komputernya Siti.

’’Apa, ini lo Jimmy, eh maksudku Poniran,’’ jawab Siti tanpa menoleh.

’’Tapi aku juga lagi chattingan sama dia,’’ suara Dina gemetar menahan beribu perasaan. Kontan saja Siti langsung menatap Dina, lantas melihat ke komputer Dina.

’’Lho, kok kamu chattinga sama dia sih?!!!’’ kali ini Siti yang menghardik Dina seraya memelototkan mata.

’’Kamu sendiri ngapain juga chattingan sama dia?!!!’’ suara Dina tak kalah kerasnya karena juga emosi. Karuan saja mereka jadi perhatian orang-orang yang sedang berada di tempat itu.

’’Mbak, Mbak, kalau berantem jangan di sini ya, berisik nih, udah tempatnya sempit lagi…’’ tegur seseorang yang lagi chattingan di dekat mereka. Tentu saja muka Dina jadi memerah karena malu.

Dengan kasar Dina mematikan komputernya, dan setelah membayar sewa komputer tersebut, Dina segera berlari keluar melalui tangga. Hatinya hancur dan pilu, sumpah-serapah pun keluar dari bibirnya yang mungil. Namun jauh di dasar hatinya Dina tak dapat berbohong bahwa dia memang mencintai Riyan yang kini telah berubah menjadi Poniran. []

[Salam sayang buat seseorang di Korea, biarlah waktu yang akan menyatukan cinta kita].

--dari Peduli 13 dan 15

E N O K

Retnayu Ayu


’’You are the love of my life,
i knew it right from the start,
the moment i looked at you,
you found a place in my heart...’’


MP-3-ku terus mendayu-ndayu, meluruh-larutkan hatiku dalam sendu yang suntuk. Aku mendesah, lalu kutarik nafas beratku dalam-dalam, iringi resahku, mengenang kembali kisah beberapa tahun lalu.

’’Kak...’’ sapa manjanya menggelitik telingaku.

’’Hai...’’ balasku. Aku masih jalan pelan keluar dari toko itu. Ah, ia begitumemesonaku.

Enok. Nama sapaan yang sangat kusuka itu nyaris melupakan aku dari rangkaian huruf yang cukup panjang yang membentuk nama lengkapnya.

Aku telah melewati 36 musim di negeri ini, yang semula terasa aneh, dan makin lama makin aneh, yang anehnya: seiring dengan meningkatnya keanehannya meningkat pula ’oke’-nya.

Setiap hari aku mesti mondar-mandir menjalankan pekerjaanku. Berangkat pagi hari lalu pulang kembali ke apartementku menggiring senja. Ah, hidupku selalu saja begitu. Selalu di dalam irama yang tidak menentu. Kadang aku merasa sebegitu jemu. Terlebih, manakala rasa sepi menggerus lubuk hati.

’’Enoooook.......!’’ pekikku, ketika mendapati Enok di suatu sore yang indah setelah sekian lama ia menghilang sejak pertemuan kilat yang sangat indah itu. ’’Wah, Nok! Dari mana saja kamu, kok baru muncul?’’

’’Iya, Kak, aku baru saja ambil holiday!!’’ senyum manis membumbui kalimatnya.

’’Holiday ke mana Nok?’’

’’Ya, biasa Kak, ke Kota Buaya.’’

’’Apa kamu berasal dari Kota Buaya Nok?’’

’’Iya. Kalau Kakak dari mana?’’

’’Kota Apel.’’

’’Oooo....’’

’’Iya, Nok! Dingin...dingin empuk!’’

’’Ah, Kakak!’’

’’Ah!’’

’’AAAhhhh....!!’’

’’Oh...’’

’’Ehm....’’

’’Hahahahaha.......!!!’’

Bumi pun serasa bergetar saat tawa kami meledak bersama. Untung saja kepalaku tak meledak pula karena angan-angan yang menggelembung nyaris tak terkendali: mengangankan kedekatan yang sedemikian dekat dengan Enok! Tapi, apakah ini bukan pungguk merindukan bulan?
’’Kak...?’’
’’Oh, ya?’’
’’Kakak kapan pulang?’’
’’Gak tahu ya Nok. Kenapa emang?’’

’’Nggak kena apa-apa, hehe.....!’’ cengengesnya sambil membalikkan badannya. Seseorang telah menariknya keluar dari toko itu. Seseorang yang ingin kumaki.

Baru dua kali pertemuan kami. Waktunya pun singkat-singkat. Enok boleh pergi, ditarik orang lain atau atas kemauannya sendiri. Tetapi, ia kini serasa telah memenuhi seluruh diriku, seluruh jiwaku. Aku selalu mengangankannya ketika jaga, dan selalu memimpikannya jika tidur. Tidak ada lagi ruang di diriku ini bagi yang lain selain Enok. Tetapi, apa ya yang dirasakan Enok sendiri? Terlalu jauh jarak mesti ditempuh. Terlalu dalam jurang...! Bagaimana aku mesti mengabarkan keadaanku ini kepada Enok? Dengan meneriakkannya, atau membisikkannya? Atau menyerahkan semuanya kepada angin yang mendesau? O....!
Aku tak siap ditolak. Rasanya jauh lebih indah menikmati ini semua di dalam mimpi, daripada harus menghadapi kenyataan jika penolakan itu terjadi.

Kubiarkan kegersangan jiwa ini senantiasa melanda, karena aku sadar bahwa aku sudah tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Kadang kularikan hati, sesekali kuhibur diri, dan ada pula saatnya mencoba menepis habis semua hasrat yang semakin kuat menjerat. Ah, mengapa bisa jadi begini! Mengapa?

Bila saja aku dapat gadaikan jiwa? Tapi, kepada siapa....? Pertanyaan-pertanyaan hampa terus mengulur, sampai tibilah di hari Minggu yang cerah itu. Kupercepat langkah kakiku, dengan tergesa kusongsong sosok bayang: Enok! Oh, ia sedang menungguku!

’’Kak....!’’

’’Met pagi manisku.....!’’ begitulah godaku, selalu. Dengan santai kami berdua akhirnya melangkahkan kaki memasuki ruang besar perpustakaan pusat, kebanggaan kota ini. Rasanya aku telah sampai di ujung mimpi, dan mendapati kenyataan yang ternyata begitu indah: kami duduk berdampingan di depan komputer. Dan mengalirlah huruf-huruf membentuk sebuah puisi buat Enok:

dirimu yang selalu penuhi lamunanku
membuatku suntuk dibekuk rindu
mengristal segenap kekagumanku
apakah cinta apakah kasih apakah sayang sedia
tak henti mengalir dan bermuara di kedalaman
samodra: hatiku-hatimu

Lalu kutekan ’send’ dan dalam hitungan detik sampailah puisi itu di layar komputer Enok. Seperti yang aku duga, sebuah cubitan diiring kata, ’’Dasar!’’ mendarat di lenganku. []

PROSES RUMIT PENULISAN NOVEL ‘XIE XIE’



Kalau bicara soal 'Proses Kepenulisan' jujur saja, saya sedikit minder, tapi bagaimanapun ini harus saya ungkapkan. Tiga tahun, sebagai penulis yang baru saja belajar menulis dan pekerjaan saya yang ‘rendah’ di mata awam, yaitu hanya sebagai seorang TKW di Hongkong yang tidak pernah mengenyam bangku kuliah, mewujudkan tulisan ini menjadi novel merupakan hal yang dulu menurut saya tidak mungkin.

Ketika saya mulai belajar menulis sejak 2006 dengan masuk di komunitas sastra FLP wilayah Hongkong dan banyak membaca novel-novel remaja karya penulis senior Leyla Imtichanah, akhirnya perlahan saya mencoba mengukir mimpi menjadi novelis. Awalnya sepele, saya nge-Fans dengan boyband Taiwan bernama Fahrenheit. Entahlah apa yang membuat saya begitu 'mencintai' salah satu personil Fahrenheit Aaron Yan yang akhirnya saya tempatkan sebagai salah satu tokoh utama dalam novel ini.

Ketika melihatnya bicara, tersenyum terasa greget saya semakin kuat untuk bisa dekat melalui halusinasi saya- kata teman-teman saya seperti orang gila. Lalu tercipta sebuah ide sederhana, kemudian saya mulai ‘riset’ tempat-tempat yang saya jadikan setting nyata dengan jalan-jalan, mulai belajar bahasa Kantonis lebih dalam, Mandarin, sedikit Jepang dan Korea untuk memberikan warna dalam novel ini.

Ternyata menulis bukan hal sederhana, saya harus membagi waktu. Sedangkan jam kerja saya bisa dibilang selalu overtime. Dari bangun pagi jam 05.00 sudah mulai mengurus anak-anak majikan dan seorang manula. Seluruh pekerjaan rumah tanpa kecuali harus selalu selesai sempurna sampai jam 12.00 malam bahkan kadang lebih. Saya baru bisa masuk kamar setelah semua anggota keluarga tidur, baru saya mandi dan istirahat. Artinya jam terbang menulis sekitar jam 1 sampai jam 2 atau lebih dini hari.

Awalnya saya sempat pesimis, ini tidak mungkin bisa saya lakukan. Tapi saya akali dengan waktu kerja (menjemput anak dadi sekolah, membawa nenek jalan-jalan, di kereta api, di dapur saat masak) saya membawa note kecil untuk menulis bagian-bagian ceritanya, ketika ide muncul, saya segera corat-coret. Malamnya baru saya tuangkan ke dalam laptop (itu saja terkadang sembunyi-sembunyi). Selama dua tahun berhasil menulis sekitar 125 halaman saja.

Lalu saya ikutkan novel saya diajang sayembara novel nasional yang diadakan Penerbit Pro-u Media Jogjakarta. Dari 120 lebih peserta, alhamdulillah bisa masuk 30 besar walau akhirnya kalah sama penulis senior. Tapi bagi saya itu sudah jauh lebih baik. Akhirnya saya mulai optimis. Novel dikembalikan oleh panitia dan beberapa revisi disana-sini saya lakukan. Halaman bertambah menjadi 165 halaman.

Sempat saya sebar ke teman-teman yang bersedia membaca ‘draft’ novel saya secara gratis untuk mendapatkan sedikit apresiasi lokal seantero teman dekat. Lalu vacuum, saya hentikan dulu karena banyak hal mengenai kesehatan saya sangat mengganggu.


MULAI LAGI
Setelah Desember 2009 saya sampai di Indonesia, saya mulai aktif lagi menulis, sekitar bulan Maret saya iseng mengirimkan naskah saya ke penerbit Diva Press yang saya tahu dekat dengan rumah saya di Jogjakarta dari membaca buku-buku terbitan Diva Press.

Tidak banyak berharap, karena Diva adalah salah satu penerbit Major yang besar di kalangan nasional, seperti ketiban durian rasanya hahaha... akhirnya bulan Juni 2010 pihak Diva mengabari bahwa novel saya diterima. Saya sujud syukur sambil menangis dan hujan-hujan di halaman rumah.

Akhirnya beberapa revisi saya lakukan, penambahan halaman dengan menambah konflik, setting saya pertajam juga penambahan tokoh atas permintaan penerbit. Dan menunggu selama 1,5 tahun lamanya, baru bulan Oktober 2011 ini novel perdana saya release.

Sungguh hal yang sulit saya percaya mengingat pendidikan saya yang hanya sebatas lulusan SMK dan tidak tahu sastra, tapi dengan perjuangan yang begitu berat dan tidak pernah menyerah alhamdulillah novel ini menjadi buku dan bisa dibaca semua orang. Jadi bagi siapapun saya tekankan, kita semua bisa menulis, asalkan ada niat, usaha dan doa yang tiada henti. Semangat!! [Mell Shaliha]

HONGKONG, NEGERI IMPIAN


Siapa menduga akhirnya seorang Buruh Migran Indonesia (BMI) yang notebene tidak pernah membaui sastra bisa mendulang mimpi besarnya di Negeri(nya) Jackie Chan. Menimba wawasan dan ilmu nyata tidak hanya melalui ’sumur’ perguruan tinggi. Keterbatasan yang sering dianggap sebagai boomerang dalam pencapaian cita-cita saat ini harus segera ditepis jauh-jauh. Bahwasannya semua mimpi bisa dicapai dengan usaha yang terus menerus dan ketebalan mental yang akhirnya akan membuahkan hasil yang nyata.

Novel Xie Xie Ni De Ai atau dalam judul Bahasa Indonesianya Hongkong, Terima Kasih Cintamu ini adalah salah satu bukti dari sekian pembuktian bahwa seorang buruh migran bukanlah orang-orang yang tertinggal.

Tagline, bahwa novel berjudul Xie Xie Ni De Ai karya Mells Shaliha ini, adalah novel yang menggambarkan perjuangan seorang BMI di Hongkong, dengan tetap mempertahankan prinsip keislaman dan moralitas ditengah gempuran lika-liku dan kultur yang heterogen. Sebuah tema sentral yang sangat inspiratif dan bermuatan dipilih penulis sebagai pegangan dalam novel perdananya ini. Dengan salah satu misi yang dikedepankan adalah tentang hijab. Baik hijab dalam menjaga aurat muslimah juga hijab dalam menjaga pergaulan dengan lawan jenis.

Tokoh Alenia Fatmawati yang dalam kisah ini menjadi pembantu di keluarga Chelsy Tsang mempunyai satu kunci yang harus benar-benar dipegang oleh seorang BMI yang bekerja di luar negeri, yaitu ‘prinsip keimanan’. Berbagai dampak negative pergaulan di luar negeri membawa arus buruk yang sebenarnya harus ditepis demi menjaga kehormatannya.

Problematika remaja dengan kultur yang berbeda seperti tokoh Aanon Yan yang seorang Taiwan, Ryu, Dahe dan Maki kewarganegaraan Jepang, tentunya juga berakibat fatal apabila Ale tidak mampu melawan dengan prinsip yang dipertahankannya. Nilai persahabatan antara anak majikannya bersama seluruh kawan-kawan Chelsy Tsang juga dapat dirasakan Ale sangat kuat. Mereka tidak begitu membedakan status Ale yang seorang pembantu, justru Ale mampu membuka mata mereka bahwa sebuah kepercayaan harus selalu ditanamkan dalam sebuah persahabatan. Perbedaan status, pekerjaan, sosialitas tidak selalu membuat hubungan persahabatan menjadi kaku.

Dalam novel ini penulis berusaha mengeksplorasi pengalaman yang dijumpai selama hidup di luar negeri beserta keanekaragaman masalah pergaulan seperti orientasi seksual seperti ‘gay’ sebagai salah satu keunikan pembelajaran dari efek negatif yang mungkin tidak bisa pembaca jumpai di lingkungan sekitar.

Pemilihan setting luar negeri yaitu Hongkong menjadi ‘sesuatu’ menarik yang bisa membawa pembaca turut ‘menjamah’ negeri China dengan beberapa gambaran tentang objek wisata serta iklim yang menjadi pengetahuan selain bunga rampai yang dapat diperoleh pembaca dalam novel ini. [MEL]

Judul : XIE XIE NI DE AI – Hongkong, Terima Kasih Cintamu
Pengarang : Mell Shaliha
Penerbit : Diva Press
Halaman : 340 Halaman
ISBN : 978-602-978-592-0
Harga : Rp 44.000,00 (di Indonesia)

Sayembara Penulisan Naskah Buku

Puskurbuk Balitbang Kemdikbud 2012

Dalam rangka menggali, mengembangkan, dan mendayagunakan potensi menulis di kalangan siswa, pendidik dan tenaga kependidikan, serta masyarakat umum, Pusat Kurikulum dan Perbukuan Balitbang Kemdikbud menyelenggarakan Sayembara Penulisan Naskah Buku Pengayaan. Kegiatan sayembara ini diperuntukkan bagi para peserta didik, pendidik dan tenaga kependidikan, serta masyarakat umum. Sayembara Penulisan Naskah Buku Pengayaan tahun 2012 ini memperebutkan hadiah total lhttp://www.blogger.com/img/blank.gifebih dari Rp 1.000.000.000,00 untuk 57 pemenang dari 19 jenis naskah buku pengayaan.


Tema Penulisan
“Membangun manusia Indonesia yang berkarakter, berbudaya, dan kompetitif di era global”

Peserta Sayembara
Peserta sayembara adalah siswa SMA/MA/SMK/MAK, pendidik dan tenaga kependidikan, serta masyarakat umum. Pendidik meliputi guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan. Tenaga kependidikan meliputi pengelola satuan pendidikan, penilik, pengawas, peneliti, pengembang, pustakawan, laboran, dan teknisi sumber belajar.

Ketentuan-ketentuan naskah buku sayembara adalah sebagai berikut.

a. Ketentuan Umum
1. Jenis naskah buku pengayaan pengetahuan alam dan matematika, dapat berupa pengetahuan alam fisik, hayati, flora, fauna; pengetahuan matematika; pengetahuan teknologi dan rekayasa; pengetahuan kebaharian, kedirgantaraan, dan kebumian.

2. Jenis naskah buku pengayaan pengetahuan sosial dan humaniora, dapat berupa pengetahuan sejarah dan kemasyarakatan; pengetahuan keagamaan; pengetahuan perekonomian dan manajemen; pengetahuan budaya, bahasa, seni dan sastra.

3. Jenis naskah buku pengayaan keterampilan vokasional yang meliputi:
a) Keterampilan membuat kriya;
b) Penerapan teknologi rekayasa sederhana;
c) Penerapan teknologi pengolahan;
d) Penerapan teknologi budidaya.

4. Jenis naskah buku pengayaan kepribadian, dimaksudkan untuk mengembangkan karakter: (1) religius; (2) jujur; (3) toleransi; (4) disiplin; (5) kerja keras; (6) kreatif; (7) mandiri; (8) demokratis; (9) rasa ingin tahu; (10) semangat kebangsaan; (11) cinta tanah air; (12) menghargai prestasi; (13) bersahabat/komunikatif; (14) cinta damai; (15) gemar membaca; (16) peduli lingkungan; (17) peduli sosial; (18) tanggung jawab yang dituangkan dalam:

a) Kumpulan pantun
b) Kumpulan puisi
c) Kumpulan cerita pendek
d) Novel
e) Drama
f) Biografi

Naskah buku Biografi, tentang:
a. seseorang yang berjasa dalam suatu bidang yang berguna bagi masyarakat;
b. seorang tokoh di daerah yang mendapat penghargaan dari pemerintah;
c. seseorang yang memiliki karakter yang dapat dijadikan contoh bagi bangsa;
d. seseorang yang memiliki keunggulan dan kelebihan yang berguna bagi masyarakat.

5. Naskah buku ditulis dengan menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Naskah diberi identitas: (a) judul naskah; (b) jenis naskah; dan (c) peruntukan pembaca buku (misalnya untuk SD/MI; SMP/MTs; SMA/MA/SMK/MAK), (d) kelompok peserta.

6. Naskah dijilid rapi berupa cetak asli (bukan fotokopi atau dummy).
7. Naskah yang diterima Panitia tidak dikembalikan.

b. Ketentuan Peserta
1. Peserta adalah perorangan.
2. Peserta yang mengirimkan naskah harus melampirkan biodata.
3. Peserta dari siswa SMA/MA/ SMK/MAK harus melampirkan surat pengantar dari sekolah dan fotokopi kartu pelajar.
4. Peserta dari pendidik dan tenaga kependidikan harus melampirkan surat pengantar dari lembaga tempat bekerja dan fotokopi SK pendidik atau tenaga kependidikan.
5. Peserta dari masyarakat umum harus melampirkan fotokopi KTP yang masih berlaku.
6. Peserta yang pernah menjadi pemenang sebanyak tiga kali atau lebih sejak tahun 2001 tidak diperbolehkan mengikuti sayembara ini.

c. Ketentuan Naskah
1. Naskah yang diajukan adalah: a. karya asli, b. tidak berseri, c. tidak sedang diikutsertakan pada sayembara lain, sebagian ataupun seluruhnya, d. belum pernah menjadi pemenang sebagian ataupun seluruhnya dalam sayembara mana pun, dan e. belum pernah diterbitkan sebagian ataupun seluruhnya.

2. Persyaratan di atas harus dituangkan dalam surat pernyataan yang ditandatangani di atas meterai Rp 6.000,00 oleh penulis naskah.

3. Naskah diketik dan dicetak pada kertas A4, spasi 1½, jenis huruf arial, times new roman, atau tahoma, ukuran huruf 12 pt, batas margin tepi kertas 3 cm.

4. Jumlah halaman isi naskah yang ditulis oleh siswa minimal 50 halaman dan yang ditulis oleh pendidik, tenaga kependidikan, dan umum minimal 75 halaman.

5. Penggunaan ilustrasi harus proporsional dan terintegrasi dengan teks, mendukung materi/isi teks serta mencantumkan sumber secara jelas.

6. Naskah buku pengayaan tidak dilengkapi dengan ungkapan tujuan mempelajari/membaca dan tidak dilengkapi latihan, soal, tes, lembar kerja, atau jenis evaluasi lainnya.

7. Naskah buku pengayaan tidak bertentangan dengan idiologi negara, ketentuan dan perundang-undangan yang berlaku, tidak bias gender, serta tidak menimbulkan masalah SARA.

8. Naskah buku pengayaan pengetahuan dan keterampilan harus menggunakan daftar pustaka atas rujukan yang dikutip.

9. Naskah yang dinyatakan sebagai pemenang sayembara, jika ditemukan dan terbukti sebagian atau seluruhnya merupakan jiplakan/plagiasi, segala tanggung jawab hukum yang berkaitan dengan pelanggaran Hak Cipta berada pada penulis naskah. Pusat Kurikulum dan Perbukuan akan membatalkan kemenangannya dan hadiah yang diterima harus dikembalikan kepada negara.

10. Jika suatu naskah buku pengayaan dinyatakan memenangi sayembara, penulis berhak atas penghargaan sayembara tersebut, sedangkan hak cipta (baik hak ekonomi maupun hak moral atas naskah) tetap berada pada penulis sehingga penulis berhak menerbitkannya kepada penerbit yang dipilih.

11. Pemegang hak cipta (hak ekonomi) naskah pemenang sayembara adalah Pusat Kurikulum dan Perbukuan Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan hak moral berada pada penulis.

12. Setiap peserta hanya boleh mengirimkan satu judul naskah sayembara.

13. Hasil keputusan Dewan Juri Sayembara tidak dapat diganggu gugat.

d. Hadiah Sayembara
Untuk menghargai kualitas naskah yang memenangi sayembara, Pusat Kurikulum dan Perbukuan Balitbang Kemdikbud menyediakan hadiah uang sebagai berikut:

Kelompok Pelajar:
Juara I = Rp. 15,000,000
Juara II = Rp. 10,000,000
Juara III = Rp 7,500,000

Kelompok Pendidik, Tenaga Kependidikan, dan Masyarakat Umum
Juara I = Rp 25,000,000
Juara II = Rp 20,000,000
Juara III= Rp 15,000,000

e. Pengiriman Naskah
Naskah diterima paling lambat tanggal 3 September 2012 dan dialamatkan kepada: Panitia Sayembara Penulisan Naskah Buku Pengayaan Tahun 2012 Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Badan Penelitian dan Pengembangan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dengan alamat: Jl. Gunung Sahari Raya No. 4 Jakarta Pusat

f. Pengumuman Pemenang
1. Pengumuman dan pemberian hadiah kepada para pemenang akan dilaksanakan pada bulan November 2012.
2. Calon pemenang sayembara akan diundang ke Jakarta untuk mengikuti wawancara dengan Dewan Juri dan menghadiri pengumuman pemenang bagi calon yang dinyatakan sebagai pemenang. Jika calon pemenang tidak dapat mengikuti wawancara, maka yang bersangkutan dianggap mengundurkan diri.

Informasi lebih lanjut tentang sayembara dapat menghubungi Pusat Kurikulum dan Perbukuan Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan website : http://puskurbuk.net/ , telp.: 021 3804248 , e-mail: sayembara_puskurbuk@yahoo.com facebook: sayembarapuskurbuk

Festival Sastra Migran Indonesia II


“Melintas Batas, Berjuang , Berkarya, dan Berprestasi”

Assalamualaikum warahmatulahi wabarakatuh,

Mengawali tahun 2012 Forum Lingkar Pena Hongkong menggelar beberapa lomba dalam serangkaian acara Festival Sastra Migran Indonesia II dan juga Milad FLP HK ke 8.



1. Lomba Photografi
2. Lomba Menulis scenario drama
3. Lomba cipta puisi
4. Lomba kisah inspiratif


LOMBA PHOTOGRAFI

Syarat Karya:
1. Tema foto “Pelangi Migran Indonesia”, yang memotret berbagai sudut pandang interaksi kegiatan , aktivitas Migran Indonesia
2. Lokasi object foto berada di wilayah Hongkong dan Macau
3. Foto adalah karya milik sendiri dan belum pernah memenangkan lomba.
4. Peserta dapat mengirimkan foto berwarna atau hitam putih.
5. Foto merupakan karya tunggal, bukan merupakan foto serial.
6. Pemotretan dapat dilakukan dengan media film ataupun digital. Olah digital yang diperbolehkan sebatas menaikkan kontras, burning, dodging, sharpening, dan cropping. Penambahan elemen dalam foto tidak diperkenankan.
7. Foto dikirimkan dalam bentuk hard copy satu rangkap (1) dan soft copy by email _ fsmi2012.photografi@gmail.com dengan subjek Nama# No Pendaftaran.

Foto dicetak ukuran paling besar 10R Paling kecil 4R tanpa bingkai, tanpa alas, tanpa pencantuman unsur-unsur non-fotografis. Di belakang foto dicantumkan keterangan foto (caption) seperti Judul Foto, Lokasi dan Tahun Pemotretan, beserta keterangan Fotografer: Nama, Alamat, Nomor Telepon dan Email. Menyertakan tanda bukti/kupon pendaftaran.
8. Maksimal 3 foto per peserta/per kupon
9. Karya yang masuk menjadi hak panitia penyelenggara
10. Panitia berhak mendiskualifikasi peserta sebelum dan sesudah penjurian apabila dianggap melakukan kecurangan.
11. Keputusan Dewan Juri Sah dan tidak dapat diganggu gugat.
12. Dengan mengirimkan karya foto berarti peserta telah dianggap menyetujui semua
ketentuan teknis dan persyaratan yang telah ditetapkan oleh Panitia.

Syarat Peserta:
1. Terbuka untuk Umum, seluruh Migrant Indonesia yang berdomisili di Hongkong dan Macau (kecuali anggota FLP HK).
2. Peserta wajib menggunakan nama asli sesuai dengan identitas resmi (KTP/ /Paspor).
3. Wajib mencantumkan nomor telepon yang mudah dihubungi.
4. Membayar biaya pendaftaran sebesar 30 HKD
5. Hadiah pemenang :
Juara 1 Uang tunai 500 HKD + Sertifikat
Juara 2 Uang tunai 300 HKD + Sertifikat
Juara 3 Uang tunai 200 HKD + Sertifikat
6. 1 Kupon berlaku untuk 1 (satu) peserta dengan 3 karya , bila hendak mengirimkan lebih harus menyertakan kupon berikutnya. Dicantumkan nama peserta dan jumlah karya yang dikirim.
7. Pengumpulan Karya Paling lambat 10 Februari 2012
8. Pengumuman Pemenang: Pengumuman Pemenang dan Karya-karya terbaik pilihan dewan juri akan di pamerkan dalam acara gebyar sastra saat puncak acara Sastra Migran Indonesia II 18 maret 2012

Mengajak dan Mengundang:

Seluruh Migrant Indonesia di manapun berada (di luar Hkg dan Macau) untuk turut beperan serta mengapresiasikan karya fotonya . Setiap karya akan turut di pamerkan dalam acara Gebyar Sastra sebagai puncak acara Festival Sastra Migran Indonesia II dan mendapat sertifikat. Foto bisa dikirimkan ke email , fsmi2012.photografi@gmail.com dengan subjec : Parsitipan FSMI II serta melampirkan biodata singkat dan alamat pengiriman serfitikat.


LOMBA MENULIS SKENARIO DRAMA

Kompetisi ini merupakan sebuah kompetisi menulis skenario yang dapat diikuti oleh umum seluruh Migran Indonesia yang berdomisili di Hongkong dan Macau. Anggota FLP HK diperbolehkan ikut kecuali yang menjadi panitia.

Persyaratan naskah skenario diantaranya adalah asli buatan sendiri adanya kesesuaian antara isi naskah dengan tema, tidak mengandung pornografi, mengandung nilai-nilai dan pesan-pesan positif , serta tidak menyinggung SARA. Naskah ini dibuat untuk durasi 10-15 menit.

KRITERIA KHUSUS
1. Tema atau ide cerita di ambil dari salah stu cerita yang terdapat di buku Kumcer Penjajah di Rumahku, FLP HK Publishing 2010. Buku bisa di dapatkan di sekretariat panitia.
2. Naskah asli buatan sendiri.
3. Biaya pendaftaran 50 HKD
4. Peserta merupakan individu atau tim maksimal 2 orang.
5. Naskah dibuat untuk drama dengan durasi 10-15 menit.
6. Penulisan menggunakan kaidah bahasa Indonesia yang benar (boleh menggunakanbahasa tidak baku asalkan penulisan sesuai dengan kaidah yang benar)
7. Naskah dikirimkan ke email : fsmi2012.skenario@gmail.com dengan subjek #nama#judul asli cerpen#no pendaftaran.
8. Batas akhir pengumpulan karya adalah 5 Februari 2012
9. Hadiah pemenang :
Juara 1 : Uang tunai 700 HKD+ Sertifikat
Juara 2 : Uang tunai 500 HKD +Sertifikat
Juara 3 : Uang tunai 300 HKD +Sertifikat

Juara 1 dan 2 akan di tampilkan dalam acara Gebyar Sastra sebagai puncak acara Festival Sastra Migrant (18 Maret 2012), dan akan di bedah bersama dalam workshop Skenario bersama sutradara Aditya Gumay dan Adenin Adlan (11 Maret 2012).

LOMBA CIPTA PUISI

TEMA LOMBA: “Pelangi Migran Indonesia”

SYARAT PENULISAN:
1. Peserta terbuka untuk umum seluruh Migran Indonesia yang berdomisili di Hongkong dan Macau (kecuali anggota FLP Hongkong)
2. Jumlah halaman maksimal 2 lembar, spasi 1,5, jenis huruf Times New Roman font 12, ukuran kertas A4.
3. Setiap peserta hanya boleh mengirimkan 1 judul puisi/pendaftaran.
4. Biaya pendaftaran 20 HKD
5. Mencantumkan nama penulis dan biodata narasi singkat pada bagian akhir naskah puisi.
6. Kirim karya ke alamat email: fsmi2012.puisi@gmail.com
7. Judul/Subjek email tulis: nama#Judul Puisi#no pendaftaran.
8. Hadiah pemenang :
Juara 1 : Uang tunai 500 HKD + sertifikat
Juara 2 : Uang tunai 300 HKD + sertifikat
Juara 3 : Uang tunai 200 HKD + sertifikat


KRITERIA PENILAIAN
1. Orisinalitas tema.
2. Kreativitas pemilihan kata/diksi.
3. Keindahan dan kedalaman pesan.
4. Kelengkapan naskah puisi. Jika tidak memenuhi syarat peserta di atas maka naskahnya gugur.
Ketentuan mengikat :
1. Keputusan juri tidak bisa di ganggu gugat
2. Dewan juri berhak membatalkan keputusannya , jika di kemudian hari diketahui karya pemnang lomba adalah karya cipta orang lain (plagiat)
3. Hak cipta tetap ada pada penulis, sedang panitia memiliki hak untuk mempublikasikannya.

LOMBA KISAH INSPIRATIF

Tema: Sepenggal Kisah Pelangi Migran Indonesia

Syarat:
1. Peserta untuk umum , seluruh Migrant Indonesia yang berdomisili di Hongkong dan Macau (kecuali anggota FLP HK)
2. Tulisan merupakan hasil kisah nyata , kisah sendiri atau orang lain yang menginspirasi
3. Penulisan diketik menggunakan font TNR, spasi 1,5, minimal 3-4 halaman A4
dengan margins 3 3 3 3, file RTF
4. Naskah dikirim ke fsmi2012.krispi@gmail.com dengan subjek Nama#judul# No pendaftaran dalam bentuk attchament, bukan di badan email
5. Sertakan pula biodata singkat
6. Membayar biaya pendaftaran sebesar 30 HKD
7. Menyertakan surat keaslian naskah, yang menyatakan kisah tersebut adalah kisah nyata.
8. Paling lambat pengumpulan berkas tanggal 5 Februari 2012

Hadiah pemenang :
Juara I 500 HKD +sertifikat
juara 2 300 HKD +sertifikat
juara 3 200 HKD + sertifikat

Sekretariat panitia dan Penerimaan Karya:

1. Sekretariat FLP HK _balakang kolam renang victory
2. Perpustakaan Noormuslima (jiso depan victory)
3. Perpustakaan Al Hikmah, depan Lybrary (an. Lintang)
4. Perpustakaan Insani, Belakang patung victory (an. Bayu)
5. Via Pos , Up: Panitia Lomba Foto Sastra Migran Indonesia II (No 9 Yan Sau Wai, San Tin Yuen Long)
alamat Email pengiriman naskah:
fsmi2012.photografi@gmail.com
fsmi2012.skenario@gmail.com
fsmi2012.puisi@gmail.com
fsmi2012.krispi@gmail.com

No telp informasi :
Hotline 6677 4172
Rita 6098 0552
Dian 6938 6147
Esa 6358 1247
Susi 9447 0419

Pendaftaran di buka mulai 18 Desember 2012 , Selamat Berlomba dan berkreasi. Kayauu!!

Wassalamulaikum warahmatulahi wabarakatuh
Panitia FSMI II 2012
FLP Hongkong

BIG APPLE


Cerpen: HSA

Hari ini hari Minggu pekan ketiga bulan Maret 2005. Dan seperti Minggu-minggu sebelumnya, aku berjalan lenggang kangkung seperti sekretaris yang bangun kesiangan dan ditunggu bos yang akan meeting. Waduh, aku terlambat nih, pasti teman-teman sekampung sudah stand by di Victoria Park. Biasalah kalau Minggu begini, pasti aku ngumpul sama teman-teman sekadar ngobrol melepas rindu setelah disibukkan oleh pekerjaan selama satu minggu.


Kupercepat langkahku, karena aku sudah tak sabar untuk bertemu dengan mereka.

’’Shella...!’’ panggil seseorang dari belakang. Aku pun membalikkan badan, karena aku merasa dipanggil dan memang namaku Shella. Dan kami pun saling bertatap mata. ’’E...e.., Mbak Tari!’’ ucapku seraya melongo saja, seperti tak percaya.

Sudah hampir tiga tahun aku tak bertemu dengan Mbak Tari. Dulu selama di penampungan, waktu mau berangkat ke Hong Kong, kami teman senasib. Apa pun selalu dibagi berdua --kecuali pacar, hehe! Mbak Tari bahkan menganggapku seperti adiknya sendiri. Usia kami hanya terpaut empat tahun, tapi Mbak Tari sudah punya 2 anak, sedangkan aku masih single, karena aku baru lulus SLTA dan langsung daftar ke PJTKI.

Kami saling berpelukan. Yah, seperti tak percaya saja. Tuhan ternyata mempertemukan kembali aku dan Mbak Tari di Hong Kong. Ini pertemuan mengejutkan dan sangat membahagiakan. Kami lalu ngobrol seperti tiada habisnya, menceritakan pengalaman masing-masing.

Namun, selanjutnya aku lebih banyak menjadi pendengar setia dan hanya sesekali menimpalinya bila perlu. Dengan semangat membara, Mbak Tari menceritakan kehidupannya selama di Hong Kong.
Kalau kuperhatikan dandanannya, Mbak Tari pasti hidup mewah. Pakaian yang dikenakannya bermerk, mahal. Pakaian yang tak mungkin dapat kubeli. Soal pakaian, Mbak Tari malah sempat mengejekku. Sudah lama di Hong Kong, tapi cara berpakaianku, kata Mbak Tari, masih saja kuno. Dibilang begitu aku hanya tersenyum kecil. Yah, tujuanku ke Hong Kong memang cari uang untuk ditabung, bukan untuk berfoya-foya, batinku.

’’Shella...!’’ ucap Mbak Tari.

’’E.....e..anu nggak kok Mbak!’’ jawabku.

Aku berkata setengah tergagap. Aku memang sedang melamun tentang keadaan Mbak Tari. Mbak Tari sudah menjalani kehidupan yang glamour walau di Hong Kong ini hanya seorang pembantu rumah tangga. Bagaimana dengan anak-anaknya yang masih kecil-kecil di rumah? Batinku bertanya.

’’Kita jalan-jalan yuk!’’ ajak Mbak Tari.

’’Ok! Eit...!’’ jawabku. ’’Sebentar, ya, Mbak, tak telepon teman-temanku dulu, bilang kalau nanti sore saja aku menemui mereka.’’

’’Ok, silakan!’’
Di telepon, temanku ngedumel, tapi mereka mengizinkan aku pergi bersama Mbak Tari. Dengan catatan, nanti sore aku harus menemui mereka. Yah, hari ini aku jadi seperti orang penting saja, batinku.

’’Beres, Mbak,’’ kataku kepada Mbak Tari, usai menelepon teman-teman, ’’kita ke mana?’’

’’Kamu nurut saja sama aku,’’ kata Mbak Tari.

Aku pun mengikuti Mbak Tari. Sambil berjalan, sesekali kami tertawa bla....bla... kalau ingat waktu-waktu di PT dulu, mandi dengan seember air, kalau tidur dikeroyok nyamuk, apalagi bau WC-nya yang begitu khas: pesing!

Tanpa terasa, kami sampai di Daerah Wan Chai. Aku belum pernah ke tempat ini. Tapi, lain aku lain pula Mbak Tari. Sepertinya dia sudah paham betul daerah ini. Jam yang melingkar di tanganku menunjukkan pukul 2 siang.

’’Ayolah...!’’ ajak Mbak Tari sambil menggandeng tangnku.

Aku terkejut setengah mateng! Mbak Tari menarik tanganku menuju sebuah tempat yang di depannya ada tulisan besar Big Apple dan terdapat sebuah gambar buah apel yang besar sekali. Aku bingung karena tempat itu sangat gelap dan dari dalamnya terdengar hentakan-hentakan musik. Suara itu memekakkan gendang telingaku.

’’Tidak, Mbak!’’ rontaku. ’’Kita pulang saja!’’

Tapi cengkeraman tangan itu begitu kuat. Mbak Tari menarikku masuk ke tempat itu.

Sampai di dalam, aku terkejut bukan kepalang. Di situ banyak gadis belia dan kalau ditilik dari tampangnya, pasti mereka gadis-gadis Indonesia. Mereka berjogetria sambil minum bir. Ada yang berpasang-pasangan dengan bule, tomboi, dan banyak lagi. Sampai usia yang hampir 21 tahun ini, semua itu merupakan pemandangan yang asing bagiku karena mungkin aku kuper alias kurang pergaulan.

Aku berdiri mematung di pojokan dinding tembok. Dan… Mbak Tari ternyata sudah berpelukan mesra dengan seorang bule. Keduanya berpelukan sambil berjoget. Mataku jadi pedih karena kerlap-kerlip lampu yang sangat menyilaukan. Aku bingung tak tahu apa yang mesti kuperbuat. Mbak Tari menghampiriku bersama bulenya.

’’Shella... nih minum!’’ Mbak Tari menyodorkan sebotol bir.

’’Tidak, Mbak, terimakasih!’’ jawabku tegas. Daripada minum bir, lebih baik aku mati kehausan!

Hatiku benar-benar dibuat jengkel oleh Mbak Tari. Dia tak merasa berdosa mengajakku ke tempat menjijikkan ini. Perutku jadi mual melihat tingkah manusia-manusia ini. Diskotik yang biasanya hanya kulihat sekilas lewat sinetron di TV atau baca novel, tanpa sadar kini aku tengah berada di dalamnya. Ini sungguhan, aku tidak sedang bermimpi!

Pikiran dipenuhi banyak tanda tanya yang aku sendiri tak dapat menjawabnya ketika kudengar suara, ’’Buuug!’’ suara itu keras sekali. Seperti pohon pisang yang limbung ke tanah. Mataku jelalatan mencari sumber suara itu.

’’Astaga!’’ ucapku.

Tenyata suara itu berasal dari tubuh Mbak Tari. Mbak Tari limbung ke lantai. Tapi tak seorang pun dari mereka memedulikan Mbak Tari. Bule yang tadi bersamanya juga tidak. Bule itu sudah memeluk perempuan lain.

Dengan cepat kuangkat tubuh Mbak Tari dan kubawa ke pojok sofa. Aku bingung, tak mengerti apa yang harus kulakukan.

Di tengah kepanikan, ternyata masih ada seoarang gadis Indonesia yang berbaik hati. Dia bilang Mbak Tari mabuk. Tanpa ba-bi-bu lagi, dia berusaha menyadarkan Mbak Tari. Sepertinya dia sudah berpengalaman sekali mengurusi orang mabuk. Buktinya, tak berapa lama Mbak Tari sudah kembali sadar dan aku hanya bisa melongo.

Setelah Mbak Tari sadar dari mabuknya, kuajak dia ke kamar mandi, kusuruh dia membasuh mukanya, terus aku ajak keluar dari tempat laknat itu. Berjalan beberapa saat, ada pohon yang rindang di pinggir jalan. Kuajak Mbak Tari istirahat sebentar di bawahnya. Di sana, beberapa lama kami diam membisu.

’’Shella, maafkan aku yang tak tahu diri ini,’’ ucap Mbak Tari lirih, membuka percakapan.

’’Tak apa, Mbak!’’ ucapku.

Dan kupeluk dia, aku ingin memberikan kedamaian hati dan menghiburnya. Dan tanpa kuminta, Mbak Tari menceritakan dari awal sampai akhir, kenapa dirinya sampai mengenal diskotik.

Mbak Tari bilang uang yang dikirimkan ke Indonesia selama bekerja di Hong Kong sekitar tiga tahun telah dihabiskan suaminya. Tidak hanya itu, suaminya juga tak mau mengurusi dua anaknya. Pekerjaannya tiap hari cuma minum minuman keras. Dan kabar burung terakhir yang diterima Mbak Tari, di desa suaminya bermain dengan perempuan. Mbak Tari sakit hati.

Karena itu Mbak Tari mengenal diskotik, jatuh dari pelukan lelaki satu ke pelukan lelaki lain. Dengan cara begitu Mbak Tari membalas perbuatan suaminya.

Tiap Minggu Mbak Tari datang ke Big Apple. Mbak Tari pun terbius oleh segala kenikmatan dunia fana yang hanya sementara. Big Apple menjadi tempat pelariannya bila hatinya kacau.

’’Dengan minum bir, semua permasalahan dapat dilupakan,’’ kata Mbak Tari dengan berlinangan airmata.

’’Sudahlah, Mbak, yang lalu biarlah berlalu!’’ ucapku. ’’Menurutku, Mbak sebaiknya pulang cuti dulu dan melihat permasalahan yang sesungguhnya. Mbak kan hanya dengar dari mulut orang lain tentang suami Mbak di Indonesia. Mungkin ada orang lain iri melihat keadaan Mbak sekarang.’’

Mbak Tari mengisak.

’’Big Apple bukan tempat yang benar untuk pelarian, Mbak. Malah dengan masuk ke situ masalah akan bertambah. Lupakanlah Big Apple, Mbak, karena di sana Mbak Tari hanya mendapat kebahagiaan semu. Ingatlah selalu pada Yang Kuasa, Mbak. Cepatlah bertobat selagi masih ada kesempatan, Mbak.’’

Mbak Tari mengangguk, kemudian ia menyandarkan kepalanya di pundakku. Mbak Tari benar-benar kelihatan lelah. Mbak Tari akhirnya tertidur dan kubiarkan dia terlelap dalam mimpinya yang mungkin indah.

Dalam diam aku merenung. Seandainya manusia tidak mengenal tempat seperti Big Apple, mungkin akan lebih baik. Tapi, bukankah orang harus belajar dari pengalaman?

Pikiranku terus berkecamuk dengan Big Apple. Ya, Allah. Maafkan dosa-dosa hamba-Mu ini. Semoga aku tak sampai menginjak tempat itu lagi, tempat manusia suka mengumbar hawa nafsunya demi kebahagiaan sesaat.

Aku sedang termenung berdoa, ketika suara HP-ku mengejutkanku. Mbak Tari pun terbangun. Ternyata teman-temanku dengan setia telah menunggu di Victoria Park. Ah, masih ada sisa waktu sedikit, pikirku.

Aku segera mengantarkan Mbak Tari naik bus. Setelah itu aku menemui teman-teman. Aku mereka damprat. Aku memakluminya karena aku memang salah, tak menepati janjiku. Aku tak menceritakan kepada siapa pun tentang kejadian yang menimpaku di Big Apple tadi.

Sepertinya hanya mimpi. Biarlah kenangan tentang Big Apple itu menjadi hanya milikku sendiri.


Hong Kong, 7 Juli 2005
--hsa sudah pulang dan menetap di tanah air indonesia

SURAT UNTUK KANG NARTO


--illustrasi: RIHAD HUMALA

Cerpen: Hartanti Darsono


Wanita, apakah memang dikodratkan sebagai kaum lemah ya? Penindasan hak asasi di mana-mana, menjadi korban kekerasan dalam rumah sudah biasa, menjadi korban poligami juga bukan hal yang mengejutkan lagi.

’’Lebih baik kamu yang bekerja ke Hong Kong, lagian gaji ke sana kan besar,’’ kang Narto membujuk istrinya yang enggan bekerja ke luar negri untuk jadi pembantu rumah tangga. Bukanya apa-apa pula, Narti memang tak ingin meninggalkan anak semata wayangnya yang masih berusia 2 tahun itu. Usia anak yang seharusnya dia jaga dengan segala kasih sayangnya. Sejak percakapan malam itu Narti mendiamkan suaminya, walaupun dia merasa bersalah juga berbuat seperti itu.

’’Kang, kamu ini ya aneh, masak istri sendiri disuruh kerja jadi pembantu rumah tangga. Apalagi di negri orang, sama saja kamu memisahkan dia dari anakmu ta?’’ Kang Parman yang adik kandung Kang Narto datang berkunjung sore itu ke rumah Narti.

’’Iya juga, tapi kan kamu tahu, saat ini hanya perempuan saja yang bisa lebih cepat mendapatkan pekerjaan daripada laki-lakinya?’’ Kang Narto masih tetap pada pendirianya.

’’Tapi Kang, kan memang kewajiban kita untuk menghidupi anak-istri, kenapa kita harus menyuruh istri kita bekerja berat?’’ Kang Parman yang berprofesi sebagai penjual bakso itu mengingatkan kakak kandungnya.

Waktu berlalu sejak percakapn kakak beradik di beranda rumah Narti, dan ternyata mungkin semua perkataan adiknya bisa membuka mata hatinya. Nyatanya malam itu ketika rembulan telah muncul bulat-bulat di langit, Kang Narto mendekati istrinya yang masih dengan sikap dinginya di tepian ranjang.

’’Dik, maafkan kakang ya, kalau pernah menyuruhmu pergi keluar negri, sebaiknya kita membuka usaha kecil-kecilan saja di kampung, tidak usah memikirkan yang aneh-aneh. Rezeki juga tidak akan ke mana kan? Kang Narto menatap wajah ayu istrinya dengan senyum. Narti pun membalas senyum suaminya, namun hanya Narti sendiri yang tahu tentang arti senyum itu.

’’Iya Kang, aku tahu kok,’’ akhirnya Kakang akan bicara seperti ini, maafkan Narti juga ya? Narti menyandarkan kepalanya di dada suaminya. Malam beranjak menuju pagi, dan entah apa yang membuat mata Kang Narto terlelap dalam tidur yang begitu pulas, setelah salat subuh dia kembali tertidur, dan tanpa dia sadari diam-diam Narti menulis sepucuk surat untuk suaminya.

Kagem suamiku Kang Narto
Kang, saya minta maaf jika harus mneinggalkan kakang dan anak kita. Mohon dijaga baik-baik buah hati kita, saya pergi, tidak perlu dicari, yakinlah suatu hari saya akan kembali untuk Kakang dan anak kita, Salam.


Hong Kong, Maret 2007
--Hartanti Darsono, kini sudah pulang dan menetap di Ponorogo

Pentingnya Pendidikan bagi BMI


Oleh Jaladara

Mawar dan Melati adalah dua ga¬dis desa yang sama-sama be¬ker¬ja di luar negeri. Kedua¬nya sa¬ma-sama tamatan SMP. Kemis¬kin¬an dan ketiadaan pekerjaan di negeri sendiri membuat mereka ne¬kad merantau ke tanah se¬be¬rang untuk bekerja, meskipun ha¬nya sebagai pembantu rumah tang-ga. Bekerja sebagai pem¬ban¬tu di luar negeri dirasa lebih ter¬hormat daripada menganggur dan menjadi beban keluarga. Sing¬kat cerita, setelah berta¬hun-tahun bekerja di luar negeri, ke¬duanya berhasil mengumpulkan banyak uang.


Secara rutin Mawar mengi¬rim¬kan uang hasil jerih payahnya pa¬da keluarganya dan seba¬gian di¬tabung untuk masa depannya sen¬diri. Setiap hari ia bekerja mem¬banting tulang mengumpul¬kan uang demi keluarga dan ma¬sa depannya. Ia bangga. Mes¬ki¬pun hanya lulusan SMP, ia bisa be¬kerja dengan menda¬patkan ga¬ji yang relatif lebih besar da¬ri¬pada gaji jika ia bekerja di dalam ne¬geri. Sedangkan Melati, di sam¬ping secara rutin ia mengi¬rimkan sebagian gajinya kepada ke¬luarganya, seba¬gian lagi ia gu¬nakan untuk melanjutkan pen¬didikannya lewat kursus dan pen¬didikan for¬mal (kejar paket C untuk mendapatkan ijazah setara SMA) yang ia lanjutkan dengan me¬ngikuti pendidikan diploma di sela waktu libur kerjanya. Ia tidak puas hanya memiliki ijazah SMP. Kesempatan bekerja di luar ne¬ge¬ri seka¬ligus ia gunakan untuk me¬nuntut ilmu lebih tinggi. Ia ti¬dak ingin selamanya menjadi pem¬bantu rumah tangga. Ia me¬na¬bung sebagian gajinya dalam bentuk tabungan ilmu.

Mari kita bayangkan bagai¬ma¬na masa depan Mawar dan Me¬la¬ti setelah sepuluh tahun be-kerja di luar negeri dan pulang ke kampung halamannya. Ke¬dua¬nya akan pulang dengan ke¬ber-hasilan mengumpulkan uang un¬tuk keluarga dan masa depan me¬reka, serta pengalaman hidup be-kerja di luar negeri. Namun, ada satu nilai lebih dimiliki Me¬la¬ti. Selain menabung dalam ben¬tuk uang, ia juga menabung da¬lam bentuk ilmu yang kelak akan sangat bermanfaat bagi ke¬hi-dupannya setelah tidak lagi be¬kerja sebagai pembantu di luar ne¬geri. Dengan pendidikan yang ia tekuni selama di perantauan, ia memiliki bekal yang cukup un¬tuk mendapat¬kan pekerjaan yang lebih baik daripada pe¬ker¬jaan sebelumnya. Kesempatan un¬tuk dapat bersaing dalam men¬dapatkan pekerjaan yang le¬bih baik, lebih besar daripada ke¬sem¬patan yang dimiliki oleh Mawar.

Kemiskinan dan ketiadaan la¬pangan pekerjaan di dalam ne¬ge¬ri sering menjadi pemicu utama se¬seorang memutuskan untuk be¬kerja di luar negeri. Selain itu, ke¬terbatasan serta rendahnya ting-kat pendidikan yang me¬nye¬babkan seseorang tidak mampu ber¬saing untuk mendapatkan pe-kerjaan yang ada, menjadikan se¬seorang lebih memilih untuk be¬kerja di luar negeri sebagai bu¬ruh migran dengan segala ri¬si¬ko¬nya. Ditambah lagi, adanya iming-iming baik dari seseorang yang pernah bekerja di luar ne¬ge¬ri dan pulang dengan se¬gu¬dang keberhasilan, maupun dari pi¬hak sponsor. Itu semakin mem¬be¬rikan semangat untuk me¬ning¬galkan kampung halaman de¬mi perbaikan ekonomi.

Buruh migran, terutama yang be¬¬kerja sebagai pembantu rumah tangga, sering diidentikkan de¬ngan pekerja tak berpendidi¬kan. Hal ini wajar, karena untuk be¬ker¬ja sebagai pembantu di luar ne¬geri tidak disyaratkan latar be¬la¬kang pendidikan formal yang ting¬gi. Syarat keahlian pun se¬olah dinomorduakan demi me¬menuhi tuntutan permintaan bu¬ruh migran yang sangat tinggi, ter¬utama di kawasan Asia Teng¬gara dan negara-negara Timur Te¬ngah.

Seperti data yang diperoleh da¬ri Kon¬sulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Hong Kong, jum¬lah buruh migran per Agustus 2009 di negara tersebut men¬ca¬pai 131.181 orang. Secara umum, un¬dang-undang kete¬na¬ga¬ker¬ja¬an di Hong Kong lebih ber¬sa¬ha¬bat kepada BMI daripada ne¬ga¬ra-negara lain, meskipun tidak bi¬sa dipungkiri bahwa pe¬lang¬gar¬an, peng¬aniayaan, dan kasus-ka¬sus ketidakadi¬lan lain masih ke¬rap terjadi. Kebijakan pe¬me¬rin¬tah Hong Kong yang mem¬be¬ri¬kan hak libur di akhir pekan serta tang¬gal-tanggal merah kepada se¬mua BMI, selayaknya di¬gu¬na¬kan dengan sebaik-baiknya. Wak¬tu luang ini akan lebih ber¬man¬faat jika digunakan oleh para bu¬ruh migran untuk menambah il¬mu dengan mengikuti kursus-kur¬sus atau pendidikan di lem¬ba¬ga-lembaga pendidikan yang ba¬nyak terdapat di Hongkong.

Memang, seperti kata Evelyn Un¬derhill, sesuatu yang belum di¬kerjakan, seringkali tampak mus¬tahil; kita baru yakin kalau ki¬ta telah berhasil melakukannya de¬ngan baik.

Di samping itu, tidak mudah un¬tuk meluang¬kan waktu dan juga uang untuk melakukan usaha ter¬sebut. Namun, jika kita memiliki ke¬inginan yang kuat untuk me¬nim¬ba ilmu seba¬gai bekal masa de¬pan yang lebih baik, niscaya ki¬ta akan bisa. Kita harus pandai-pan¬dai me¬ngatur anggaran peng¬ha¬silan dan pendapa¬tan dan men¬coba menyisihkannya untuk mem¬biayai pendidikan yang akan ki¬ta ambil. Anggaplah kita tengah me¬nabung sebagian penghasilan ki¬ta dalam bentuk pendidikan, yang suatu saat bisa kita nikmati hasilnya.

Bung Karno pernah berkata bahwa apabila di dalam diri seseorang masih ada rasa malu dan takut untuk berbuat suatu kebaikan (perubahan), maka jaminan bagi orang tersebut adalah tidak akan bertemunya ia dengan kemajuan selangkah pun.

Maka kita tidak perlu merasa malu atau takut untuk menempuh pendidikan hanya karena bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Justru latar belakang ini harus kita jadikan sebagai pemicu untuk terus belajar dan belajar untuk meningkatkan kualitas diri agar lebih baik lagi. Karena dengan mengupayakan pendidikan, di samping membekali diri dengan pengetahuan dan keterampilan lebih, juga akan mening¬katkan harkat dan martabat kita sebagai manusia yang berpendidikan.

Pengetahuan ini juga akan menye¬lamatkan kita dari perilaku dan tindakan ketidakadilan yang terjadi di kalangan buruh migran. Dengan semakin menge¬tahui hak dan kewajiban sebagai buruh migran seperti yang telah diatur oleh undang-undang pemerintah, jika suatu ketika terjadi ketidakadilan atau pelang¬garan atas hak-hak buruh migrant, kita memiliki pengetahuan dan mengerti bagaimana caranya menuntut hak yang semestinya kita terima dengan jalur dan prosedur yang benar.

Sudah seharusnya buruh migran mulai memotivasi diri untuk meningkatkan jenjang pendidikan lebih tinggi daripada pendidikan yang dibawa ketika mulai menginjakkan kaki di luar negeri. Dengan demikian, akan semakin terbuka pula kesempatan untuk memperluas pilihan hidup saat kembali ke tanah air, sehingga akan dengan mudah menentukan karier, pilihan jenis pekerjaan, ataupun kese¬jah¬teraan untuk masa depan. Seperti yang dikatakan oleh William Feather bahwa cara un¬tuk menjadi di depan adalah memulai seka¬rang. Jika memulai sekarang, tahun depan kita akan tahu banyak hal yang sekarang tidak diketahui, dan kita tak akan mengetahui masa depan jika kita me¬nunggu-nunggu.

Meski agak terlambat, saya mengucap¬kan selamat tahun baru Muharam 1431 Hi¬jriyah, selamat Natal dan tahun 2010. Se¬moga di tahun-tahun yang akan datang kita lebih semangat memperbaiki diri dan memanfaatkan kesempatan yang ada demi masa depan yang lebih baik. Maka teguh¬kan niat dan bulatkan tekad serta mulailah da¬ri sekarang. Cayou taeka! (*)

Berita Indonesia, Edisi 102, Februari 2010

Ospek Universitas Terbuka Hong Kong


Dari jauh tampak sekumpulan orang sedang berbaris dan bernyanyi riang gembira di tepi pantai. Mereka memakai jaket Alfamater berwarna kuning dan memakai topi yang terbuat dari koran bekas ,unik dan lucu-lucu. Mereka adalah calon mahasiswa Universitas Terbuka di Hong Kong (UT-HK) yang sedang mengikuti orientasi study dan pengenalan kampus (Ospek) di Victoria Park. Minggu 18 Desember 2011.

Menurut salah satu panitia penyelenggara , Emy dan Yani mengatakan Ospek ini bertemakan “Sukses Bersama GITC” . Acara ini bertujuan mempersatukan mahasiswa Universitas Terbuka untuk mencapai kesuksesan di bawah naungan Global Indonesia training Center (GITC). Acara dialog di mulai pukul 1 siang hingga 4 sore dan acara yang di pandu langsung oleh senior mahasiswa UT ini juga di meriahkan dengan beragam acara, seperti perkenalan dan permainan, katanya

Yang sangat menarik dari acara perkenalan calon mahasiswa UT tersebut yaitu ketika salah satu calon mahasiswa UT jurusan Komunikasi, Sri Lestari maju dan berkata bahwa ; Ia kuliah dan menekuni bidang komunikasi ini tujuannya untuk mengapai cita-citanya. Ia ingin menjadi pegawai sosial yang perduli lingkungan dan peduli masyarakat miskin yang ada di pelosok tanah air,katanya

Sri ingin menjadi humas atau trainer yang dapat memberikan penyuluhan tentang pentingnya pendidikan kepada masyarakat luas. Bagi kaum yang tidak mampu semoga mereka dapat terdorong untuk semakin maju ,tidak malas dan teruslah berusaha untuk meraih kesuksesan sehingga generasi muda penerus bangsa http://www.blogger.com/img/blank.gifhttp://www.blogger.com/img/blank.gifkita menjadi orang-orang yang maju dan berkembang dari segi kemampuan dan pemikirannya, paparnya

Dengan di bentuknya kelompok belajar,diharapkan kita semua semakin kompak dalam kebersamaan dan semoga nantinya kita bukan hanya memiliki titel saja tapi kita juga harus mempunyai kredibilitas, imbuh salah seorang panitia.*

Naskah dan Foto dari Blog Tati Tia Surati

KECEWA yang berbuah MANIS


Yany Wijaya Kusuma

Tadi pagi, begitu melek byar, aku melihat duit di samping kiriku di atas komputer. Rupanya nyonya, diam-diam meletakkan duit gajianku di atas komputer. Tidak hanya duit gajian tapi juga lengkap dengan kalender 2012. Begitu melihat warnanya, wowww.....
Kesukaanku, ijooooooo.....!


Wis, mataku langsung melek byar weruh duit, tambah ijo pisan weruh rupa ijo....ha ha...komplit..plit... Rasa amarah semalam, langsung menguap. he he.... (Mungkin Nyonya sedang menghiburku untuk menebus rasa bersalahnya.)

Keluar dari kamar, bukannya ke kamar mandi trus gosok gigi tapi melongok kamar momonganku. Dua-duanya masih tidur nyenyak. Aku mencari nyonya yang telah bangun lebih awal. Tak ku temukan dia, entah di mana. Aku longok setiap sudut kamar sampai dapur, tak ada juga. Jogging, mungkin saja, pikirku. Maka, aku pun ke kamar mandi. Begitu keluar, ku dapati nyonya kemluthik bikin kopi. Untuknya dan untukku juga. ehmmm....betapa baik hatinya nyonya ku ini, kataku dalam hati. (Dan ini salah satu alasan, kenapa aku mau menandatangani kontrak lagi dengannya 2 hari yang lalu.)

Sambil meringis, aku menyapa dia sebiasa mungkin dengan menekan rasa mangkel di dada," Cou san! Nyonya, yang di atas komputer itu duit buatku yah?"

"Iya. So mui....nih, kopimu cepet diminum!"

"He he he....tengkiyu untuk gaji dan kopinya ya nyah..." tersenyum, sambil lalu.

Tiga langkah meninggalkanku, nyonya balik lagi dan memelukku sambil berucap," Yani, maafkan aku ya, semalam memarahimu. Aku lagi stress banget sampai aku pun tak bisa tidur dengan tenang. Maka, pagi ini aku bangun lebih awal darimu. Kamu memaafkan aku kan?"

Aku mengangguk tanpa kata. Ya, sudahlah. Toh, nyonya juga sudah minta maaf. Dan itu yang aku suka dari nyonya, dia tak segan meminta maaf padaku atau pada siapa saja. Jujur saja aku kecewa dengan sikap nyonya semalam, malah boleh dibilang aku nggondok banget. Bagaimana tidak? nyonya tiba-tiba saja ngamuk tanpa sebab padaku dan terjadi di tengah malam. Tentu, aku pun ingin melampiaskan balik amarahku padanya. Karena aku juga manusia biasa yang punya emosi tapi aku tak mampu melakukannya. Dia terlalu baik untuk ku sakiti. Maka, aku pun melawan hatiku sendiri dan meluapkan amarah dalam tangis semalam. Selalu begitu. Huhhhh!!!

Pagi ini begitu beku karena suhu udara mencapai 8 derajat celcius, hingga kopi panas pun tak terasa. Segera ku reguk habis secangkir kopiku. Menengok jam, melesat ke kamar Sailo, membangunkannya. Beberapa menit kemudian, siap berangkat ke sekolah. Tak seperti biasa, nyonyaku nginthil mengantarkan sailo sampai gerbang sekolah. Mencium, memeluknya, membisikkan sesuatu," Sailo, mommy fan kung. Lei kwai la ha, deng cece hwa. Mo yai-yai. Cece hou sek lei a.Yu guo emhai, cece cau ka lah. Okey, bye-bye...see you tonight.

Sailo mengangguk lalu beralih memelukku seraya berkata," bye-bye cece...." kemudian berlari masuk.

Dalam perjalanan sekembalinya dari sekolah Sailo, aku dan nyonya diam tak banyak kata. Sampai di persimpangan jalan, sebelum say good bye, nyonya bertanya," Cece, lei mo ye le ma?"
Aku tersenyum sambil menggelengkan kepala.

"Take it easy, okey! see you tonight. Bye-bye...." Nyonya melambaikan tangan sambil berlalu pergi.
http://www.blogger.com/img/blank.gif
Aku terpaku memandangi nyonya di ujung jalan sampai dia menghilang. Dalam hati aku bersyukur, betapa beruntungnya aku memiliki majikan yang baik hati. Sedangkan banyak teman BMI yang terlunta-lunta karena memiliki majikan yang jahat. Berdoa yang terbaik untuk kawan-kawanku semua. Semoga selalu sabar dan tawakal. Dulu aku juga pernah tertindas tapi percayalah di balik kekecewaan pasti ada moment manis suatu hari nanti. Tetap semangat!

Aku berjalan pulang, ngopi lagi sambil pesbukan sebentar. Ya, wis saiki ngepel sik ya........

Dari blog: Yany Wijaya Kusuma