Wajah G-20, Bismarkian Lawan Libertarian

Oleh Achmad Tohari *

PERTEMUAN G-20 yang diselenggarakan 1-2 April 2009 sempat terancam gagal sebelum dimulai. Sejumlah pemimpin negara Eropa yang dimotori Prancis mengancam akan ''memboikot" pertemuan tersebut (JP/2/4).


Bayangan terhadap kegagalan pertemuan kali ini dilandasi oleh terdapatnya dua kelompok yang memiliki perbedaan pandangan. Kelompok pertama adalah beberapa negara Eropa yang dimotori Prancis dengan dukungan Jerman.

Mereka menganggap poin-poin konsensus terlalu dipaksakan dan kurang solutif mengatasi permasalahan krisis ekonomi global saat ini. Namun, kelompok lain yang dimotori Amerika meyakini hanya dengan poin tersebut dampak krisis global dapat diatasi.

Poin konsensus yang menyebabkan ketidaksepahaman antarkelompok adalah terkait kebijakan stimulus fiskal. Amerika yang didukung Jepang dan beberapa negara lain menghendaki negara-negara Eropa lebih agresif lagi dalam meberikan jumlah stimulus ekonomi.

Namun, negara-negara Eropa sepertinya sulit memenuhi tuntutan tersebut. Negara Eropa menganggap bahwa stimulus yang telah diberikan sudah cukup besar. Mereka mengganggap bahwa solusi untuk mengatasi krisis kali ini seharusnya dilakukan dengan memperkuat perundangan yang mengatur tentang transaksi keuangan.

Selain itu, negara Eropa juga meminta G-20 memberikan sanksi keras kepada negara yang selama ini memberikan keleluasaan terhadap para pengemplang pajak, safe heaven. Dan, tampaknya, perbedaan pandangan tersebut akan sulit dicairkan karena terkait dengan konsep ekonomi yang dianut masing-masing negara.

Persaingan Klasik

Persaingan untuk menunjukkan eksistensi dalam mencapai tujuan pembangunan ekonomi telah terjadi sejak lama antara kedua konsep tersebut. Beberapa negara Eropa telah mengaplikasikan konsep yang diperkenalkan oleh Otto van Bismark atau lebih dikenal dengan Welfare State. Sedangkan sebagai pesaingnya adalah penganut konsep Libertarian yang dimotori oleh Amerika.

Dalam konsep Welfare State yang dipelopori Jerman dan beberapa negara Eropa lain, negara secara penuh bertanggung jawab atas kesejahteraan semua warga negara. Secara kasat mata, negara yang menganut konsep ini banyak memberikan keuntungan sosial terhadap masyarakatnya.

Keuntungan tersebut dapat berupa pemberian asuransi yang bersifat universal, jaminan kerja dan subsidi pengangguran, pendidikan gratis, dan kebijakan sosial yang bersifat redistributif. Implikasi konsep ini memberikan kesan bahwa negara sangat mencampuri urusan masing-masing individu dalam mencapai ''kesejahteraannya" dan sering negara menghadapi tekanan anggaran fiskal yang besar.

Sementara pada kutub yang berbeda, Libertarian yang dimotori Amerika beranggapan bahwa peran negara dalam perekonomian harus dibatasi dan hanya dibutuhkan dalam kondisi tertentu seperti saat krisis kali ini. Sehingga dalam pandangan konsep ini, kebebasan individu sangat diagungkan akan mampu membawa kondisi perekonomian menuju kejayaan.

Menghilangkan Ego-Kenegaraan

Perbedaan konsep itulah, tampaknya, yang menjadi awal ''kekisruhan" pertemuan G-20 kali ini. Para penganut Bismarkian beranggapan bahwa upaya peningkatan jumlah stimulus bukan merupakan solusi krisis.

Penerapan kebijakan stimulus yang berlebihan justru akan menyebabkan defisit anggaran semakin besar dan mengganggu perekonomian mereka. Padahal, tanpa pemberian stimulus pun, Jerman dan Prancis sudah menghadapi tekanan fiskal yang akut akibat pemberian keuntungan sosial kepada warganya.

Justru penganut Bismarkian menilai upaya reformasi yang membatasi upaya masing-masing individu dan pelaku bisnis adalah obat mujarab bagi krisis. Sebab, upaya memaksimumkan keuntungan pribadi dengan melanggar rambu-rambu yang ada merupakan sumber utama krisis global kali ini.

Sementara itu, negara penganut Libertarian menganggap bahwa pemerintah tidak seharusnya memasuki area yang bersifat individu dalam urusan ekonomi. Mereka meyakini bahwa peningkatan peran pemerintah melalui stimulus yang masif pada saat krisis akan menjadi obat manjur untuk membawa perekonomian keluar dari krisis.

Dengan adanya perbedaan fundamental pada cara pandang tersebut, rasanya, akan sulit mencapai konsensus konkret sebagai upaya mengatasi krisis ekonomi global. Karena itu, diperlukan suatu langkah arif dan bijak pada semua pemimpin negara G-20 yang terlibat.

Kita semua berharap pertemuan G-20 kali ini bukan hanya berjalan sebagai seremonial tanpa hasil konkret seperti yang dikhawatirkan Prancis. Tetapi, menempatkan forum itu sebagai suatu solusi untuk meredam dampak krisis global yang sedang menghantui sebagian besar penduduk dunia.

*. Achmad Tohari , pemerhati masalah ekonomi dan alumnus Utrecht School of Economics, The Netherlands

Jawa Pos [ Sabtu, 04 April 2009 ]

0 tanggapan: