Oleh : Santi
LANTAI 6 sebuah gedung di ruas Wellington Street Hong Kong, pertengahan Maret lalu, tampak sibuk. Dua orang duduk sebagai penerima tamu.
Di dalam ruangan, puluhan lelaki dan perempuan duduk dan berdiri mengobrol dengan mengepit buku di lengan kiri dan memegang gelas wine di tangan. Hampir semuanya berwajah bule. Ada beberapa yang bermata sipit dan ada pula satu-dua orang berkulit hitam dan berambut kriwil.
Hanya satu perempuan berkulit sawo matang yang saya temukan di situ. Agak canggung berbaur dengan tamu lain di tempat bernama Kee Club itu.
Namanya Tarini Soritta. Umurnya 30-an. Di kalangan buruh migran Indonesia yang ada di Hong Kong, namanya tak asing. Ia dikenal sebagai cerpenis, juga penyair dan penulis puisi. Beberapa cerpen-nya telah dibukukan dalam “Penari Naga Kecil” dan sejumlah antologi. Sementara sejumlah puisinya juga telah terbit dalam antologi bersama dengan penyair lain di kalangan BMI.
Namun baru kali ini, karyanya masuk dalam jurnal terbitan Hong Kong yang merangkum karya-karya penulis perempuan yang tinggal di Hong Kong.
Diberi judul “Mrs.Employer”, cerpen Tarini yang masuk diterbitkan dalam jurnal tersebut berkisah tentang buruh migran Indonesia yang ribut dengan majikannya gara-gara uang belanja.
Menurut Tarini, versi Indonesia dari cerpen ini, berjudul “Nyonya Majikan”, telah diterbitkan dalam kumpulan cerpennya “Penari Naga Kecil.”
Ia berkisah, salah seorang member dari Kee Club-nya yang memberitahunya soal komunitas Women in Publishing Society Hong Kong (WiPS) yang menerbitkan jurnal bernama Imprint tersebut.
Menurut Carol Dyer, editor jurnal tersebut, Tarini adalah satu-satunya perempuan penulis asal Indonesia dan satu-satunya penulis dengan latar buruh migran yang pernah muncul di jurnal Imprint.
“Tahun lalu, kami menerbitkan karya penulis Filipina, tapi dia bukan pekerja rumah tangga,” ujar Carol saat ditemui SUARA di sela acara peluncuran jurnal Imprint 2009.
Shiho Sawai, peneliti Jepang yang tengah melakukan penelitian soal aktivis BMI penulis di Hong Kong, mengatakan bahwa masuknya cerpen Tarini dalam jurnal ini merupakan hal bagus karena setidaknya karya BMI bisa dibaca oleh komunitas Hong Kong.
Sebelumnya, karya seorang penulis BMI lainnya, Etik Juwita, juga telah diterjemahkan dalam bahasa Inggris dan dipublikasikan dalam jurnal Word Without Borders, bersama dengan sejumlah cerpenis perempuan asal Indonesia, antara lain Dorothea Rosa Herliany (pemenang Khatulistiwa Literary Award 2005-2006), Abidah El Khalieqy (penulis novel Perempuan Berkalung Sorban), Oka Rusmini (penulis novel Tarian Bumi), dan Cok Sawitri (penulis novel Janda dari Jirah).
Cerpen Etik berjudul “Bukan Yem” yang masuk dalam jurnal tersebut sebelumnya sudah diterbitkan oleh Gramedia dalam antologi 20 cerpen terbaik versi Pena Kencana Award. Bersama Etik, sejumlah cerpen lain yang diterbitkan dalam antologi ini antara lain cerpen karya Seno Gumira Ajidarma, Triyanto Triwikromo, Puthut EA, dan Ratih Kumala.
Baik Etik maupun Tarini menunjukkan bahwa penulis BMI bukan sekadar jago kandang. Kepiawaian mereka merangkai kata diakui bukan hanya di komunitas buruh migran, tapi juga kalangan yang lebih luas. Bukan hanya nasional, tapi juga internasional.
Kebetulan juga, baik “Mrs.Employer” maupun “Bukan Yem” membawa gambaran jelas tentang kondisi buruh migran Indonesia. Ini membuat banyak kalangan berharap sastra yang ditulis komunitas buruh migran bisa menjadi suara dan membawa pesan kuat kepada khalayak yang lebih luas tentang nasib para pekerja migran itu sendiri.[]
koran SUARA
One Billion Raising
-
Minggu, 17 Februari 2019
Setiap 14 Februari banyak muda-mudi merayakan Valentine di penjuru dunia.
Di hari yang sama pula segenap elemen masyarakat turun k...
0 tanggapan:
Posting Komentar