G-20, Sovereign Wealth Fund dan Kapitalisme Baru

Oleh Herry Juliartono *

PERTEMUAN pemimpin 20 negara, penguasa 85 persen perekonomian dunia, di London minggu ini sangat krusial bagi masa depan pranata sosial ekonomi dunia baru. Intensitas resesi yang melanda sekarang ini bakal menjadi katalis dominan arah dan substansi materi pertemuan kali ini.


Dalam pertemuan ini, pemimpin G-20 akan dihadapkan kepada sejumlah permasalahan mendasar yang membutuhkan pemikiran dan keputusan bernas. Perbedaan cara pandang AS dan Eropa terhadap penyelesaian krisis ekonomi ini, reformasi IMF, dan Bank Dunia dengan memberikan peran lebih besar kepada sejumlah negara kaya Asia dan masih layakkah pranata kapitalisme ini dipertahankan merupakan tiga materi utama yang bakal mendominasi diskusi.

Pada dasarnya, semua pihak sepakat harus segera menemukan jalan penyelesaian tercepat, terpendek, dan paling murah dari belitan resesi ini. Tetapi, ironisnya, ketika sampai pada tahap aksi dan koordinasi tindakan, para pemimpin itu jugalah yang justru memperlihatkan betapa tidak mudahnya memadukan kepentingan.

AS yang menjadi episentrum sumber prahara resesi saat ini masih percaya dengan resep model Keynessian. Yakni, pemerintah bertindak aktif menggerakkan ekonomi ketika masyarakat (pribadi dan perusahaan) tidak berdaya. Dalam model itu, stimulus dan kebijakan moneter selalu menjadi andalan dengan asumsi utama mempertahankan aktivitas perekonomian dan secara bertahap mengembalikan kepercayaan pelaku ekonomi.

Presiden AS Barack Obama tidak sendiri dalam gerbong ini. Sejumlah pemimpin mendukung, bahkan menerapkan resep yang sama, meskipun dengan sejumlah improvisasi dalam pelaksanaannya. Inggris, Australia, Tiongkok, dan Indonesia merupakan sebagian negara yang ikut gerbong itu -Inggris dan Australia bahkan siap menjadi pelobi model AS tersebut.

Sementara negara-negera Eropa daratan lebih memilih perlunya regulasi yang lebih ketat dan jelas atas fungsi dan mekanisme sistem keuangan dunia. Mereka yakin, krisis sekarang bersumber dari kelemahan faktor itu yang membuat labirin Wall St semakin menggurita tidak terkendali.

Argumen tersebut didasarkan pada fakta bahwa pemicu utama resesi ini adalah tindakan berlebihan yang tidak terkontrol dari hedge fund dalam transaksi derivatif, yang pada akhirnya tidak hanya berdampak pada kepercayaan pelaku pasar dan bisnis, melainkan juga berimplikasi kepada ekonomi riil.

Sovereign Wealth Fund

Krisis ekonomi dunia kali ini juga membuka pintu terhadap fakta yang selama ini diterima sebagai tatanan wajar bahwa negara-negara Barat sangat kaya dan selalu menjadi sumber dana dunia.

Persepsi demikian itu diperkuat dengan konstelasi sistem representasi yang masih berlaku hingga sekarang ini dalam dua lembaga utama keuangan, IMF dan Bank Dunia. AS dan G-7 yang defisit sangat mendominasi hak voting, sementara negara-negara kaya tidak terwakili secara proporsional ( Tiongkok 1,5% suara dan India hanya 0,5% suara).

Padahal, dua negara terkaya dengan cadangan devisa riil terbesar sekarang ini adalah Abu Dhabi dan Tiongkok. Bahkan, cadangan devisa Abu Dhabi dan 6 negara lain dalam Uni Emirat Arab hampir dua kali lipat Tiongkok. Belum lagi negara-negara kaya minyak seperti Arab Saudi, Kuwait, dan Brunei.

Dunia baru tersadar akan besarnya kekuatan ekonomi negara-negara Asia kaya baru itu setelah mereka belanja aset murah dalam jumlah luar biasa. Abu Dhabi lebih mengonsentrasikan investasinya pada sektor keuangan dan investasi dengan membeli saham sejumlah bank dan asuransi di AS dan Eropa. Akhir tahun kemarin Abu Dhabi merupakan pemegang saham terbesar (23,5%) bank terbesar di Eropa Barclay Bank.

Sedangkan Tiongkok menggunakan dananya untuk mengamankan pasokan bahan baku dan energi untuk industri mereka. Tiongkok menyiapkan miliaran dolar untuk membeli saham perusahaan tambang di Australia, termasuk 19% saham perusahaan terbesar ketiga di dunia Rio Tinto. Tiongkok juga mengamankan cadangan energi dengan investasi di Rusia, Balkan, dan Brazil hampir USD 200 miliar.

Yang membuat terbelalak Wall St dan pasar keuangan dunia adalah fakta ternyata Tiongkok -yang kebingungan memarkir uangnya- merupakan lembaga tunggal pemegang Treasury Bill terbesar.

Fakta-fakta itulah yang mendasari perlunya reformasi di IMF dan Bank Dunia karena negara-negara itu tidak bakal mau meminjamkan uangnya kalau tidak bisa ikut mengendalikan keputusan atas penggunaan dananya.

Matinya Pasar Bebas?


Besarnya momentum krisis ekonomi kali ini memang sangat luar biasa sehingga hampir tidak ada negara yang bakal selamat dari terpaannya. Ibarat tsunami, momentumnya bergerak melebar dari episentrum di AS ke seluruh dunia secara beruntun dan terkait satu sama lain.

Hal itu tidak bisa dihindari karena efek globalisasi dan saling keterkaitan dalam pasar bebas bahwa barang, jasa, dan dana mengalir mudah tanpa hambatan geografis batas-batas negara yang konvensional. Implikasinya ketika AS sebagai pasar terbesar dunia terkena resesi aliran pasar bebas menjadi tersendat, bahkan dalam beberapa sektor berhenti mendadak.

Kondisi itulah yang memicu kembalinya pemikiran nasionalisme ekonomi. Bahkan, ide itu kian mengkristal menjadi wacana utama di Eropa bahwa para demonstran menuntut agar unsur ekonomi yang berbau luar negeri ditempatkan dalam prioritas terakhir. Bukan hanya produk asing, pekerja imigran juga ditentang.

Sejarah membuktikan, krisis ekonomi selalu membawa serta perdebatan tentang pranata sosial ekonomi. Ketika Depresi 1930-an, pranata kapitalisme juga dipertanyakan sehingga lahirlah The FED untuk mengatur pasar uang dan SEC untuk pasar modal AS. Untuk meredam kemarahan rakyat atas keserakahan kapitalisme, negara-negara maju juga mulai menerapkan cikal bakal welfare state.

Sejarah terulang lagi kali ini. Hanya, para kapitalis yang menjadi sasaran bukan lagi kaum borjuis individual dalam konotasi Marx, tetapi lebih impersonal dalam bentuk lembaga keuangan/investasi.

Tetapi, pola dasar pertentangannya tidak berubah di mana kaum proletar (karyawan yang kehilangan pekerjaan) marah terhadap borjuis (eksekutif yang serakah). Bahkan, dalam kasus AIG, Obama sangat Marxian dan ikut mengutuki eksekutif yang mengantongi bonus, meskipun perusahaannya harus ditalangi dana dari pajak rakyat agar tidak bangkrut.

Meminjam teori Marx, tarik ulur kepentingan memang tidak bisa dihindari. Setiap tesa pasti akan memancing antitesa sebelum sintesa baru akhirnya muncul dan menjadi pranata sosial ekonomi yang disepakati sebagai norma bersama. Bagaimana bentuknya, itulah yang menjadi tugas para pemimpin di London minggu ini.

*. Herry Juliartono , alumnus Universitas Airlangga, pelaku bisnis, tinggal di Perth

Jawa Pos [Kamis, 02 April 2009]

0 tanggapan: