Sastrawan Budi Darma: Ganti Presiden, Dunia Seni Tak Banyak Maju

Sastrawan Prof Dr Budi Darma menilai, selama setahun pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla dunia seni di Indonesia tidak banyak maju dari kondisi di akhir masa pemerintahan Soeharto. "Tapi saya tegaskan dulu, dalam kondisi seperti ini, siapapun presidennya akan tetap mengalami kesulitan dalam berbagai bidang," kata pria kelahiran Rembang, Jawa Tengah, 25 April 1937 itu kepada Antara di Surabaya, Sabtu (15/10).

Dikatakan pula oleh Budi, dalam banyak hal sebetulnya Presiden Susilo sudah berlari cepat, tapi para menteri justru berjalan lambat. Dinilai oleh Budi, para menteri tidak mampu menerjemahkan kebijakan Presiden Susilo.

"Jadi, penilaian saya sama seperti yang diungkapkan oleh orang-orang bahwa menteri-menteri jalan sendiri-sendiri dan kurang koordinasi. Itu kondisi secara umum," ujar Guru Besar Universitas Negeri Surabaya (Unesa), yang dulu bernama IKIP Surabaya, itu.
Ia kemudian mengingatkan bahwa pada 31 Desember 1997 Soeharto, yang ketika itu didampingi oleh Menteri Pariwisata Joop Ave serta Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Wardiman Djojonegoro, berpidato mengenai krisis ekonomi yang sangat parah.
"Pak Harto saat itu berkata bahwa dalam kondisi seperti itu kesenian agar dijadikan komoditi atau dijual. Maka kesenian digabung dengan pariwisata sehingga menterinya menjadi Menteri Budaya dan Pariwisata," tutur penulis novel-novel Olenka dan Orang-orang Bloomington tersebut.

Kemudian, lanjutnya, pada masa pemerintahan BJ Habibie, KH Abdurrahman Wahid, Megawati, dan Susilo, kementerian itu tetap ada, namun dunia seni di Indonesia tidak berubah jika dirujuk ke kondisi di era Soeharto.
"Kalau dilihat dari kaca mata pemimpin kita, kesenian tidak dianggap sebagai sesuatu yang penting. Kesenian malah akan dijual untuk mengimbangi kondisi devisit negara," ujarnya. Padahal, tambahnya, di negara manapun, kesenian merupakan pos yang merugi.
Di Singapura, cerita Budi, pada 2002 dibangun sebuah gedung kesenian di dekat pantai, yang dalam bahasa Melayu disebut Gedung Durian. Karena penduduk di negara tersebut sedikit, pemerintah Singapura sering mengundang para seniman dari luar negeri.

"Pemerintah Singapura waktu itu banyak mengeluarkan uang untuk bisa menggelar kesenian dari luar negeri. Jadi, negara memang harus mengeluarkan banyak uang untuk kesenian. Namun, untuk kerangka individu, seniman tetap harus profesional, yakni dibayar," tutur Budi, yang pada 2002 mengajar di National Institute of Education, Nanyang Technological University, Singapura, di Jurusan Bahasa dan Kebudayaan Asia.
Untuk Indonesia, imbuhnya, karena krisis ekonominya belum usai, diperlukan kebijakan dari Pemerintah untuk memberi keringanan pajak bagi perusahaan-perusahaan yang telah membantu dunia kesenian.

"Harus ada UU kesenian yang di dalamnya mengatur masalah itu. Jadi, perusahaan diminta untuk membantu kegiatan kesenian, kemudian pajak perusahaan itu diringankan," usul sastrawan yang baru menerbitkan kumpulan cerpen berjudul Vovo dan Senggring tersebut. [ant/kompas/ Sabtu, 15 Oktober 2005, 11:51 WIB]

0 tanggapan: