Negara Bodoh, Rakyat Pintar

Oleh Jakob Sumardjo

Semakin tinggi pendidikan modern kita, semakin bodoh pengetahuan kita tentang Indonesia. Sistem pengetahuan ”bodoh” Indonesia ternyata kearifan lokal tertinggi bangsa ini. Praktik pembabatan hutan di Sumatera, Kalimantan, dan Papua adalah kebodohan pemerintah dalam memamerkan pengetahuan modernnya yang setengah-setengah. Hutan itu kebudayaan yang tidak dikenal manusia modern. Bangsa ini sebagian besar telah hidup dengan hutan dan dalam hutan selama ribuan tahun. Dan, permata Khatulistiwa ini tetap subur, kaya raya memakmurkan penghuninya.


Siapa yang bodoh?
Dalam waktu kurang dari satu abad, muncul homo-homo sok modern Indonesia yang menghancurkan hutan dan kebudayaannya. Infrastruktur bangsa Indonesia dari hutan, perkebunan, pertanian, dihancurkan sendiri oleh manusia-manusia modern Indonesia. Mereka menilai, bangsa Indonesia yang berkebudayaan ”primitif” dalam pertanian, perkebunan, dan kehutanan perlu dimodernkan dengan cara bodoh mereka.

Siapa yang sebenarnya bodoh? Siapa yang sebenarnya berpikiran maju? Siapa yang sebenarnya berpikir kontekstual? Orang modern kota atau penduduk pedesaan dan kehutanan di Indonesia? Siapa yang sebenarnya merusak Indonesia, rakyat atau pemerintahannya?

Jika pemerintahan Indonesia modern ini tak pernah ada, apakah kemakmuran dan kekayaan bumi Indonesia akan bertambah kaya atau ambruk?

Kenyataannya, sebelum kolonial Belanda datang, berbagai bangsa di dunia mendatangi bumi Khatulistiwa ini untuk membeli hasil hutan dan pertanian. Pada zaman kolonial, kekayaan Indonesia masih memberi kemakmuran berlimpah bagi Belanda, justru dari hasil pertanian, perkebunan, kehutanan, dan produk baru pertambangan.

Setelah Republik Indonesia berdiri, mengapa kekayaan dan kemakmuran hilang? Negara miskin, rakyat kian miskin! Telah lahir pesulap-pesulap hebat kaliber David Copperfield yang melenyapkan kekayaan-kesuburan-kemakmuran berabad-abad dalam waktu puluhan tahun.

Siapa yang sebenarnya bodoh? Rakyat atau pemerintah?
Kita yang berpendidikan modern perkotaan mengaku mengetahui dan memahami apa itu kemodernan dan menganggap penduduk desa dan penduduk hutan sebagai manusia primitif yang bodoh. Sebenarnya orang modern tak tahu apa-apa tentang kebudayaan hutan dan kebudayaan pertanian. Pengetahuan mereka dicomot dari kebudayaan pertanian dan kebudayaan hutan bangsa lain yang ditulis kaum modernis asing pula.

Jika hutan dan pertanian tetap subur makmur saat kita merdeka, sebenarnya menunjukkan adanya konsep pertanian, perkebunan, dan kehutanan luar biasa yang dimiliki penduduk desa dan penduduk hutan yang ”bodoh-bodoh” itu! Mereka telah ribuan tahun hidup dalam dan dengan hutan, tanpa ada berita kebakaran hutan yang beratus kali terjadi seusai kemerdekaan.

Budaya hutan

Yang mampu mendayagunakan hutan secara efektif dan efisien pada zaman paling mutakhir ini adalah penduduk hutan sendiri yang telah ribuan tahun mengikuti tradisi budaya hutan mereka dari nenek moyangnya. Orang modern Indonesia hanya tahu, hutan menghasilkan kayu buat industri. Padahal, budaya hutan menghasilkan pertanian padi, palawija, perkebunan, hasil hutan seperti rotan, perca, madu, kampar, dan lainnya. Itu sebabnya jika hutan digunduli, kebudayaan hutan hancur tak bermakna. Hidup tak mungkin lagi.

Kebakaran hutan akibat sistem ladang berpindah? Itu buah pikiran bodoh orang modern yang buta huruf kebudayaan bangsa sendiri. Mereka harus membaca literatur antropologi, sosiologi, etnologi, dan ekologi masyarakat hutan di Indonesia. Atau mereka disuruh masuk hutan dulu biar tahu bagaimana cara hidup masyarakat hutan.

Hutan bagi masyarakat hutan bukan tanpa peta. Mereka hafal batang-batang kayu dan tabiatnya, hafal batas-batas alamnya, hafal mana hutan larangan yang dibiarkan tumbuh alami, mana hutan perladangan, mana hutan perkebunan, mana hutan pekarangan rumah. Hutan yang rimba raya bagi orang kota adalah liku-liku gang perkampungan kalau di kota. Penduduk hutan tahu ”jalan besar” untuk pulang di tengah lebatnya hutan. Hutan itu rumah dan kampung halaman mereka. Justru kita orang modern kota harus banyak berguru ilmu kepada mereka.

Siapa pula yang lebih tahu bahasa tanah daripada petani-petani desa? Dengan penciuman mereka tahu mana tanah yang subur, sakit, tak produktif, seperti kita segera tahu siapa yang berjabatan tinggi di kantor dan siapa yang pegawai rendahan.

Jadi, rakyat yang kurang pendidikan modern inikah yang lebih bodoh dari mereka yang duduk di perguruan tinggi dengan tumpukan buku-buku berbahasa asing? Atau kita yang modern di kota-kota ini justru harus belajar kembali kearifan-kearifan lokal yang selama ini disingkirkan sebagai primitif dan ketinggalan zaman?

Kita ini bodoh tentang tanah air, berbangsa, berbahasa, bersistem kepercayaan, dan beradat lembaga lokal-lokal kita yang amat bermacam ragam ini.

Kita maunya menyapu bersih ”kebodohan-kebodohan” ini dengan cara kita sendiri yang bodoh pula.

Jakob Sumardjo Esais

Kompas Sabtu, 18 April 2009 | 03:25 WIB

0 tanggapan: