Buaya-Godzilla Memangsa KPK

Oleh: Rohman Budijanto

DI antara anak kandung reformasi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) termasuk yang paling membanggakan. Berkat kinerjanya, citranya mengagumkan. Posisinya sebagai pemberi harapan pada rakyat melebihi citra anak kandung reformasi lain, seperti Mahkamah Konstitusi, Dewan Perwakilan Daerah, Komisi Yudisial, Komisi Kejaksaan, Komisi Kepolisian, apalagi parpol yang kini boleh berjumlah banyak itu.


Tidak mengherankan, kini banyak orang, termasuk rakyat kebanyakan, marah atas perlakuan polisi (yang mengaku buaya) kepada lembaga penyapu koruptor itu. Apalagi kejaksaan, yang terkesan bergairah saat KPK dikuyo-kuyo seperti sekarang ini, juga akan menjadi Godzilla bagi KPK. Godzilla, reptil raksasa rekaan sineas ini, dikenal oleh anak-anak kita karena perilakunya yang suka merusak, baik lewat terjangan maupun semburan apinya.

Orang KPK memang tidak boleh kebal hukum. KPK juga pernah mengusut dan menuntut penyidiknya sendiri yang menyimpang. Tapi, kita melihat sangkaan kepada dua pimpinan KPK, Bibit Samad Riyanto dan Chandra M. Hamzah, sangat terkesan dicari-cari. Ketika polisi dan jaksa gagal menangkap Djoko S. Tjandra alias Joker dan Anggoro Widjaja, malah KPK yang dipenjahatkan (dikriminalkan) dengan dipersoalkan kewenangannya mencekal. Alangkah berbahagianya dua koruptor itu sekarang.

Kasus pemenjahatan dua pimpinan KPK itu jelas ditanggapi berbeda dengan saat penangkapan Antasari Azhar, ketua KPK yang kini nonaktif itu. Antasari kejeblos kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen diduga karena ulahnya sendiri. Karena itu, ketika dia ditangkap, nyaris tidak terdengar pembelaan publik kepada dia. Yang muncul adalah seruan nyaring: Selamatkan KPK!

Kualitas manusia Antasari ternyata makin tidak berharga ketika dia mengeluarkan "testimoni" yang akhirnya memenjahatkan dua pimpinan KPK lain. Apa untung bagi Antasari dengan membuat kerepotan bagi lembaga yang pernah dipimpinnya ini? Jelas tidak ada. Toh, dia tetap akan diadili karena kasus pembunuhan. Terkesan dia hanya ingin rusak-rusakan.

Mengherankannya, kepolisian dengan senang hati memakan umpan Antasari itu. Berbagai kritik, bahwa mempersoalkan kewenangan semestinya tidak lewat prosedur kriminal, tidak digubris. Kejaksaan juga antusias mendampingi penyidikan itu. Kepolisian dan kejaksaan memang bisa saja menutup telinga terhadap kritik masyarakat karena lembaga ini memang tidak bisa dibubarkan, betapapun jengkelnya kita.

KPK beda. Kalau ada orang-orang yang berkuasa tidak suka terhadap sepak tendang KPK, bisa saja lembaga ini tamat. Kini gejalanya sudah sangat kasat mata. Selain kepungan kejaksaan dan kepolisian, Panja RUU Tipikor juga berencana menyunat kewenangan KPK menuntut dan menyadap serta menyerahkan komposisi hakim tipikor ke ketua pengadilan negeri.

Ini perjuangan ingat melawan lupa. Seakan-akan sudah dilupakan bahwa KPK dimunculkan karena buruknya integritas penuntutan dan integritas peradilan umum kita.

[]

Ke mana SBY ketika cicak mengagumkan akan dimangsa oleh buaya dan Godzilla? Presiden sudah menyatakan tidak akan mencampuri urusan itu. Seakan-akan logika tersebut benar. Tapi, bukankah ketika terjadi polemik tentang pemberantasan korupsi, SBY mengumpulkan ketua KPK, ketua MA, ketua MK, ketua BPK, Kejagung, Kapolri, dan ketua BPKP pada 13 Juli lalu? Atau penangkapan besannya yang mengubah mood pemberantasan korupsi itu? Apakah presiden sudah lebih "rileks" setelah menang pemilu? Ingatlah, pesona SBY saat kampanye lalu diperkuat janji melanjutkan pemberantasan korupsi.

Alangkah ironis, ketika Presiden SBY buka puasa pada Selasa (15 September) bersama pembesar lain di Mabes Polri, di gedung di dekatnya, gedung Bareskrim, dua pimpinan KPK tengah diperiksa dan menunggu penetapan status tersangka oleh Polri. Padahal, pimpinan KPK termasuk undangan VIP dalam buka puasa itu.

Rasanya, layak mempertanyakan reformasi kepolisian generasi sekarang. Banyak yang masih ingat, ketika Sutanto menjadi Kapolri, refleks untuk membenahi diri begitu kuat. Dalam kasus suap pengusutan korupsi BNI, Kabareskrim Komjen Suyitno Landung diusut, diadili, dan divonis 1,5 tahun penjara. Anak buahnya, Brigjen Samuel Ismoko, divonis 20 bulan. Para penyidik yang terlibat juga diberi hukuman disiplin.

Padahal, pengusutan kasus korupsi BNI Rp 1,3 triliun yang dilakukan Landung dkk menghasilkan vonis seumur hidup bagi terdakwanya, Adrian Waworuntu. Belum pernah ada vonis setinggi ini dalam pengadilan kasus korupsi.

Bandingkan dengan kasus Bank Century. Ketika pemerintah sangat direpotkan oleh Bank Century dengan bail out Rp 6,7 triliun, terdakwa penggarong bank itu, Robert Tantular, hanya divonis 4 tahun penjara. Bahkan, terdakwa lain, Lila Gondokusumo, hanya dituntut 3,5 tahun penjara!

Yang juga kentara berbeda: refleks Polri. Di zaman Sutanto, ketika ada indikasi suap dalam penanganan kasus BNI, Sutanto menindak siapa pun yang terlibat. Tak peduli jenderal bintang tiga dan bintang satu di Polri. Kini, ketika kasus Bank Century menyerempet Kabareskrim Susno Duadji, refleks Polri tidak sesigap dulu dalam membersihkan diri. Padahal, mestinya diusut dugaan "ada apa-apa" dalam upaya pencairan uang orang kaya Budi Sampoerna di Bank Century.

Kalau memang ada lembaga (diduga KPK) -seperti yang disindirkan Susno Duadji- menyadap dirinya, mestinya Kapolri malah mengajak kerja sama untuk mencari kebenaran atas kecurigaan itu. Tidak justru membiarkan Susno menganggap dirinya "buaya" yang melawan cicak. Pembuayaan itu jelas merugikan citra Polri. Sebab, mohon diingat, reptil ini identik dengan berbagai kepalsuan: air mata buaya, buaya darat... (*)

*). Rohman Budijanto, wartawan Jawa Pos.
Jawa Pos, Sabtu, 19 September 2009

Lebaran yang Mahal

Oleh INDRA TRANGGONO

Lebaran datang, menyodorkan aneka masalah klasik, dari isu tunjangan hari raya hingga harga-harga kebutuhan pokok dan ongkos jasa yang melejit, 50 persen-100 persen. Lebaran pun menjadi kian mahal dan sulit. Lebaran yang asketis perlu dijadikan pilihan.


Di dalam masyarakat kita, Lebaran telah menjadi saat yang bernilai untuk merajut solidaritas sosial, antara lain melalui tindakan etis saling memaafkan dan menyatu kembali dengan basis komunitas (saudara, handai tolan, kerabat).

Dalam istilah budayawan Umar Kayam, saat Lebaran orang melakukan kegiatan solidaritas untuk mengukuhkan kembali nilai-nilai budaya dan sosial tanpa membedakan latar agama, politik, sosial, ekonomi, dan budaya. Untuk itu, mudik atau kembali ke akar sosial dan budaya merupakan salah satu aktualisasi yang dipilih masyarakat kita baik di kota maupun di desa.

Pilihan untuk kembali ke akar budaya dan sosial itu tidak harus dibaca sebagai pemupukan atas primordialisme sempit, tetapi sebagai upaya pemaknaan eksistensial atas asal-usul atau sangkan parining dumadi (dari mana manusia berasal). Selain itu, juga berlangsung penyerapan kembali atas nilai-nilai budaya.

Hal ini berguna sebagai modal bagi seseorang untuk peningkatan aktualisasi diri dalam peran sosialnya. Artinya, dengan lebih memahami akar sosial dan budaya, manusia menjadi lebih peduli dengan yang lain sehingga tidak terjebak individualisme dan egoisme, tetapi menjadi pribadi yang solider.

Kultur konsumsi

Esensi Lebaran yang amat bermakna dan indah itu telah digeser oleh kekuatan modal dan industrialisme ke dalam kultur konsumsi, yakni sebuah kultur (bentukan) yang menjadikan konsumsi sebagai basis pemaknaan atas ritus-ritus sosial-budaya di mana masyarakat direduksi hanya sebagai makhluk berlabel konsumen, bukan makhluk kultural.

Kultur konsumen ini mewajibkan masyarakat untuk merayakan Lebaran dalam logika kapital/uang demi penikmatan atas benda-benda, jasa, dan hiburan. Tanpa hal-hal itu, seolah Lebaran menjadi hampa. Akibatnya, masyarakat terseret arus pemaksaan diri untuk memenuhi segala keinginan atas konsumsi yang sebenarnya tidak selalu dibutuhkan. Inilah dahsyatnya kapitalisme dalam mengacaukan logika masyarakat sehingga masyarakat tidak mampu membedakan antara ”keinginan” (hal- hal artifisial) dan ”kebutuhan” (hal-hal esensial).

Dalam logika kapital dan kultur konsumsi itu, Lebaran menjadi amat mahal, bahkan sulit dijangkau, terutama bagi wong cilik, kaum duafa, kaum yang terpinggirkan secara sosial-ekonomi. Harga-harga kebutuhan mendasar dan ongkos jasa yang melejit menjadi prasyarat wajib bagi siapa pun untuk dapat merayakan dan menikmati Lebaran.

Tingkat kebutuhan dan keinginan yang amat melesat memaksa setiap orang berjuang untuk mendapatkan tambahan pendapatan. Tunjangan hari raya (THR) pun menjadi keniscayaan yang tidak dapat ditawar bagi masyarakat yang hidup dalam struktur kelembagaan, baik resmi maupun swasta. Bagi pegawai negeri sipil, THR bukan masalah. Namun, bagi karyawan swasta, THR sering menimbulkan masalah. Untuk itu, lembaga hukum semacam LBH membuka pos pengaduan masalah THR.

Lebaran yang asketis

Persoalan rumit menyerimpung masyarakat yang hidup di luar struktur yang resmi dan swasta. Mereka mendapatkan THR dari siapa? Pemberian, zakat, sedekah dari orang yang berkemampuan ekonomi kuat pun menjadi harapan. Maka, pemandangan klasik dan getir pun selalu menyeringai: orang- orang miskin berdesak-desakan dalam antrean panjang demi uang zakat Rp 20.000-Rp 50.000 atau beberapa kilogram beras, gula, minyak goreng, dan beberapa bungkus mi instan. Tidak jarang untuk mendapatkannya orang harus pingsan bahkan meninggal.

Teater sosial yang getir dan pedih itu tak kunjung berakhir selama negara tetap konsisten menerapkan kebijakan ekonomi berbiaya tinggi. Ini merupakan buah pahit dari pemberlakuan negara atas sistem ekonomi kapitalistik dan pasar bebas. Celakanya, negara tidak segera beranjak menjadi protektor masyarakat dan melakukan kontrol atas ”kebuasan” kapitalisme yang telah menjelma menjadi predator. Misalnya, dengan mengendalikan harga-harga kebutuhan pokok dan ongkos jasa melalui sejumlah peraturan.

Jika peran negara tidak dapat diharapkan, masyarakat seharusnya mampu memproteksi diri dari kultur konsumsi yang dipompa oleh kapitalisme, dengan memilih jalan asketis, yakni melakoni pemahaman bahwa Lebaran tidak harus dirayakan dalam logika kapital atau logika uang, tetapi dengan logika budaya: menukik pada esensi Lebaran dengan mengutamakan penguatan ikatan sosial (solidaritas) tanpa ritus-ritus beraroma konsumsi yang berlebihan.

Masyarakat perlu mengubah kultur Lebaran dari kultur konsumsi ke kultur yang kuyup nilai-nilai spiritual dan sosial. Karena itu, masyarakat membutuhkan Lebaran yang lebih asketis. Dengan asketisme itu, masyarakat mampu menggenggam pencerahan.

INDRA TRANGGONO Pemerhati Kebudayaan dan Cerpenis; Tinggal di Yogyakarta

Kompas, Jumat, 18 September 2009

Bank Century dan Hukum Rimba

Oleh Sri palupi

Selain bencana alam, ada bencana lain yang amat serius dampaknya. Bencana itu berupa maraknya praktik hukum rimba dalam kebijakan dan sistem hukum kita. Meski secara formal Indonesia menganut paham negara hukum, substansi hukum yang berlaku di negeri ini tidak lebih baik dari hukum yang berlaku di rimba belantara.


Hukum rimba

Praktik hukum rimba laksana orang membelah bambu. Yang di bawah diinjak, yang di atas diangkat. Praktik semacam ini terlihat dalam dua fenomena kontradiktif yang kini menjadi isu. Penyelamatan Bank Century versus kriminalisasi kemiskinan dalam bentuk penangkapan para pengemis dan pemberi sedekah.

Meski banyak pihak menilai Bank Century tak pantas diselamatkan karena dirampok pemiliknya sendiri, tetap saja pemerintah mengucurkan dana sebagai langkah penyelamatan. Alasannya, penyelamatan Bank Century hanya memerlukan Rp 683 miliar. Namun, jika bank itu dibiarkan mati, pemerintah harus mengeluarkan biaya Rp 5 triliun lebih.

Padahal, total dana yang dikucurkan membengkak, dari Rp 630 miliar menjadi Rp 6,7 triliun. Sementara kerugian Bank Century mencapai Rp 9,15 triliun. Ada indikasi kuat penyelamatan konglomerat dalam kasus ini.

Pembelaan terhadap kepentingan konglomerat deposan Bank Century bertolak belakang dengan kebijakan menghukum pengemis dan pemberi sedekah atas nama Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum. Di satu sisi, penyelamatan kepentingan konglomerat, di sisi lain kriminalisasi orang miskin, bukan berita baru di negeri ini. Kita masih ingat saat kelompok usaha Bakrie ambruk tahun 2008, pemerintah mengalokasikan dana rekapitulasi saham sebesar Rp 262,73 triliun. Pada saat yang sama, pemerintah menghapus kebijakan upah minimum regional (UMR) yang menjadi hak dasar buruh melalui surat keputusan bersama (SKB) empat menteri.

Dalam kasus BLBI 2000-2002, subsidi yang dikeluarkan pemerintah untuk para konglomerat mencapai Rp 332 triliun. Pada saat yang sama, dengan alasan mengurangi beban anggaran, pemerintah mencabut subsidi untuk rakyat kecil yang total berjumlah sekitar Rp 30,8 triliun.

Itu semua mencerminkan kebijakan yang berbasis prinsip hukum rimba. Dalam sistem hukum rimba, keadilan hanya berlaku bagi konglomerat, sementara penegakan hukum hanya ditujukan untuk orang-orang melarat. Tak heran jika para pengemis dikejar-kejar, tetapi konglomerat hitam yang utang dan korupsinya membuat kian banyak orang jadi pengemis justru mendapat tempat terhormat.

Kian kejam

Perlakuan kejam terhadap kelompok miskin di negeri ini sudah sampai pada tingkat yang sulit dibayangkan bisa terjadi di negara yang mengaku berperikemanusiaan yang adil dan beradab. Pengejaran dan pengusiran terhadap pedagang kaki lima, pengasong, pengemis, dan anak jalanan, misalnya, sudah menjadi pemandangan biasa bagi kota-kota di Indonesia.

Di Jakarta dan sekitarnya, setiap bulan rata-rata 3.223 orang miskin ditangkap dan diusir dari kota. Mereka bukan hanya dikejar dan diusir, tetapi rumah dan tempat usaha mereka juga dibakar.

Setiap tahun rata-rata terjadi 700 kasus pembakaran/kebakaran di Jakarta dan sekitarnya, 71 persen mengena pada permukiman miskin dan 21 persen pada pasar tradisional dan bangunan publik. Bahkan, di Mojokerto dan Nganjuk, kota kecil di Jawa Timur, orang-orang miskin yang hidup dari jalanan ditangkap dan dibuang ke hutan layaknya membuang binatang.

Kebijakan yang berpihak kepada konglomerat dan kriminalisasi orang melarat telah melahirkan pemiskinan yang kian dalam. Pada tahun 2006 WHO mencatat, 26 juta penduduk Indonesia mengalami gangguan jiwa dan mayoritas berasal dari kelompok miskin.

Jumlah penderita gangguan jiwa meningkat 10 persen-20 persen setiap tahun. Sepanjang tahun 2005-2007, sedikitnya 50.000 orang bunuh diri karena alasan kemiskinan dan impitan ekonomi. Tidak terhitung berapa ibu membunuh anaknya karena alasan serupa. Kian dalamnya pemiskinan tidak pernah terlihat oleh kacamata pemerintah yang mengukur kemiskinan hanya dengan garis kemiskinan yang sungguh menipu akal sehat.

Sesat orientasi

Disadari atau tidak, hukum rimba yang kita jalankan bukan hanya kejam terhadap kelompok miskin, tetapi juga potensial melahirkan kesesatan orientasi nilai di kalangan generasi muda. Perlakuan kejam terhadap orang miskin yang dilegalkan akan membentuk generasi muda yang berhati tumpul, tidak merasakan adanya ketidakadilan yang ditanggung kelompok miskin.

Penyair Kahlil Gibran dengan tepat mengungkapkan bahwa jaring-jaring hukum dirancang untuk menangkap penjahat-penjahat kecil saja. Namun, yang terjadi di negeri ini lebih buruk dari yang dibayangkan Gibran.

Di sini, hukum dirancang bukan hanya untuk menjerat para penjahat kecil, tetapi juga untuk menyingkirkan orang kecil.

Sri Palupi Ketua Institute for Ecosoc Rights

Kompas, Selasa, 15 September 2009 | 02:51 WIB

Enam Titik Perseteruan Polri-KPK


Oleh : Febri Diansyah

Bagaimana sebenarnya duduk perkara silang sengkarut kasus yang melibatkan empat pucuk pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)? Banyak pihak memandang, ini adalah konflik Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dengan KPK secara institusional. Padahal, belum tentu.


Secara jernih, kronologi kasus tersebut dapat didekati minimal dengan enam titik krusial. Pertama, penetapan Antasari Azhar, ketua KPK (nonaktif), sebagai tersangka dan aktor intelektual (intelectual dader) dalam pembunuhan Nasruddin Zulkarnaen oleh Polri. Saat itu sebagian masyarakat yang mencermati rekam jejak Antasari tentu tidak akan kaget.

Titik pertama ini sudah melewati proses hukum di kepolisian dan kejaksaan. Kebenaran tuduhan tentu akan dibuktikan di persidangan. KPK pun tidak terlalu terganggu kinerjanya di mata publik setelah minus Antasari.

Masalah baru mengemuka saat ada "niat lain" menjerat tersangka baru di jajaran pimpinan KPK. Pada waktu yang relatif sama, DPR menyuarakan pembekuan kerja KPK karena hanya ada empat pimpinan. Bahkan, kemudian muncul sejumlah informasi, pimpinan KPK hanya akan tinggal satu! Di titik inilah, publik cemas dan sangat khawatir dengan serangan balik koruptor (corruptor fight back) yang semakin sistematis.

Kedua, berbagai jurus mulai digunakan untuk mematikan KPK. Di hari-hari yang kritis pascasalah seorang wakil pimpinan KPK (CMH) dipanggil dan akan dijerat dengan pasal anti penyadapan, beberapa institusi lain pun melakukan manuver. Titik kedua ini pun gagal. Upaya menjerat wakil ketua KPK dengan UU Komunikasi dan UU ITE tidak terdengar lagi.

Namun, agaknya sebuah kekuatan tersembunyi tidak berhenti berpikir. Hingga di titik ketiga, isu suap terhadap pimpinan dan sejumlah staf utama KPK mulai disebarkan. Hanya berbekal testimoni Antasari dan rekaman perbinca¬ngan mantan ketua KPK dengan Anggoro Widjaya dan dua lelaki lain. Jurus ini pun kemudian runtuh. Poin menarik terletak ketika si pemberi suap justru melaporkan dua nama yang diduga makelar kasus ke Polri. Laporannya bukan suap ataupun korupsi, tapi pemerasan dan penipuan oleh orang yang mengaku sebagai suruhan KPK.

Kasus ini pun berhenti sementara setelah salah satu makelar kasus ditangkap kepolisian. Dan, surat pencabutan cekal Anggoro itu pun ternyata palsu. Bahkan, mengemuka bahwa sejumlah uang yang diterima si makelar perkara telah dinikmati sendiri.

Selain itu, pertemuan Antasari dengan seseorang yang saat ini menjadi tersangka dan buron kasus korupsi di KPK tentu saja aneh. Bukan hanya janggal, tetapi dapat dijerat dengan ancaman pidana serius di UU KPK.

Namun, KPK belum dapat bernapas lega. Seperti sudah ditetapkan menjadi target operasi (TO), jurus keempat dimainkan. Empat pimpinan dan empat pegawai utama KPK dipanggil Polri dengan tuduhan melanggar pasal 23 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU 20 Tahun 2001 dan pasal 421 KUHP, kembali dipanggil. Poin prinsip aturannya sederhana, "dalam perkara korupsi seorang pejabat yang menyalahgunakan kekuasaannya, diancam pidana".

Ternyata yang dipersoalkan adalah tindakan pencekalan Anggoro Widjaya. Seorang yang sebenarnya tersangka dan buron KPK karena diduga memberikan suap kepada anggota DPR RI dan pejabat Departemen Kehutanan.

Poin kelima terletak pada kasus Anggoro, tepatnya sebagai rekanan Departemen Kehutanan, PT Masaro dalam pengadaan Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT). Kasus ini berawal dari penangkapan salah seorang anggota Komisi IV DPR RI, yang bahkan sudah divonis bersalah oleh Pengadilan Tipikor. KPK mulai mengembangkan perkara lain pada kasus Masaro. Agaknya, di sinilah Anggoro mulai dicekal atau dilarang bepergian keluar negeri. Salahkah?

[]

Mengacu pada panggilan Polri, agaknya, pencekalan Anggoro dinilai salah. Bahkan, pelakunya dapat diancam pidana maksimal 6 tahun karena penyalahgunaan kewenangan. Tidak terlalu jelas indikator dan bukti hukum apa yang digunakan dalam kasus ini. Yang pasti, publik mengkhawatirkan penggunaan pasal karet ini cenderung hanya untuk mencari kesalahan orang tertentu di KPK. Tentu bukan tidak mungkin berujung pada pemberhentian pimpinan KPK. Karena UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK mengatur demikian, dalam hal pimpinan ditetapkan sebagai tersangka, dia harus berhenti sementara.

Polri mungkin akan bilang, semua orang sama di mata hukum. Tidak boleh ada yang dilindungi. Tapi, bukankah terlalu banyak kejanggalan? Kasus terakhir justru membuat kita berpikir, ada kesan melindungi Anggoro. Mungkinkah? Hal ini menjadi semakin menarik ketika tersangka dan buron KPK ini justru diarahkan meminta perlindungan kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Untungnya, LPSK menolak.

Lima titik krusial di atas setidaknya diharapkan bisa menjernihkan pembacaan tentang silang sengkarut di balik pemeriksaan pimpinan KPK. Namun, jika ditarik benang merah, ternyata titik kusutnya terletak pada keterangan Antasari. Dua upaya terakhir untuk menjerat pimpinan KPK terlihat didasari testimoni mantan ketua KPK tersebut.

Dapatkah sebuah dokumen yang diperoleh dengan cara melanggar hukum digunakan sebagai bukti? Tentu saja, legitimasi kekuatan alat bukti dapat runtuh, apalagi testimoni tersebut dalam hukum hanya dikategorikan sebagai "testimonium de auditu". Sesuatu yang sama sekali tidak punya kekuatan pembuktian, karena menerangkan apa yang dilihat dan dijelaskan orang lain.

Selain lima hal di atas, ada satu titik yang tak kalah penting, yakni pemanggilan pimpinan KPK terjadi saat KPK menyelidiki kasus skandal Bank Century. Bahkan, disebutkan salah seorang petinggi Polri sedang diteliti dalam kasus tersebut. (*)

*) Febri Diansyah, peneliti hukum, anggota badan pekerja ICW

Jawa Pos, Senin, 14 September 2009

Duhh... Kok Banyak Juru Dakwah yang Bodoh Ya!

Laporan wartawan KOMPAS Lukas Adi Prasetya

YOGYAKARTA, KOMPAS.com — Pengasuh Ponpes Rudlotul Fatihah, Bantul, KH Muhammad Fuad Riyadi (38), gerah melihat semangat Islam disampaikan hanya secara sepotong-potong oleh para juru dakwah Islam. "Juru dakwah banyak yang bodoh. Saya tantang mereka memahami Islam," kata Kyai Fuad.


Ia melihat bahwa yang disampaikan juru dakwah di masjid, di televisi, dan di mana saja sudah melenceng dari semangat Islam, agama yang seharusnya memberi kesejukan, ketentraman, kedamaian bagi siapa saja, tak hanya umat Islam, tetapi semua orang non-muslim, termasuk mereka yang ateis sekalipun.

Dengan kata lain, jika apa yang dikatakan juru dakwah membuat umat nonmuslim waswas, merasa terancam, dan tak nyaman, maka itu sudah cukup memberikan gambaran bahwa dakwah yang dilontarkan juru dakwah sudah tak lagi Islami. Ini fenomena yang menurut dia sudah mulai muncul sejak tahun 1970-an, dan mulai kencang.

Ia banyak memberi kritik tentang kebiasaan dan perilaku umat Muslim. Misalnya memakai pengeras suara sekeras mungkin sehingga umat non-muslim dan muslim pun sama-sama terganggu, juga rangkaian acara puasa yang kemeriahannya berlebihan.

"Juru dakwah, dai-dai itu, maaf, baru memegang satu ayat, tapi ngomong-nya sejuta ayat. Tak heran, sekarang bermunculan radikalisme, seperti aksi sweeping, fundamentalisme, dan hal tak mengenakkan yang mengatasnamakan agama. Peraturan daerah pun digiring menjadi bernuansa Islam," paparnya.

Lihat saja, menurutnya, sekarang banyak yang secara eksplisit dan implisit menyuarakan perlunya Indonesia menjadi negara Islam. "Enggak hanya orang nonmuslim yang ketar-ketir dan cemas. Saya juga takut. Apa Islam di Indonesia seperti itu? Islam adalah agama yang menyuarakan kerinduan pada Allah, bukan agama yang bikin orang lain takut, apalagi menyemai benih permusuhan," katanya.

"Perlu dicatat, saya hapal 'Malam Kudus', lagu rohani umat Katolik saat Natal. Liriknya bagus. Lagunya bagus. Saya suka Natal, gereja. Saya suka semangat Natal, damai di bumi damai di hati. Saya berani katakan, lagu 'Malam Kudus' itu lagu Islami," ujar kyai muda ini.

Tentang Puasa, mestinya umat Islam merefleksikan hal itu seperti umat Hindu merayakan Nyepi. "Mestinya Puasa itu ya nuansanya seperti saat Nyepi. Kita merenung, berdiam, bukan malam ramai," katanya.

Pengotakan agama mesti dihapus. "Saya justru gembira jika saat zikir bersama, ada teman-teman nonmuslim yang ikut datang. Ikut nggabung. Sering mereka datang ke ponpes saya. Seorang Katolik yang pernah datang pas zikir bilang ke saya, kok dia merasa tenang dan nyaman. Tentu ia masih Katolik. Ketika dia pun merasa damai, tenang, itulah juga sejatinya esensi zikir," ucap dia.

Kyai ini merasa perlu minta maaf kepada semua umat nonmuslim yang pernah tersinggung dengan perlakuan umat Muslim dan perkataan/perbuatan para juru dakwah. "Saya mohon maaf karena mereka melakukan itu. Mohon dimaklumi," kata Kyai Fuad.

Kyai ini menggelar lukisan bertema "Aura Dsikir" di Bentara Budaya Yogyakarta. Acara berlangsung dari Sabtu (12/9) hingga Kamis (17/9). Proses pembuatan lukisan dilakukan dengan berzikir terlebih dulu.


Kompas, Senin, 14 September 2009 | 21:01 WIB

Duniaku Bukan Dunia Mereka

Seorang yang bijak pernah mengatakan "cinta bukan di cari, di raih, cinta kan hadir sendiri" seperti lagunya "Dewa 19" yang dulu kan, masih ingat? dan ketika kita merasa bahwa kita tak perlu mencari sebuah perhatian agar mereka mencintai kita dengan mencari perhatian-perhatian lebih, mencari sela untuk saling menjatuhkan ketika berada diantara kawan-kawanya sendiri. Dan anehnya pada saat sekarang yang sering aku perhatikan justru orang-orang yang telah memiliki nama mencari nama dan berusaha mendepak teman-teman sendiri yang jauh tidak ada apa-apanya di banding mereka. Aku hanya heran kenapa ini hars terjadi? begitu angkuhnya mereka ketika merasa mengenal para pejabat-pejabat atau orang-orang kaya itu, lupakah mereka dengan apa yang pernah mereka lakukan sebelum dia menjadi seorang yang dikenal sekarang?

Aku pernah memilki sebuah pengalaman pribadi yang bagiku mungkin sangat menyakitkan ketika diingat. Mungkin karena sekarang dia merasa telah menjadi seorang penulis yang dikenal di mana-mana, dulu dia tidak tahu yang namanya menulis email bahkan komputer saja dia tidak pernah menyentuh, suatu hari dia menelponku dan ingin aku ajari bagaimana caranya menulsi email, walaupun aku pun tidak sepandai orang-orang itu setidaknya aku tahu bagaimana caranya. Nah dan akhirnya kami bertemu, aku ajari bagaimana caranya membuat email dan cara mengirim dan sebagainya, kebetulan dia memang jago dalam menulsi puisi, dari situ dari dia harus memencet keyboard satu-satu, sampai dia akhirnya tahu bagaimana cara-caranya. Dan sekarang apa yang terjadi?

Aku teringat dan memang menyakitkan, kebetulan saat itu aku ditelpon dari KJRI untuk meliput suatu acara, dan tahu apa yang terjadi? aku bertemu denganya dan yang benar-benar mengecewakanku, dia seolah tak mengenalku lagi.....ketika aku duduk dengan seorang watawan dari koran "Suara" justru dia yang di sapa dengan hangat sementara aku seolah tak pernah ada di sampingnya, seolah aku benar-benar tiada....namun aku hanya bisa tersenyum dan bernafas panjang....sebegitukah dia? lupakah dia dengan segalanya? apakah karena sekarang dia telah memiliki nama dan bergaul dengan para penulis bmi yang telah sukses itu sehingga aku pun terlupakan? Memang aku bukanlah seorang penulis handal itu, aku bukanlah anak pejabat, aku juga bukan orang penting dalam sebuah organisasi yang sering masuk koran-koran, aku hanyalah orang biasa dan akan tetap seperti itu. Namun akhirnya aku berfikir mungkin wajar saja jika seandainya dia tak lagi ingin mengenalku, karena sekali lagi aku bukanlah siapa-siapa.

Namun juga aku tak ingin di kenal dan dicintai orang-orang hanya karena aku butuh sebuah perhatian dengan harus saling menjatuhkan diantara teman-temanku sendiri, aku ingin orang-orang mencintaiku karena apa adanya diriku, itu saja! Dan sekarang dia telah menjadi salah seorang penulis yang di kenal di kalangan bmi, bagiku itu suatu langkah yang bagus untuknya,aku sih senang-senang saja dengan apa yang dia raih sekarang, meski dia tak mengenalku lagi, meski menyakitkan kata orang lebih baik untuk "forgive n forget" biarkan saja yang penting aku tetaplah di jalanku, dengan apa adanya diriku, biarkan mereka berbicara tentangku, aku tak akan peduli, karena aku merasa hidupku bukanlah hidup mereka.....

Hongkong, akhir mei 2007

TANTI

Nyanyian Imigran

Gejala Buruh Migran Menulis (BMI) yang menulis, dalam hal ini bersastra bisa dikatakan bukan merupakan hal yang terasa baru terutama bila dikonfrontasikan dengan Perantau menulis. Sebelumnya, barangkali, kaum migran Indonesia lebih banyak disebut sebagai perantau daripada TKW, TKI dan ataupun BMI. Namun, seiring perkembangan waktu dan pemahaman sosial yang lebih kritis dan didukung oleh kecanggihan sistem informasi, perlawanan terhadap determinasi, maupun dominasi menjadi begitu terang-terangan dan bersifat lebih terbuka dan mulai kehilangan sifat-sifat simbolisnya. Dalam hal ini metafora dan eufemisme menjadi sekedar kering makna, kering daya dan sekaligus harus dilawan.

Disamping efek politis, efek berikutnya adalah tujuan ekonomis yang mana kelugasan dalam berbahasa bisa jadi merupakan suatu kebutuhan di era serba instan, cepat dan industralis. Wilayah publik yang termarginalisasi tak menjadi lebih dari sekedar bernilai peripheral tetapi sekaligus sebagai wilayah ekonomis. Menjadi sebuah komoditas yang coba ditarik lebih kepusat oleh industri media sebagai citraan-citraan humanitas yang laku untuk dijual seperti halnya acara-acara reality show di telvisi. Memberikan pertolongan dengan pamrih komersial, omset dan rating.

Diluar itu semua, posisi Sastra BMI sendiri bisa jadi semakin mengemuka dengan isu dan pendekatan kritis-sosial atau politik etis gaya baru yang menempatkan wilayah publik, determinasi dan dominasi sebagai tulang punggung kritis mereka. Dengan begitu persinggungan dengan kebijakan poitik juga tidak bisa dielakkan. Namun, apakah “Nyanyian Imigran” lebih berbau politis daripada sastrawi tentu bergantung sekali kepada versi masing-masing pembaca. Dalam versi sastra tinggi barangkali standar sastrawi dari kumpulan cerpen ini masih jauh dari keinginan khalayak pembaca,
apalagi segmentasi pembaca sastra.. Terlepas dari itu semua, bukankah validitas
sastra tinggi seringkali masih diperdebatkan?.

Berbicara tentang kualitas sedikit banyak akan berhubungan dengan penerimaan khalayak yang semakin heterogen, dan multikurtur. Ada yang menganggap bahwa kualifikasi karya sastra sepertinya juga telah bergeser dari menara kanon.Barangkali terdengar sedikit herois bila menyinggung perjuangan kelasnya Marxis telah bertransformasi menjadi perjuangan mengatasi kategorisasi-melawan dominasi. Suara Publik terutama yang tertindas harus didengarkan; barangkali seperti itu umumnya propaganda awal dibalik industri sastra dengan tema-tema sosial yang belakangan malah terkesan eksploitatif.

Buku kumpulan cerpen “Nyanyian Imigran” yang diangkat dari judul cerpen karya Joey Sambo ternyata diilhami oleh lagu The Led Zepplin: ‘Immigrant Song’ yang menjadi pengikat cerpen-cerpen ini dalam satu wadah. Walaupun thema-thema penindasan, feminisme, trafiking ataupun diskriminasi masih menjadi setting dan basis utama fiksi mereka, beberapa penulis BMI malah tak lagi menjadikan hal tersebut sebagai isu utama. Diantaranya bahkan juga mampu menunjukkan jalinan plotting, dan ending yang lumayan seru seperti dalam: Laki-laki dan Lukisan Burung oleh Lik Kis, Pahlawan Kesiangan oleh Swastika, Hamil oleh Tarrini Sorrita, Gelang Giok Mama oleh Mega Vristian, ataupun Kidung Duka Seorang Buruh oleh Gendhot Wukir, yang ditulis dalam gaya yang lumayan liris.

Beberapa cerpen memang masih stereotip mengeksploitasi ketertindasan mereka secara lebih terbuka, tetapi sebagian besar sudah menjadikannya hanya sebagai latar. Gaya bercerita aku-an atau orang pertama yang mendominasi karya yang terkumpul barangkali bisa mengakibatkan efek bosan kepada pembaca terlebih apabila tema yang diangkat cenderung stereotip. Tentu, akan menjadi tak nyaman bagi pembaca bila sekedar membaca ratapan yang diulang-ulang. Meskipun karya yang dimuat pada bagian terdepan: Selembar Kertas Buku Harian BMI justru mengindikasikan hal tersebut dan masih terasa datar atau kurang sentuhan sastrawi.,tetapi, bila pembaca mau mencoba untuk terus bergerak semakin kedalam, maka akan didapati beberapa karya dengan tema dan nada yang bervariasi.

Mayoritas penulis sudah mampu menghadirkan suasana yang membawa dan mendeskripsikan setting perantauan dengan lancar dan berkarakter. Mungkin karena kedekatan emosional yang kuat membuat mereka mampu melukiskan dengan lebih dalam tempat-tempat seperti Victoria Park, Wan Chai, pulau tumpukan kotak beton yang disebut Hongkong, ataupun stasiun kereta api Bahnnof. Pembaca akan diajak untuk berwisata ke dua dunia: geografis dan psikologis.

Realisme perantauan, begitulah versi penulis atas gambaran umum dari “Nyanyian Imigran” ini. Berbeda mungkin dengan cerpen ataupun novel yang menggambarkan karakter utamanya sebagai seorang native atau warga asli pribumi. Realisme Perantauan cenderung berjarak dari keaslian (versi penulis: nativitas) lingkungannya; karenanya cenderung berjarak dan lebih bercirikan etnografis yang berujung pada labeling untuk menyamakan atau membedakan level berdasarkan pada ciri fisik, penamaan, ataupun kultur karakter-karakternya.

Coba simak cerpen Etik Juwita, sebagai seoarang gadis mati rasa mencoba menggambarkan seorang Nigeria dengan ciri-ciri fisik serta sikap yang tak lebih bermartabat daripada sebangsanya sendiri. Di sisi lain Sigit Susanto berusaha menggambarkan balada seorang perempuan uzur Eropa, langsung dari kacamata seorang native. Barangkali meskipun bisa saja tidak presisi bila dibaca oleh pembaca nativenya, setidaknya usaha untuk menggunakan kacamata Eropa Sentris dalam nada atau sudut pandang bisa memberikan efek kepada pembaca Indonesia bahwa realitas yang disuguhkan oleh Sigit Susanto ‘native’ adanya.

Ada gejolak-gejolak yang ditimbulkan oleh cultural shock, geographical shock, ataupun perbedaan anatomi yang berujung pada labeling dan kecenderungan untuk tetap memelihara jarak dari nativitas lingkungan barunya. Tentu saja kita harus memaknainya dalam kerangka fiksi yang harus dijauhkan dari tuduhan rasisme; untuk itu mungkin lebih sesuai menyebutnya sebagai keterbedaan idiolek. Pastinya, tak cukup hanya dengan ‘Nyanyian Imigran’ dan terlalu dini untuk mengklasifikasi jenis fiksi ini sebagai Realisme Perantauan, barangkali akan lebih menarik bila Realisme Perantauan tak hanya berhenti pada taraf ontologis. Secara keseluruhan, kejutan budaya, penindasan, dan tema sosial kritis yang menjadi tulang punggung dari kumpulan cerpen “Nyanyian Imigran” adalah lahan potensial bagi momen dan konflik dramatis. Jadi…[]

Peresensi: Cak Bono
Judul Buku : Nyanyian Imigran
Penerbit : DF Publisher, Malang Jatim
Hal : xiii+179
Penulis : Anggota BMI Hongkong, Amerika, Swiss dan Jerman
Tahun : 2006

sumber: kepak camar

Haruskah Ada Pelarangan Genjer-genjer?

Muchus Budi R. - detikNews

Solo - Setelah runtuhnya Orde Baru, banyak produk seni dan sastra karya anak bangsa yang semula dilarang, kembali mendapatkan kebebasan. Karya seniman-seniman Lekra dicetak atau diproduksi ulang untuk dipasarkan. Tapi di Solo, masih ada yang melarang Lagu Genjer-genjer diperdengarkan.


Lagu tersebut sebenarnya telah ditayangkan secara gamblang dalam Film Gie yang dirilis beberapa waktu lalu. Lembaga Sensor Film sebagai institusi yang berwenang melarang menayangan sebuah produk film juga tidak mempersoalkannya.

Tapi hari ini di Solo justru ada sebuah kelompok yang mendatangi sebuah stasiun radio yang memutar soundtrack Film Gie tersebut untuk keperluan ilustrasi sebuah kuis. Lagu tersebut, Genjer-genjer, disebut sebagai lagu terlarang karena milik PKI.

Benarkah Genjer-genjer milik PKI? Lagu dengan irama dan dialek syair khas Banyuwangi tersebut, tercatat sebagai salah satu lagu yang hits di pada dekade 1960-an, bersamaan dengan memanasnya situasi politik akibat perseteruan elit politik dan militer pada masa itu.

"Tapi lagu tersebut murni lagu rakyat, tidak ada sangkut-pautnya dengan situasi politik atapun menyiratkan idelogi politik tertentu yang bisa dinilai mendukung partai tertentu pada saat itu. Genjer-genjer itu rakyat yang menjadi korban politik," ujar Sodiqin, seniman asal Banyuwangi, kepada detikcom, Senin (14/9/2009).

Sodiqin atau yang akrab disapa Cak Diqin adalah penari, penyanyi dan juga pencipta lagu-lagu campursari yang cukup ternama. Dia lahir dan besar di kota asalnya, Banyuwangi, sebelum kemudian pindah dan menetap di Solo.

Dia menuturkan, pada tahun-tahun 1960-an, Genjer-genjer memang populer. Semua kalangan menyanyikan dan mempopulerkannya, termasuk parpol-parpol untuk menggalang massa agar tetap berkumpul. Salah satu parpol besar saat itu adalah PKI.

Cak Diqin mengaku memang pernah mendengar bahwa pencipta lagu tersebut disebut-sebut sebagai anggota Lekra, organisasi seniman yang simpatik kepada PKI. Namun demikian, lanjutnya, bukan alasan yang kuat bagi siapapun pada saat ini untuk melarang pemutaran lagu Genjer-genjer.

"Saya tidak cukup yakin kalau pencipta Genjer-genjer adalah anggota Lekra. Banyak karya seniman-seniman Lekra yang dulu dilarang, sekarang sudah beredar bebas. Lagipula isi lagu Genjer-genjer sama sekali tidak politis. Kita harus berpikir jernih tentang penghargaan hak intelektual, dalam hal ini karya seni," paparnya.

(mbr/djo)
detikcom

Mengapa mesti Menunggu 5 Juli?

R. Valentina Sagala
… .
Kami memang masih bernama indonesia berpaspor republic
Tapi ketiadaan membuat kami tinggal indonesia kertas
Ketiadaan menyingkirkan kami dari segala hitungan rencana negeri
Kami sudah bukan apa-apa lagi
Sembilan puluh delapan kami diancam kematian digantung
Entah berapa yang tewas diujung cambuk Tuhan
Nyawa kami masih saja bukan apa-apa lagi
….

(Kami Memang Sudah Bukan Apa-Apa Lagi: Buat saudara Saya, para TKI yang Menderita- Mega Vristian, 1 April 2004)


Rasa-rasanya, sudah sepatutnya hari-hari belakangan ini menjadi hari-hari ‘mengenaskan’ bagi sebagian besar perempuan kita. Jikapun tidak, maka setidaknya hal ini berlaku bagi saya.

Kasus penyiksaan mengenaskan yang menimpa saudara perempuan kita, buruh migran perempuan/TKW kita, Nirmala Bonat (19 th), seperti yang telah diberitakan di halaman muka koran ini beberapa hari berturut-turut, tak bosan-bosannya mengingatkan kita, sebuah pertanyaan, berapakah harga sebuah nyawa, sebuah perlindungan bagi nyawa seorang anak negeri ini? Apakah makna menjadi masih “bernama Indonesia berpaspor republik”?

Beberapa hari sebelum berita tentang Nirmala Bonat menghiasi media cetak dan elektronik negeri ini, masih belum selesai upaya kita membantu dan memberi perlindungan pada nasib Sundarti Suprianto, Purwanti, Juminem, Siti Aminah, dan Sumiyati, lima TKW kita yang hidupnya berada di ujung tanduk karena ancaman hukuman mati di Singapura atas tuduhan membunuh majikan.

Kini, kita juga masih dihadapkan dengan temuan bahwa jenazah Seni Johan binti Durasif (24), TKW asal Lombok yang meninggal di Amman, Yordania, telah lima bulan belum juga dikirim ke keluarganya (Tempo Interaktif, 20/5). Disebutkan, data dari Balai Pelayanan dan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia (BP2TKI) Mataram menunjukkan kasus TKI/TKW yang meninggal di luar negeri mengalami kecenderungan naik. Pada tahun 2002 jumlah TKI/TKW meninggal sebanyak 21 orang, sebagian besar bekerja di Malaysia. Tahun 2003 jumlah TKI/TKW yang meninggal sebanyak 32 orang, juga sebagian bekerja besar bekerja di Malaysia. Data tahun 2004 terhitung Januari hingga Mei ini tercatat sudah 20 orang meninggal, termasuk di antaranya adalah almarhumah Seni Johan. Rata-rata mereka dilaporkan meninggal karena sakit dan kecelakaan lalu-lintas.

Entah berapa banyak dan dalam lagi sesungguhnya persoalan TKW kita. Boleh jadi, kita kini hampir tak ingin tahu. Terlalu mengerikan rasanya menyaksikan luka fisik Nirmala Bonat, terlalu bergidik bulu roma membanyangkan mayat Seni Johan, terlalu perih rasanya merasakan luka batin dan psiko-sosial Sundarti Suprianto, Purwanti, Juminem, Siti Aminah, dan Sumiyati.

RUU Perlindungan Buruh Migran dan Anggota Keluarganya memang sudah ada di tangan DPR, dan hingga kini pembahasannya entah sampai mana. Yang kita tahu, setelah bertahun-tahun menunggu dan sejumlah peristiwa menyedihkan berbagai rupa mewarnai dunia TKI/TKW kita, tetap, RUU itu masih belum menjadi UU. Perlindungan yang dinanti-nantikan jutaan rakyat miskin kita, mereka di pedesaan yang seperti tak punya pilihan selain mengais ‘sisa’ rezeki di negeri orang. Mereka, yang kebanyakan adalah anak-anak petani miskin dari tanah yang tadinya subur dan adalah milik mereka. Mereka yang kebanyakan bukan berangkat menjadi TKI/TKW melainkan menjadi korban perdagangan (trafficking) perempuan dan anak.

[]

Pada saat yang sama, saya tercengang menyaksikan acara “Kursi Presiden” di SCTV, 23/5 lalu. Bukan lantaran tim sukses 5 pasangan capres-cawapres tampil sangat ‘memukau’ malam itu. Ibarat calon bintang Akademia Fantasi Indosiar (AFI), para tim sukses berorasi hal yang indah-indah sambil berharap hasil polling via sms akan menunjukkan siapa tim sukses yang paling meyakinkan pemirsa.

Bagi saya yang rakyat biasa, menyaksikan ‘pertunjukan’ itu ibarat menyaksikan permainan bola ping pong. Tiap orang saling lempar, saling cuci tangan, dan tentu saja tingkah pongah ini dilakukan dengan argumentasi “intelektual” yang lumayan cerdas. Tim sukses capres-cawapres yang belum pernah jadi RI-1 sebelumnya, umumnya mengatakan, mereka belum pernah jadi presiden, jadi ya bagaimana mau berbuat banyak. Tim sukses capres yang sudah pernah jadi presiden semacam berdalih, pemerintahan ini bukan satu orang, jadi jelas tidak bisa hanya seorang presiden saja yang berbuat ini itu, masih ada DPR, ada MPR, ada peradilan.

Saya lantas terkesima, saat salah seorang tim sukses capres Megawati, artis Marissa Haque, dengan bangga dan gegap gempita, mengatakan bahwa di antara lima capres, hanya ada satu orang perempuan, yaitu Megawati, dan menurut survey, hampir 57% pemilih Pemilu 5 Juli ini adalah perempuan. Jika saya tidak salah tangkap, Marissa lantas segera menandaskan bahwa Mega memiliki tiga prioritas program, yaitu: pertama, menurunkan angka kematian ibu; kedua, mengegolkan RUU Anti Kekerasan Dalam Rumah Tangga; dan ketiga, mengegolkan RUU Perlindungan Buruh Migran dan Anggota Keluarganya.

Alangkah indahnya tuturan kalimat itu, bahkan tanpa perlu Marissa bersuara lantang. Ingatan saya lantas menguat pada pertemuan beberapa hari sebelumnya di kantor Komnas Perempuan, Jl. Latuharhari 4 B, Jakarta, dihadiri puluhan wakil dari organisasi perempuan, ormas, profesi, masyarakat, dan media massa, membicarakan betapa kecewanya sebagian besar masyarakat, khususnya gerakan perempuan terhadap kelambanan presiden Megawati dalam mengeluarkan Amanat Presiden untuk menentukan leading sector (Departemen atau Instansi) mana yang akan membahas RUU Anti Kekerasan Dalam Rumah Tangga (RUU Anti KDRT) dengan DPR.

Berbagai upaya konon telah dilakukan banyak pihak. Komnas Perempuan sebagai lembaga yang didirikan berdasarkan Keputusan Presiden No. 181 tahun 1998, telah dua kali mengirim surat kepada presiden Megawati, tapi tidak digubris. Ketua DPR sendiri telah mengirim surat kepada Megawati, tetapi lagi-lagi tidak digubris. Mitra Perempuan, sebuah lembaga pemberi layanan bagi kasus-kasus kekerasan kekerasan terhadap perempuan juga telah mengumpulkan kurang lebih 6016 buah kartu pos dari seluruh Indonesia sebagai pernyataan dukungan agar Megawati segera mengesahkan RUU Anti KDRT. Namun lagi-lagi, hingga kini, berita menyejukkan tentang keseriusan Megawati mengegolkan RUU tersebut tetap belum terdengar. Padahal, saat ini sebanyak 2703 perempuan Indonesia telah menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga pada tahun 2003 yang lalu. Angka ini menunjukkan peningkatan terus menerus dari tahun ke tahun. Komnas Perempuan dalam suratnya di hari peringatan R. A. Kartini 200 bahkan menyebutkan, “Adalah suatu kekecewaan besar bagi perempuan Indonesia jika sebelum periode kerja 2000-2004 ini berakhir, Pemerintah RI tidak berhasil mengesahkan Undang-Undang yang dapat melindungi perempuan di dalam rumah tangganya sendiri.”

Masih lekat juga dalam ingatan saya, bagaimana tak henti-hentinya ormas dan organisasi perempuan mengingatkan keterkaitan persoalan angka kematian ibu dengan rendahnya subsidi pemerintah pada sektor kesehatan dan pendidikan. Bagaimana privatisasi, deregulasi, dan liberalisasi menjadi kata kunci dari sulitnya masyarakat mengakses sarana kesehatan dan meningkatkan dayanya terhadap akses informasi yang benar tentang kesehatan.

Sudah berulang kali pula organisasi perempuan menyerukan keterkaitan agar UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan maupun UU Kesehatan segera direvisi sehubungan dengan hak istri dan save abortion, yang pada titik tertentu menjadi salah satu penyumbang angka kematian ibu.

[]

Pertanyaan saya mungkin adalah pertanyaan konyol dari seorang aktivis perempuan yang tidak populer seperti layaknya politisi atau selebriti. Jika ada yang bisa kita lakukan saat ini, mengapa pula harus menunggu nanti? Bukankah masing-masing dari capres-cawapres bukanlah orang baru dalam blantika “kekuasaan”. Bukankah mereka adalah sejumlah orang yang bagaimanapun pernah memiliki sejumlah kewenangan atau setidaknya pengaruh untuk melakukan hal-hal bersahaja bagi nasib rakyat kecil?

Penggusuran yang diwarnai kekerasan yang menimpa rakyat miskin ibu kota bukankah adalah sebuah pertanyaan ironis dari rakyat? Dan ketika rakyat datang ke Komnas HAM pun, tidakkah itu adalah sebuah pertanyaan, dimana keadilan? Saat peristiwa Mei dan Tragedi Trisakti, Tragedi Semanggi masih “diteguhkan” (bukan diperingati) dengan isak tangis dan keyakinan untuk meraih keadilan, bukankah ini adalah sejumlah tanya yang membutuhkan jawaban? Ada begitu banyak pekerjaan, dan ada begitu banyak kesempatan untuk bekerja, untuk berbuat, untuk melayani. Mengapa mesti menunggu 5 Juli? Sementara, “nyawa rakyat masih saja bukan apa-apa lagi”.

Tiba-tiba saya berpikir nakal, lima tahun mendatang, jika orang-orang ini belum berubah, nampaknya, akan ada lagi, menunggu 5 Juli, dan seterusnya….

*aktivis perempuan, Direktur Eksekutif Institut Perempuan, Bandung

Kompas, 22 Juni 2004

Sosok Sahabat yang Seketika Menjelma Musuh

[Ratapan Pilu BMI HK kepada Kekasihnya di Korea]

Tapi jika hubungan persahabatan itu tiba tiba berubah menjadi bencana ? terjadi suatu penghianatan ? menikam kita dari belakang ?. Berjuta rasa berkecamuk didalam jiwa sedih, luka, bahkan rasa kehilangan yang amat mendalam. Seorang sahabat yang sudah aku anggap seperti saudaraku sendiri. Menyayangi seorang sahabat melebihi apa pun. Apalagi ditanah perantauan kehadiran seorang sahabat sungguh sungguh sangat berarti.


Aku pun sendiri tak habis pikir dengan Irma (nama samaran). Yang sudah aku anggap seperti mbakyu, tega nya dia melakukan ini semua. Dia tidak hanya menghancurkan harapanku, dia pun dengan kejam telah merebut ‘’Belahan Jiwa’’ku. Impian, rencana yang telah aku susun rapi dengan Kekasihku kini harus hancur berkeping keping.

Kekasihku sebut saja Dony, aku kenal dia 2 tahun yang lalu, perkenalan aku dengan Dony berawal dari kegemaranku berselancar didunia maya yaitu Chating ! walau hanya mengenal Dony lewat chating, tapi hubungan kami sangat serius. Kami ingin melanjutkan hubungan ini kejenjang yang lebih serius yaitu pernikahan ! selesai kontrak kerja ku di Hong Kong kami akan pulang bareng, begitu pun dengan Dony seorang TKI yang bekerja di Korea.

Aku sangat mencintai Dony, apalagi kehadiran Dony adalah yang pertama dalam hidupku ! selama ini aku belum pernah menjalin cinta dengan lawan jenis atau makhluk yang bernama Adam ! kehadiran Dony telah memberi warna, semangat yang luar biasa dalam hidupku. Tapi kini…Dony telah membenciku dan yang parahnya adalah memutuskan hubungan ini.

Dony tidak sudi punya kekasih seperti aku ! yang mana aku adalah mantan seorang tomboy dan seorang lesbi ! Dony tidak memberiku kesempatan untuk menjelaskan. Dan yang paling menyakitkan, justru Dony mengetahui semua ini dari sahabatku sendiri yaitu Irma ! aku tidak habis pikir ?. kenapa Irma melakukan semua ini , padahal selama aku bersahabat dengan dia , sedikitpun aku tidak pernah ikut campur dalam masalahnya, termasuk membeberkan kelakuannya pada suaminya. Karena aku tau persis siapa Irma. Irma yang sudah berkeluarga, punya anak 3 didesa, tapi di Hong Kong dia pun tidak ingin ketinggalan jaman.dia punya ‘’gendaan’’ warga local HK yang tentu tanpa sepengetahuan suaminya. Dia pun hobby berchating ria, tidak mau kalah dengan yang muda muda.

Sesuatu yang mudah untuk melaporkan kelakuan Irma kepada suaminya, atau menghancurkan rumahtangganya. karena kami bertetanggaan dikampung. tapi tidak akan aku lakukan, terbesit pun tidak ! karena aku menganggap Irma sudah seperti saudara ku sendiri. aku menghormati Irma, karena selama ini dia begitu baik padaku. Setiap libur kami selalu bersama. Saling berbagi, saling curhat. Termasuk Irma juga tau masa lalu ku.

Setiap orang punya masalalu, punya kenangan. Adakalanya kenangan yang pahit, dan kenangan yang manis. Setiap individu pun punya cara untuk menyimpan kenangan itu. Ada yang menceritakannya pada oranglain. Teman,sahabat,saudara,suami bahkan terhadap kekasih. Ada juga yang menutup rapat menyimpannya dalam dalam. Begitupun dengan aku. Sengaja tidak aku ceritakan pada Doni kekasihku itu, karena aku pikir belum waktunya, belum saatnya untuk menceritakan. Karena aku ingin melihat sejauh mana cinta, sayang Doni padaku? apakah dia sungguh sungguh dengan hubungan ini, atau hanya sekedar bermain rasa denganku? karena aku pun ragu menjalin cinta lewat dunia maya.

Kuakui 4tahun yang lalu , aku punya ‘’Catatan Hitam’’ sangat sangat kelam, dan buruk. 4tahun yang lalu kulalui hidup dengan bergelimangan dosa. Aku salah langkah aku terjerumus bebas nya hidup ditanah perantauan. Aku menjalin cinta terlarang dengan seorang perempuan. Terperosok dalam hubungan Lesbi dengan pasanganku. Dan saat itu aku berperan sebagai ‘’laki laki'' nya

Waktu liburku hanya diisi dengan dugem berjam jam didiskotik. Rokok, minuman adalah hal yang biasa buat aku. Chek-in dari hotel satu ke hotel yang lain bersama pasangan. Menuntaskan hasrat birahi dengan pasanganku tiap minggunya. Hubungan kami layaknya suami-istri. Sangat sangat jauh….

melepas semua itu teramat sulit. Berkali kali aku jatuh bangun untuk keluar dari kubangan hitam itu, menyadari diri kalau apa yang telah aku lakukan adalah dosa besar! Ingin berubah kembali kekodratku sebagai wanita. Saat saat itu ada Irma yang membantuku, dari dia pula akhirnya aku bisa seperti ini. Aku bisa ! dan dari Irma pula yang mengajarkan aku akan dunia chating. Hingga akhirnya aku berkenalan dengan Doni. Hubunganku dengan Doni saat itu masih baik baik. Entah karena factor apa Irma sampai tega berbuat ini semua ? apa dia cemburu, iri padaku ? aku rasa tidak ada yang perlu dicemburui dari sosok aku. Irma jauh lebih cantik, lebih gaul. Sedang aku ? aku sosok yang biasa biasa saja. Aku pun tak habis pikir, dari mana Irma bisa tau alamat Yahoo Doni, dia juga tau no hape Doni. Dan rupanya tanpa sepengetauanku Irma menceritakan, membuka aib ku…yang dikarang sedemikian rupa, hingga membuat Doni meradang ! dan memutuskan hubungan ini. Dan tidak sudi lagi kepadaku. Aku najis dimata Doni.

Aku pun tak bisa berbuat banyak. Kalau sudah seperti ini, harus mau bagaimana lagi? sekarang pun Doni tidak bisa dihubungi. Begitu juga dengan Irma semakin jarang aku bertemu dengannya. Toh, aku pun semakin menyadari arti hidup. Cari teman,sahabat yang benar benar tulus dan mau mengerti ibarat mencari jarum ditengah tengah rumput, tapi jika mencari musuh, sekarang pun pasti dapat. Apa yang dilakukan Irma tidak perlu aku membalasnya. Semua sudah pada porsinya. Dan sampai kapan Irma mau seperti itu terus.

Cinta mungkin belum waktunya menghampiri diriku.. kalaupun dipaksakan yang ada juga rasa sakit ! sembari berjalannya waktu kubiarkan seperti ini keadaanku. Berusaha dan mencoba menjadi lebih baik. Luka hati, seribu duka yang dilakukan oleh Sahabatku dan Doni kuharap segera berlalu..

Ditulis Uly Giznawati di 8/17/2009

Pemprov Jatim Berjanji Beri Asuransi Kesehatan Seniman

Reporter : Rahardi Soekarno J.

Surabaya (beritajatim.com) - Banyak kesenian dan budaya bangsa kita yang diklaim negara tetangga Malaysia, membuat Pemprov Jatim mengeluarkan jurus jitu untuk merayu para seniman. Yakni, Gubernur Jatim Soekarwo akan memberikan jaminan kesehatan melalui asuransi kesehatan pada para seniman Jatim.


Harapannya agar mereka terus berkarya meski di usia senja. Pasalnya, peran seniman sangat penting dalam menjaga seni dan budaya Jatim di tengah banyaknya klaim dari negara lain.
"Pemerintah mempunyai kewajiban untuk menjaga para seniman agar tetap bisa berkarya. Seniman adalah unsur yang sangat penting dalam negara yang bertugas menjaga seni dan budaya nasional. Karena itu, kami akan memberikan jaminan asuransi kesehatan pada para seniman di Jatim,” kata Pakde Karwo, usai memberikan tali asih pada 300 seniman Jatim di Gedung Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jatim, Jl Wisata Menanggal Surabaya, Rabu (9/9/2009).

Menurut Pakde Karwo, seni adalah identitas suatu bangsa, di samping negara, pemerintahan dan wilayah. Seni juga menjadi semangat nasionalisme yang tinggi, sekaligus menjadikan identitas semakin nampak.

"Lihat saja, saat Reog Ponorogo, musik angklung dan Tari Pendet diklaim oleh Malaysia, nasionalisme langsung tampak. Kita merasa tersinggung dan berusaha mempertahankan budaya itu,” jelasnya.

Ia menambahkan, saat John F Kennedy menjabat sebagai Presiden Amerika Serikat ke-35 yang dilantik pada 20 Januari 1961 pernah mengatakan bahwa politik bisa kotor. Tetapi dengan seni, akan membasuh dan membersihkan yang kotor tersebut.

"Itu artinya, seni harus tetap ada dan harus dipertahankan. Agar seni bertahan, maka kita harus menjaga para seniman yang bergelut di dalamnya," tambahnya.

Di Jatim, lanjutnya, pemberian tali asih pada seniman sudah dilaksanakan sejak Imam Utomo menjabat sebagai gubernur. Karena itu, Pakde Pakwo berjanji akan terus memberikan tali asih setiap tahun. ’’Saya berjanji setiap tahun akan memberikan tali asih seperti ini. Bahkan saya berusaha agar tahun ini segera didata semua seniman untuk mendapatkan kartu asuransi kesehatan,’’ paparnya.

Sementara itu, salah seorang seniman ludruk, Agus Kuprit mengatakan, sudah banyak seni budaya bangsa ini yang diklaim oleh bangsa lain. Padahal, semua orang tahu bahwa seni budaya tersebut merupakan peninggalan nenek moyang bangsa Indonesia secara turun-temurun.

"Karena itu, kita harus terus menjaga seni budaya kita agar tidak ada lagi yang diklaim bangsa lain. Yang perlu diketahui, yang bisa menjaga seni budaya bangsa adalah para seniman," kata Kuprit.

Dalam kesempatan tersebut, selain Agus Kuprit bersama dengan Kancil Sutikno, Kentus, Bambang Gentolet. dan Eko Kucing mewakili seluruh seniman Jatim menyatakan rasa terima kasihnya pada Pakde Karwo dan Gus Ipul, karena masih menjalin hubungan erat dengan para seniman. "Semoga hubungan antara Pemprov Jatim dan seniman terus terjalin dengan baik,” tambahnya.[tok/ted]

Berita Jatim, Rabu, 09 September 2009 20:01:47 WIB

Meluruskan Logika Berdemokrasi

Boni Hargens

Berbicara tentang demokrasi tidak pernah selesai. Persis di sini, kita bisa membantah dengan tegas tesis 'akhir sejarah' Fukuyama (1992) atau 'akhir ideologi' Bell (1952). Bahwa walaupun ideologi tandingan mati, demokrasi (liberal) tetap bukanlah akhir dari segalanya. Terlepas dari hukum dialektika yang tentu saja berlanjut, demokrasi dalam dirinya mengandung pertentangan. Ada pertentangan inheren dan ada pertentangan ekstern. Pertentangan inheren, misalnya, antara prinsip kebebasan dan prinsip kesetaraan. Kebebasan memberi ruang dan peluang bagi setiap individu untuk berekspresi. Namun, kebebasan itu juga bisa membuat orang tertentu mengabaikan orang lain sehingga tidak ada kesetaraan. Orang kaya bebas memperkaya dirinya, bahkan dengan tidak disadari bahwa dalam tiap peningkatan kekayaan, ada peningkatan kemiskinan di pihak orang lain.


Pertentangan ekstern terjadi pada prinsip dan praktik. Dalam prinsip, demokrasi sempurna, tapi dalam praktik, demokrasi selalu mengandung dan bahkan melahirkan masalah. Itulah yang bisa kita tarik dari pengalaman perang di dunia yang mengatasnamakan demokratisasi (Mann, 2005). Apakah secara moral perang bisa dibenarkan? Sering dibuatkan pembenaran dengan menoleh ke belakang, bahwa 'yang mau damai, perlu siapkan perang', si vis pacem para bellum. Namun, dalam dirinya, perang melawan prinsip kemanusiaan demokratik.

Pertentangan dalam praktik juga ditemukan dalam kasus yang lagi hangat sekarang, yakni fatwa larangan mengemis yang dikeluarkan Majelis Ulama Indonesia di Sumenep, Jawa Timur. Tindakan meminta-minta dinilai dapat merendahkan pribadi seseorang. Fatwa itu pun didukung MUI Pusat. Sejenis dengan itu, di akhir masa jabatan Sutiyoso di Jakarta, Pemerintah Provinsi DKI mengeluarkan Peraturan Daerah Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum yang di dalamnya ditegaskan larangan memberi kepada pengemis dengan sanksi denda maksimal Rp2 juta atau kurungan maksimal 60 hari.

Saat menanggapi hal itu, Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Aburizal Bakrie menegaskan bahwa Departemen Sosial mempunyai suatu program untuk membawa mereka ke perumahan, memberikan pendidikan keterampilan kepada mereka agar mereka tidak mengemis lagi.

Pada 2000-2001, kami pernah bekerja untuk anak jalanan di Jakarta. Apa yang kami temukan pada waktu itu masih terjadi sampai hari ini. Bahwa rumah sosial yang dibangun pemerintah bukanlah solusi untuk para gelandangan. Mereka mengaku tidak betah dan tidak bahagia karena apa yang mereka butuh tidak ditemukan di sana. Yang mereka butuh adalah diperlakukan sebagai manusia yang utuh dengan segala hak dan harkat martabatnya. Apakah perumahan yang dimaksud Menko Kesra sudah menyediakan kebutuhan gelandangan macam itu? Jika ya, kenapa masih banyak yang lari ke jalan?

Demokrasi dalam praktik sering kali membingungkan. Terutama, ketika alat ukur demokrasi adalah prosedur dan kelengkapan peraturan formal. Kalau dilihat dari sudut pandang legal, Fatwa MUI tidak bertentangan dengan hukum negara karena di dalam Pasal 504 dan Pasal 505 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ada larangan mengemis di muka umum. Namun, apakah demokrasi hanya bicara aturan dan prosedur? Bagaimana kalau kita berdebat dalam konteks 'hak hidup'?

Setiap orang berhak untuk hidup. Bahkan salah satu tujuan dasar adanya negara adalah melindungi dan menjamin hak itu. Kaya ataupun miskin, punya hak yang sama untuk hidup. Yang berbeda adalah yang kaya memiliki peluang besar untuk bertahan, sedangkan yang miskin peluangnya kecil dan pilihannya terbatas, bahkan sama sekali tidak punya pilihan. Itu sebabnya mereka turun ke jalan untuk meminta-minta.

Mereka tidak harus turun ke jalan kalau saja negara tahu tanggung jawabnya. Di dalam UUD 1945 Pasal 34, ada kewajiban bagi negara untuk memelihara fakir miskin dan anak terlantar. Pertanyaannya, apa yang telah negara perbuat untuk orang miskin dan terlantar selama 64 tahun Indonesia merdeka?

Secara metaforis, banyaknya orang miskin dalam suatu negara mencerminkan tingginya ketidakpedulian negara terhadap rakyatnya. Dengan kata lain, kehadiran orang miskin adalah representasi dari miskinnya tanggung jawab sosial negara. Logika itu bukan upaya melakukan proyeksi kemalasan (orang miskin) pada negara atau mencari pembenaran untuk berpura-pura lupa bahwa hidup memang absurd seperti logika kaum liberal-egoistik, melainkan untuk melihat masalah ini secara seksama dan dengan bijaksana.

Ketika negara tidak mampu menjamin hidup orang miskin, kekuatan apa pun yang mengatasnamakan masyarakat atau negara tidak bisa secara arogan menghilangkan hak hidup orang miskin. Yang perlu dilakukan adalah bagaimana menghilangkan kemiskinan. Oleh karena itu, pertama-tama perlu memahami genealogi kemiskinan (Jeffrey Sachs, 2005; Giovanna Procacci, 2007), berikut langkah-langkah memerangi kemiskinan dan segala struktur sosial dan politik yang memproduksinya. Jadi, yang diperangi adalah kemiskinan an sich, bukan orang miskin. Persis itu yang perlu dijernihkan lagi dalam kaitannya dengan Fatwa MUI dan Perda DKI Jakarta tahun 2007. Sebab benang yang paling merah dari politik demokrasi adalah menjamin hak hidup setiap warganya, kaya ataupun miskin. []

Oleh: Boni Hargens, Pengajar ilmu politik di Universitas Indonesia; Direktur Lembaga Pemilih Indonesia (LPI)

Media Indonesia, Selasa, 08 September 2009 00:01 WIB

Dahlan Iskan, Soemarsono, dan Front Anti-Komunis

TEMPO Interaktif, Meski sudah 64 tahun merdeka, kita belum merdeka dari kebencian dan dendam kesumat. Meski kemerdekaan itu antara lain berkat seluruh komponen rakyat, termasuk yang komunis, tiap sosok yang dicurigai anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) dimunculkan, selalu ada reaksi berlebihan.

Meski tokoh yang dicap komunis itu berjasa bagi perjuangan kemerdekaan, seolah jasanya dianggap tidak ada.

CEO Jawa Pos sudah menuliskan tokoh seperti itu (Soemarsono) dalam catatan berseri (Jawa Pos, 14-16 Agustus 2009). Dalam tulisannya, Soemarsono disebut sebagai tokoh utama pertempuran Surabaya (1945). Soemarsono juga tokoh utama Peristiwa Madiun 1948. Tulisan itu membuat berang kalangan antikomunis. Sekitar 150 orang yang mengaku anggota Front Anti-Komunis mendatangi kantor redaksi Jawa Pos di gedung Graha Pena, Surabaya, 2 September lalu. Mereka mendesak pemilik Grup Jawa Pos, Dahlan Iskan, meminta maaf kepada umat Islam dan bangsa Indonesia (Koran Tempo, 3 September 2009).

Yang menyedihkan, dalam demo itu terjadi pembakaran buku yang ditulis Soemarsono yang berjudul Revolusi Agustus. Bahkan seorang guru besar sejarah, yaitu Profesor Amminuddin Kasdi, yang memang anti-PKI dan menulis buku G30S/PKI, Bedah Caesar Dewan Revolusi Indonesia, tidak bisa mencegah pembakaran itu. Memprihatinkan, ketika kita tidak mampu mengembangkan budaya ilmiah. Tulisan yang dinilai keliru seharusnya ditanggapi lewat tulisan juga, bukan dengan amarah dan membakar buku.

Dari kejadian itu terlihat betapa pepatah Inggris, time is a healer (waktu adalah sang penyembuh), belum sepenuhnya berlaku di negeri ini, terlebih ketika ada sosok yang dicap PKI dimunculkan ke publik. Demikian juga, tiap kali Peristiwa Madiun 1948 atau Peristiwa 1965 disinggung, selalu ada pihak yang tersinggung. Kita ternyata bangsa pendendam. Kita belum bisa seperti warga Polandia, Rusia, atau negara-negara bekas komunis yang sudah bisa berdamai dengan sejarah mereka, sehingga antara yang dulu komunis dan yang tidak sudah bisa bergandeng tangan memajukan negaranya.

Kita masih diliputi dendam dan kebencian, yang justru terus kita coba lestarikan dan wariskan kepada generasi mendatang yang sebenarnya tidak tahu-menahu akan peristiwa di masa lalu, yang memang banyak versinya. Misalnya peristiwa yang oleh Orde Baru disebut Pemberontakan G30S/PKI. Sejarah 1965 oleh Orba juga didominasi oleh sejarah yang ditulis dari sudut kepentingan penguasa. Untunglah kini sudah muncul puluhan buku yang ditulis dari sudut korban. Apa yang dilakukan Soemarsono bisa jadi dimasukkan dalam kategori ini, karena selama ini publik sudah telanjur memberikan cap buruk kepada Soemarsono. Kini, dengan bukunya, kita paling tidak bisa membaca sejarah dari versi korban orang yang dicap komunis. Apa yang dilakukan Soemarsono jelas memperkaya sejarah kita. Soal kita tidak sependapat, itu bisa dilakukan dengan menulis, bukan dengan membakar bukunya atau marah.

Tentang Peristiwa 1948 atau 1965, kini sudah banyak bukunya. Satu hal pasti, menurut sejarawan Antony Reid dalam bukunya, Revolusi Nasional Indonesia (1996), peristiwa 1965 sebenarnya sangat berkaitan dengan peristiwa 18 September 1948 di Madiun. Yang mengaitkan adalah dendam dan kebencian antara pihak komunis dan penentangnya, mengingat dalam peristiwa 1948 itu memang jatuh banyak korban dari kedua pihak. Karena tidak mau belajar dari sejarah, peristiwa pahit 1948 di Madiun justru diulang pada 1965 dengan skala yang lebih massif. Bayangkan, konon, dalam tragedi 1965 telah jatuh korban lebih dari setengah juta jiwa, bahkan ada yang menyebutkan lebih.

Karena itu, generasi sekarang perlu melihat peristiwa 1965 dengan malu. Ini bukan kata-kata penulis, melainkan kata Prof Dr Azyumardi Azra, Rektor IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, yang menekankan perlunya mengenang sejarah tertentu dengan rasa malu agar kita dapat belajar dengan lebih tepat terhadap kejadian sejarah itu untuk melangkah ke depan dengan keadaban antara korban dan pelaku kenistaan. Lebih lanjut cendekiawan muslim yang dikenal moderat itu juga menekankan betapa yang sangat diperlukan adalah semangat rekonsiliasi (islah dan pemaafan), bukan terus-menerus mengorbankan rasa benci dan dendam.

Selanjutnya Prof Azyumardi mengemukakan empat dimensi pemaafan, (1) Pemaafan dimulai dengan penilaian moral; dalam konteks Islam disebut muhasabah, saling menghitung dan menimbang peristiwa pahit yang telah melukai, melakukan introspeksi dan penilaian moral terhadap kejadian itu. (2) Memutuskan restitusi, kompensasi kepada korban, atau hukuman kepada pelaku. Pemaafan tidak selalu menghapuskan hukuman, namun juga harus menghentikan pembalasan dendam. (3) Menumbuhkan empati kepada pelaku, bagaimanapun ia manusia biasa. (4) Mengembangkan pemahaman bahwa pemaafan murni diperlukan guna memperbarui hubungan antarmanusia, kesiapan hidup berdampingan secara damai dengan segala kelemahan dan kekeliruan masing-masing.

Kita menyambut gembira pada akhir-akhir ini banyak pihak yang orang tuanya terlibat dalam Peristiwa Madiun 1948 atau 1965 terlibat aktif dalam upaya rekonsiliasi, seperti ditunjukkan Amelia Yani, putri ketiga dari Pahlawan Revolusi Letnan Jenderal Achmad Yani, yang bersama Ilham Aidit dkk telah mendirikan Forum Silahturahmi Anak Bangsa. Di tingkat bawah juga layak dihargai upaya-upaya islah yang telah dilakukan warga biasa dengan dukungan teman-teman lembaga swadaya masyarakat, seperti terjadi di Blitar Selatan dan Kediri. Apa yang dilakukan Dahlan Iskan, yang keluarganya di Madiun juga menjadi korban PKI, dengan mendatangkan Soemarsono ke Takeran, Magetan, dan Soemarsono meminta maaf, adalah cara-cara yang sebenarnya layak diapresiasi, bukan malah didemo.

Nah, apa yang dilakukan Dahlan Iskan dkk dengan memfasilitasi tokoh yang dicap PKI dengan para korbannya jelas sangat positif bagi bangsa ini ke depan. Bukankah kita harus lebih mendukung terwujudnya cita-cita rekonsiliasi daripada terprovokasi untuk mewariskan dendam kesumat kepada anak cucu kita?

Mudah-mudahan, seiring dengan bulan suci Ramadan dan sebentar lagi Idul Fitri yang penuh ampunan, kita akan bisa mematikan dendam dan mengupayakan rekonsiliasi sehingga negeri ini ke depan sungguh menjadi bangsa besar. Sebab, kita punya jiwa besar untuk memaafkan dan tidak terus terbelenggu oleh persoalan masa lalu. Kalau terus menuruti sakit hati, persoalan memang hanya akan melingkar-lingkar dalam dendam yang absurd. Sementara itu, kalau kita berani memaafkan, masa depan yang terang benderang pasti akan lebih gampang kita raih. Sekarang tinggal kita percaya yang mana.

Endang Suryadinata: penulis, tinggal di Belanda

Koran Tempo, Senin, 07 September 2009 | 11:56 WIB

Asuransi Kesehatan bagi Seniman Jatim

GUBERNUR JANJIKAN SENIMAN JAWA TIMUR DAPAT JAMINAN KESEHATAN

Silaturahmi Gubernur dengan seniman dan budayawan Jatim


Rabu, 9 September 2009 pukul 09.00 wib bertempat di Graha Wisata Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Propinsi Jatim Jl Wisata Menanggal Surabaya, sejumlah 300 seniman menerima tali asih dari Gubernur Jawa Timur. Seni sebagai pembersih jiwa. Karena itu seniman dipahamai oleh Gubernur sebagai penjaga nilai pada identitas dalam berbangsa dan bernegara. Karena itu ketika tari pendet di klaim oleh Malaysia, kita jadi tersadar bahwa kesenian adalah bagian dari nilai kebangsaan.


Dalam kesempatan tersebut, Gubernur Jatim menggulirkan program Jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas) untuk seniman sehingga nantinya pemerintah provinsi akan memberikan asuransi kesehatan kepada seniman.Disiapkan tahun 2010 sebanyak 2 ribu polis asuransi untuk seniman di Jawa Timur yang akan dilakukan pendataan secara bertahap.

Secara terpisah Bapak Ir Hadi Pasetyo, ME, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Propinsi Jawa Timur (Bappeprov Jatim) berencana menggalang dana kesejahteraan untuk seniman yang diperoleh dari Corporate Social Responsibilty.

Achmad Fauzi, Ketua Umum Dewan Kesenian Jatim, menyatakan “ Kita sangat berbangga dan memberikan apresiasi tinggi kepada Gubernur Jatim yang telah memberikan perhatian dan kepedulian kepada seniman melalui program Jamkesmas khusus seniman, dan merupakan program pertama di Indonesia.”.[]

Konfirmasi:
Achmad Fauzi
Ketua Umum Dewan Kesenian Jatim
Jl. Wisata Menanggal
Surabaya
Telp/fax 031-8554304
081 330 89 73 27,
031- 700288 02,
081 94 64 722 72

Email:dk_jatim@yahoo.com
www.dewankesenianjatim.com

*Publikasi ini disebarluaskan oleh Departemen Komunikasi dan Informasi
Dewan Kesenian Jawa Timur.

Rabu, 9 September 2009

Seni dan Kebangsaan

Audifax


Serumpun padi tumbuh di sawah
Hijau menguning daunnya
Tumbuh di sawah penuh berlumpur
Di pangkuan ibu pertiwi


Serumpun Padi (R. Maladi)

Adakah sebuah simbol yang bisa mempersatukan pluralitas yang ada di Indonesia?
Para founding father Indonesia bisa dikatakan telah memikirkan ''simbol'' yang bisa mempersatukan keberbedaan yang merentang dari Sabang sampai Merauke. Setidaknya, itulah yang membuat kita bisa memberi jawaban teoretis: Simbol Garuda Pancasila pada pertanyaan di atas. Jawaban inilah yang diajarkan sejak sekolah dasar hingga pendidikan tinggi, sehingga tertanam dalam alam-pra-sadar, mirip ingatan akan nomor pin, nomor telepon, dan sejenisnya; yang sewaktu-waktu bisa di-recall dari memori. Akhirnya, otomatisasi semacam ini membuat esensi dan eksistensi dari pluralisme (beserta segala keindahannya) menjadi terlupakan; seolah selesai hanya dengan jawaban: Simbol Garuda Pancasila!


Rasa (sense) akan pluralitas justru sering me¬lenyap dalam gempita perayaan di mana-mana, dalam berbagai ritual kosong yang tak lebih dari otomatisasi. Kebhinnekatunggalikaan dirayakan tiap Hari Kartini dan 17 Agustus, tetapi toh ketakmampuan menerima kebhinnekaan juga merebak di mana-mana. Inilah titik di mana ''rasa'' akan pluralitas sudah kehilangan kemampuan untuk merasakan keindahan pluralitas, seperti halnya tanpa ''rasa'' orang akan kesulitan memahami keindahan suatu karya seni.

Keindahan karya seni memiliki kesimetrian dengan keindahan pluralitas, yaitu pada kemampuannya untuk tak pernah tuntas menyampaikan makna. Sense of art sejatinya adalah keterbukaan pada kehadiran liyan atau apa pun yang berbeda dariku. Ketika aku mengapresiasi keindahan karya seni, di situ ada ''liyan'' yang mengajak aku untuk mentransendensi dari imanensiku. Keindahan seni selalu absurd dalam berbagai kemungkinan apresiasi atas kemenampakannya. Inilah keindahan yang merayakan ''rasa'' keterbukaan pada liyan. Di sinilah rasa-akan-pluralitas (sense of plurality) berdekatan dengan rasa-akan-seni (sense of art), ketika keduanya sama-sama merayakan Yang-Lain (The Other, Liyan) dalam kehidupan... kehidupan kebangsaan.

Seperti halnya ketika ketiadaan, kesementaraan, kejanggalan, ketakterkataan, keterpesonaan, dan ketakterjelasan senantiasa membayangi keindahan karya seni. Demikian pula hal-hal itu sejatinya membayangi keindahan kehidupan suatu bangsa yang plural. Maka, menjalani hari-hari kehidupan dalam bangsa yang plural ibarat menjalani hari-hari mengapresiasi keindahan karya seni.

Garuda Pancasila yang menggenggam pita bertulis ''Bhinneka Tunggal Ika'' boleh saja menjadi simbol yang menjawab pertanyaan tentang pluralitas, tetapi pluralitas itu sendiri mesti dipahami sebagai sesuatu yang mendahului simbol itu. Jika tidak, niscaya keterjebakan pada simbol dan ritualitas yang bakal terjadi. Lalu apa yang mendahului simbol Garuda Pancasila? Di sinilah kita bicara sesuatu yang bahkan mendahului ontologi dari segala konsep dan simbol. Inilah sesuatu yang dalam pemikiran platonian dikenal dengan nama ''idea'' atau sesuatu yang lebih suka saya sebut ''arche''.

Garuda Pancasila sejatinya adalah representasi dari idea atau arche. Artinya, simbol itu mencoba mengomunikasikan sesuatu yang sebenarnya tak terkatakan. Apa yang tak terkatakan itulah sebuah rasa keindahan yang mendahului manifestasi bentuk, tetapi sekaligus larut dalam proses kehidupan sehari-hari sebagai spirit yang menuntun (spiritus rector) ketika manusia berhadapan dengan bentuk. Simbol Garuda Pancasila tidak memiliki sejarah dalam dirinya sendiri. Sejarahnya justru terletak pada Yang-Lain, yaitu pluralitas yang merentang dari Sabang sampai Merauke.

Di sinilah kita bisa merenung lebih jauh bahwa historisitas bukanlah ''kebenaran'', melainkan responsibilitas (tanggung jawab). Ketika kita tak terjebak menjadikan historisitas sebagai kebenaran, historisitas itu akan tetap berada pada misterinya. Nah, misteri historisitas inilah yang menyatukan ''rasa at home'' bagi siapa pun yang mampu merasakan ''rasa keindahan'' akibat menampaknya Yang-Lain atau segala perbedaan yang merentang di wilayah Nusantara. Orang yang menghargai historisitas justru tak akan menjadikan dirinya terjebak dalam masa lalu atau menjadikan masa lalu sebagai kebenaran fundamental.

Orang yang menghargai historisitas justru akan menjadikan historisitas itu sendiri tetap dalam misterinya, misteri yang keindahannya akan selalu menyampaikan nuansa at home dan kita gunakan untuk memandu perjalanan ke masa depan, perjalanan yang penuh perjumpaan demi perjumpaan dalam kehidupan bersama dengan Yang-Lain. Pada titik inilah baru kita bisa merasakan keindahan sebuah hidup berkebangsaan di negeri yang begitu plural ini.

Di titik inilah Garuda Pancasila bukan sesuatu yang jauh di awang-awang dalam transendensinya, seperti sering diritualkan dalam peringatan Pancasila Sakti, ditempelkan di atas papan tulis setiap kelas, atau dipasang di kantor-kantor di seantero negeri, seolah simbol itu memberi berkat bagi pemasangnya. Kekuatan simbol Garuda Pancasila justru terasa ketika ia hadir dalam kehidupan bukan sekadar sebagai simbol, tetapi sebagai spirit yang menampak dalam tindak-laku sehari-hari, dalam bagaimana masing-masing dari ''aku'' yang berhadapan dengan ''liyan'' dalam sebuah hidup berkebangsaan.

Yang hendak saya sampaikan bahwa Garuda Pancasila sebagai ontologi-simbolis yang membawa pesan pluralitas bangsa adalah juga sebuah afirmasi pada ketakmungkinan untuk membunuh apa pun kondisi yang menampak pada wajah liyan. Ontologi simbol Garuda Pancasila sejatinya merupakan sesuatu yang memuat pesan pluralitas. Dengan demikian, simbol itu adalah pengingat bagaimana kita menerima penampakan Yang-Lain di hadapan kita sebagai ''wajah'' serta bagaimana dengan keramahan kita mampu menjalin relasi dengan liyan yang tak mungkin kita reduksi pada suatu upaya mengomprehensikan menjadi sebuah konsep tunggal; karena liyan dalam pluralitas adalah sesuatu yang infinit. Dalam infinitas itulah terdapat tema-tema yang sejatinya merupakan pembentuk ontologi Garuda Pancasila.

Kita bisa memahami lebih jauh bahwa apresiasi keindahan seni bukan sesuatu yang ada dalam paradigma: sesuatu yang harus aku lakukan, melainkan sesuatu yang mesti kita biarkan meng-ada. Kita harus membuka diri secara pasif terhadap ''ada'', menyerahkan imanensi kita pada keberadaan Yang-Lain yang secara misterius takkan habis. Di sini lalu ''ada'' itu adalah ''waktu'' itu sendiri, karena ''ada'' ini kemudian melampaui segala kesementaraan. Inilah ''ada'' yang terdapat pada keindahan karya-karya seni yang rasa keindahannya melampaui zaman. Lewat pemahaman semacam ini, niscaya kehidupan bersama bangsa yang plural tetap terjaga keindahannya.

Dengan demikian, seni adalah sesuatu yang penting bagi kehidupan, terutama bagaimana memahami hidup itu sendiri sebagai seni. Lewat cara inilah hidup bisa tampil dalam keindahan layaknya seni. Dalam kehidupan di sebuah bangsa yang begitu plural, memahami kehidupan layaknya seni adalah sesuatu yang penting, karena di situlah bisa ditemukan kemanusiaan. Saya sepakat dengan Nano Riantiarno dalam sebuah wawancara di Koran Tempo 7 Januari 2007. Apa pentingnya belajar kesenian buat anak-anak? Nano mengatakan: Sentuhan seni sejak kecil merupakan investasi batiniah yang luar biasa. Rasa keindahan dan alam akan memengaruhi ekspresi dia, di mana pun. Kalau dia menjadi ekonom, ulasannya bukan saja membandingkan dari segi ekonomi, melainkan juga di luar itu. Dia akan banyak membaca novel, puisi, nonton teater sehingga ulasannya menjadi sesuatu yang menyentuh secara kemanusiaan.

Membiasakan melihat keindahan hidup sebagai seni, memang selayaknya dibiasakan sejak masa kanak-kanak. Dengan cara ini diharapkan kelak jika dewasa, sang anak mampu melihat kehidupan secara lebih manusiawi, lebih mampu menerima kemenampakan Yang-Lain sebagai sebuah kemungkinan untuk mentransendensi dari imanensi dan karenanya selalu ada keindahan dalam setiap kemungkinan itu.

Serumpun jiwa suci
Hidupnya nista abadi
Serumpun padi mengandung janji
Harapan ibu pertiwi


*) Audifax, Research Director di SMART Human Re-Search & Psychological Development, Surabaya

Jawa Pos, Minggu, 23 Agustus 2009

"Mutilasi" Budaya

Ahmad Nyarwi

Di tengah seminar internasional di Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM), kami ikut tour dan informal meeting dengan sejumlah kolega akademisi dari fakultas ilmu sosial dan ilmu budaya universitas itu. Tour antara lain ke Kuala Lumpur dan Putra Jaya, ibu kota kebanggaan Malaysia. Ketika sampai di depan kantor Perdana Menteri Malaysia, saya bertanya kepada kolega dari UKM tentang ”kemegahan” Putra Jaya. Kota yang masih sepi, tetapi mengapa dibangun semegah itu? Untuk apa? Seorang dosen UKM menjawab, ”Putra Jaya” dibangun sebagai ibu kota negara dan disiapkan untuk tiga ratus tahun ke depan? Rupanya Malaysia sudah jauh memikirkan perjalanan negerinya hingga tiga ratus tahun ke depan. Ini berbeda dengan yang kita hadapi dan dipikirkan elite politik di Indonesia.


Dalam acara makan malam, saya sempat berdiskusi dengan peserta seminar dari beberapa negara di Asia seputar isu-isu di Asia Tenggara, terutama Malaysia dan Indonesia. Di tengah percakapan itu, seorang kawan dari Indonesia yang sedang kuliah doktoral di UKM berkelakar dengan pertanyaan. ”Apa perbedaan mendasar antara Indonesia dan Malaysia sebagai negara- bangsa?” Teman saya menjawab, ”Indonesia memiliki masa lalu, tetapi tidak memiliki masa depan. Sebaliknya, Malaysia memiliki masa depan, tetapi tidak memiliki masa lalu.”

”Mutilasi” warisan budaya

Kelakar itu bukan sekadar banyolan. ”Kegelisahan” Malaysia akan ”masa lalu” membuat tindakan mereka ”nakal dan brutal” yang memancing kemarahan kita. Dalam membangun pariwisata, mereka membabi buta, sederet warisan budaya Indonesia di-”mutilasi” Malaysia. Lagu ”Rasa Sayange”, angklung, batik, reog ponorogo, dan yang terakhir tari pendet dari Bali bisa jadi akan terus ”dimutilasi” dan digunakan Malaysia dalam iklan pariwisata.

Eksistensi negara-bangsa secara normatif ditentukan oleh kemampuannya dalam merespons sejumlah tantangan mendasar. Roger King dan Gavin Kendall (2004:3-8) dalam The State, Democracy and Globalization menyampaikan empat tantangan utama yang akan terus menguji eksistensi negara-bangsa. Keempat tantangan itu ialah globalisasi, kekuatan supra state, fragmentasi wilayah nasional, dan meningkatkan sikap politik apatis terhadap negara, juga perubahan gaya hidup.

Fakta obyektif menunjukkan, kita belum maksimal mengelola peluang dari proses globalisasi. Kita bahkan masih menjadi obyek berbagai kekuatan supra state di level regional dan global.

Otonomi dan desentralisasi masih menyisakan krisis ”kapasitas pemerintahan daerah” dan krisis identitas politik lokal pembangunan NKRI. Soal gaya hidup, warisan budaya tradisional kita juga kian jauh terpinggirkan dari memori publik, baik generasi tua, apalagi generasi muda, di tengah gelombang ”budaya baru” yang terus menjamur.

Masalah serius yang sedang kita hadapi adalah ”mutilasi” warisan budaya. Ini merupakan modus baru yang mengancam eksistensi Indonesia, sebagai sebuah negara-bangsa.

Sebagaimana pendapat Roger King dan Gavin Kendall (2004:11), ancaman eksistensi negara-bangsa tidak hanya terkait pelecehan terhadap simbol- simbol bendera, bahasa, dan simbol nasional lainnya. Ancaman juga muncul dari hilangnya warisan budaya bangsa, baik karena proses internal maupun eksternal, seperti kasus ”mutilasi” yang dilakukan Malaysia terhadap warisan budaya kita.

Belum terlambat

Kasus ”mutilasi” warisan budaya ini tidak dapat dihadapi layaknya kasus kriminal. Sebab, ”mutilasi” warisan budaya jauh lebih berbahaya daripada ”perang dan ancaman fisik” yang dihadapi negara-bangsa.

”Mutilasi” warisan budaya ini sering tidak kita sadari karena Indonesia ”terlalu” merasa kaya dengan berbagai warisan budaya yang dimilikinya. Perubahan kesadaran secara radikal kian dibutuhkan karena Indonesia sebagai negara-bangsa belum mampu memiliki konstruksi imaji masa depan secara jelas.

Berbagai persoalan publik, seperti korupsi, krisis lapangan kerja, kemiskinan, problem pendidikan, dan pariwisata, masih cenderung diselesaikan dengan target jangka pendek. APBN kita barangkali memang tidak akan memadai untuk merancang ”narasi emas” bangsa Indonesia untuk seratus tahun, dua ratus tahun, atau bahkan tiga ratus tahun ke depan.

Kendati demikian, para elite politik negeri ini harus segera menawarkan jawaban akan ”narasi emas” masa depan Indonesia untuk puluhan atau bahkan ratusan tahun mendatang.

Hal ini tidak mudah karena lembaga-lembaga publik dan pemerintahan kita juga masih dipenuhi oleh barisan ”generasi short cut” yang terus rabun dengan dan tergagap ketika ditanyakan seputar ”narasi emas” Indonesia, puluhan tahun atau bahkan ratusan tahun mendatang.

Akibatnya, kita cenderung ”berjalan lambat” dan ”rabun” terhadap berbagai persoalan yang akan mengancam eksistensi Indonesia di masa depan. ”Narasi emas” sebagai potret masa depan Indonesia kita butuhkan sebagai jawaban atas krisis itu.

Semuanya belum terlambat jika kita memulainya dari sekarang.[]

--Ahmad Nyarwi Pengajar Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

Kompas, Senin, 7 September 2009 | 04:14 WIB