Seniman pun Berhak atas Anggaran Publik [4]

Pos Kebudayaan


Lantas berapa nilai belanja untuk pos pengembangan kesenian dan kebudayaan di Jatim? Mengamati RAPBD 2007 yang sampai kini masih jadi bahan perdebatan, tercatat Rp 28 miliar lebih disalurkan lewat Dinas Pendidikan dan Kebudayaan. Dana itu rencana digunakan untuk memutar program pengembangan nilai budaya sebesar Rp 5 miliar lebih, pengelolaan kekayaan budaya Rp 12 miliar lebih, dan program pengelolaan keragaman budaya Rp 5 miliar lebih.



Total Rp 22 miliar lebih disalurkan lewat Dinas Pariwisata, yang anehnya hanya sekitar Rp 75 juta diperuntukkan untuk program pengembangan dan pemasaran pariwisata (termasuk kesenian), Rp 350 juta untuk menggelar East Java Art Festival, dan sisanya sebagian besar untuk gaji pegawai dan belanja internal dinas. Jumlah itu masih ditambah dengan Rp 8 miliar lebih untuk Biro Pengembangan Mental dan Spiritual yang ternyata juga mengurusi kegiatan pendidikan dan kebudayaan dengan alokasi anggaran Rp 3 miliar.

Rumit memang. Tapi itulah. Dana pengembangan kebudayaan yang jumlahnya tak seberapa bila dibandingkan dengan total RAPBD yang Rp 5 triliun lebih itu, dibagi-bagi, laiknya kue-kue nikmat yang disebar lewat dinas-dinas dan biro-biro yang berbeda yang celakanya, memiliki fungsi nyaris sama.

Sekadar tahu, dalam struktur kerja pemerintahan di Pemprov Jatim, bidang kesenian dan kebudayaan berada dalam naungan Dinas Pariwisata dan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan. Selain itu ada Biro Pengembangan Mental dan Spiritual, selain Taman Budaya dan Subdin Kebudayaan yang kepanjangan tangan dari Dinas Pendidikan dan

Kebudayaan. Lembaga ini masing-masing juga menikmati bagian dana yang berasal dari anggaran dana negara.

Tidak Jelas

Tidak jelas memang apa realisasi program yang mereka tawarkan untuk pengembangan kesenian dan kebudayaan. Kemana pula dana miliaran rupiah ini bakal mengalir. Seperti tahun-tahun lalu, para seniman tak pernah dilibatkan dalam penyusunan program-program pemerintah, meski kenyataannya mereka jualah nantinya yang menjadi aktor dalam pengembangan kebudayaan. “Pemerintah ini seolah tidak membutuhkan seniman dalam penyusunan program,” ujar Autar Abdilah.

Selama ini, katanya, seniman tidak pernah diajak sharing merancang program bersama. Kecuali oleh Taman Budaya.

“Itupun baru-baru ini saja diadakan,” imbuh Autar.

Nampaknya, bersamaan dengan debat demokratis soal RAPBD 2007, sekaranglah saat yang tepat bagi rakyat, seniman dan budayawan menyuarakan hak-haknya. Bernegosiasi langsung. Bahkan berani memboikot bila kebijakan anggaran ternyata tak berpihak. [*]


Diproduksi oleh: Ngaji Kesenian hasil kerjasama Harian Surya, Yayasan Tantular, dan Desantara Institute for Cultural Studies. [SURYA-ONLINE, Sunday, 04 February 2007]

0 tanggapan: