Seniman pun Berhak atas Anggaran Publik [2]

Kebijakan Top-down

Penghargaan, festival-festival dan gebyar-gebyar inilah rupanya yang menjadi program dinas-dinas terkait dengan pengelolaan kebudayaan. Bukan program pengembangan kebudayaan rakyat agar lebih dinamis. Bukan pula perbaikan nasib para seniman dengan kemudahan dan fasilitas bagi mereka.



“Aneh, kayaknya pemerintah punya program sendiri,” tutur Autar Abdilah yang bersama seniman pernah mengusulkan program dana talangan untuk seniman kepada pemerintah, namun ditolak. Apalagi seperti dibenarkan Sinarto—Wakil Ketua Taman Budaya Jatim—pemerintah, katanya, memiliki rencana pembangunan sendiri yang tidak mengharuskan keterlibatan seniman dalam penentuan maupun penyusunan anggaran.

Pantas sajalah kalau para seniman mengeluh karena sebagian besar mereka ternyata tidak memperoleh manfaat dari program-program kebudayaan yang dibiayai dana APBD ini. Tercatat, misalnya, total dana RAPBD Provinsi Jatim tahun 2007 yang dianggarkan untuk pengembangan kebudayaan yang disalurkan lewat Dinas Pendidikan sebesar Rp 28 miliar lebih.

Sayangnya, sambung Rofi Munawar, Wakil Ketua Komisi E DPRD Jatim, seperti tahun anggaran sebelumnya sebagian besar dana tersebut digunakan untuk belanja internal dinas ketimbang untuk pelayanan publik seniman sendiri.

Seperti tercermin dalam program kerjanya, selain itu dana-dana tersebut biasanya mengucur guna membiayai festival-festival atau proyek-proyek lain yang disusun secara elitis dan hanya melibatkan segelintir seniman saja. Tak bisa dipungkiri, program-program pemerintah pun cenderung monoton.

“Dinas-dinas itu tidak kreatif, tidak ada terobosan baru. Mereka tidak menawarkan program yang lebih menarik untuk kemajuan kesenian,” kritisi Suyoto, Ketua Fraksi PAN DPRD Jatim. Pendapat tersebut diamini Ketua Fraksi Kebangkitan Bangsa, Masruroh Wahid yang menyatakan, Dinas Pendidikan dan Pariwisata belum memberikan peluang bagi seniman untuk berpartisipasi dalam pengembangan kesenian. “Terkesan program-program itu hanya rutinitas belaka. Tak ada yang baru.”

Fakta ini bukan omong kosong. Jajaran birokrasi di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan pun mengakui. Effi Wijayanti tak menampik kalau pemerintah daerah selama ini tidak memiliki program yang relatif baru. Hampir semua program mengkopi program sebelumnya seperti pelatihan dan lokakarya-lokakarya. “Untuk pengembangan kesenian kami pun mengadakan festival kesenian secara periodik,” jelas staf subdin kebudayaan ini tanpa merinci lebih jauh bentuknya seperti apa dan siapa yang terlibat dalam gebyar festival semacam itu.

Kebijakan top-down, barangkali itulah kata yang pas untuk menilai penyusunan program dan rencana anggaran kebudayaan di hampir semua pemerintah daerah/kota di Jawa Timur. Meski, fenomena ini hampir selalu ditampik para birokrat kebudayaan yang mengklaim keterlibatan para seniman dalam setiap kepanitiaan festival.

Tapi buru-buru klaim ini dibantah para seniman sendiri. Keterlibatan seniman seperti yang pernah difasilitasi oleh Biro Taman Budaya akhir 2006 lalu hanya pemanis belaka. Beragam evaluasi dan masukan kepada pemerintah tidak menjamin perbaikan program, kata Autar Abdilah, salah satu seniman yang juga anggota Dewan Kesenian Surabaya (DKS) ini.

Minim Partisipasi

Di tengah minimnya dukungan pemerintah terhadap kaum seniman, staf pengajar di Unesa Surabaya ini menguak cerita menarik. Katanya, selama ini pemerintah menganggap seniman tidak mampu mandiri. Tak memiliki pengetahuan dan manajemen yang baik. Selain itu para seniman dinilai sering terlibat dalam konflik antarsesama mereka sendiri, sehingga menjadi alasan untuk membatasi partisipasi mereka. Benarkah anggapan ini?

Jawaban jelas ada di benak para seniman sendiri. Partisipasi dalam kebijakan anggaran sangat ditentukan oleh tekad mereka menepis anggapan itu. Tentu saja, tekad untuk merebut apa yang menjadi hak para seniman sendiri. *[]


Diproduksi oleh: Ngaji Kesenian hasil kerjasama Harian Surya, Yayasan Tantular, dan Desantara Institute for Cultural Studies. [SURYA-ONLINE, Sunday, 04 February 2007]

0 tanggapan: