Seniman pun Berhak atas Anggaran Publik [1]

Program Pemerintah Sebatas Gebyar-gebyar

“Seharusnya kesenian seperti ludruk dapat dana pengembangan. Jangankan dana, nengok saja mereka nggak mau,” ujar Sakia Sunaryo, seniman ludruk, awak grup Irama Budaya Surabaya, dengan raut muka penuh kesal. Mereka yang dimaksud di sini adalah para pejabat dan pegawai pemerintah yang juga sering disebut sebagai pelayan publik.



Sakia, yang sudah meludruk nobong selama 20 tahun itu, pantas kesal karena pemerintah seolah tak peduli pada nasib seniman ludruk ketimbang industri kesenian modern. Padahal, menurut pria yang turut melahirkan kader seniman ludruk hingga sekarang ini, pemerintah sebenarnya berkewajiban melayani para seniman yang juga bagian dari anggotamasyarakat lainnya.

“Kalau pemerintah tanggap terhadap kebutuhan seniman, perlakuan seperti ini tak akan terjadi,” tutur seniman yang memimpikan grupnya bisa tampil di Taman Mini, Jakarta.

Apa yang dirasakan Saskia juga dialami seniman lainnya di Jawa Timur. Menyandang profesi sebagai seniman tradisional, mereka harus bersaing dengan industri kesenian modern yang dengan dukungan manajemen profesional begitu menikmati regulasi ekonomi yang amat menguntungkan para pebisnis di industri ini.

Di pihak lain, pemerintah terasa tidak adil karena mengabaikan profesi seniman. Seolah-seolah mereka berbeda dengan jenis profesi lain seperti petani, buruh, guru, atau para pengusaha itu yang justru kerap memperoleh kemudahan dan fasilitas negara secara berlebihan.

Choirul Anwar, seniman jemblung, asal Kediri, juga merasakan keprihatinan serupa. Komentar seniman inipun lebih tajam. “Dinas-dinas yang mengurusi kesenian di pemda tak memiliki komitmen yang jelas.” Banyak pejabat, lanjut Anwar, tidak mengerti seluk beluk kesenian dan kehidupan para seniman. “Dinas Pariwisata maunya seni tampilan sesaat. Usai tampil tak ada pembinaan, apalagi dana.”

Pandangan senada dilontarkan Sumitro Hadi dan Mbok Temu, seniman gandrung asal Banyuwangi. Menurut Sumitro, program pemerintah selama ini hanya sebatas gebyar-gebyar. Ia pun menyindir perilaku para birokrat pariwisata yang sering memanfaatkan seniman demi meraup proyek bernilai jutaan rupiah. “Kebutuhan seniman di daerah tak diakomodasi. Birokrasi hanya mengejar proyek untuk mendapatkan dana pemerintah,” kata Hadi.

Lain lagi dengan Mbok Temu. Penari gandrung yang kaset dan CD-nya laris di pasaran ini mengaku pernah diundang ke Surabaya. Di ibu kota provinsi ini ia dianugerahi selembar penghargaan oleh Pemprov Jawa Timur. “Hanya itu tok.

Sebatas itu,” ucap perempuan yang mukim di kampung Kemiren. []

Diproduksi oleh: Ngaji Kesenian hasil kerjasama Harian Surya, Yayasan Tantular, dan Desantara Institute for Cultural Studies. [SURYA-ONLINE, Sunday, 04 February 2007]

0 tanggapan: