Perbedaan Fatwa, Wacana, dan Vonis

Oleh A. Mustofa Bisri

Wacana, secara garis besar menurut kamus (KBBI), bermakna ucapan; perkataan; tutur atau keseluruhan tutur yang merupakan suatu kesatuan. Sebagai contoh, ungkapan seperti, ''Masalah ini baru merupakan wacana", berarti baru merupakan tuturan.


Wacana berbeda dengan fatwa, yang menurut kamus berarti: jawab (keputusan, pendapat) yang diberikan oleh mufti tentang suatu masalah; atau secara kiasan: nasihat orang alim; pelajaran baik; petuah. Dan lebih berbeda lagi dengan vonis, yang berarti putusan hakim atau hukuman.

Dalam kitab-kitab fikih, mufti, pemberi fatwa, dibedakan dengan hakim. Mufti hanya memberikan informasi kepada dan sesuai pertanyaan si peminta fatwa. Sementara hakim memutuskan hukuman setelah mendengarkan berbagai pihak seperti penuntut, terdakwa, dan saksi-saksi. Berbeda dengan putusan hakim, fatwa tidak memiliki kekuatan memaksa. Tidak mengikat kecuali bagi si peminta fatwa.

Itu pun dengan beberapa catatan, antara lain, bila si peminta fatwa hanya mendapat fatwa dari satu pihak/pemberi fatwa dan fatwa yang diberikan sesuai dengan kemantapan hatinya. Apabila ada dua pihak yang memberi fatwa dan berbeda, maka dia mengikuti fatwa yang sesuai dengan kata hatinya. Ini didasarkan kepada hadis Nabi Muhammad SAW, Istafti qalbak/nafsak wain aftaaka an-naas... (Mintalah fatwa hati nuranimu meski orang-orang sudah memberimu fatwa...).

Istilah Perlu Dijelaskan

Istilah-istilah itu -seperti banyak istilah lainnya- perlu dijelaskan, pertama, karena kenyataan membuktikan bahwa di negeri ini banyak sekali istilah yang karena tidak pernah dijelaskan, hanya asal diucapkan, telah membuat silang-sengkarut, bahkan silang-sengketa yang berkepanjangan. Kedua, semakin merajalelanya wacana tentang dan fatwa MUI. Ketika wacana, misalnya, dianggap fatwa atau vonis, maka akan -bahkan sudah sering- memunculkan tidak hanya wacana tandingan, tapi fatwa atau bahkan vonis, penghukuman. Penghukuman ini pun sering dilakukan oleh pihak yang tidak berhak menghakimi. Karena ketidaktahuan tentang apa itu fatwa, misalnya, terbukti menimbulkan ''vonis'' serampangan yang sangat bodoh dan konyol.

Kemarin orang ramai membicarakan wacana mengenai fatwa-fatwa MUI. Sekarang setelah ijtimaknya di Padang Panjang usai, ramai -dan untuk beberapa waktu insya Allah akan terus ramai- dibicarakan mengenai fatwa MUI mengenai hukum rokok, golput, yoga, dsb.

Sejak didirikan pemerintah Orde Baru, dulu MUI hanya melayani permintaan fatwa dan untuk kepentingan pemerintah. Namun sejak isu lemak babi, popularitas MUI terus melejit. Lemak babi telah mendorong MUI memulai era barunya, mengembangkan ''usaha''-nya.

Demi melindungi masyarakat muslim Indonesia dari terkena lemak babi atau hal-hal haram lainnya, MUI melakukan penelitian terhadap produk-produk yang akan dikonsumsi masyarakat. MUI pun laris manis. Permintaan sertifikat halal berdatangan dari perusahaan-perusahaan dan pabrik-pabrik.

Karena untuk mengeluarkan sertifikat, MUI perlu melakukan penelitian-penelitian dan penelitian-penelitian membutuhkan biaya yang tidak sedikit; sedangkan dana MUI terbatas, maka saya pernah mengusulkan mbok Label Halal diganti saja dengan Label Haram. Pasalnya, yang haram hanya sedikit dan yang halal terlalu banyak. Pikir saya, nanti merepotkan MUI sendiri.

Makin Pede

Begitulah, lama-lama MUI semakin pede, semakin giat dan rajin berfatwa. Pesanan fatwa pun semakin meningkat, tidak hanya dari pihak pemerintah. Apalagi sejak fatwa spektakulernya tentang aliran sesat yang dampaknya luar biasa dahsyat, dari sekadar memunculkan wacana-wacana hingga aksi-aksi penghakiman.

Misalnya, mereka yang tidak paham perbedaan fatwa dan vonis, sekaligus tidak terdidik hidup berbudaya Islami pun menjadikan fatwa sesat MUI itu sebagai dalil pembenar untuk melakukan vonis alias menghakimi sendiri siapa yang mereka anggap beraliran sesat.

MUI pun akhirnya menjadi lembaga yang menakutkan. Tidak heran jika wakil presiden sampai berpesan dalam pembukaan Ijtimak Komisi Fatwa MUI kemarin, agar MUI jangan mengeluarkan fatwa yang meresahkan dan menjadi ketakutan baru, tapi menjadi solusi (JP, Minggu 25 Januari 2009).

Sebetulnya, resah dan takut tidak perlu terjadi seandainya semua orang memahami betul makna ketiga istilah yang dari awal coba saya jelaskan itu. Jangankan wacana, fatwa saja bukanlah sesuatu yang harus dipahami atau disikapi sebagai vonis. Tidak saja karena hal itu bertentangan dengan pengertian bahasa, tapi juga menyalahi pengertian secara istilahi.

Fatwa sendiri dalam istilah agama atau -sempitnya: fikh- mirip dengan pengertian bahasanya. Jawab mufti terhadap masalah keberagamaan. Dulu fatwa memang diminta dan diberikan mufti secara perorangan. Mufti yang boleh ditanya dan memberikan fatwa ialah orang yang memenuhi kriteria tertentu.

Tidak sembarang orang, misalnya, pensiunan pegawai tinggi Depag tidak bisa dijadikan ukuran. Para ulama berbeda mengenai rincian kriteria mufti, ada yang ketat, ada yang agak longgar. Ada yang mensyaratkan mufti harus mujtahid. Ada yang sekadar menyatakan -seperti Imam Malik- bahwa orang yang alim tidak seyogianya memberikan fatwa, sampai dia tahu bahwa orang melihatnya pantas memberikan fatwa dan demikian juga dirinya sendiri merasa pantas.

Secara garis besar, semua menyepakati bahwa yang diperkenankan diminta dan memberi fatwa hanyalah mereka yang memang ahlinya.

Fatwa, menurut para ulama, juga ada etikanya. Misalnya, mufti tidak boleh tergesa-gesa memberikan fatwa. Ibn Qayyim, misalnya, dalam salah satu kitabnya menyatakan, ''Dulu ulama salaf, para sahabat nabi dan tabi'ien, tidak suka cepat-cepat memberikan fatwa. Masing-masing mereka justru mengharap fatwa diberikan oleh selain dirinya.

Apabila sudah jelas bahwa fatwa itu harus diberikan olehnya, maka dia pun akan mengerahkan segala tenaga dan pikiran untuk mengetahui hukum masalah yang dimintakan fatwa itu, dari kitab Quran, Sunnah Rasulullah SAW, pendapat Khalifah Rasyidin.

Menurut Imam Ahmad Ibn Hanbal, mufti tidak boleh menjawab apa saja yang ditanyakan kepadanya. Dan orang tidak boleh mengajukan dirinya untuk memberikan fatwa kecuali telah memenuhi 5 (lima) hal. Pertama, dia mempunyai niat yang tulus lillahi ta'alaa. Tidak mengharapkan kedudukan dan sebagainya.

Kedua, dia berdiri di atas ilmu, sikap lapang dada, anggun, dan tenang. Karena bila tidak demikian, dia tidak bisa menjelaskan hukum-hukum agama dengan baik.

Ketiga, dia harus kuat pada posisinya dan pengetahuannya. Keempat, kecukupan. Mufti harus cukup. Bila tidak, akan membuat tidak senangnya masyarakat. Sebab, bila mufti tidak memiliki kecukupan, dia akan membutuhkan masyarakat dan mengambil (materi) dari tangan mereka. Masyarakat akan merasa dirugikan.

Kelima, mufti harus mengenal masyarakat. Artinya, dia harus tahu kejiwaan si peminta fatwa dan mengerti benar pengaruh fatwanya dan tersebarnya di masyarakat.

Karena fatwa intinya adalah kemaslahatan masyarakat, maka menurut Imam Syatibi, mufti yang mencapai derajat puncak adalah mufti yang membawa masyarakat ke kondisi tengah-tengah seperti yang dikenal masyarakat. Tidak menempuh aliran yang keras dan tidak yang terlalu longgar.

Wallahu a'lam.

H A. Mustofa Bisri, pengasuh Pesantren Roudlatut Talibin, Rembang

Sumber: Jawa Pos Rabu, 28 Januari 2009

0 tanggapan: