Hari Ibu, Masihkah Perlu

Di negeri ini, perempuan dijunjung setinggi langit. Dalam setahun, diperingati dua hari perempuan. Yakni, Hari Kartini tiap 21 April dan Hari Ibu tiap 22 Desember. /Kaum lelaki mungkin sempat cemburu dengan konstruksi simbol seperti itu. Namun, semua pasti juga sadar mengapa tidak perlu ada hari untuk lelaki. Kedudukan lelaki dalam stratifikasi sosial memang sudah mapan. Pendapat umum menempatkan suami sebagai kepala rumah tangga. Hal tersebut bersumber dari ajaran agama dan nilai-nilai feodalisme masa pemerintahan kerajaan di Nusantara.

Meski masyarakat Indonesia telah mengalami transformasi sosial cukup panjang setelah kemerdekaan 1945, harus diakui bahwa persepsi sosial tentang peran perempuan belum terlalu berubah. Bila seorang lelaki sukses dalam karir, bisnis, atau politik, hal itu dianggap biasa.

Sebab, ekspektasi masyarakat terhadap kaum lelaki memang menuntut hal demikian. Lelaki harus bertanggung jawab atas kehidupan dan penghidupan rumah tangga. Hukum menafkahi keluarga bagi suami adalah wajib. Sedangkan bagi istri, mencari nafkah hanya sunah. Maka, istri yang sukses dalam bidang tertentu dianggap luar biasa. Orang pun biasa berkomentar, "Siapa ya suaminya. Dia bisa sukses pasti karena suaminya mengalah!"

Masyarakat masih mengonstruksikan bahwa perempuan bukan individu mandiri. Semua yang dilakukan istri bergantung atau ditentukan oleh lingkungan. Bila lingkungan kondusif, muncul peran perempuan yang melampaui sektor-sektor yang telah dikotakkan oleh tradisi.

Perempuan baru bisa keluar dari sektor domestik bila mendapatkan izin dari lingkungan. Meski pemikiran tentang emansipasi perempuan senantiasa diaktualisasi tiap April, demikian pula pemberdayaan perempuan yang telah menjadi judul program dalam jutaan proposal, belum seluruh image konco wingking dan stigma sektor domestik hilang.

Bahkan, ketika pemerintah merasa perlu mengurusi secara khusus masalah perempuan dalam Kementerian Urusan Wanita, persepsinya justru terbalik. Itu justru menunjukkan bahwa perjuangan secara kultural untuk keluar dari bingkai domestik masih membutuhkan sokongan politik.

Begitu juga ketika Undang-Undang (UU) Pemilu menetapkan kesertaan perempuan di parlemen pada angka 30 persen. Hal tersebut mengukuhkan bahwa partisipasi perempuan dalam sektor politik harus dibantu dengan regulasi khusus. Pemberdayaan perempuan terkesan masih akibat belas kasihan.

Kini, ketika perempuan didorong untuk keluar dari sektor domestik, kita dihadapkan pada ekspektasi lain. Yakni, menjadi seorang "ibu". Dikukuhkannya 22 Desember sebagai Hari Ibu menunjukkan bahwa ekspektasi itu merupakan sebuah konsensus kolektif, konsensus politik nasional.

Lepas dari keteladanan yang diberikan oleh Dewi Sartika (ikon Hari Ibu) konotasi tentang ibu bertolak belakang dengan semangat emansipasi. Bila emansipasi mendorong keluar dari sektor domestik untuk masuk ke sektor publik, konsep ibu sebaliknya. Ketika seseorang mendefinisikan ibu, yang muncul di benaknya adalah sosok perempuan bersuami yang punya anak dan suntuk mengurus rumah tangga seraya mendorong suami untuk maju.

Konsep ibu menjadi beban moral karena selalu dikaitkan dengan keberhasilan membentuk karakter sebuah generasi. Bila ditemukan anak melakukan kenakalan, biasanya yang disalahkan adalah sang ibu. Sang ibu dianggap tak mampu mendidik dengan baik. Kesannya, Hari Ibu merupakan rem semangat Hari Kartini.

Hari Ibu, menurut saya, justru menjadi ambigu dari tranformasi dan gerakan sosial kita yang diinspirasi oleh gagasan emansipasi perempuan. Bukan berarti posisi kaum ibu tidak penting. Kita mesti tetap menggelorakan pentingnya peran ibu bagi perempuan Indonesia.

Gerakan emansipasi perempuan, menurut saya, tidak bisa digeneralisasi kepada setiap individu. Sebab, ada banyak perbedaan karakteristik dan kualitas perempuan di Indonesia, baik tingkat pendidikan maupun pengalaman.

Karena itu, gerakan emansipasi (keluar dari sektor domestik) mesti dilihat sebagai sebuah pilihan. Bagi kalangan yang mampu dan mau, pintu emansipasi dibuka lebar. Sedangkan kalangan yang belum mampu dan tidak mau tidak bisa dipaksa. Sebab, bila gerakan itu dipaksakan, yang muncul hanya mobilisasi artifisial belaka. Dengan demikian, gerakan emansipasi mestinya bersifat parsial dan gradual. Bila kemajuan yang dicapai perempuan Indonesia sudah merata, baru emansipasi akan menyeluruh.

Agar gerakan emansipasi perempuan tidak tersendat, apakah tidak sebaiknya dipertanyakan, masihkah kita membutuhkan Hari Ibu? (soe)

Fany Setyawati
Koordinator Sarinah, lembaga pemberdayaan perempuan di Jatim

Sumber: Jawa Pos, Sabtu, 20 Desember 2008

0 tanggapan: