MUI; Masihkah Independen?

Oleh: Thoriq

Menyikapi fatwa MUI, muncul anekdot di masyarakat. Misalnya, tentang fatwa rokok haram. Pastilah umat Islam akan menghindari rokok karena itu syarat untuk masuk surga. Namun, umat Islam Indonesia akan kaget jika di surga nanti bertemu saudara sesama muslim dari negara lain. Akan muncul pertanyaan, "Kok dia masuk surga, padahal di negaranya, rokok yang katanya haram masih dikonsumsi?"


Dalam kurun waktu terakhir, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan beberapa fatwa yang mengatur kehidupan masyarakat. Nilai positif yang muncul, MUI menunjukkan ketegasannya. Entah ketegasan itu bermakna sebuah eksistensi kelembagaan atau yang lain. Kekhawatiran pun muncul jika fenomena itu hanya spontanitas dalam merespons realitas kehidupan sosial. Artinya, kebijakan tersebut muncul hanya sebagai pendukung. Bukan berdasar doktrin agama yang ada.

Fatwa haram untuk golput pada pemilu mendatang, misalnya, ibarat asap, yang tidak akan muncul jika tidak ada api. Fatwa itu muncul untuk merespons sikap masyarakat pada pesta demokrasi mendatang. Ditengarai, masyarakat bakal abstain pada pemilu tersebut. Dari situlah, MUI mengeluarkan fatwa golput haram.

Anehnya, hanya MUI yang mengeluarkan fatwa itu. Tidak tahu mengapa, yang jelas, organisasi keagamaan lain tidak mengeluarkan fatwa apa pun untuk merespons ancaman golput.

Belum selesai kontroversi fatwa golput haram, MUI di beberapa daerah mengeluarkan fatwa rokok haram. Esensi fatwa tersebut juga diragukan. Dalam lingkungan pesantren, hampir semua kiai lekat dengan budaya merokok. Hal itu ditiru santri yang mengaji di lembaganya. Bukan hanya kebiasaan, tetapi sampai pada jenis rokok yang diisap, akan menjadi panutan santri. Realitas ini menjadi dasar keraguan atas fatwa MUI tentang rokok haram.

Seperti halnya fatwa golput haram, fatwa rokok haram pun memiliki tujuan tersendiri. Salah satunya, program kawasan tanpa rokok (KTR). Di lingkungan pemerintahan, program KTR sudah menjadi perda. Seperti Surabaya yang menjadikan beberapa kawasan bebas rokok. Di antaranya, sarana ibadah, sarana pendidikan, tempat bermain yang banyak anak kecil, serta rumah sakit. Bisa jadi, fenomena itulah yang mendorong MUI mengeluarkan fatwa.

Konsep Hukum Menurut Islam

Sudah jelas bahwa fatwa MUI dalam kurun terakhir adalah untuk merespons fenomena yang terjadi di masyarakat. Dalam konsep maqassid syar'i (pembentukan hukum), hukum terbentuk atas dasar peristiwa yang terjadi di masyarakat. Kemudian, dikiaskan dengan peristiwa yang terjadi pada zaman dahulu sehingga diketahui dasar hukumnya.

Hal itu dilakukan karena apa yang terjadi saat ini tidak selamanya ada dalam Alquran dan hadis. Dengan demikian, manusia sering merasa kesulitan menentukan status hukum suatu peristiwa. Jalan keluarnya, diambil metode kias. Yaitu, menyamakan fenomena saat ini dengan peristiwa yang ada status hukumnya.

Golput merupakan istilah baru, tidak disebutkan di zaman dahulu. Bahkan, dalam Alquran tidak ada kajian yang menyinggung tentang golput. Yang tertera hanya anjuran untuk menaati Allah, Rasulullah, dan pemimpin yang bertakwa (QS: An Nisa: 59). Bukan larangan, masyarakat tidak memilih calon pemimpin yang ikut dalam pemilu.

Namun, yang menjadi pijakan ialah umat Islam taat pada perintah pemimpin negara. Salah satunya, menyampaikan suara pada pemilu mendatang. Pertanyaan yang muncul, sudahkah pemimpin kita sesuai kriteria manusia bertakwa sehingga harus ditaati perintahnya?

Begitu juga dengan fatwa rokok haram. Jika ditarik aspek manfaat dan tidaknya, kontradiksi muncul. Ilmu kesehatan menyatakan bahwa rokok merupakan racun kehidupan. Namun, dari aspek ekonomi, rokok mampu menyumbang pendapatan negara.

Selain itu, industri rokok bisa menyerap tenaga kerja yang cukup besar. Karena itu, keberadaan rokok di Indonesia perlu dipertimbangkan dari segi perbandingan antara aspek manfaat dan mudarat.

Dari dua contoh tersebut bisa ditarik kesimpulan bahwa fatwa yang muncul dari MUI belum mewakili status hukum yang didasarkan pada doktrin agama. Yang ada hanyalah sikap masyarakat yang dipengaruhi aspek tertentu. Padahal, dalam berijtihad, kemandirian (independensi) sangat dijunjung tinggi.

Harus Independen

Dalam mengeluarkan fatwa, MUI harus mempertimbangkan segala aspek. Bukan hanya merespons suatu fenomena sehingga muncul peraturan yang terkesan emosional. Seperti dua fatwa di atas, yakni merespons ancaman golput dan mewujudkan KTR di Indonesia. Sementara Islam tidak hanya diterapkan di Indonesia.

Perlu diingat, produk hukum yang dihasilkan MUI harus selalu didasarkan pada Alquran dan hadis. Sebagai pendukung, beberapa kaidah fikih dan usul fikih pun harus menjadi bahan pertimbangan. Jangan sampai kaidah politik, fenomena sosial, dan tendensi sebuah kelembagaan menjadi pertimbangan. Sebab, itu akan menjadikan MUI sebagai motor sebuah kepentingan untuk mencapai tujuannya.

Yang seharusnya dilakukan MUI, menyikapi fenomena yang berkembang dan menetapkan sebuah aturan yang bermanfaat bagi semuanya. Bukan pada saat-saat tertentu dan golongan tertentu. Wallahu a'lam bisshowab.

Thoriq , wartawan Jawa Pos

Sumber: Jawa Pos, Kamis, 29 Januari 2009

0 tanggapan: