Oleh Hasibullah Satrawi
Sidang Komisi Fatwa III Majelis Ulama Indonesia (MUI) se-Indonesia yang berlangsung di Padang Panjang, Sumatera Barat, 23-26 Januari 2009, mengeluarkan fatwa haram terhadap golput. Sebagaimana telah diprediksi sebelumnya, fatwa haram golput tersebut melahirkan kontroversi di tengah-tengah masyarakat luas.
Sebagian beranggapan bahwa fatwa haram seperti itu dibutuhkan untuk mengoptimalkan partisipasi masyarakat dalam pemilihan umum (pemilu). Di mana pemilu merupakan momentum akbar bagi masyarakat untuk menentukan pemerintahan ke depan.
Sedangkan sebagian yang lain beranggapan bahwa fatwa haram seperti itu tidak dibutuhkan. Sebab, memilih atau tidak adalah hak bagi masyarakat, bukan kewajiban. Terlebih lagi bila golput dilakukan sebagai kritik atas semua calon pemimpin yang dianggap tidak layak.
Pertanyaannya, di manakah letak persoalan golput? Tak dapat disangkal, golput adalah persoalan penting yang harus diperhatikan banyak pihak. Golput terkait langsung dengan sebuah pemerintahan yang akan dibentuk melalui pemilu. Sedangkan pemerintahan atau kepemimpinan adalah hal mutlak dalam kehidupan.
Dua Pandangan Ekstrem
Pertanyaan berikutnya, bagaimana Islam merespons persoalan politik seperti itu? Jawaban atas pertanyaan di atas tidak bisa dilepaskan dari relasi Islam dan politik. Dalam khazanah pemikiran Islam, setidaknya, ada dua pandangan ekstrem terkait dengan wacana relasi Islam dan politik.
Pertama, pandangan yang mengatakan Islam tidak bisa dipisahkan dari politik. Islam dan politik saling berhubungan; Islam tidak dapat dipisahkan dari politik dan politik tidak dapat dipisahkan dari Islam. Pandangan inilah yang kemudian menjadi basis pemikiran bagi gerakan politik Islam.
Fatwa haram golput yang dikeluarkan MUI seperti di atas tak lain adalah buah dari pandangan yang menyatukan Islam dengan politik tersebut. Melalui pandangan seperti itu, golput sebagai persoalan politik terasa begitu dekat dengan Islam. Dan Islam yang dipahami tidak bisa dilepaskan dari politik mempunyai kewajiban untuk merespons persoalan golput. Hingga ada solusi islami bagi persoalan tersebut.
Kedua, pandangan yang mengatakan Islam harus dipisahkan dari politik. Dalam pandangan ini, Islam terlalu suci untuk dicampuradukkan dengan politik yang telanjur identik dengan perbuatan kotor dan tidak terpuji. Oleh karena itu, fatwa haram atas persoalan politik (seperti golput) adalah ''langkah menyeberang" yang terlalu jauh. Di mana langkah ini acapkali menenggelamkan Islam (sebagai agama) ke dalam jurang politik yang sarat kecurangan dan keburukan.
Jalan Tengah
Menurut hemat saya, harus ada pemikiran yang bisa menjembatani dua pemikiran ekstrem di atas. Adalah benar bahwa Islam tidak bisa dipisahkan dari politik (sebagaimana dikatakan kelompok pertama), karena faktanya kebesaran Islam tidak bisa dipisahkan dari kerja-kerja politik. Juga benar bahwa Islam tidak identik dengan politik (sebagaimana dikatakan kelompok kedua), karena faktanya Islam (secara normatif) tidak ada sangkut pautnya dengan politik.
Tetapi, Islam tak dapat dikatakan identik dengan politik. Juga tak dapat dikatakan Islam terpisah dari politik. Islam tidak identik dengan politik, tapi juga tidak bisa dipisahkan dari politik.
Politik tidak pernah menjadi doktrin pokok dalam Islam. Baik itu dalam bentuk rukun Islam maupun rukun iman. Walau demikian, Islam sangat memperhatikan kekuasaan dan perpolitikan.
Bahkan, Islam mempunyai ajaran-ajaran luhur yang dapat digunakan dalam perpolitikan dan kekuasaan, seperti sifat amanah, kejujuran, bertanggung jawab, dan lain sebagainya.
Kalau boleh diistilahkan, ajaran Islam yang terkait dengan perpolitikan dan kekuasaan masuk kategori ''norma kondisional" (at-ta'aalim az-zamaniy). Sedangkan ibadah dan muamalah sosial masuk dalam kategori ''norma fundamental" (at-ta'aalim al-ushuliy). Dalam konteks norma kondisional, Islam menggunakan pendekatan penyadaran. Sedangkan dalam konteks norma fundamental (seperti rukun Islam dan iman), Islam menggunakan pendekatan hukum yang sarat pewajiban dan larangan (al-wajib wa al-haram atau al-halal wa al-haram).
Itulah sebabnya, para ulama terdahulu menggunakan istilah haram dan wajib dalam konteks ibadah dan muamalah sosial. Di mana dua istilah itu mempunyai konotasi pahala/dosa dan keselamatan/celaka yang bersifat ukhrawi. Sedangkan dalam konteks kekuasaan dan perpolitikan, dua istilah tersebut relatif tidak digunakan.
Secara normatif, hal itu dapat dipahami. Sebab, ajaran-ajaran tentang ibadah dan muamalah sosial bersifat kamaliy atau niha'iy (sempurna). Dalam Alquran disebutkan, al-yauma akmaltu lakum dinakum.... yang secara harfiah dapat diartikan, hari ini Aku (Allah) sempurnakan agama kalian.
Hal itu berbeda dengan perpolitikan dan kekuasaan yang bercorak istimroriy (berkelanjutan). Di mana suatu perkembangan tertentu mengalami perbedaan dengan perkembangan yang lain. Inilah yang bisa menjelaskan mengapa Islam tidak membakukan suatu prosedur politik atau kekuasaan tertentu. Padahal, Islam sangat menekankan perihal urgensi politik atau kekuasaan dalam kehidupan.
Pada tahap ini, fatwa haram golput MUI menjadi persoalan yang tak kalah serius daripada golput itu sendiri. Selain karena fatwa tersebut menggunakan pendekatan hukum (haram atau halal) dalam persoalan politik yang terus bergerak, juga karena menggunakan istilah fatwa yang berkonotasi kolektif dan masif. Persoalan golput seharusnya diselesaikan dengan pendekatan penyadaran, bukan hukum!
Hasibullah Satrawi, peneliti pada Moderate Muslim Society (MMS) Jakarta
Sumber: Jawa Pos, Rabu, 28 Januari 2009
One Billion Raising
-
Minggu, 17 Februari 2019
Setiap 14 Februari banyak muda-mudi merayakan Valentine di penjuru dunia.
Di hari yang sama pula segenap elemen masyarakat turun k...
0 tanggapan:
Posting Komentar