Sumbangan Para BMI-HK terhadap Perkembangan Bahasa dan Sastra Indonesia


Setelah sekian lama menunggu, tibalah kini upaya penerbitan buku karya BMI-HK pada tahapan baru: 6 dari sekitar 16 buku yang direncanakan terbit sudah jadi dummy-nya. Rihad Humala yang membuat lukisan sampulnya saya ajak memenuhi undangan Pak Untung Subagyo (mewakili Penerbit Grasindo di Surabaya) untuk melihat dan mengoreksi ke-6 dummy buku itu, Selasa (17 Juni 2008) lalu.


Enam buku yang sudah jadi dummy-nya itu ialah: Aku Ingin Jadi Pelacur (Melur), Senja Merah (Nadia Cahyani), Di Balik Rimbun Melati (Niswana Maqia Ilma), Kaki Langit Hong Kong (Wina Karnie), Perempuan Tak Bertuan (Lik Kismawati), dan Perempuan Tanpa Klitoris (Eni Kusuma).

Walau sudah berkali-kali dipelototi, ternyata masih cukup banyak kesalahan-kesalahan kecil dalam penulisan, terutama mengenai ejaan. Menurut saran Rihad Humala, font judul --terutama judul buku, perlu diganti agar lebih menarik.

Sementara itu Pak Untung Subagyo berharap kesalahan-kesalahan kecil itu bisa segera dikoreksi agar proses penyetakannya bisa dipercepat.

Kita berharap, keenambelas buku itu bisa diterbitkan dan diluncurkan secara serentak pada momentum Peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia (Agustus 2008 ini) atau selambat-lambatnya pada momentum bulan bahasa (Oktober 2008).

Jika ridak ada aral melitang, Oktober 2008 ini akan digelar Kongres Bahasa Indonesia di Jakarta. Lebih jauh, saya juga bermimpi bisa memromosikan buku-buku sastra karya para BMI-HK itu nanti di forum Kongres Bahasa Indonesia tersebut. Maka, saya pun melamarkan abstrak makalah dengan judul Sumbangan BMI-HK terhadap Perkembangan Bahasa dan Sastra Indonesia.

Mohon doa restunya ya, semoga lamaran saya itu diterima. Syukur-syukur, kelak ada Sang Pengarang yang bisa mendapatkan kesempatan pamer baca cerpen di forum yang cukup bergengsi itu. Ada lagi satu cara pemasaran yang tampaknya cukup menarik yang rencananya akan kita tempuh. Tetapi, yang ini, dirahasiakan dulu ya? Ehm![]


BONARI NABONENAR [intermezo, juni 08]

Sumbangan Para BMI-HK terhadap Perkembangan Bahasa dan Sastra Indonesia

Setelah sekian lama menunggu, tibalah kini upaya penerbitan buku karya BMI-HK pada tahapan baru: 6 dari sekitar 16 buku yang direncanakan terbit sudah jadi dummy-nya. Rihad Humala yang membuat lukisan sampulnya saya ajak memenuhi undangan Pak Untung Subagyo (mewakili Penerbit Grasindo di Surabaya) untuk melihat dan mengoreksi ke-6 dummy buku itu, Selasa (17 Juni 2008) lalu.


Enam buku yang sudah jadi dummy-nya itu ialah: Aku Ingin Jadi Pelacur (Melur), Senja Merah (Nadia Cahyani), Di Balik Rimbun Melati (Niswana Maqia Ilma), Kaki Langit Hong Kong (Wina Karnie), Perempuan Tak Bertuan (Lik Kismawati), dan Perempuan Tanpa Klitoris (Eni Kusuma).

Walau sudah berkali-kali dipelototi, ternyata masih cukup banyak kesalahan-kesalahan kecil dalam penulisan, terutama mengenai ejaan. Menurut saran Rihad Humala, font judul --terutama judul buku, perlu diganti agar lebih menarik.

Sementara itu Pak Untung Subagyo berharap kesalahan-kesalahan kecil itu bisa segera dikoreksi agar proses penyetakannya bisa dipercepat.

Kita berharap, keenambelas buku itu bisa diterbitkan dan diluncurkan secara serentak pada momentum Peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia (Agustus 2008 ini) atau selambat-lambatnya pada momentum bulan bahasa (Oktober 2008).

Jika ridak ada aral melitang, Oktober 2008 ini akan digelar Kongres Bahasa Indonesia di Jakarta. Lebih jauh, saya juga bermimpi bisa memromosikan buku-buku sastra karya para BMI-HK itu nanti di forum Kongres Bahasa Indonesia tersebut. Maka, saya pun melamarkan abstrak makalah dengan judul Sumbangan BMI-HK terhadap Perkembangan Bahasa dan Sastra Indonesia.

Mohon doa restunya ya, semoga lamaran saya itu diterima. Syukur-syukur, kelak ada Sang Pengarang yang bisa mendapatkan kesempatan pamer baca cerpen di forum yang cukup bergengsi itu. Ada lagi satu cara pemasaran yang tampaknya cukup menarik yang rencananya akan kita tempuh. Tetapi, yang ini, dirahasiakan dulu ya? Ehm![]


BONARI NABONENAR [intermezo juni 08]

Seniman pun Berhak atas Anggaran Publik [5]

Kebijakan Mengambang


Kebijakan Pemprov Jatim terkait kesenian masih mengambang. Sementara pelaksana program kesenian juga masih bertumpu pada urat nadi pemerintah. Mengapa ini bisa terjadi? Berikut wawancara Edi Purwanto dari Tim Ngaji Kesenian dengan Joko Saryono, Dosen Sastra Universitas Malang.



Bagaimana Pemprov Jatim menangani kesenian?

Kebijakan kesenian tidak jelas, tak terkelola secara baik. Pemerintah tidak memiliki kejelasan struktural yang akhirnya berdampak pada program. Saya melihat pemerintah belum memiliki lembaga yang jelas dalam mengurusi kesenian. Meski, saya kira, ada atau tidaknya pemerintah, kesenian dan kebudayaan di Jatim akan tetap berjalan karena basisnya adalah masyarakat.

Sebenarnya siapa paling berwenang mengurusi kesenian ini?

Dinas P dan K dan Dinas Pariwisata punya tanggung jawab untuk mengelola kesenian. Mereka punya dana besar untuk itu. Akan tetapi besarnya dana itu juga tidak bisa maksimal tanpa melibatkan orang-orang lokal yang mengelola kesenian.

Tapi pemerintah masih menentukan segalanya?

Ini adalah cermin masih kuatnya kendali pemerintah terhadap pelaksanaan program-program kesenian. Politik kesenian sepenuhnya dikendalikan birokrasi. Sehingga yang terjadi adalah birokratisasi kesenian, bukan pemerdekaan kesenian. Di sisi lain, seniman sendiri tidak punya nilai tawar dalam penyusunan program, rencana anggaran dan pelaksanaannya. Seniman tidak memiliki posisi politik yang kuat dalam proses-proses politik. Mengapa? Mungkin karena seniman terlalu alergi terhadap politik kesenian.

Komentar Anda soal porsi anggaran pengembangan kesenian dalam APBD selama ini?

Saya ingin jelaskan bahwa di masa otonomi daerah seperti saat ini, anggaran terbesar berada di kabupaten/kota. Kedua baru provinsi. Lagi pula pemerintah selama ini hanya terikat dengan program anggaran setahun, maka yang dikerjakan ya seadanya saja. Mereka menjalankan mana yang bisa dijalankan. Misalnya menggarap yang punya basis material atau peluang ekonomi, seperti festival, pergelaran dan lain sebagainya.

Bukankah orientasi pada basis material atau ekonomi belaka bisa mencerabut kesenian dari akar komunitas?

Betul. Kesenian semacam itu akan mengacaukan tata sosial yang sudah berlaku di masyarakat dan tidak memberikan sumbangan signifikan bagi perkembangan masyarakat. Seharusnya kesenian tidak meninggalkan basis komunitasnya sehingga keselarasan dan dinamika kesenian tetap terjaga pada wilayah lokalnya masing-masing. Sayangnya selama ini politik kesenian yang dikembangkan Pemprov Jatim masih belum jelas.

Langkah yang seharusnya diambil pemerintah?


Paling mendasar, pemerintah harus menempatkan kesenian dalam konteks Jatim yang tetap cair dan multikultural. Lantas program prioritasnya disusun berdasarkan pemetaan wilayah. Ini yang belum saya lihat. Kedua, kesenian tidak akan hidup hanya dengan pergelaran dan festival. Karena itu pemerintah jangan hanya mengucurkan dana untuk program-program festival dan pergelaran saja. Melainkan lebih pada pemberdayaan dan kemandirian seniman. Festival itu hanya pesta belaka. Program itu tidak mendidik seniman untuk berpikir maju. Menurut saya, kesenian akan berkembang dan besar bila kesenian itu tetap berakar pada basis sosialnya. *[]

Diproduksi oleh: Ngaji Kesenian hasil kerjasama Harian Surya, Yayasan Tantular, dan Desantara Institute for Cultural Studies. [SURYA-ONLINE, Sunday, 04 February 2007]

Seniman pun Berhak atas Anggaran Publik [4]

Pos Kebudayaan


Lantas berapa nilai belanja untuk pos pengembangan kesenian dan kebudayaan di Jatim? Mengamati RAPBD 2007 yang sampai kini masih jadi bahan perdebatan, tercatat Rp 28 miliar lebih disalurkan lewat Dinas Pendidikan dan Kebudayaan. Dana itu rencana digunakan untuk memutar program pengembangan nilai budaya sebesar Rp 5 miliar lebih, pengelolaan kekayaan budaya Rp 12 miliar lebih, dan program pengelolaan keragaman budaya Rp 5 miliar lebih.



Total Rp 22 miliar lebih disalurkan lewat Dinas Pariwisata, yang anehnya hanya sekitar Rp 75 juta diperuntukkan untuk program pengembangan dan pemasaran pariwisata (termasuk kesenian), Rp 350 juta untuk menggelar East Java Art Festival, dan sisanya sebagian besar untuk gaji pegawai dan belanja internal dinas. Jumlah itu masih ditambah dengan Rp 8 miliar lebih untuk Biro Pengembangan Mental dan Spiritual yang ternyata juga mengurusi kegiatan pendidikan dan kebudayaan dengan alokasi anggaran Rp 3 miliar.

Rumit memang. Tapi itulah. Dana pengembangan kebudayaan yang jumlahnya tak seberapa bila dibandingkan dengan total RAPBD yang Rp 5 triliun lebih itu, dibagi-bagi, laiknya kue-kue nikmat yang disebar lewat dinas-dinas dan biro-biro yang berbeda yang celakanya, memiliki fungsi nyaris sama.

Sekadar tahu, dalam struktur kerja pemerintahan di Pemprov Jatim, bidang kesenian dan kebudayaan berada dalam naungan Dinas Pariwisata dan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan. Selain itu ada Biro Pengembangan Mental dan Spiritual, selain Taman Budaya dan Subdin Kebudayaan yang kepanjangan tangan dari Dinas Pendidikan dan

Kebudayaan. Lembaga ini masing-masing juga menikmati bagian dana yang berasal dari anggaran dana negara.

Tidak Jelas

Tidak jelas memang apa realisasi program yang mereka tawarkan untuk pengembangan kesenian dan kebudayaan. Kemana pula dana miliaran rupiah ini bakal mengalir. Seperti tahun-tahun lalu, para seniman tak pernah dilibatkan dalam penyusunan program-program pemerintah, meski kenyataannya mereka jualah nantinya yang menjadi aktor dalam pengembangan kebudayaan. “Pemerintah ini seolah tidak membutuhkan seniman dalam penyusunan program,” ujar Autar Abdilah.

Selama ini, katanya, seniman tidak pernah diajak sharing merancang program bersama. Kecuali oleh Taman Budaya.

“Itupun baru-baru ini saja diadakan,” imbuh Autar.

Nampaknya, bersamaan dengan debat demokratis soal RAPBD 2007, sekaranglah saat yang tepat bagi rakyat, seniman dan budayawan menyuarakan hak-haknya. Bernegosiasi langsung. Bahkan berani memboikot bila kebijakan anggaran ternyata tak berpihak. [*]


Diproduksi oleh: Ngaji Kesenian hasil kerjasama Harian Surya, Yayasan Tantular, dan Desantara Institute for Cultural Studies. [SURYA-ONLINE, Sunday, 04 February 2007]

Seniman pun Berhak atas Anggaran Publik [3]

Anggaran Kering, Realisasi Minim

Konon negara adalah perwujudan dari kepentingan publik. Sewajarnya aparat dan pejabat yang duduk dalam lembaga-lembaga negara menjadi pelayan bagi publik. Komunitas seniman adalah bagian dari publik. Seperti halnya kelompok profesi lain mereka pun berhak memperoleh layanan dan fasilitas publik.



Inilah logika demokrasi kita. Sayangnya, kenyataan tak selalu sejalan dengan logika. Penyusunan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) Pemerintah Provinsi Jawa Timur, misalnya.

Kamis (21/12/2006), jalan voting terpaksa ditempuh guna menetapkan RAPBD 2007, yang oleh sebagian fraksi di DPRD Jatim dianggap tidak rasional dan sarat kepentingan politik. Hasilnya 55 suara mendukung RAPBD, 12 menolak dan 4 suara abstain.

Kubu yang kalah tak terima. Rabu (3/1/2007) empat anggota DPRD yang kontra RAPBD menemui Mendagri di Jakarta agar penetapan RAPBD ditunda. Mereka beralasan RAPBD Jatim sangat timpang antara rencana belanja internal yang terlalu besar dan anggaran publik yang amat kecil. Karena itu harus dikoreksi. Seminggu kemudian, ganti kubu pro RABPD mendatangi Mendagri mengklarifikasikan tuduhan itu.

Belum ada kejelasan bagaimana nasib RAPBD tersebut. Namun di tengah ketidakjelasan itu, tersiar kabar bahwa pangkal ketegangan kubu pro dan kontra disebabkan alokasi dana APBD ditengarai bakal dimanfaatkan oleh kelompok tertentu guna memenangkan pemilihan gubernur Jawa Timur 2008.

Kebenaran mengenai isu itu memang layak diselidiki. Apalagi jumlah RAPBD yang diperkirakan mencapai Rp 5 trilyun itu peruntukannya belum jelas betul. Selain itu kekhawatiran adanya ketimpangan belanja negara untuk kepentingan publik, juga patut dipertanyakan.

“Sebagian besar belanja daerah memang untuk internal dinas, ketimbang pelayanan publik,” ujar Rofi Munawar, Wakil Ketua Komisi E DPRD Jatim. Tentu saja publik di sini adalah rakyat, termasuk mereka yang berprofesi sebagai seniman dan budayawan yang terlibat dalam pengembangan kesenian dan kebudayaan di Jatim. Ironisnya anggaran yang diperuntukkan bagi kesejahteraan rakyat justru kalah besar dibandingkan dengan nilai belanja dinas sehari-hari. Astaga! []

Diproduksi oleh: Ngaji Kesenian hasil kerjasama Harian Surya, Yayasan Tantular, dan Desantara Institute for Cultural Studies. [SURYA-ONLINE, Sunday, 04 February 2007]

Seniman pun Berhak atas Anggaran Publik [2]

Kebijakan Top-down

Penghargaan, festival-festival dan gebyar-gebyar inilah rupanya yang menjadi program dinas-dinas terkait dengan pengelolaan kebudayaan. Bukan program pengembangan kebudayaan rakyat agar lebih dinamis. Bukan pula perbaikan nasib para seniman dengan kemudahan dan fasilitas bagi mereka.



“Aneh, kayaknya pemerintah punya program sendiri,” tutur Autar Abdilah yang bersama seniman pernah mengusulkan program dana talangan untuk seniman kepada pemerintah, namun ditolak. Apalagi seperti dibenarkan Sinarto—Wakil Ketua Taman Budaya Jatim—pemerintah, katanya, memiliki rencana pembangunan sendiri yang tidak mengharuskan keterlibatan seniman dalam penentuan maupun penyusunan anggaran.

Pantas sajalah kalau para seniman mengeluh karena sebagian besar mereka ternyata tidak memperoleh manfaat dari program-program kebudayaan yang dibiayai dana APBD ini. Tercatat, misalnya, total dana RAPBD Provinsi Jatim tahun 2007 yang dianggarkan untuk pengembangan kebudayaan yang disalurkan lewat Dinas Pendidikan sebesar Rp 28 miliar lebih.

Sayangnya, sambung Rofi Munawar, Wakil Ketua Komisi E DPRD Jatim, seperti tahun anggaran sebelumnya sebagian besar dana tersebut digunakan untuk belanja internal dinas ketimbang untuk pelayanan publik seniman sendiri.

Seperti tercermin dalam program kerjanya, selain itu dana-dana tersebut biasanya mengucur guna membiayai festival-festival atau proyek-proyek lain yang disusun secara elitis dan hanya melibatkan segelintir seniman saja. Tak bisa dipungkiri, program-program pemerintah pun cenderung monoton.

“Dinas-dinas itu tidak kreatif, tidak ada terobosan baru. Mereka tidak menawarkan program yang lebih menarik untuk kemajuan kesenian,” kritisi Suyoto, Ketua Fraksi PAN DPRD Jatim. Pendapat tersebut diamini Ketua Fraksi Kebangkitan Bangsa, Masruroh Wahid yang menyatakan, Dinas Pendidikan dan Pariwisata belum memberikan peluang bagi seniman untuk berpartisipasi dalam pengembangan kesenian. “Terkesan program-program itu hanya rutinitas belaka. Tak ada yang baru.”

Fakta ini bukan omong kosong. Jajaran birokrasi di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan pun mengakui. Effi Wijayanti tak menampik kalau pemerintah daerah selama ini tidak memiliki program yang relatif baru. Hampir semua program mengkopi program sebelumnya seperti pelatihan dan lokakarya-lokakarya. “Untuk pengembangan kesenian kami pun mengadakan festival kesenian secara periodik,” jelas staf subdin kebudayaan ini tanpa merinci lebih jauh bentuknya seperti apa dan siapa yang terlibat dalam gebyar festival semacam itu.

Kebijakan top-down, barangkali itulah kata yang pas untuk menilai penyusunan program dan rencana anggaran kebudayaan di hampir semua pemerintah daerah/kota di Jawa Timur. Meski, fenomena ini hampir selalu ditampik para birokrat kebudayaan yang mengklaim keterlibatan para seniman dalam setiap kepanitiaan festival.

Tapi buru-buru klaim ini dibantah para seniman sendiri. Keterlibatan seniman seperti yang pernah difasilitasi oleh Biro Taman Budaya akhir 2006 lalu hanya pemanis belaka. Beragam evaluasi dan masukan kepada pemerintah tidak menjamin perbaikan program, kata Autar Abdilah, salah satu seniman yang juga anggota Dewan Kesenian Surabaya (DKS) ini.

Minim Partisipasi

Di tengah minimnya dukungan pemerintah terhadap kaum seniman, staf pengajar di Unesa Surabaya ini menguak cerita menarik. Katanya, selama ini pemerintah menganggap seniman tidak mampu mandiri. Tak memiliki pengetahuan dan manajemen yang baik. Selain itu para seniman dinilai sering terlibat dalam konflik antarsesama mereka sendiri, sehingga menjadi alasan untuk membatasi partisipasi mereka. Benarkah anggapan ini?

Jawaban jelas ada di benak para seniman sendiri. Partisipasi dalam kebijakan anggaran sangat ditentukan oleh tekad mereka menepis anggapan itu. Tentu saja, tekad untuk merebut apa yang menjadi hak para seniman sendiri. *[]


Diproduksi oleh: Ngaji Kesenian hasil kerjasama Harian Surya, Yayasan Tantular, dan Desantara Institute for Cultural Studies. [SURYA-ONLINE, Sunday, 04 February 2007]

Seniman pun Berhak atas Anggaran Publik [1]

Program Pemerintah Sebatas Gebyar-gebyar

“Seharusnya kesenian seperti ludruk dapat dana pengembangan. Jangankan dana, nengok saja mereka nggak mau,” ujar Sakia Sunaryo, seniman ludruk, awak grup Irama Budaya Surabaya, dengan raut muka penuh kesal. Mereka yang dimaksud di sini adalah para pejabat dan pegawai pemerintah yang juga sering disebut sebagai pelayan publik.



Sakia, yang sudah meludruk nobong selama 20 tahun itu, pantas kesal karena pemerintah seolah tak peduli pada nasib seniman ludruk ketimbang industri kesenian modern. Padahal, menurut pria yang turut melahirkan kader seniman ludruk hingga sekarang ini, pemerintah sebenarnya berkewajiban melayani para seniman yang juga bagian dari anggotamasyarakat lainnya.

“Kalau pemerintah tanggap terhadap kebutuhan seniman, perlakuan seperti ini tak akan terjadi,” tutur seniman yang memimpikan grupnya bisa tampil di Taman Mini, Jakarta.

Apa yang dirasakan Saskia juga dialami seniman lainnya di Jawa Timur. Menyandang profesi sebagai seniman tradisional, mereka harus bersaing dengan industri kesenian modern yang dengan dukungan manajemen profesional begitu menikmati regulasi ekonomi yang amat menguntungkan para pebisnis di industri ini.

Di pihak lain, pemerintah terasa tidak adil karena mengabaikan profesi seniman. Seolah-seolah mereka berbeda dengan jenis profesi lain seperti petani, buruh, guru, atau para pengusaha itu yang justru kerap memperoleh kemudahan dan fasilitas negara secara berlebihan.

Choirul Anwar, seniman jemblung, asal Kediri, juga merasakan keprihatinan serupa. Komentar seniman inipun lebih tajam. “Dinas-dinas yang mengurusi kesenian di pemda tak memiliki komitmen yang jelas.” Banyak pejabat, lanjut Anwar, tidak mengerti seluk beluk kesenian dan kehidupan para seniman. “Dinas Pariwisata maunya seni tampilan sesaat. Usai tampil tak ada pembinaan, apalagi dana.”

Pandangan senada dilontarkan Sumitro Hadi dan Mbok Temu, seniman gandrung asal Banyuwangi. Menurut Sumitro, program pemerintah selama ini hanya sebatas gebyar-gebyar. Ia pun menyindir perilaku para birokrat pariwisata yang sering memanfaatkan seniman demi meraup proyek bernilai jutaan rupiah. “Kebutuhan seniman di daerah tak diakomodasi. Birokrasi hanya mengejar proyek untuk mendapatkan dana pemerintah,” kata Hadi.

Lain lagi dengan Mbok Temu. Penari gandrung yang kaset dan CD-nya laris di pasaran ini mengaku pernah diundang ke Surabaya. Di ibu kota provinsi ini ia dianugerahi selembar penghargaan oleh Pemprov Jawa Timur. “Hanya itu tok.

Sebatas itu,” ucap perempuan yang mukim di kampung Kemiren. []

Diproduksi oleh: Ngaji Kesenian hasil kerjasama Harian Surya, Yayasan Tantular, dan Desantara Institute for Cultural Studies. [SURYA-ONLINE, Sunday, 04 February 2007]

Politik Anggaran Kesenian Jawa Timur

Oleh: Edi Purwanto

Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) Jawa Timur tahun 2007, hingga kini masih menjadi perdebatan pro dan kontra di DPRD Jatim. Walaupun sudah disepakati dengan cara voting pada saat sidang paripurna pada tanggal 21 Desember 2006 lalu, tapi ternyata hingga tulisan ini kami tulis, RAPBD itu masih berada di meja Mendagri. Walaupun dengan cara voting akan tetapi RAPBD itu sudah menjadi ketetapan bersama dalam rapat paripurna. Rupanya isu pemilihan Gubernur Jatim pada tahun 2008 nanti, ikut mewarnai kericuhan yang terjadi pada saat penyusunan RAPBD Jawa Timur.



Tarik manarik kepentingan memang sangat rentan terjadi pada saat pembentukan RAPBD 2007. Hal ini bisa kita lihat pada proses putusan akhir rapat paripurna 21 Desember yang lalu. Dalam penentuan RAPBD yang dilakukan secara voting itu, ada 4 fraksi yang menyepakatinaya. Fraksi yang sepakat adalah FPDIP, FPP, F Demokrat dan Keadilan. Sedangkan Fraksi Kebangkitan Bangsa, suaranya terpecah menjadi dua yitu ada yang pro terhadap RAPBD 2007 (pengikut PKB Cak Anam yang belakangan ini mendirikan PKNU), dan PKB kubu Muhaimin Iskandar mengusulkan agar penyusunan RAPBD ditunda. Sementara dari FPG menolak melakukan voting.

Dengan melalui perdebatan yang panjang akhirnya semua anggota menyepakati untuk melakukan voting. Keputusan voting dilakukan dengan 55 suara mendukung RAPBD, 12 suara menolak RAPBD disahkan dan 4 Suara Abstain. Rupanya mekanisme voting yang disepakati oleh DPRD Jatim ini berbuntut panjang. Selain RAPBD tidak turun, juga kinerja pemerintah di Jawa Timur Lumpuh.

Isu penolakan RAPBD Jatim ini, mulai mencuat keras lagi ketika pada hari Rabu tanggal 3 Januari lalu, Empat utusan Fraksi Golkar DPRD Jatim meluruk ke Jakarta. Mereka adalah Lambertus L Wayong, (ketua Fraksi Golkar DPRD Jatim) Gatot Sudjito, Harbiah dan H. Sabron Djamil Pasaribu, SH. Keberangkatan kempat orang ini ke Jakarta adalah untuk menemui Mendagri. Dalam pertemuanya dengan Mendagri ini, FPG menyatakan keberatan terhadap RAPBD yang tidak rasional dan syarat akan kepentingan politik.
FGP berharap kepada Mendagri agar mengoreksi dahulu RAPBD Jatim, sebelum anggaran itu ditetapkan. Selain itu, FPG juga beranggapan bahwa RAPBD Jatim terlalu banyak pengeluaran yang sifatnya internal dinas, sedangkan untuk keperluan publik dan pembangunan terlalu kecil.

Sementara dari kubu lain yang pro terhadap RAPBD 2007, pada tanggal 9 Januari lalu juga mendatangi Mendagri. Kubu pro RAPBD 2007 terdiri dari wakil empat fraksi, yaitu Mirdasy (wakil ketua FPPP), Suyoto (ketua FPAN), H Soeharto SH MSi (Ketua Fraksi Demokrat Keadilan), Kusnadi (FPDIP) dan Cholili Mugi mewakili FKB. Pada saat itu pimpinan DPRD Jatim ikut, kecuali YA Widodo. Kedatangan Pro RAPBD 2007 ini ke Jakarta adalah ingin mengklarifikasi tuduhan FPG terhadap RAPBD 2007 yang cenderung berlebihan. Mereka menuntut balik bahwa FPG tidak konsisten terhadap keputusan yang sudah diambil pada saat sidang paripurna (Kamis, 21 Desember 2006 lalu) secara demokratis.

Rupanya FPG takut kalau dana yang digulirkan pada tahun 2007 ini digunakan sebagai kendaraan untuk pemenangan Soekarwo. Hal ini dikarenakan panitia anggaran tahun 2007 ini dipegang oleh calon Gubernur yang dicalonkan oleh PDI perjuangan ini. Sementara itu, Partai Golkar juga memiliki calon Sunarjo untuk maju sebagai rival Soekarwo pada pilgub nanti. Bisa diperkirakan bahwa terlambatnya RAPBD 2007 diakibatkan oleh perseteruan antar dua Calon Gubernur ini.

Dana yang diajukan sebagai anggaran daerah tahun 2007 ini memang mengalami kenaikan jika dibandingkan dengan tahun yang lalu. Untuk mengetahui hal itu, kita perhatikan perbedaanya dalam tabel berikut:

Pendapatan Daerah Belanja Daerah Surplus
RAPBD 2006 Rp. 4.199.860.312.851,00 Rp. 4.059.232.084.851,00 Rp. 140.628.228.000,00
RAPBD 2007 Rp. 5.110.973.265.910,00 Rp. 4.976.323.265.910,00 Rp. 134.650.000.000,00
Selisih Rp. 911.112.953.059,00 Rp. 917.091.181.061,00 Rp. 194.021.772.000,00
Tabel perbandingan RAPBD tahun 2006 dan 2007

Pada tahun RAPBD 2006 lalu total pendapatan daerah Jawa Timur senilai Rp. 4.199.860.312.851,00, sedangkan belanja daerah mencapai Rp. 4.059.232.084.851,00. Dengan demikian Jawa Timur pada tahun 2006 diperkirakan masih memiliki surplus sebanyak Rp. 140.628.228.000,00. sedangkan pada RAPBD 2007 ini dianggarkan oleh pemerintah Jatim untuk pendapatan darah sebesar Rp. 5.110.973.265.910,00. Sedangkan untuk belanja daerah pemerintah menganggarkan dana sebesar Rp. 4.976.323.265.910,00. Dengan demikian pada tahun 2007 ini pemerintah masih memiliki surplus sebanyak Rp. 134.650.000.000,00.

Dari tabel itu bisa kita lihat bahwa pemerintah Jawa Timur telah melakukan penambahan Anggaran pendapatan sebanyak Rp. 911.112.953.059,00. Sedangkan untuk Belanja Daerah pemerintah jawa Timur menambahkan anggaran dana sebesar Rp. 917.091.181.061,00. Untuk surplus Anggaran, Pemerintah daerah Jawa timur mengalami penurunan senanyak Rp. 194.021.772.000,00. dana Yang dianggarkan oleh pemerintah Jatim ini terlalu boros jika dibandingkan dengan tahun lalu.

Pendapatan daerah itu berasal dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah, dana alokasi umum dana khusus, dana bagi hasil, hibah, dana bagi hasil pajak, dan lain sebagainya. Sedangkan belanja daerah terdiri dari belanja langsung dan tidak langsung. Belanja tidak langsung terdiri dari belanja pegawai, belanja bunga, belanja subsidi, belanja hibah, belanja bantuan sosial, belanja bagi hasil, belanja bantuan keuangan danbelanja tidak terduga lainya. Sedangkan untuk belanja langsung terdiri dari belanja pegawai, belanja barang dan jasa serta belanja modal.

Sementara anggaran kesenian Jawa Timur ada pada Dinas P dan K serta Dinas Pariwisata serta Biro Mental dan spiritual Pemprov Jatim. Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Timur tahun 2007 menganggarkan dana sebesar Rp. 290.495.500,00. Anggaran untuk program pengebangan nilai budaya sejumlah Rp. 5.327.000.000,00. Program pengelolaan kekayaan budaya sebesar Rp. 12.750.750.000,00. Sedangkan untuk program pengelolaan keragaman Budaya, Dinas pendidikan dan Kebudayaan menganggarkan dana sebesar Rp. 5.399.250.000,00, dan dana untuk program pengembangan kerjasama pengelolaan budaya membutuhkan dana Rp. 4.910.500.000,00.

Jumlah keseluruhan untuk pengembagan kebudayaan, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Jatim mencapai Rp. 28.387.500.000,00. Dana itu belum dibagi-bagi lagi dalam seksi-seksi yang lain yang ada di Dinas Pendidikan dan Subdin kebudayaan.
Sementara Dinas Pariwisata tahun 2007 ini menganggarkan dana sebanyak Rp. 22.196.016.889,00. Dana ini belum dipotong dengan gaji pegawai dan belanja internal dinas. Dalam programnya Dinas Pariwisata tidak mengurusi kesenian lebih serius terlebih terkait dengan pengembangan kesenian. Dinas pariwisata hanya menganggarkan dana Rp. 75.000.000,00 untuk program pengembangan dan pemasaran pariwisata, termasuk di dalamnya adalah kesenian.

Kegiatan Dinas pariwisata yang lain terkait dengan kesenian adalah East Java Art Festival (Jarfest) yang dianggarkan akan menghabiskan dana sebesar Rp. 350.000.000,00. Selain dua rogram itu, anggaran yang ada di Dinas Priwisata hanya digunakan untuk program-program investasi pariwisata dan promosi pariwisata di Jawa Timur. Seta anggaran terbesarnya adalah untuk belanja internal dinas.

Biro Mental dan Spititual Pemprov Jatim tahun ini menganggarkan dana sebanyak Rp. 8.725.000.000,00. dana ini digunakan untuk fasilitasi kegiatan pendidikan dan kebudayaan di Jawa Timur senilai Rp. 3.000.000.000,00. sedangkan sisanya untuk bidang keagamaan, sosial dan spritual serta olah raga di Jawa Timur.

Beberapa tahun yang lalu, ada kecemburuan terkait dengan perencanaan anggaran. Autar Abdillah mengisahkan kalau Subdin Kebudayaan pernah diminta untuk dijadikan satu dengan Dinas Pariwisata menjadi Depbudpar. Permintaan itu dilakukan oleh Dinas Pariwisata Jatim atas dasar anggaran dana yang ada di Dinas Pariwisata relatif sedikit jika dibandingkan dengan Subdin Kebudayaan. Namun permintaan itu gagal karena ketua Dinas P dan K permintaan menolaknya.

Coppy Paste

Anggaran RAPBD 2007 lebih banyak dialokasikan pada belanja internal dinas. Pelayanan publik dan pembangunan daerah relatif kecil. Pemberdayaan dan pengentasan kemiskinan juga relatif sangat kecil dalam anggaran ini. Belanja-belanja dinas yang kiranya tidak penting untuk dilakukan tetap saja muncul dengan dana yang tidak sedikit. Banyak sekali orang yang menilai kalau RAPBD tahun 2007 ini adalah coppy paste dari program sebelumnya.

Suyoto (18/01) misalnya, ketua Fraksi PAN ini melihat bahwa program yang diajukan oleh dinas-dinas yang terkait dengan kesenian cenderung monoton. Dinas-dinas tidak mau menawarkan program yang lebih menarik untuk kemajuan kesenian kedepan. Sebenarnya kalau dinas-dinas itu kreatif dalam memberikan terobosan baru bagi seniman, maka keberadaan dinas ini akan lebih berguna bagi masyarakat seniman. Misalnya mereka melakukan festival-festival yang sifatnya pembinaan kepada seniman.
Sementara dalam pandangan Masruroh Wahid (18/01), ketua Fraksi Kebangkitan Bangsa ini melihat bahwa program-program yang diberikan oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan serta dinas pariwisata belum ada inovasi baru. Dinas-dinas ini belum memberikan peluang-peluang kepada seniman untuk ikut berpartisipasi dalam pengembangan kesenian. Masih banyak hal yang belum dilakukan oleh dinas-dinas yang ada untuk pengembangan kesenian di Jawa Timur. Dalam RAPBD tahun 2007 ini, mereka masih menggulirkan program-program yang sifatnya hanya rutinitas belaka.
Ketua FKB dari Jombang ini, melihat kalau program yang diajukan pada tahun ini pada intinya adalah sama dengan tahun sebelumnya. Harusnya dinas-dinas yang bergerak dalam bidang kesenian ini memiliki inovasi yang lebih, sehingga mereka bisa menarik hati nurani masyarakat untuk ikut serta menjaga dan memelihara kesenia yang ada di jawa Timur, usul politikus perempuan NU ini.

Bu evi, Kasi Kesenian Subdin Kebudayaan Jawa Timur juga senada dengan apa yang diucapkan oleh Danudejo (09/01), sie humas Dinas P dan K yang berada di Genteng kali. Mereka berdua mengatakan kalu program yang akan dilakukan pada tahun 2007 ini, dinas P dan K serta Subdin Kebudayaan tidak memiliki program yang relatif baru. Hampir semua program sama dengan yang sebelumnya. Programnya adalah pelatihan-pelatihan serta pengembangan guru-guru kesenian lewat lokakarya. Selain itu Subdin kebudayaan juga memiliki agenda untuk memelihara dan mengembangkan kesenian tradisional. “Usaha yang dilakukan oleh Subdin Kebudayaan diantaranya mengadakan festival kesenian secara periodic”, terang Bu Evi.

Dalam pandangan Rofi Munawar (18/01), draf RAPBD 2007 Jatim terlalu rumit untuk dievaluasi. Hampir seluruh mata anggaran pendapatan dan penerimaan tidak disertai keterangan secara rinci yang memuat volume dan harga satuanya. RAPBD itu juga tidak mencantumkan rancangan anggaran satuan kerja Pemerintah Daerah. Hal ini merupakan kemunduran yang luar biasa, tambah Wakil Ketua Komisi E ini. Selain itu dia juga menambahkan bahwa RAPBD 2007 ini, tetap seperti tahun-tahun sebelumnya, belanja daerah masih didominasi oleh belanja aparatur ketimbang pelayanan publik.

Penyusunan Anggaran dan Program Kesenian

Pemerintah Provinsi Jawa Timur memiliki dua dinas dan satu biro yang mengurusi tentang kesenian. Kesenian di Jawa Timur berada di bawah naungan Dinas Pariwisata dan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Timur. Selain itu di Pemerintah Provinsi Jawa Timur memiliki Biro Pengembangan Mental dan Spriritual. Biro ini selain menangani masalah spiritual, juga menangani kesenian di Jawa Timur. Taman Budaya dan Subdin Kebudayaan adalah kepanjangan tangan dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan yang mengelola Kesenian. Subdin Kebudayaan dan Tman budaya memiliki wilayah kerja yang berbeda pula.

Tugas pokok fungsi dari lembaga-lembaga ini tentunya berbeda. Dinas P dan K Jatim memiliki tugas pada pengembangan pendidikan dan kebudayaan di jawa timur. Dalam melaksanakan tugas ini, P dan K membagi dalam beberapa lembaga yaitu Subdin Kebudayaan, Taman Budaya dan Museum Empu Tantular. Subdin Pendidikan memiliki orientasi pada pelatihan dan pengembangan kesenian lewat pendidikan. Sementara Taman Budaya juga fokus pada pengembangan kebudayaan yang non sekolahan. Taman Budaya lebih berfokus pada untuk memfasilitasi pengembangan kesenian dan seniman rakyat. Fasilitas itu berupa gedung pertunjukan dan pelatihan-pelatihan yang diberikan kepada seniman yang berada di komunitas-komunitas seni. Yaitu berupa komunitas-komunitas kesenian, sanggar-sanggar kesenian menjadi prioritas garapan Taman Budaya. Sedangkan Museum Empu Tantular lebih berfungsi sebagai tempat untuk menyimpan hasil kesenian dan situs-situs kebudayaan di Jatim.

Sementara Dinas Pariwisata memiliki program pada sisi marketing seni budaya. Dinas Pariwisata sebenarnya tidak melakukan apa-apa terhadap kesenian. Dinas pariwisata tidak melakukan pendidikan dan pengembangan kesenian. Dinas ini memiliki tugas untuk mengemas dan memasarkan hasil kesenian kepada para wisatawan yang datang ke Jawa Timur.

Dalam penyusunan anggaran, dinas-dinas yang mengurusi tentang kesenian tidak pernah melibatkan seniman. Karena dalam aturan dinas tidak ada kewajiban untuk melibatkan seniman dalam menyusun program dan merencanakan anggaran dinas. Dalam pandangan ketua tiga DKJT Ahmad Fauzi (14/01), di Jawa Timur belum ada payung hukum yang jelas tentang keterlibatan seniman dalam menyusun program dan merencanakan anggaran. “Kalaupun dinas melibatkan seniman itu hanya kebijakan seorang pimpinan saja.. Jika ingin maju, kesenian di Jawa Timur ini jangan hanya pemerintah saja yang mengelola kesenian akan tetapi para seniman juga harus dilibatkan mengelola”, ungkap pria dari pulau garam ini.

Perlu payung hukum yag jelas untuk memberikan legitimasi partisipasi seniman dalam penyusunan program yang dilakukan oleh pemerintah. “Kalau payung hukum atau ada Perda yang mengatur maka keberadaan DKJT dalam rangka memfasilitasi kesenjangan antara seniman dengan pemerintah bisa dilaksanakan dengan mudah”, tambah pria berdarah Madura ini.

Dalam pandangan Autar Abdillah (15/01), selama ini dalam perencanaan program pemerintah, seniman tidak pernah diajak untuk sharing bersama. Kecuali Taman Budaya itupun masih baru-baru ini saja diadakan. Sebelumnya, pemerintah dalam menyusun program selalu dikerjakan sendiri. Selain Taman Budaya, misalnya Dinas Pariwisata dan Subdin Kebudayaan selalu dikerjakan sendiri. Mereka seolah tidak membutuhkan seniman dalam penyusunan program.

Alasan pemerintah tidak mengajak seniman dalam penyusunan program dan anggaran dikarenakan dalam anggapan pemeritah seniman tidak bisa mandiri, tidak memiliki managemen yang baik dan bisa juga dikarenakan seniman seringkali dianggap berantem terus. Selain itu alasan dari pemerintah adalah seniman dianggap tidak memiliki pengetahuan yang lebih tentang perkembangan kesenian kedepan. Padahal kalau dalam pandangan laki-laki asli arek Surabaya ini, seniman memiliki kepekaan yang tinggi terhadap permasalahan di lapangan dan bagaimana seniman harus bersikap kedepan. Kalau pemerintah itu hanya tahu permasalahan yang sifatnya permukaan saja.

Dalam menyusun program tahun 2007 ini, rupanya Taman Budaya yang bernaung di bawah Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Timur mencoba untuk membuka diri. Mereka mengundang para seniman dalam menyusun program tahun ini. Pada pertemuan yang dilangsungkan pada akhir tahun 2006 itu, “saya mengundang seniman dari berbagai elemen. Baik itu dari teater, koreografer, seni tari, PEPADI dan lain sebagainya untuk ikut mengkoreksi dan memberikan masukan pada Taman Budaya satu tahun kedepan”, ungkap Pribadi Agus Santoso (10/01). Keikutsertaan para seniman ini dilakukan oleh taman budaya untuk memberikan masukan dan koreksi terhadap kerja Taman Budaya selama tahun 2006, tambah kepala Taman Budaya Jatim Ini.

Partisipasi seniman dalam penyusunan program Taman Budaya ini dilakukan untuk kebaikan Taman Budaya Jawa Timur. Dengan mengundang seniman yang ahli dalam bidangnya masing-masing ini, Taman Budaya akan mengetahui problematika yang ada pada kesenian. Baik itu berupa permasalahan internal ataupun permasalahan dana.hasil dari pertemuan Taman Budaya dengan para seniman ini akan menjadi landasan dalam menyusun program Taman Budaya tahun 2007 nanti, ungkap ketua Taman Budaya Pribadi Agus Santoso. Pada tahun ini, Taman Budaya memprioritaskan programnya pada ketahanan budaya. Kesenian jalur lintas selatan juga menjadi prioritas dalam program tahun 2007 ini.

Taman Budaya mengupayakan agar Pemerintah Jatim memikirkan kesenian lintas selatan. Konsep seni budaya kawasan selatan ini oleh Taman Budaya ditargetkan 5 tahun. Tahun pertama pemetaan potensi daerah, sedangkan tahun kedua pemberdayaan seniman di kawasan selatan. “Kemudian kalau sudah sampai pada tahun kelima, saya berharap di jalur selatan ekonomi berbasiskan budaya sudah ada. Jadi masyarakat jalur selatan tidak hanya berdasarkan pada ekonomi saja. Mereka saya harapkan mampu membuat ekonomi yang berbasiskan pada budaya”, harapan dalang lulusan STSI Solo ini.

Senada dengan Agus Santoso, Maemura (09/01) sekretaris Umum DKJT mengungkapkan bahwa hampir dalam setiap program yang direncanakan oleh Subdin, Dinas Pariwisata maupun Taman Budaya selalu melibatkan teman-teman seniman. Walaupun bukan atas nama lembaga, mesti ada satu atau dua orang yang diajak oleh dinas-dinas itu untuk dimintai pendapat. Pada pertemuan akhir tahun yang diadakan oleh Taman Budaya kemarin juga banyak berbicara tentang program Taman Budaya satu tahun kedepan.

Pertemuan akhir tahun yang diadakan oleh Taman Budaya itu oleh Fauzi tidak dimaknai sebagai pertemuan untuk menyusun program, akan tetapi Taman Budaya meminta para seniman untuk mengevaluasi program Taman Budaya yang sudah terlaksana pada tahun 2006 kemarin. Taman Budaya juga meminta kepada seniman untuk memberikan masukan kepada Taman Budaya untuk program pada tahun 2007. Setiap kali mau merencanakan program, pemerintah senantiasa melakukan evaluasi ke dalam. Mereka sharing dengan para seniman. Hasil dharing inilah yang dijadikan acuan untuk tahun berikutnya. Akan tetapi kesepakatan pertemuan itu dijadikan program atau tidak hanya Taman Budaya yang menentukan, tambahnya.

Dalam Pandangan Autar Abdilah (15/01), pertemuan seniman di STKW beberapa bulan yang lalu telah menghasilkan program yang akan diajukan oleh pemerintah. Program yang diusulkan oleh para seniman adalah program talangan untuk dana produksi seniman. Anehnya pada saat sudah sampai ke Dinas P dan K, orang-orang dinas sendiri yang mencoret program itu. Autar melihat bahwa pemerintah memiliki program lain, sehingga usulan dari para seniman dicoret. Atau mungkin saking seringnya coppy paste, hingga pemerintah lupa akan program yang diusulkan oleh para seniman, lanjut bapak dua anak ini.

Setelah program di tentukan dan dianggarkan oleh dinas-dinas terkait, program dan anggaran dana itu dikirimkan ke Pemerintah Provinsi. “Program itu disesuaikan anggaranya dengan program-program yang diajukan dinas lain. Kalau terlalu berlebihan dan tidak rasional, panitia anggraran berhak untuk melakukan koreksi”, kata Sinarto. Wakil ketua Taman Budaya ini juga menambahkan kalau besar kecilnya anggaran tergantung pada relevansi program yang diajukkan. Selain itu anggaran disesuaikan dengan rencana strategis yang digulirkan oleh Pemprov Jawa Timur. Pemprov Jatim juga mengacu pada renstra Nasional. Jadi dalam penyusunan anggaran harus disesuaikan berdasarkan pada rencana strategis pemerintah. Dengan demikian seniman tidak dilibatkan dalam penentuan anggaran maupun penyusunan program. Penyusunan anggaran hanya dilakukan oleh pejabat dinas dan pemerintah provinsi, tambahnya.

Setelah sampai pada Dewan, program dan anggaran kesenian masih menjadi perdebatan. Program mana yang harus diloloskan dan mana yang harus dicoret. Dalam sidang di Komisi E DPRD Jatim, kesenian masih menjadi tema yang hangat dibicarakan di Komisi E. Wakil Ketua Komisi E Rofi Munawar (18/01) mengatakan bahwa beberapa Fraksi masih memiliki perhatian yang tinggi terkait tentang pengembangan kesenian di Jatim.

Kebanyakan fraksi-fraksi yang ada di Komisi E mengusulkan agar kesenian yang ada di Jatim ini dipelihara keaslianya dan dikembangkan sesuai dengan kemauan masyarakat dan kondisi jamanya. Beberapa fraksi yang lain mengatakan kalau kesenian yang berada di Jatim ini harus ada nilai pendidikanya. Dengan demikian kesenian bisa dibuat alat untuk menekan masyarakat berfikir maju, tambah Rofi.

Dalam penilaian laki-laki dari Fraksi Keadilan dan Demokrat ini, pada saat penyusunan RAPBD, Program dan anggaran yang ditetapkan masih bersifat koordinatif dengan eksekutif. Pada saat pembahasan program kesenian, semua anggota Komisi E ada semua. Program kesenian di Komisi E tidak hanya membahas masalah kesenian saja. Pendidikan, sekolah dan kebudayaan lokal juga menjadi bahasan yang serius pada sidang Komisi E yang silaksanakan pada bulan Desember Kemarin.

Pada saat itu, Rofi sendiri memberikan usulan agar kesenian yang ada di Jatim ini tetap sesuai dengan moralitas dan nilai-nilai agama yang ada. Rofi yang berada di Komisi E tidak mau merekomendasaikan kesenian-kesenian yang beretentetangan dengan nilai moral dan agama. Untuk lebih baiknya kesenian yang ada harus disesuaikan dengan prinsip-prinsip moral yang ada pada Agama.

Komisi E pada saat itu merekomendasikan bahwa, persoalan kebudayaan adalah persoalan orisinalitas dan persoalan menjaga. Jangan sampai kesenian yang ada di Jawa Timur mengalami degradasi. Jangan sampai kesenian-kesenian local itu tergerus oleh kebudayaan-kebudayaan yang berasal dari barat. Untuk menjaga kesenian agar tetap lestari dan terjaga adalah dengan cara melakukan regenerasi. Baik itu dalam wilayah pendidikan ataupun pada wilayah komunitas-komunitas dan sanggar-sanggar yang ada bergerak dalam bidang kesenian. Selain itu juga mengadakan semiloka kesenian lokal, atau bisa dengan cara mengadakan pelatihan dan pengembangan lewat pendidikan formal dan non formal.

Mengaggapi proses pengajuan anggaran dan kinerja Komisi E, Maimura beranggapan bahwa beberapa orang di Komisi E juga ada yang berasal dari seniman akan tetapi kalau sudah menjadi dewan mereka lupa akan asal usulnya. Sehingga program yang disepakati Komisi E banyak yang tidak memihak pada seniman. Maimura menginginkan pemerintah memberikan dana talangan untuk seniman berproduksi. Maimura selama ini melihat bahwa seniman tidak pernah mendapatkan dana dalam melakukan produksi. Senada dengan Maimura, Fauzi yang sekarang menjadi Koordinator Festival Nasional juga mengatakan kalau pemerintah selama ini belum memperhatikan anggaran seniman yang kreatif untuk berproduksi.

elaksana Program

Setelah RAPBD disepakati oleh DPRD dan diajukan ke mendagri dan dkembalikan lagi ke daerah menjadi APBD, program baru bisa dilaksanakan oleh dinas-dinas terkait. Dalam pelaksanan program itu dinas bisa mentenderkan dan bisa dikerjakan sendiri. Kalau di dalam Dinas Pendidikan dan Kebudayaan serta Dinas Pariwisata, program kesenian tidak di tenderkan. Berbeda dengan program Pendidikan yang sering kali di tenderkan.

Dinas-dinas memberikan proyek kepada lembaga atau perseorangan yang memiliki kedekatan emosional saja. Pelaksana program ini bisa berasal dari kalangan akademisi, dewan kesenian ataupun perseorangan yang dipercaya oleh dinas dalam mengerjakan program tertentu. Mekanisme yang digunakan adalah dengan cara menyusun kepanitiaan yang ditentukan sepenuhnya oleh dinas yang bersangkutan. Kebanyakan dari seniman yang berada dalam panitia hanya pekerja teknis saja. Sedangkan panitia secara administratif tetap dipegang oleh dinas terkait, tegas Sinarto .

Dalam pandangan Fauzi, Pemerintah biasanya menunjuk seniman berdasarkan pada keahlianya dalam bidang-bidang tertentu. Akan tetapi tidak jarang pula pemerintah melibatkan seniman-seniman yang tidak ahli dalam bidangnya. Profesionalitas tentunya menjadi pertimbangan pemerintah dalam pelaksanaan program. Program itu diberikan kepada siapa tergantung pemerintah. Hal ini dikarenakan belum ada aturan yang menyebutkan bahwa program yang diadakan oleh pemerintah itu harus ditenderkan. “Mereka beranggapan kalau program ditenderkan kepada even organiser, mereka akan terpatok dan disinukan pada perjanjian-perjanjian semata”, lanjut Fauzi.

Bu Evi Wijayanti, yang juga salah satu yang mengurusi administrasi di Subdin Kebudayaan mengatakan bahwa “dalam pelaksanaan program, Subdin Kebudayaan senantiasa bekerjasama dengan teman-teman seniman”. Subdin Kebudayaan menunjuk orang-orang yang ahli dalam bidangnya masing-masing. Misalnya pada festival tari, kami juga melibatkan teman-teman seni tari, tambahnya. Maemura juga beranggapan bahwa Subdin Kebudayaan senantiasa melibatkan seniman dalam setiap even-even yang diadakan oleh Subdin Kebudayaan. Biasanya Subdin Kebudayaan membuat kepanitiaan.

Seniman lain yang tidak dalam kategori pemerintah tidak memiliki ruang untuk bisa mengerjakan program-program pemerintah. Baik itu di Subdin Kebudayan, Taman Budaya ataupun Dinas Pariwisata sudah memilih dan mempersiapkan orang-orang tertentu untuk mengerjakan program-programnya. Hampir dalam segala bentuk kesenian mereka memiliki orang-orang sendiri untuk melaksanakan program. “Jaringan Klien yang dibentuk oleh pemerintah ini cukup kuat hingga jika ada orang yang diluar jaringan itu masuk sering mengalami kesulitan. Jadi jangan heran kalau seniaman yang memasukan proposal kerjasama seringkali tidak mendapatkan dana”, tambah Autar.

Banyak sekali proposal yang masuk ke dinas dan tidak mendapatkan apa-apa dari dinas. Hal ini dikarenakan memang tidak ada dana untuk sumbangan produksi. Pemerintah juga tidak menganggarkan dan mempersiapkan pada permintaan-permintaan masayarakat yang sifatnya temporer. Dalam mengatasi hal ini para seniman seringkali mencari obyek lain untuk mendanai even yang mereka agendakan.

Rupanya pemerintah belum memiliki anggaran tersendiri untuk dana talangan permohonan bantuan. “Dahulu pernah diajukan oleh teman-teman seniman akan tetapi oleh Subdin Kebudayaan program itu di coret”, kata Agus Santoso. Tidak adanya bantuan produksi ini, membuat para seniman yang mengajukan proposal mengalami kekecewaan. Seharusnya kalau pemerintah mau transparan, maka seharusnya pemerintah mengumumkan tender untuk proposal. Setelah itu mereka menyeleksi berdasarkan relevansinya terhadap pengembangan kesenian di Jatim.

Sebenarnya di dalam APBD Jatim 2006, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan menganggarkan dana bantuan barang-barang kebudayaan sebesar Rp. 347.675.000,00. dana ini sebenarnya bisa digunakan untuk bantuan produksi seniman. Akan tetapi rupanya pemerintah belum menggunakan dana itu untuk kepentingan Publik.
Dengan demikian, Program kesenian semata-mata disusun berdasarkan pada kebutuhan pemerintah. Pemerintah tidak pernah melibatkan seniman daerah-daerah dalam membuat ataupun melaksanakan program. Pemerintah hanya mengajak orang-orang tertentu dalam menggerjakan proyek-proyeknya. Dengan demikian kelihatan sekali kalau proyek kesenian itu hanya milik pemerintah. Para seniman tidak memiliki ruang untuk membuat kebijakan tentang kesenian di Jawa Timur.

Tumpang Tindih Program

Dinas Pariwisata, Taman Budaya Dan Subdin Kebudayaan yang berada di Bawah P dan K, serta Biro Mental dan Spiritual yang bernaung di bawah Pemprov seharusnya sinergis dalam pelaksanan program dan pembuatan anggaran. Hal ini perlu dilakukan untuk mencapai tujuan bersama yaitu berkembangnya kesenian di Jatim. Rupanya kenyataan di lapangan lain, beberapa instansi yang memberikan perhatianya kepada kesenian ini cenderung bekerja sendiri-sendiri. Program yang mereka ajukan juga banyak yang sama. Kesemrawutan kerja di beberapa dinas ini masih kelihatan jelas. Diantaranya seperti yang diucapkan oleh ketua Taman Budaya, masih banyak sekali tumpang tindih program. Saling serobot program dan saling memanfaatkan moment juga sering dilakukan oleh instansi ini. “Misalnya Subdin Kebudayaan memiliki tugas pokok fungsu untuk mengembangkan kesenian lewat pendidikan. dalam kenyatanya kadangkala mereka mengurusi tentang festival lagu-lagu khas daerah, pop singger. Kalu seperti ini kan kelihatan rancu” lanjutnya.

Masing-masing instansi ini memiliki acuan kerja yang berbeda-beda. Dengan demikian tidak acuan kerja itu tidak bisa disamakan. Kalau kerja pengelola kesenian ingin berhasil goal yang dicari seharusnya mereka bekerjasama. Misalnya kalau Dinas Pariwisata memiliki Tugas Pokok Fungsi menjual, maka dinas periwisata harus menyamakan programnya dengan Taman Budaya. Festifal Cak Durasim bisa dijadikan agenda tahunan oleh Dinas Pariwisata. Dengan program yang saling menopang satu sama lain, maka tidak akan ada lagi perebutan program dan dana yang dianggarkan tidak terlalu besar.

Seharusnya mereka bekerja bersamaan dalam rangka meningkatkan ketahanan budaya yang ada di Jawa Timur terlebih pada bidang kesenian. Dalam penilaian Masruroh Wahid, ketua FKB ini melihat bahwa kinerja beberapa isntansi ini selama beberapa tahun terakhir cenderung bekerja sendiri-sendiri. Instansi ini memiliki program pengembangan kesenian dan kebudayaan. Akan tetapi dalam pelaksanaan dan penyusunan program, dinas-dinas ini juga masih cenderung berjalan sendiri-sendiri sehingga apa yang dia programkan seringkali tidak nyambung.

Edi Purwanto

Reorientasi Festival Seni Surabaya

Oleh: Tjahjono Widarmanto

Festival Seni Surabaya (FSS) 2008 kembali digelar. Tidak berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, FSS menyajikan beragam bentuk seni mulai teater, tari, musik, sastra, dan pasar seni. Format FSS itu sudah dipakai berulang-ulang meski temanya dari tahun ke tahun selalu berbeda.


Dan, seperti kita tahu bersama, tema yang disodorkan pantia jarang direspons oleh penyaji yang diundang maupun yang melalui proses seleksi. Maka, tidak heran kalau ada kritikan tajam bahwa FSS sekadar ''nanggap'' kelompok seni yang sudah jadi saja.

Diakui atau tidak, setiap tahun penyelenggaraan FSS muncul berbagai kritik dari berbagai kalangan. Dan, kritik itu hampir selalu ditujukan pada minimnya perhatian penyelenggara pada seniman-seniman lokal (Surabaya dan Jawa Timur pada umumnya). Bahkan, yang lebih tragis lagi para seniman lokal yang ingin menjadi penyaji harus melalui audisi atau bahasa kerennya: kurasi.

Akibatnya, kecemburuan terjadi. Respons terhadap FSS pun jadi apatis bagi sebagian seniman lokal. Sedikit persoalan mudah diungkit ke permukaan. Tingkat partisipasi seniman (lokal) terhadap FSS jadi rendah. Ini terbukti tidak ada seniman yang dengan sadar mempersiapkan karyanya secara khusus untuk even yang diadakan setiap tahun di dua minggu awal Juni ini. Ironisnya, FSS justru bukan menjadi ''pesta'' seni, melainkan ''pesta caci maki'' yang jauh dari tradisi intelek dan kesenian.

Seperti yang terjadi pada FSS 2007. Dalam katalognya --kalau Anda sempat membaca dan jeli-- sebenarnya ada kekeliruan mendasar. Dalam cover itu tertulis dengan huruf besar Festival Seni Surabaya 2007 dengan tema ''Peradaban Baru''. Namun, sebenarnya kata ''Seni'' yang tertera dalam akronim FSS itu tidak ada. Kalau ada, kata ''Seni'', itu hanya tempelan saja. Maksudnya?

Secara berseloroh, seorang teman mengatakan, dalam festival itu hampir tidak ada penyaji dari Surabaya. Ada juga seloroh yang lebih esensial, jangan-jangan kesalahan cetak itu memang bentuk kritik bahwa di Surabaya memang sudah ''tidak ada seni'' yang berstandar festival. Memang, terlalu arogan kalau dikatakan Surabaya tidak mempunyai kelompok kesenian dengan karya berstandar festival. Sebab, ukuran atau kriteria standar festival selalu menimbulkan pro dan kontra.

Karena itu, panitia FSS 2008 tidak boleh menutup mata terhadap perkembangan kesenian di Jawa Timur. Kekuatan-kekuatan itu memang tidak bisa dibandingkan dengan seniman-seniman dari luar Jawa Timur. Ada problem infrastruktur dan suprastruktur yang mempengaruhi perkembangan seni di Jawa Timur jadi terlambat dan terhambat.

Meski begitu, para seniman Jawa Timur tetap bisa eksis dengan caranya sendiri. Misalnya di bidang sastra yang secara signifikan mampu bersaing di tingkat nasional. Begitu juga komunitas-komunitas teater di kampus, produk-produknya tidak memalukan. Kelompok teater di Madiun, Jombang, Malang, Pacitan, dan Ponorogo, juga punya cara sendiri untuk terus eksis di tengah keterbatasan fasilitas dan konsep kesenian.

Dengan keterbatasan itu pendekatan pemilihan penyaji FSS 2008 dari Jawa Timur haruslah berbeda dengan penyaji dari luar Jawa Timur. Bisa jadi panitia tidak lagi menjadi lembaga ''pemilih'' produk seni untuk dikonsumsi bersama-sama di ajang festival, tetapi menjadi lembaga motivator, advokasi (pendampingan), dan penciptaan karya. Dengan cara seperti itu panitia FSS bisa dibedakan menjadi penyelenggara festival seni atau menjadi event organizer (EO).

Dari informasi yang saya peroleh, penyelenggaraan FSS tahun ini berupaya mengakomodasi muatan lokal yang lebih banyak dalam hal penyaji. Jumlah penyaji dari Jawa Timur banyak dimunculkan. Apakah ini merupakan kesengajaan panitia --karena tema yang diusung ''100 Tahun Kebangkitan Nasional: Tribute to Surabaya?''-- atau karena hal lain? Saya tidak tahu banyak ''dapur''-nya.

Namun, dari jumlah penampil Jawa Timur yang cukup lumayan, kita berharap, itu tidak hanya sebatas kepedulian FSS terhadap seniman Jawa Timur, tetapi juga mulai membuktikan perubahan ''manajeman baru'' dalam proses penyelenggaraan FSS.

Mau tidak mau FSS yang sudah terselenggara 11 kali dalam 13 tahun terakhir, harus membuat terobosan baru dalam manajemen penyelenggaraan. Tidak hanya manajemen penggalangan sponsor, tetapi juga manajemen isu dan manajemen sajian yang saya lihat dari tahun ke tahun tidak mempunyai format yang baru dan menjanjikan. Bahkan, boleh dikatakan cenderung monoton dan membosankan.

Di balik hal-hal teknis itu, ada harapan bahwa setiap penyelenggaraan FSS, publik dan seniman Jawa Timur menunggu hadirnya generasi-generasi seniman baru. Tidak ada buruknya kita menantang, bahwa Jawa Timur masih mempunyai potensi seni (man) yang bisa diperhitungkan. Publik berhak ''merebut'' FSS karena festival ini juga didanai APBD Surabaya! (*)

*) Tjahjono Widarmanto, esais dan cerpenis, tinggal di Ngawi

Jawa Pos [Minggu, 01 Juni 2008]

HUT Surabaya: Seniman Lokal Hanya Jadi Penonton

SURABAYA-Pesta ratusan juta rupiah di Taman Surya, yang mengundang sejumlah artis ibu kota bertarif mahal, sebagai puncak acara HUT Surabaya ke 715, Sabtu (31/5) malam, ternyata justru membuat sejumlah seniman asli Surabaya nelangsa. Mereka menganggap, pemkot tidak memanusiakan mereka sebagai seniman lokal. Yang sedikit banyak, ikut membangun Surabaya dengan caranya sendiri.


“Sungguh ironis, yang memeriahkan ulang tahun Surabaya malah Eko Patrio dan artis ibu kota lain,” itulah kalimat ironis yang disampaikan salah satu pelawak Surabaya, Djadi Galajapo, mengalami keluhannya mengenai sikap pemkot dalam menyambut HUT Surabaya.

Menurut Djadi, apa yang dikatakannya tersebut mewakili beban batin yang dipikul oleh seluruh seniman Surabaya. “Bayangkan, kami ini para seniman Surabaya, tapi malam ini, kami justru hanya jadi penonton dalam perhelatan kota kami. Dan kejadian seperti ini, selalu terjadi setiap tahun, setiap kali Surabaya berulang tahun,” keluh juru bicara dari FOSS (Forum Seduluran Seniman) Jawa Timur ini, Sabtu (31/5) siang.

Kalimat pedas juga disampaikan Vera, pentolan Srimulat yang menuding pemkot tidak memiliki keinginan untuk membela seniman lokal. FOSS, kata Vera, secara rutin selalu menyampaikan aspirasi ini ke pemkot. Namun setiap kali pula, mereka mendapat jawaban klise yaitu pihak sponsor yang mengatur semua acara, termasuk mendatangkan artis.

“Ini sungguh aneh, pemkot 'pengatur' Surabaya, mengaku tidak punya kuasa untuk menentukan pengisi acara,” ungkap pelawak yang satu angkatan dengan Tessy ini.
Vera mengaku punya kenangan pahit, ketika pemkot menganaktirikan seniman lokal. Di Hari Jadi Surabaya beberapa tahun lalu, bersama seniman lokal lain, ia disewa untuk pentas. Tetapi lokasinya, persis di pinggir kali dengan honor cuma Rp 75.000. “Sejak itu hingga sekarang, kami malah tidak diundang sama sekali,” sambungnya.

Didik Mangkoeprodjo, 71, pentolan Srimulat mengatakan, keinginannya untuk menghibur warga saat hari jadi Surabaya bukan semata karena dibayar atau tidak. “Saya ini warga Surabaya dan sudah tua. Sebelum saya mati, ingin rasanya ikut syukuran dengan cara melakukan apa yang saya bisa, yaitu menghibur warga kota ini. Hanya itu, saya tidak minta lainnya. Soal dibayar, itu bonusnya,” ujar pelawak berjambul ini setengah berteriak.

Didik juga punya pengalaman kurang mengenakkan, ketika ia ditanggap untuk HUT Surabaya. Waktu itu, ia tampil bersama Tukul. Namun saat dibalik panggung, ia sempat dibentak-bentak kru panggung karena mereka hanya memburu Tukul. “Untuk makan dan ruang ganti, juga ada perbedaan yang sangat mencolok,” tambahnya.

Seorang seniman ludruk, Hengky Kusuma, juga mengeluh karena justru ludruk tidak pernah dilibatkan dalam peringatan HUT Surabaya. “Kami hanya minta setahun sekali, diadakan silaturahmi sesama seniman Surabaya. Sehingga setiap orang tahu, bahwa seniman Surabaya itu belum punah,” tuturnya.***/ AJI BRAMASTRA

SURYA, Sunday, 01 June 2008


Seminar Budaya Jatim Digelar di Malang

Surabaya - Balai Bahasa Surabaya (yang dalam waktu dekat akan berganti nama: Balai BAhasa JAwa Timur, bon) akan menggelar seminar mengenai keragaman sosial budaya Jawa Timur untuk penutur asing dengan harapan semua kekayaan sosial budaya Jawa Timur dapat lebih dikenal di kalangan masyarakat internasional.


”Seminar ini akan digelar di Malang, 18 Juni 2008 dengan tujuan untuk menggali nilai-nilai sosial budaya Jawa Timur, mengangkat dan memberdayakan budaya Jawa Timur serta memajukan pengajaran Bahasa Indonesia bagi penutur asing (BIPA) melalui kemajemukan sosial budaya lokal, “ kata salah seorang panitia seminar, Dalwiningsih di Surabaya, Selasa (29/04/2008).

Akan tampil sebagai pembicara dalam seminar itu adalah, Prof Dr Ayu Sutarto, MA (Unej) dengan tema, Pemanfaatan Keberagaman Bahasa, Sosial, Budaya, dan Agama di Jawa Timur sebagai Bahan Ajar BIPA, Dr Widodo HS (Universitas Negeri Malang) dengan tema, Kesantunan Berbahasa dan Etika Komunikasi dalam Lintas Budaya.

Pembicara lain adalah, Dr Arif Budi W (UMM) dengan tema, Langkah dan Strategi Pemanfaatan Potensi Lokal sebagai Bahan Ajar BIPA, Prof Dr Abbas A Baadib (Unesa) dengan tema, Peran Perusahaan Asing di Jawa Timur dalam Peningkatan Program BIPA dan Konsulat Jenderal Tiongkok di Surabaya dengan tema, Pandangan Orang Asing terhadap Budaya Jawa Timur.

Ia mengemukakan bahwa di tengah arus globalisasi, unsur budaya dan nilai-nilai lokal menjadi semakin penting peranannya karena banyak negara yang tidak ingin kehilangan jati diri dan identitasnya sebagai sebuah bangsa, tidak terkecuali bangsa Indonesia, khususnya Jawa Timur.

Nilai budaya asing yang masuk ke Indonesia akibat tekanan global telah menimbulkan kesadaran di berbagai daerah untuk kembali menghargai budaya-budaya dan nilai-nilai asli daerahnya yang dianggap lebih sesuai.

”Salah satu provinsi yang sangat kaya dengan seni budaya adalah Jawa Timur. Secara umum, wilayah Jawa Timur dapat dibagi menjadi sepuluh daerah kebudayaan, yaitu Mataraman, Samin, Pesisiran, Suroboyoan, Madura, Bawean, Kangean, Pendhalungan, Tengger, dan Using. Sepuluh peta daerah kebudayaan tersebut disokong oleh dua etnis besar, yaitu Jawa dan Madura serta perpaduan keduanya, “ katanya. (ant/red)


Surabaya, Selasa, 29/04/2008, 13:02 wib, redaksi-jawakini