Membongkar Konspirasi Pembunuh Munir

Oleh Prija Djatmika *

Seorang hakim senior di Inggris, Lord Carrington, pada abad 18 mengatakan, kalau dia menghukum seorang pencuri kuda, tujuannya bukan saja melindungi kuda yang sudah dicuri tersebut, namun juga melindungi kuda-kuda lain agar tidak dicuri (lagi).



Penegasan hakim tersebut merupakan landasan filosofis penghukuman yang dijatuhkan kepada seseorang. Sebab, hukuman yang dijatuhkan akan memberikan dampak prevensi umum, yakni membuat orang lain yang belum melakukan kejahatan akan jera berbuat jahat karena takut pada ancaman hukumannya. Dampak prevensi khususnya adalah pelaku yang dihukum akan jera berbuat jahat lagi (deterrence effect). Dengan demikian, korban-korban kejahatan tidak akan berjatuhan lagi dan masyarakat tertib (sosial dan hukum).

Penahanan Muchdi

Proses hukum yang saat ini tengah berjalan terhadap Mayjen (Pur) Muchdi Purwopranjono, atau dikenal dengan Muchdi Pr., dalam kaitan kasus pembunuhan aktivis HAM Munir dapat dibaca dalam filosofi itu.

Dalam hal ini, bukan saja proses hukum tersebut bermaksud menemukan siapa (saja) yang bertanggung jawab terhadap terbunuhnya Munir, sehingga hak konstitusi Munir sebagai warga negara terlindungi oleh negara (pemerintah), melainkan sekaligus bertujuan mencegah kasus serupa terjadi terhadap para aktivis HAM lainnya.

Negara memang tidak boleh tinggal diam atas terbunuhnya seorang atau banyak orang warga negaranya (genocide) yang dilakukan oleh orang atau kelompok lain.

Adalah menjadi amanah konstitusi dan hak konstitusional warga negara untuk dilindungi dan disejahterakan oleh negaranya. Hak hidup (life), merdeka (liberty), dan berusaha (estate) adalah hak dasar warga yang harus dilindungi keterwujudannya oleh negara.

Oleh sebab itu, dalam referensi hukum pidana, apabila ada warga yang menjadi korban kejahatan, persoalannya tidak lagi menjadi urusan individu korban dengan pelaku kejahatan, melainkan beralih menjadi urusan negara dengan pelaku kejahatan. Sebab, menjamin ketertiban, keadilan, dan kesejahteraan warga adalah kewajiban negara, yang harus dibela apabila ada warga atau kekuatan yang mencederainya.

Negara menjadi representasi korban untuk memperjuangkan hak-haknya terhadap pelaku kejahatan yang menjadikan dirinya korban (victim). Negara, melalui tangan-tangan aparatnya, yakni polisi dan jaksa, melakukan proses penuntutan dan hakim yang bertindak sebagai kekuatan independen (imparsial) yang akan memutuskan hukumannya.

Sementara, terhadap pelaku pun, dijamin hak-hak konstitusionalnya agar tidak diperlakukan secara semena-mena atau direnggut hak-hak hukumnya. Karena itu, hak-haknya tetap dijamin dan ia berhak didampingi penasihat hukum, mulai penyidikan sampai persidangan.

Penahanan Muchdi Pr. dalam kaitan dugaan keterlibatannya dalam kasus Munir mestilah dibaca dari perspektif itu. Konstitusi menjamin semua orang sama di hadapan hukum. Karena itu, predikat-predikat seseorang dalam aspek sosial, ekonomi, politik, budaya, militer, atau ideologi tidak berlaku ketika berurusan dengan hukum.

Meskipun asas persamaan di depan hukum itu sering dilanggar di negara-negara berkembang, terutama yang berkarakter hukum represif, yang hukumnya menjadi subordinat kekuatan politik, keberanian kepolisian menahan Muchdi yang notabene seorang mayor jenderal (pur) dan mantan deputi V di Badan Intelijen Negara (BIN) haruslah diapresiasi bahwa kepolisian konsisten dengan asas hukum yang amat prinsipial itu.

Kita mestilah mengapresiasi pula penegasan-penegasan para petinggi TNI dan Kopassus (tempat Muchdi pernah menjabat komandan jenderalnya), sebagaimana banyak diberitakan. Yakni, penahanan Muchdi dan dugaan keterkaitannya dengan pembunuhan Munir tak ada kaitannya sama sekali dengan institusi TNI dan Kopassus.

Dijamin pula bahwa tidak ada privilege-privilege khusus yang akan diperoleh Muchdi Pr. dalam proses hukum itu dari dua institusi tersebut. Pimpinan BIN pun menegaskan perihal serupa dan meminta kepolisian bisa membuktikan dugaan keterlibatan Muchdi.

Un-Equality after the Law

Penegasan-penegasan petinggi TNI, Kopassus, dan BIN tersebut, ditambah penegasan Mensegneg Hatta Radjasa bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akan membongkar tuntas kasus terbunuhnya Munir dan konspirasi yang ada di belakangnya, melegakan kita semua.

Selama ini, terutama di era Orde Baru, ketika hukum dikalahkan oleh kekuasaan politik, kasus-kasus pembunuhan terhadap para aktivis, seperti aktivis mahasiswa dan buruh, sering mengalami impunitas atau tak ada proses hukum. Yang berlaku, sebagaimana dikatakan sosiolog Belanda Scyhut, adalah ketidaksamaan di belakang hukum ++++ (un-equality after the law). Terutama bila diduga pelakunya adalah tangan-tangan terselubung pemerintah. Mereka dilindungi dan diberi privilege khusus untuk diimpunitas kasusnya.

Masih misteriusnya kasus pembunuhan Trisakti di awal era reformasi, tidak jelasnya nasib para aktivis yang hilang dan penyair Widji Thukul, selubung yang masih menyelimuti kasus pembunuhan aktivis buruh Marsinah, adalah beberapa contoh saja.

Pembunuhan Munir diyakini banyak orang dilakukan dengan konspirasi. Namun, keyakinan saja tentu bukan bukti yang bisa diajukan ke pengadilan. Dibutuhkan bukti-bukti hukum (legal factie) untuk menunjang keyakinan tersebut.

Karena itu, upaya penyidik untuk tidak tergesa-gesa menangkap dan menahan orang-orang yang diduga terlibat adalah benar menurut prosedur hukum.

Sekalipun demikian, Polri mesti merespons penegasan pengacara Muchdi, Achmad Cholid, bahwa sebaiknya bukan hanya Muchdi yang disidik. Beberapa nama lain agen BIN, yang disebutnya mengetahui skenario pembunuhan Munir (JP 24/6), sebaiknya diperiksa pula. Dengan demikian, konspirasi pembunuhan Munir akan terungkap tuntas sampai ke tokoh intelektualnya. Selamat untuk Polri.

* Prija Djatmika, dosen kriminologi Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang

dari Jawa Pos Senin, 30 Juni 2008

0 tanggapan: