Lagu untuk Munir

TEMPO Interaktif, : Dua bocah bermain-main riang di ruang sempit Time Out Cafe di Pasar Festival, Kuningan, Jakarta, Jumat, 19 Juni malam lalu.


Soultan Alif Allende, 10 tahun, dan Diva Suukyi, 5 tahun, datang ditemani sang ibu, Suciwati. Alif dan Diva bahkan bermain hingga ke panggung yang sejajar dengan tempat penonton. Suasana cair menunggu penampilan grup Efek Rumah Kaca dimanfaatkan mereka untuk bermain.

Suciwati, istri aktivis hak asasi manusia Munir (almarhum), bersama kedua anaknya datang khusus menghadiri acara peluncuran nada sambung (ring back tone) lagu-lagu Efek Rumah Kaca dari album mereka yang juga berjudul Efek Rumah Kaca. Pasalnya, salah satu lagu mereka dalam album perdana tersebut, yang berjudul Di Udara, berkisah tentang Munir.

"Setiap hasil yang diperoleh dari lagu itu kami donasikan untuk Munir Institute. Ini bentuk penghargaan setinggi-tingginya untuk inspirasi lagu ini, yaitu Munir," kata vokalis dan gitaris band itu, Cholil, kepada Tempo.

Sebelum pertunjukan, Cholil mengungkapkan alasan memberi penghargaan itu kepada Munir. "Kami pingin spirit Munir tetap ada," kata pria 32 tahun itu. Efek Rumah Kaca, kata Cholil, ingin menyebarkan semangat Munir, yang dikenalnya tak takut terhadap teror karena menyuarakan kebenaran. Simak saja lirik lagu Di Udara tersebut yang juga dibawakan Efek Rumah Kaca malam itu.

...
Ku bisa tenggelam di lautan
Aku bisa diracun di udara
Aku bisa terbunuh di trotoar jalan
Tapi aku tak pernah mati
Tak akan berhenti
...

Selain topik hak asasi manusia seperti pada lagu Di Udara, Efek Rumah Kaca, yang beranggotakan Cholil, Adrian (bas), dan Akbar (drum), punya lagu lainnya yang sarat akan kritik sosial. Sebut saja, misalnya, Jalang, yang mengkritik Rancangan Undang-Undang Anti-Pornografi dan Pornoaksi; Belanja Terus Sampai Mati tentang budaya hidup konsumerisme; dan Cinta Melulu, yang mengkritik industri musik pop yang mayoritas mengangkat tema cinta. "Seolah-olah tidak ada tema lainnya," kata Cholil.

Menurut Cholil, lagu yang mereka hasilkan merupakan bagian dari usaha memotret zaman. "Musik sudah menjadi media komunikasi, tempat kami beropini," ujarnya sembari menyebut genre musik mereka adalah pop. "Karena ide (melalui pop) lebih mudah diterima."

Penampilan mereka malam itu menyebabkan Time Out dijelali penonton, bahkan hingga luber ke luar. Tiga band yang tampil sebelum Efek, yakni Lull, Epic, dan It's Different Class, tidak mampu mengumpulkan massa semasif itu.

Efek Rumah Kaca pun tidak mengecewakan penggemarnya. Kemampuan musikalitas yang prima dipadu dengan kualitas vokal yang apik menghasilkan musik yang khas. Mereka hanya membawakan enam lagu, di antaranya Debu-Debu Beterbangan, Di Udara, Sebelah Mata, dan Desember.

Efek Rumah Kaca adalah grup band indie yang terbentuk pada 2001 dari kegemaran personelnya nongkrong bareng. "Awalnya kami berlima. Tapi pada 2003, dua lainnya mengundurkan diri," ujar Cholil.

Sejak itu, Efek, yang bergenre psychedelic pop, terus melangkah. Album perdananya lahir pada 2007. "Kami tengah menyiapkan album kedua," Cholil menambahkan. l TITO SIANIPAR

Tempointeraktif, Selasa, 24 Juni 2008 | 17:47 WIB

0 tanggapan: