Oleh Bonari Nabonenar
Ketua Paguyuban Pengarang Sastra Jawa
Penghargaan seniman Jawa Timur 2008 sudah diserahkan 30 Juni lalu. Padahal, penghargaan kali ke-11 itu biasanya dilangsungkan seminggu menjelang Lebaran Idul Fitri saban tahunnya. Hal ini berkaitan dengan posisi ''sang pemilik tradisi'', Gubernur Imam Utomo, yang Agustus ini sudah harus mengakhiri masa jabatan keduanya.
''Tentu para seniman dag-dig-dug, karena Pak Imam tidak lama lagi akan meninggalkan jabatan ini, apakah ada pemberian penghargaan yang ke-12?'' ujar Dahlan Iskan saat diminta memberi sambutan pada acara yang diadakan di Gedung Grahadi itu. Para penerima penghargaan, panitia, bahkan Imam Utomo sendiri bertepuk tangan.
Harus diakui bahwa dari tahun ke tahun pelaksanaan penghargaan seniman Jawa Timur semakin baik, dan bahkan sepertinya kini tidak ada lagi suara-suara miring seperti di awal 2000-an. Meski begitu, saya masih menilai ada persoalan yang tampaknya sepele, tetapi cukup mengganjal dan mestinya dirasakan sebagai ganjalan yang signifikan oleh para pemerhati dan penggiat sastra etnik (untuk menyebut sastra yang memakai media bahasa daerah/dialek di Jawa Timur). Tahun ini para sastrawan yang mendapatkan penghargaan ialah M. Shoim Anwar (Surabaya), Mashuri (Sidoarjo), dan F.C. Pamuji (pengarang sastra Jawa, Nganjuk). Soal kecil pertama, mengapa panitia menyebut ''seniman bahasa Indonesia'' sebagai ''sastrawan'' dan menggunakan kata ''pengarang'' untuk F.C. Pamuji yang menulis dengan bahasa Jawa?
Soal kecil kedua, sastrawan yang memakai media bahasa daerah/dialek yang ada di Jawa Timur diletakkan ''satu kamar'' dengan sastrawan yang memakai media bahasa Indonesia. Jika kita baca profil di buku panduan yang diterbitkan panitia, kita akan menangkap kesan bahwa F.C. Pamuji dinyatakan berhak atas penghargaan seniman Jawa Timur 2008 dengan pertimbangan masa dan kualitas dedikasi serta kualitas karyanya di dua bidang: seni karawitan dan seni bahasa Jawa. M. Shoim Anwar sudah jelas bahwa selama ini ia dikenal sebagai sastrawan yang hanya memakai media bahasa Indonesia. Sedangkan Mashuri, selain sebagai penyair andal yang juga telah menyabet gelar juara I Lomba Cipta Novel Dewan Kesenian Jakarta 2007 dengan Hubbu-nya, laki-laki asal Lamongan ini juga dikenal sebagai penggurit di ranah sastra Jawa. Dengan kata lain, dari tiga sastrawan yang mendapatkan penghargaan seniman Jatim 2008 ini, dua di antaranya adalah sastrawan Jawa. Tetapi, jika benar bahwa F.C. Pamuji mendapat penghargaan lebih karena ia adalah seorang pengrawit dan Mashuri lebih karena ia adalah sastrawan yang sukses bersama Hubbu-nya, itu belumlah kabar baik bagi sastra etnik di Jawa Timur.
Kita boleh bilang, sastra adalah sastra, dan bahasa hanyalah persoalan media atau alat penyampai. Dari sisi ini pulalah tampaknya panitia/juri penghargaan seniman Jatim 2008 memandang. Hal demikian terasa meleset, justru dari pikiran seorang Imam Utomo, ''penggagas'' tradisi penganugerahan penghargaan seniman ini, yang, seperti dalam sambutannya menekankan betapa pentingnya memelihara nilai-nilai tradisi sambil menerima --ataupun mengawinkannya dengan-- anasir asing yang ''bagus''.
Menempatkan kreator sastra etnik dan sastra Indonesia dalam ''satu kamar'' dalam konteks pemberian penghargaan, seperti mengadu dua petinju yang berbeda kelas/berat badan. Seperti mengadu Chris John dengan Mike Tyson. Ini perbandingan kasarnya: sastrawan Jawa macam Djayus Pete atau Sumono Sandy Asmoro bisa menjual sebuah crita cekak (cerpen) karya mereka ke penerbit/media cetak seharga Rp 100 ribu. Untuk karya yang sama (cerpen) yang ditulis dengan bahasa Indonesia, Lan Fang atau Wina Bojonegoro, bisa menjualnya dengan harga antara Rp 500 ribu hingga Rp 1 juta. Njomplang banget, kan? Memang, siapa yang menyuruh Djayus Pete atau Sumono Sandy Asmoro menekuni sastra Jawa? Mengapa tidak mengikuti jejak Suparto Brata yang hebat di kedua-duanya, sastra Indonesia dan sastra etnik (Jawa)? Itu kan pilihan mereka? Jika Anda bertanya seperti itu, maka, izinkanlah saya ajak Anda untuk memberi sedikit penghargaan kepada orang-orang yang memilih ''lahan kering'' itu. Atau Anda setuju untuk menyeru agar para seniman bahasa Jawa itu eksodus ke wilayah sastra Indonesia yang jelas-jelas lebih menjanjikan secara ekonomi?
Masyarakat Jawa Timur adalah masyarakat multikultur. Jika kita setuju keanekaragaman itu adalah kekayaan, dan kita setuju pula untuk menjaga dengan baik dan bahkan mengembangkan potensi-potensi keanekaragaman itu, jika kelak masih ada acara penganugerahan penghargaan seperti yang sudah 11 kali dilakukan di Jawa Timur ini, alangkah baiknya jika sastra etnik dan sastra Indonesia tidak diletakkan di ''kamar'' yang sama. Maka, kita bisa membayangkan, kelak, setiap tahun akan ada wajah-wajah dari wilayah subkultur: Madura, Osing, Surabaya, dll., yang menulis dengan bahasa ibu mereka di barisan sastrawan penerima penghargaan seniman Jawa Timur itu.
Bagaimana pendapat Anda? Apakah saya terlalu nyinyir? (*)
sumber: Jawa Pos
Ketua Paguyuban Pengarang Sastra Jawa
Penghargaan seniman Jawa Timur 2008 sudah diserahkan 30 Juni lalu. Padahal, penghargaan kali ke-11 itu biasanya dilangsungkan seminggu menjelang Lebaran Idul Fitri saban tahunnya. Hal ini berkaitan dengan posisi ''sang pemilik tradisi'', Gubernur Imam Utomo, yang Agustus ini sudah harus mengakhiri masa jabatan keduanya.
''Tentu para seniman dag-dig-dug, karena Pak Imam tidak lama lagi akan meninggalkan jabatan ini, apakah ada pemberian penghargaan yang ke-12?'' ujar Dahlan Iskan saat diminta memberi sambutan pada acara yang diadakan di Gedung Grahadi itu. Para penerima penghargaan, panitia, bahkan Imam Utomo sendiri bertepuk tangan.
Harus diakui bahwa dari tahun ke tahun pelaksanaan penghargaan seniman Jawa Timur semakin baik, dan bahkan sepertinya kini tidak ada lagi suara-suara miring seperti di awal 2000-an. Meski begitu, saya masih menilai ada persoalan yang tampaknya sepele, tetapi cukup mengganjal dan mestinya dirasakan sebagai ganjalan yang signifikan oleh para pemerhati dan penggiat sastra etnik (untuk menyebut sastra yang memakai media bahasa daerah/dialek di Jawa Timur). Tahun ini para sastrawan yang mendapatkan penghargaan ialah M. Shoim Anwar (Surabaya), Mashuri (Sidoarjo), dan F.C. Pamuji (pengarang sastra Jawa, Nganjuk). Soal kecil pertama, mengapa panitia menyebut ''seniman bahasa Indonesia'' sebagai ''sastrawan'' dan menggunakan kata ''pengarang'' untuk F.C. Pamuji yang menulis dengan bahasa Jawa?
Soal kecil kedua, sastrawan yang memakai media bahasa daerah/dialek yang ada di Jawa Timur diletakkan ''satu kamar'' dengan sastrawan yang memakai media bahasa Indonesia. Jika kita baca profil di buku panduan yang diterbitkan panitia, kita akan menangkap kesan bahwa F.C. Pamuji dinyatakan berhak atas penghargaan seniman Jawa Timur 2008 dengan pertimbangan masa dan kualitas dedikasi serta kualitas karyanya di dua bidang: seni karawitan dan seni bahasa Jawa. M. Shoim Anwar sudah jelas bahwa selama ini ia dikenal sebagai sastrawan yang hanya memakai media bahasa Indonesia. Sedangkan Mashuri, selain sebagai penyair andal yang juga telah menyabet gelar juara I Lomba Cipta Novel Dewan Kesenian Jakarta 2007 dengan Hubbu-nya, laki-laki asal Lamongan ini juga dikenal sebagai penggurit di ranah sastra Jawa. Dengan kata lain, dari tiga sastrawan yang mendapatkan penghargaan seniman Jatim 2008 ini, dua di antaranya adalah sastrawan Jawa. Tetapi, jika benar bahwa F.C. Pamuji mendapat penghargaan lebih karena ia adalah seorang pengrawit dan Mashuri lebih karena ia adalah sastrawan yang sukses bersama Hubbu-nya, itu belumlah kabar baik bagi sastra etnik di Jawa Timur.
Kita boleh bilang, sastra adalah sastra, dan bahasa hanyalah persoalan media atau alat penyampai. Dari sisi ini pulalah tampaknya panitia/juri penghargaan seniman Jatim 2008 memandang. Hal demikian terasa meleset, justru dari pikiran seorang Imam Utomo, ''penggagas'' tradisi penganugerahan penghargaan seniman ini, yang, seperti dalam sambutannya menekankan betapa pentingnya memelihara nilai-nilai tradisi sambil menerima --ataupun mengawinkannya dengan-- anasir asing yang ''bagus''.
Menempatkan kreator sastra etnik dan sastra Indonesia dalam ''satu kamar'' dalam konteks pemberian penghargaan, seperti mengadu dua petinju yang berbeda kelas/berat badan. Seperti mengadu Chris John dengan Mike Tyson. Ini perbandingan kasarnya: sastrawan Jawa macam Djayus Pete atau Sumono Sandy Asmoro bisa menjual sebuah crita cekak (cerpen) karya mereka ke penerbit/media cetak seharga Rp 100 ribu. Untuk karya yang sama (cerpen) yang ditulis dengan bahasa Indonesia, Lan Fang atau Wina Bojonegoro, bisa menjualnya dengan harga antara Rp 500 ribu hingga Rp 1 juta. Njomplang banget, kan? Memang, siapa yang menyuruh Djayus Pete atau Sumono Sandy Asmoro menekuni sastra Jawa? Mengapa tidak mengikuti jejak Suparto Brata yang hebat di kedua-duanya, sastra Indonesia dan sastra etnik (Jawa)? Itu kan pilihan mereka? Jika Anda bertanya seperti itu, maka, izinkanlah saya ajak Anda untuk memberi sedikit penghargaan kepada orang-orang yang memilih ''lahan kering'' itu. Atau Anda setuju untuk menyeru agar para seniman bahasa Jawa itu eksodus ke wilayah sastra Indonesia yang jelas-jelas lebih menjanjikan secara ekonomi?
Masyarakat Jawa Timur adalah masyarakat multikultur. Jika kita setuju keanekaragaman itu adalah kekayaan, dan kita setuju pula untuk menjaga dengan baik dan bahkan mengembangkan potensi-potensi keanekaragaman itu, jika kelak masih ada acara penganugerahan penghargaan seperti yang sudah 11 kali dilakukan di Jawa Timur ini, alangkah baiknya jika sastra etnik dan sastra Indonesia tidak diletakkan di ''kamar'' yang sama. Maka, kita bisa membayangkan, kelak, setiap tahun akan ada wajah-wajah dari wilayah subkultur: Madura, Osing, Surabaya, dll., yang menulis dengan bahasa ibu mereka di barisan sastrawan penerima penghargaan seniman Jawa Timur itu.
Bagaimana pendapat Anda? Apakah saya terlalu nyinyir? (*)
sumber: Jawa Pos