Yainem, Janda Termiskin di Kecamatan Ngrayun
Mbok Yainem, janda miskin di Desa Mrayan, Kecamatan Ngrayun, Ponorogo, Jawa Timur, yang hidup bersama 2 orang anak [dari keempat anaknya] lumpuh itu ternyata kini sudah membangun rumah baru. Inilah laporan Bonari Nabonenar yang ditugasi BI mengantarkan sumbangan barang-barang dan uang dari para pembaca BI di HK untuk keluarga janda termiskin itu.
Malam itu belum terlalu larut. Masih sekitar pukul 20.00. Malam lebaran 1427 H (Minggu 22 Oktober 2006). Tetapi, suasana Dusun Krajan, Desa Mrayan, Kecamatan Ngrayun, Ponorogo, Jawa Timur, sudah tampak senyap. Sepanjang perjalanan sejak Kecamatan Bungkal, sekitar 25 km sebelum Ngrayun, hanya sesekali berpapasan dengan kendaraan lain, motor atau truk. Jalan berkelok-kelok, cenderug terus menanjak. Bahkan ada salah satu tanjakan yang disebut-sebut sebagai tanjakan 23, rasanya nyaris tegak lurus dengan langit. Jika pengendara tak berpengalaman di pegunungan, sekali salah oper kendaraan sebagus apapun dijamin mogok di tengah-tengah tanjakan. Jurang di sisi kiri jalan yang tertusuk lampu motor, menawarkan kengerian.
Kami berdua [Bonari Nabonenar dan Purwo Santoso, Red] baru kali ini melintasi jalan ini, apalagi dengan mengendarai motor sendiri. Beras 50 kg ada di motor yang dikendarai Purwo, sedangkan barang-barang lain [semuanya dibeli dari sumbangan para pembaca BI untuk diteruskan kepada keluarga Yainem] ada di motor yang saya kendarai. Ditambah uang kontan Rp 300 ribu, nilai total bantuan itu Rp 1 juta.
Setelah dua kali bertanya, sampailah juga akhirnya kami di Desa Mrayan. Karena dingin membuat otot-otot kami seolah mengkerut, kami memutuskan mampir dulu di sebuah warung kopi, persis di sebelah masjid kecil. Ada puluhan anak agaknya baru menyelesaikan pelajaran mengaji. Tetapi samasekali tidak terlihat tanda-tanda bahwa mereka akan merayakan Lebaran keesokan harinya. Belum ada takbir berkumandang. Sambil menikmati kopi, kami mendengar dari RRI [Radio Republik Indonesia] Menteri Agama menyiarkan bahwa Hari Raya Idul Fitri 1427 H jatuh pada hari Selasa, 24 Oktober 2006, dengan tambahan kalimat bahwa Pemerintah tetap menghormati mereka yang merayakannya pada hari Senin, 22 Oktober 2006.
Pemilik warung memberi cukup banyak informasi mengenai Desa Mrayan, kehidupan mayarakatnya yang sebagian besar petani, dan tanahnya yang cukup tandus. Bahkan hutan pun banyak yang gundul, dan kalaupun ada tanamannya adalah pinus. Tetapi, saat ditanya di mana persisnya alamat rumah Mbok Yainem, pemilik warung [suami dan istri] tidak bisa memberikan jawaban yang tepat. Mereka hanya mengatakan bahwa memang ada nama Mbok Yainem, bahkan beberapa orang dari luar daerah, yang bermaksud mengantarkan sumbangan kepada janda miskin itu sempat mampir di warung mereka.
Untuk tidak memperpanjang kebingungan dan keburu malam melarut, kami memutuskan untukmampir saja ke rumah Kepala Desa. Tak susah mencari alamat rumah Kepala Desa, karena semua orang di sini pasti bisa menunjukkannya. Lebih dari itu, Purwo Santosa pernah menemui Pak Bandi [Kepala Desa itu] di rumahnya beberapa waktu lalu saat meliput pemakaman jenasah Suprihatin [almarhumah] TKI yang meninggal karena jatuh dari apartemennya di HK.
Rumah Baru
Pak Bandi pas ada di rumah. Takut keburu malam larut, kami tidak berlama-lama, dan segera minta alamat rumah Mbok Yainem. Pucuk dicinta ulam tiba. E, ternyata kami malah diantar bersama beberapa orang tetangga yang malam itu sedang nonton [TV] bareng di kelurahan [sebutan mereka untuk rumah Kepala Desa]. Lhadalah, ternyata rumah Mbok Yainem hanya beberapa meter [sekita 50 m] dari rumah Kepala Desa.
’’Ini, Mas, rumahnya,’’ kata Pak Bandi.
Maka, kami memarkir motor dan beberapa orang membantu menurunkan barang-barang bawaan kami.
’’Oh, rumah baru!’’ batin saya hampir memekik. Memang terkejut, tiba-tiba mendapati pemandangan rumah baru itu, walau sangat jauh dari sebutan megah. Sebab, gambaran yang ada di dalam benak sebelumnya jauh lebih buruk daripada kenyataannya sekarang.
Seolah membaca keterkejutan kami, Pak Bandi segera menjelaskan, bahwa rumah ini memang belum lama dibangun.
’’Ini semua berkat para dermawan yang menyumbang, Mas.’’
’’Dari warga desa, para tetangga sini ya, Pak?’’
’’O, begini, Mas. Para tetangga di sini hanya bisa membantu menyumbang tenaga saja. Yang mengerjakannya memang mereka. Tetapi biayanya, dananya, ya dari para penyumbang, ada yang dar Singapura, ada yang dari Malaysia, dari Hong Kong juga ada. Mereka kebanyakan mengantarkan sendiri sumbangan itu ke sini,’’ demikian penjelasan Pak Bandi.
Lalu, Pak Bandi seolah dapat kesempatan untuk semacam curhat, mengadu [karena tahu setelah perkenalan bawa kami mewakili media: Grup Berita Indonesia].
’’Terus terang, Mas, saya kadang jadi terharu, melihat orang-orang dari jauh berbondong-bondong ke sini untuk menunjukkan simpatinya kepada warga desa kami khususnya, memberkan sumbangan, sedangkan Pak Bupati baru belum lama ini menyematkan datang setelah sekian tahun seolah desa ini tidak pernah bisa melihat siapa Bapak [Bupati]-nya. Dan itu tampaknya berkat gencarnya media. Penderitaan Mbok Yainem ini, misalnya, pernah dimuat di Majalah Liberty, lalu di tayangan Kejamnya Dunia [Trans TV]. Tapi mereka kadang salah menyebut nama, ada yang Yatinem, ada yang Yaitem, padahal yang benar Yainem.’’
Lalu, Pak Bandi untuk kesekian kali mengucapkan terima kasih kepada para penyumbang dan kepada pihak media yang telah menampilkan potret nyata [walau sebegitu buramnya] kehidupan masyarakat pedesaan yang selama ini nyaris luput dari jangkauan penguasa.
Lumpuh
Rumah baru itu berukuran 7 x 5 m, beratap seng, berdinding papan, dan masih berlantai tanah. Tidak ada kamar tidur di dalamnya. Yang ada hanyalah sekat dinding papan yang memisahkan ruang dapur dengan ruang utama.
Di ruang dapur ada berbagai perabotan dapur sederhana, kemudian tungku pembakaran untuk memasak dengan bahan bakar kayu, dan sebuah amben. Di ruang utama ada sebuah meja dan beberapa kursi. Jika ada tamu melebihi kapasitas kursi yang tersedia, digelarlah tikar.
Di rumah itu Mbok Yainem hidup bersama dua orang [dari 4 orang] anaknya. Keduanya lumpuh karena [sepertinya folio –karena belum ada keterangan resmi dari dokter] sejak kecil dan samasekali tidak bisa bekerja. Anak Mbok Yainem seharusnya ada 5 orang, tetapi anak pertama meninggal saat usia belasan tahun. Anak pertama ini seandainya bisa terus hidup hingga sekarang, akan menambah berat beban, sebab ia juga penderita folio.
Anak kedua, yang kemudian menjadi paling tua adalah perempuan bernama Tumini, ia sudah menikah, sudah membangun rumah sendiri persis di depan rumah Mbok Yainem. Tumini sendiri bekerja di Kota Ponorogo, dan rumahnya ditunggu suami bersama 2 orang anaknya yang masih kecil.
Anak kedua Wijiyanto [lihat fotonya yang sedang di amben di ruang dapur]. Ia lumpuh. Anak ketiga Jaswadi, sudah menikah dan dikaruniai seorang anak yang sehat. Sedangkan si bungsu, Supriyanto, lumpuh juga.
Jadi, Mbok Yainem, janda tua itu harus hidup bersama 2 orang anaknya yang tidak bisa bekerja, yang makan pun masih perlu disuapi.
Terharu
Menerima bantuan teman-teman pembaca BI, Mbok Yainem tampak nyaris menitikkan air mata. Suaranya bergetar ketika berucap, ’’Maturnuwun sanget nggih, Mas, mugi Gusti Allah ingkang maringi ganjaran.’’ [Terima kasih sekali ya, Mas, semoga Tuhan memberikan balasannya.]
Pak Bandi, sebelum kami berpamitan juga tak lupa ikut menyampaikan rasa terima kasih kepada para pembaca BI, kepada BI yang membantu mengimpun dana sumbangan, dan berdoa semoga kawan-kawan lancar bekerja, dan kelak bisa pulang ke tanah air dalam keadaan selamat dengan membawa hasil seperti yang mereka cita-citakan.
Di banyak tempat yang kami lewati sepanjang perjalanan pulang, ternyata takbir sudah sebegitu ramai, pertanda bahwa esok [Senin, 23 Oktober 2006] mereka akan merayakan Hari Lebaran. [BI]