Jatuh Cinta pada Sepi

Cerpen: Tanti

Langkahku terhenti sesaat ketika aku menyadari bahwa aku telah berada di tempat dimana banyak kenangan yang pernah merobek relung hatiku. Meninggalkanya atau tepatnya sebuah perpisahan yang mungkin tak pernah aku inginkan. Aku bahkan membencinya.



Jatuh cinta pada laki-laki asing, tak pernah ada dalam benakku sebelumnya, bahkan dari mimpi pun jauh. Tetapi itulah kenyataan yang ada sekarang. Aku sedang putus cinta dengan seseorang berkebangsaan asing. Awal perkenalanku mungkin juga karena aku sempat kerja sampingan tiap hari minggu di kantornya. Dari situ hubungan kami semakin dekat dan tanpa kami sadari benih-benih cinta itu perlahan hadir di antara kami. Meski pernah aku berjanji pada diriki sendiri aku tak akan jatuh cinta di negri gingseng ini, ternyata akhirnya aku terkena panah asmara itu. Perasaan yang aku sendiri tak pernah menginginkanya, tetapi aku pun tak mampu menolaknya.

Enam bulan sudah kisahku dengan dia yang akhirnya harus berakhir di sini dengan kepedihan yang mungkin aku sendiri yang merasakanya. Dan mungkin juga aku manusia terbodoh saat itu, aku sudah tahu pasti bahwa dia telah memiliki seorang bayi tak berdosa hasil hubungan dengan kekasihnya. Manusia bodoh kan diriku? Namun, mungkin juga itulah kata orang yang namanya cinta, tertutup bukan hanya hati, mata pun demikian.

Kembali aku langkahkan kakiku. Aku sudah berjanji untuk melupakanya, walau jujur aku butuh waktu. Pikiranku sekarang adalah bagaimana aku harus mendapatkan kembali pekerjaan yang telah hilang itu.

’’Rahma, hari ini kamu gak kerja kan?’’ tanya temenku, Liya, yang sejak tadi bersamaku. Aku hanya menggeleng. Aku yakin dia tahu apa yang aku rasakan. Kami berdua akhirnya berhenti pada sebuah tenda putih yang berada di dalam taman Victoria itu. Tatapku kosong tak tahu harus pada apa aku bersandar, ruang hatiku kosong walau aku sudah berjanji melupakanya. Seolah tahu yang aku rasakan, Liya menyodorkan sebuah buku baru untukku

’’Baru nih, kemaren baru dapet dari mbak Mur langganan bukuku.’’

Judul buku sekitar 200 halaman itu sempat menarik perhatianku. Jodoh. Aku tersenyum memandangnya.

’’Apa maksudnya nih?’’ Tapi dia malah mengedipkan matanya kepadaku.

’’Gak ada, aku hanya ingin kamu membacanya aja gak ada maksud apa-apa kok,’’ kembali dia tersenyum sambil mengedipkan matanya kembali.

’’Ok, aku tahu kok, makasih ya?’’ kataku sambil mulai membuka-buka buku yang baru aku terima dari Liya.

Tiba-tiba handphone-ku berbunyi, ada tulisan ’someone’ di sana yang berarti, itu telpon dari laki-laki yang pernah mengisi hari-hari indahku dan juga telah merobek hatiku. Aku tak mengangkatnya, mendiamkanya beberapa saat, aku dan Liya saling berpandangan

’’Coba kamu angkat apa maunya?’’ Liya mengulurkan handphone yang sejak tadi tak taruh di sampingku.

’’Sorry Liy, aku belum siap terlalu menyakitkan untuk saat ini, biarin aja ya?’’ Aku seolah memohon pada Liya yang segera meletakkan kembali handpone-ku di tempat semula. Aku mendesah perlahan, tak pernah tahu apa maunya dia. keputusan untuk berpisah mungkin sebuah keinginan bersama, tetapi kenyataanya memang awalnya sangat berat bagi kami, tapi aku berjanji pada diriku sendiri, aku harus kuat, harus mampu, aku tak boleh lagi menengoknya, menguak kembali luka lama yang begitu menyakitkan. Memikirkanya saat ini sangat memusingkanku, mungkin pantas jika di sebut aku membencinya, tetapi aku hanyalah perempuan biasa yang memiliki banyak kelemahan seperti perempuan biasa lainya.

’’Sebentar Liy, aku ke kamar mandi dulu ya? Gak tahu kenapa tiba-tiba kurasakan kepalaku pening memikirkan apa yang sedang terjadi. tak percaya kalau aku akan menjadi perempuanya yang hanya mungkin sebagai teman sepinya. Tak seoarng pun ingin aku bersamanya sejak dulu, tapi entah kenapa pula aku hanya ingin bersamanya ya? Memiliki laki-laki seperti dia mungkin memang membanggakanku. Tapi, bagaimana dengan yang sebenarnya terjadi pada diriku? Apakah selama aku menjalin hubungan denganya aku bangga? Atau justru aku merasa tertekan? Apakah mereka tahu yang sebenarnya aku rasakan? Apakah mereka mau tahu? Aku yakin mereka mengiraku baik-baik saja. Dan aku memang menginginkan mereka mengiraku baik-baik saja. Tak kurang dan tak lebih, hanya itu yang aku inginkan. Aku ingin hanya aku yang menanggung hubungan terlarang ini, bukan siapa atau siapa. Mencintainya sekarang hanyalah sebuah halusinasi. Dan aku harus aku menyingkirkannya, meski hanya halusinasi. Aku akan membiarkanya menjadi yang terbaik bagiku. Dan aku sudah berjanji pada diriku bahwa aku takkan berhubungan denganya lagi. Hanya itu saat ini yang ada dalam benakku. Keegoisan dia mengalahkanku, mengalahkan hatiku untuk tidak melawanya kembali, sekarang aku harus menganggap bahwa dia bukan apa-apa. Dia tidak pantas untuk dipertahankan, dia tak pantas untuk hidup di sampingku, dan dia tak pantas mendapatkanku. Aku telah berjanji pada diriku sendiri, apa pun yang terjadi aku akan tetap di jalanku yang sekarang, Benar-benar cintaku tak pantas untukknya. Bagiku dia sekarang adalah masa lalu yang harus aku sembunyikan dari semua orang. Baru sekarang aku sadar dan malu pada diriku bahwa sebenarnya yang aku lakukan sangatlah memalukan. Mencintai laki-laki yang salah bagiku adalah sesuatu yang baru, aku tak pernah jatuh cinta, atau mungkin aku terlalu sibuk dengan urusan yang tak seharusnya aku urusi? mungkin hanya Tuhan yang tahu tentang apa yang aku rasakan dan aku inginkan. Selama di negri asing ini mungkin aku hanya takut pada sepi, takut pada kesendirian. Jujur aku membencinya, membenci sepi yang selalu menggelutiku, menyelubungiku, aku benci, benci sekali. Sebuah pertanyaan yang sering dan sampai sekarang bahkan telah mengendap dalam pikiranku, apa sebenarnya yang menjadikanku seperti ini? Mengapa sepi selalu setia menemaniku? Mengapa? Apakah aku tak boleh bersama ingar-bingar? Apakah aku tak boleh bercinta dengan gaduh? Apakah aku tak boleh bermesraan dengan ramai? Apakah harus sepi yang mengakrapiku? Apakah harus semua itu yang temaniku? Apakah semuanya harus hampa? Atau karena sepi telah jatuh cinta kepadaku? Apakah karena sepi telah menjadi darah dalam dagingku? Aku tak pernah tahu. Yang aku tahu bahwa aku hanyalah perempuan biasa yang tak bisa jauh dari cinta.

Cinta? Sudah berapa lama sebenarnya aku tak pernah merasakan arti yang sebenarnya? Yang kata orang cinta itu sesuatu yang bisa memberi warna merah jambu pada pipi. Yang bisa membuat hatiku berbunga-bunga, yang bisa memberiku debar yang hebat, kapankah aku pernah merasakanya kembali? Atau karena aku telah melupakanya? Dan kenapa pula aku harus melupakanya? Apakah aku tak menginginkanya kembali? Mungkin aku lelah, aku capek dengan semua yang terjadi, dan mungkin juga aku tak menginginkanya lagi? Berarti aku pernah jatuh cinta kan? Ya, mungkin aku pernah jatuh cinta, tapi mungkin juga aku sudah ingin melupakanya, entah kenapa mungkin aku hanya ingin sejenak merasakanya, atau pula itu yang sebenarnya membuatku merasa sakit seperti ini? Sakit yang mungkin hanya aku sendiri yang merasakanya. Tak ingin aku pungkiri sebenarnya aku ingin merasakan keindahan itu lagi, tapi mungkinkah? Baru saja dia porandakan semua, atau sekali lagi karena aku mencintai laki-laki yang salah? Ya, mungkin ini kesalahan terbesar dalam hidupku yang aku takkan mengulanginya lagi? Tetapi aku memang harus heran pada yang namanya cinta, kenapa aku bisa terkena virusnya? Yang membuatku sakit, pedih, dan banyak hal lain yang sekiranya tak pernah aku mengerti. Hanya mungkin keadaanlah yang bisa membawaku dalam situasi seperti sekarang ini, sakit hati, jatuh cinta lagi-lagi pada laki-laki yang salah? Namun, aku sempat menikmatinya, menikmati cinta yang tak seharusnya aku nikmati, dan tak seharusnya aku pertahankan. Tapi aku mempertahankanya selama 6 bulan, waktu yang bisa di bilang lebih dari cukup untuk sebuah hubungan. Aku benar-benar menikmatinya, bersamanya kala itu sangat menyenangkan bagiku walau harus berakhir seperti ini, aku tak pernah menyesalinya, karena sebenarnya perasaanku padanya pun nyata dan bukan hanya sebuah permainan yang dia inginkan. Jujur aku tak tahu apakah dia mempermainkanku? Atau benar-benar perasaan itu ada? Namun sebenarnya aku sempat percaya bahwa dia mencintaiku walau hanya dalam hitungan detik. Aku yakin dia pernah mencintaiku walau hanya dalam satu helaan nafasnya. Bagiku sebenarnya sudah lebih dari cukup.

Sekarang dalam kenyataanya aku harus merelakan dia pergi, aku berjanji takkan ada lagi baginya ruang di hatiku.Tak akan ada, dan tak akan pernah, dia harus menjadi masa lalu yang aku tak boleh mengingatnya, harus!

Dan sekarang aku juga mantap melangkah tanpanya, dia bukan apa-apa dan siapa-siapa, tak penting lagi, cinta ini telah terkubur bersama waktu yang tetap akan temaniku hingga akhir perjalanan ini. []

Hong Kong, Desember 2007

Sumber:
Tabloid Intermezo edisi Januari 2008

0 tanggapan: