Buruh Migran Indonesia dan Sastra Menyimpan Banyak Pertanyaan

Oleh: Mega Vristian

Sastra BMI?

Jujur saya memang tidak bisa berhenti menulis, karena adanya semangat yang tidak pernah pudar. Terlebih lagi adanya faktor keberuntungan. Beruntung karena selama bekerja di Hong Kong menjadi BMI alias babu walau berganti-ganti majikan, menggunakan komputer tidak pernah dilarang. Tentu saja harus tahu aturannya.



Nah hari ini setelah pekerjaan siang beres, saya segera membuka komputer dan mulai menulis untuk milis dengan tema "Sastra Buruh" yang telah lama menjadi PR saya. Menurut yang saya tangkap, dalam tulisan ini saya harus berbagi cerita mengenai kegitan tulis menulis di kalangan teman-teman saya sesama BMI di Hong Kong.

Tetapi sebelumnya, saya dan hampir seluruh teman BMI yang gemar menulis tidaklah begitu sreg dengan istilah "Sastra Buruh", "Sastra BMI" ataulah "Sastra Babu". Sebab mengapa? Ini adalah upaya pengkotakan atau istilah pemberangusan profesi yang seakan-akan seorang BMI hanya akan dibicarakan bila bisa menulis apalagi dengan tulisan yang berbau sastra dan konyolnya tempatnya atau kotaknya itu adalah "Sastra Buruh". Lantas bagaimana bila BMI ini sudah tidak menjadi buruh lagi di Hong Kong karena pulang ke Tanah Air menjadi ibu rumah tangga, aktivis buruh pada salah satu LSM atau menjadi seorang isteri Dokter bahkan Insinyur? Apakah tulisan mantan BMI ini nantinya akan dikelompokkan ke dalam genre baru lainnya yaitu "Sastra Mantan BMI"?

Sebutlah BMI

Belum juga tuntas mengenai pengkotakan ini, kami ini sebetulnya sedang berjuang keras guna memasyarakatkan kata "BMI" ke seluruh pelosok Nusantara. Sekilas seperti masalah yang sepele, tetapi bagi kami tidak. Mempopulerkan kata BMI sama saja susahnya untuk melawan praktek pembayaran gaji di bawah standar (underpayment).

Masyarakat tanah air sudah terbiasa menyebut kami ini sebagai TKW (Tenaga Kerja Wanita) dan pihak Konsulat Jenderal RI di Hong Kong dengan Nakerwan. Ada juga beberapa pihak yang memandang sinis, mengatakan kami sebagai JLN (Jongos Luar Negeri). Untuk itulah dalam melawan sebutan yang cenderung merendahkan profesi ini, teman-teman yang memiliki hobi menulis telah membiasakan dengan kata BMI. Alhasil semua media berbahasa Indonesia yang diterbitkan di Hong Kong sudah terbiasa menulis kami sebagai BMI. Bila pun ada yang kelolosan menggunakan kata TKW dalam media tersebut, kami hanya menganggapnya wartawan penulisnya masih kurang bergaul.

Tema

Maraknya kegemaran menulis di kalangan BMI sebetulnya seiring dengan diterbitkannya media cetak berbahasa Indonesia. Juga munculnya kelompok gemar menulis di Hong Kong seperti Kopernus (Komunitas Perantau Nusantara) dan Forum Lingkar Pena pada tahun 2004 membuat BMI di Hong Kong seperti memiliki rumah untuk menampung bakatnya di dunia tulis menulis.[]

0 tanggapan: