Beberapa Catatan Seputar Pengiriman Tenaga Kerja ke Luar Negri

[a] Angka pengangguran makin besar, dan persaingan untuk merebut lowongan pekerjaan semakin ketat. Jangankan kelompok berpendidikan rendah, kelompok dengan ijasah diploma dan bahkan sarjana pun banyak yang menumpuk sebagai pengangguran. Persoalan ini bisa berkaitan dengan sistem perekonomian (misalnya: kurang suburnya


pertumbuhan ekonom berbasis kerakyatan), pemerataan pembangunan (terutama di sektor ekonomi yang salah satu indikasinya adalah masih derasnya arus urbanisasi), sistem pendidikan (terutama pendidikan formal yang menghasilkan banyak lulusan yang kemudian ternyata gagap ketika harus memasuki dunia kerja), didukung oleh faktor sosial budaya kita (misalnya sifat malas, malu untuk menjual, dan sebagainya).

[b] Dalam kaitannya dengan pengiriman tenaga kerja indonesia (TKI) ke luar negri, sering terdengar harapan, anjuran, atau seruan agar Indonesia terus berusaha untuk mengirimkan tenaga-tenaga trampil, dengan keahlian khusus, misal di bidang kesehatan, industri, dan sebagainya. Tetapi, sebagian besar TKI di luar negri tampaknya masih berkutat di sektor domestik (pekerja rumah tangga), dan sektor perkebunan/bangunan (sebagai kuli).

Harapan atau seruan demikian sekarang ini masih berbenturan dengan kenyataan: (a) pendidikan di negri ini (Indonesia, Red) masih tergolong mahal --Sering terdengar keluhan bahwa nilai ijasah yang bagus saja tidak cukup untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi dan (b) peluang kerja yang di buka oleh negara tertentu, misalnya Hong Kong yang hanya mau menerima perempuan pekerja asal Indonesia untuk sektor domestik. Akibatnya, agaknya banyak perempuan asal Indonesia yang terpaksa ’menyembunyikan’ ijasah sarjananya agar bisa bekerja di Hong Kong di sektor domestik itu.

[c] Masih dalam kaitannya dengan arus buruh migran atau pengiriman TKI ke luar negri, kita selalu direpotkan oleh kelompok TKI yang berangkat secara illegal. Diduga, faktor penyebabnya adalah panjangnya birokrasi dan/atau tingkat kemahalan biaya yang mesti dibayar untuk berangkat ke luar negri melalui jalur legal. Akibatnya, banyak pencari kerja memilih berangkat secara illegal walau mereka sudah mengetahui risikonya.

[d] Tampaknya pula banyak pekerja kita (TKI) yang kurang memiliki wawasan ekonomi yang positif. Mereka, kelompok ini, pergi ke luar negri untuk bekerja, untuk mendapatkan gaji, dan kemudian pulang ke tanah air untuk menikmatinya: membangun rumah dengan segenap isinya, serta membelanjakannya untuk keperluan-keperluan konsumtif lainnya. Akibatnya, ketika tabungan mereka habis, ketika tenaga masih memungkinkan, satu-satunya peluang yang mereka lihat adalah kembali ke luar negri. Mengingat hal seperti itu sangat penting untuk dikembangkan wawasan (ekonomi) yang positif pada mereka, bagaimana memanfaatkan uang hasil bekerja di luar negri itu sebagai modal untuk membuka usaha (ekonomi) di kampung halaman, sehingga masa-masa ketika mereka bekerja di luar negri itu bisa dipandang pula sebagai masa-masa ’sekolah’ atau pendadaran untuk membangun etos kerja yang baik ketika nanti sudah menjalankan pekerjaan/usaha sendiri.

Kalau upaya mengembangkan wawasan positif dan membimbing para mantan TKI untuk membuka usaha sendiri di kampung halaman mereka berhasil, sekian banyak tujuan bisa dirah dengan sekali dayung: pengentasan kemiskinan, pengurangan angka pengangguran, dan menggeliatkan perekonomian berbasis kerakyatan. Demikianlah beberapa catatan saya. Ada yang mau Anda tambahkan? [Budi Utomo]

Tbaloid Intermezo, Januari 2008

0 tanggapan: