Belajar Puisi dari Penyair Psikotik

Oleh K.Y. Karnanta*)

Salah satu konsekuensi menggeliatnya ranah sastra Indonesia dewasa ini adalah banyaknya workshop penulisan yang diselenggarakan institusi pendidikan maupun di komunitas-komunitas kesenian. Dengan mendatangkan sejumlah pengarang ternama, workshop tersebut berangkat dari nada dasar seragam, yakni: kampanye mengarang adalah kegiatan yang perlu dilakukan dan dikembangkan. Sayangnya, alih-alih memberikan suatu paparan konstruktif tentang dunia penulisan, workshop penulisan kreatif seringkali berubah fungsi sebagai ajang narsis para penulis. Nama besar seorang penulis atau pengarang di satu sisi menarik minat masyarakat untuk mengikuti workshop, di sisi lain, nama besar itu juga yang mereduksi konsep workshop menjadi sekadar sebagai jumpa fans, forum obral testimonial, atau bahkan sebuah kursus instan kepenulisan. Kecenderungan tersebut dapat dilihat dari ragam pertanyaan peserta workshop yang tidak beranjak dari wilayah: bagaimana Anda (pengarang) mulai menulis (how to); (what is) apa itu puisi, prosa, drama, serta apa yang harus dilakukan agar bisa menulis.


Terkait dengan hal itu, agaknya perlu direnungkan kembali: perlu dan bagaimanakah menyoal proses penulisan dalam suatu forum agar tidak terjebak pada perbincangan serta konklusi-konklusi repetitif yang cenderung berkarib pada peribahasa kakean gludhug ora ono udane (banyak guntur tapi tidak ada hujan).

Skeptisisme

Sekurang-kurangnya terdapat lima pokok pikiran terkait dengan workshop penulisan. Pertama, menulis dan atau mengarang adalah kata kerja, maka itu ia hanya ada jika dikerjakan: sebuah pekerjaan yang tidak akan pernah benar-benar selesai, utuh, betapa pun lamanya seseorang melakukannya. Kedua, menulis dan atau mengarang sama sekali tidak terkait dengan gampang atau sukar; enak atau tidak enak, seperti yang biasa tercantum sebagai tajuk workshop penulisan. Pokok yang mutlak diperlukan dalam mengarang dan proses kreatif kepenulisan adalah kata kerja, selalu kata kerja, yang berangkat dari jawaban tegas, "Mau," atas pertanyaan "Mau atau tidak untuk dilakukan?" yang melebur padu dalam alur kontinuitas.

Ketiga, menulis adalah perkara intuisi: ruang bebas tanpa marka dalam menghikmati maupun memaknai sesuatu yang pada tahap-tahap tertentu berkaitan dengan sensitifitas serta intelektualitas seseorang. Keempat, menulis bukanlah institusi yang selalu dipenuhi seperangkat aturan main yang hukumnya fardhu ain, maupun mitos-mitos instruktif lainnya. Kelima, menulis, khususnya menulis kreatif (mengarang) itu tidak berumus dan begitu dekat dengan prinsip suka-suka gue.

Pada perkembangannya, seorang pemateri workshop untuk merasionalisasi dan membahasakan suka-suka gue tersebut menjadi sesuatu yang menarik, berwibawa, bila perlu berzirah jubah ilmiah yang acapkali jumawa, sehingga testimoni atas proses kreatif sebuah karya pada akhirnya menjelma suatu karya sastra (lisan) baru yang jauh lebih estetik dan cerdas ketimbang karya (tulisan) itu sendiri.

Kelima hal itu perlu ditegaskan karena, seperti telah disebut sebelumnya, workshop penulisan sering tak lepas dari request tips-tips sukses dan kreatif dari narasumber, baik diminta maupun tidak, yang kemudian dianggap menjadi semacam "kaidah tak tertulis yang kemudian diamini sebagai keniscayaan" atau bahkan "metedologi kreatif dalam mengarang". Kalau proses kreatifnya saja sudah dipolitisasi, diatur, diasuh, dan diintervensi seperti itu, tulisan macam apa yang bakal dihasilkan?

Kegilaan

Tentu saja saya tidak sedang ingin ngelantur tentang orisinalitas karya yang di zaman serba Derrida ini selalu disangkal untuk kemudian dilecehkan beramai-ramai. Namun, terkait dengan proses kreatif penulisan, agaknya perlu disimak satu fakta berikut. Di Surabaya terdapat satu tempat bernama Liponsos (Lingkungan Pondok Sosial) yakni tempat relokasi untuk gelandangan psikotik (gendheng) yang homeless, hopeless, topless, dan sebagainya. Jangan bayangkan tempat itu sesuai dengan standar panti rehabilitasi. Tempat yang berlokasi di Keputih itu tidak ubahnya kandang hewan: menjijikkan penuh kotoran manusia, memprihatinkan karena banyak penghuni --laki dan perempuan-- yang telanjang, histeris, dan sebagainya. Untuk suatu kebutuhan riset saya dan seorang teman sengaja datang dan ingin dekat dengan para penghuni tempat yang sejatinya berkapasitas 200-an orang namun ternyata dihuni 600-an orang.tersebut. Hingga pada suatu kesempatan saya melihat proses bagaimana mereka diobati.

Salah satu penghuni yang mengidap delusi akut --merasa dirinya selalu berada di dalam pesawat yang sedang bergoncang-- ditanya oleh dokter, "Petugas di sini cerita kamu suka menulis puisi ya?"

"Ya," jawab penghuni itu, dengan gestur masih merasa dirinya di dalam pesawat.
"Oh ya, di mana kamu menulis? Kenapa?"

"Saya menulis di tembok. Hidup saya penuh liku-liku, Bu Dokter…" jawabnya.

Saya dan teman saya spontan terbahak-bahak. Bu Dokter dan para petugas yang ada di ruang pengobatan itu juga terpingkal-pingkal, sedangkan pasien tersebut --yang kemudian diketahui paling jarang mengerang, mengamuk tanpa sebab jelas ala orang gila-- diam menatap tajam semua yang ada di ruangan itu. Mendadak saya sadar, jangan-jangan saya sedang menertawai diri saya sendiri; dan semua orang yang tertawa di ruang itu juga sedang menertawakan saya, atau bahkan semua orang yang menulis puisi.

Penasaran dengan puisi karya pasien tersebut, saya mendatangi ruang tempat pasien itu biasa menghabiskan hari-harinya dalam ketakutan "pesawat yang berguncang" seperti yang selalu dikatakannya. Hati saya tergetar melihat banyaknya coretan pada dinding kamar. Puisi-puisi pasien tersebut cukup beragam, mulai dari ungkapan kerinduan pada istri dan anaknya, hingga pada permintaan maaf pada orang tuanya. Namun sesuatu yang menarik adalah bagaimana "pandangan dunia" pasien tersebut tentang aparat penegak hukum: kalau pikir pulisi macam pikir setan/orang susah dikasih susah/alopun kita jadi pulisi harus punya pikiran/saya ingat dia punya nama...

Pembaca bebas berpikiran atau berkomentar apa saja dari fakta tersebut. Tetapi, bagi saya, fakta itu dapat dimaknai bahwa menulis pada dasarnya adalah sebuah ekspresi sekaligus juga mengambil jarak dengan kenyataan. Dalam ekspresi terkandung kebebasan atau sekurang-kurangnya keinginan dan upaya untuk terbebas dari segala belenggu keterbatasan. Simaklah diksi (pulisi) dan (alopun) yang bukan merupakan bentuk baku bahasa Indonesia. Sedangkan esensi puisi yang cukup berani tersebut merepresentasikan bahwa penulisnya mengambil jarak dengan kenyataan sebagai strategi untuk melihat, memaknai, atau bahkan mengkritisi sesuatu.

Pasien psikotik yang juga penyair tersebut merepresentasikan bahwa siapa pun orangnya, ternyata, bisa atau bahkan butuh menulis. Dengan menulis puisi, pasien itu seolah tidak hanya ingin protes alias gampang mengerang atau histeris karena berang pada kenyataan yang memang tidak selalu sedap dipandang, tanpa adanya suatu proses permenungan yang melibatkan nalar estetik-kreatif lebih dulu. Keterbatasannya akan bahasa, mungkin juga mental dan tingkat intelektualnya, tidak berimplikasi pada niatnya untuk menulis. Ia juga tidak menunggu seseorang pengarang terkenal untuk datang memberi tips-tips agar karyanya menjadi puisi yang "baik dan benar" dan bisa memenangkan lomba-lomba penulisan. Ia hanya berkarya: menulis untuk menulis, tanpa tendensi apa pun selain menulis itu sendiri.
Dengan demikian, masihkah perlu sebuah workshop penulisan?

*) K.Y. Karnanta, penggiat Komunitas Alam Ilmu Pasti Surabaya
Jawa Pos Minggu, 25 Mei 2008

Mengembalikan Perguruan Tinggi pada Peran Lokal

Oleh: NURANI SOYOMUKTI

Peran Perguruan Tinggi (PT) di Indonesia cukup penting dalam memberikan kontribusi bagi pembangunan masyarakat. PT menjadi pemasok tenaga-tenaga yang dibutuhkan bagi berjalannya roda kehidupan ekonomi, politik, dan kebudayaan. Bahkan konsep pembangunan masyarakat juga lahir dari kalangan terdidik yang dihasilkan oleh perguruan tinggi. Lebih jauh lagi, kepemimpinan intelektual dan politik di negeri ini juga lahir dari PT.



Bagi Indonesia yang telah memasuki fase demokratisasi yang ditandai dengan adanya kebijakan desentralisasi, peran PT sudah mulai harus diarahkan untuk menjawab problem-problem lokal. Penguatan komunitas masyarakat harus didasarkan pada upaya untuk memberikan sumbangan pada masyarakat di mana PT berada. Hal ini karena PT sebagai lembaga pendidikan dihidupi oleh masyarakat setempat dan, karenanya, ia harus menghidupi lingkungannya. Masalahnya, di manapun pendidikan tidak pernah berdiri sendiri tanpa berkaitan secara dialektis dengan lingkungan dan sistem sosial di mana pendidikan diselenggarakan (Mansour Fakih, 2002).

Sebuah PT yang berada di suatu kota, katakanlah Surabaya, dihidupi oleh sebuah kota di mana tempat itu didatangi oleh mahasiswa dari berbagai penjuru tempat. Interaksi antara para pendatang dengan masyarakat lokal (Surabaya) tentu memunculkan semacam keterkaitan sosial, ekonomi, bahkan politik yang memengaruhi berjalannya kehidupan di Surabaya. Kedatangan mereka banyak mempengaruhi dinamika sosio-ekonomi yang menyebabkan eksistensi kampus bertahan dan posisinya semakin established di sebuah kota. Kampus-kampus besar di Jawa Timur juga memiliki posisi yang sama. Beberapa PT besar tentu memoles keperkasaan yang kemudian terpancar dari wilayah Jawa Timur yang dinamis.


Nasionalisasi Peran PT

Dinamika itu tentu saja terdiri dari berbagai macam kemajuan dan sekaligus keterbelakangan. Kemegahan PT tidak boleh melepaskan perannya terhadap dinamika lokal tersebut. Selama ini ada kecendurungan bahwa PT, terutama yang merasa dirinya sebagai yang paling besar dan bonafid di berbagai wilayah Indonesia, berupaya keras untuk bersaing dalam mewarnai pentas nasional dan internasional. Para peneliti dan figur akademisnya berusaha menampilkan diri untuk berperan dalam pentas nasional. Bahkan semua akademisi yang ada juga lebih banyak bicara (berkomentar di media, menulis opini, menjadi pembicara seminar) dan beraktivitas dalam konteks urusan nasional.

Hal itu memang telah menjadi kebiasaan lama dari tendensi peran akademis PT. Tumbuhnya PT di Indonesia memang beriringan dengan munculnya nasionalisme Indonesia yang mau tak mau harus diarahkan pada upaya untuk menyebarkan gagasan kebangsaan yang melampaui lokalitas (kedaerahan). Bahkan di era tahun 1960-an, kampus-kampus begitu pandai mengilmiahkan nasionalitas yang dihadapkan pada musuh dari luar (neo-imperialisme). PT juga menjadi begitu politis karena kalangan kampus banyak berdebat tentang bagaimana membangun bangsa dengan ditandai oleh konflik-konflik ideologis.

Bisa dikatakan, saat itu tidak ada tempat sedikitpun bagi lokalitas karena semua pemikiran dan tindakan yang lahir dari PT terserap kepada konflik politik elit di tingkat nasional. Pidato Soekarno di depan mahasiswa Universitas Airlangga (Unair) pada tahun 1959 menandai hal paling penting bagi upaya menarik semua potensi bangsa ini ke dalam nasionalitas. Heroisme nasionalisme bernuansa Kiri melawan penjajahan diteriakkan keras-keras dalam pidato ini.

Situasi politis di PT berakhir saat Soeharto naik ke tampuk kekuasaan setelah terjadi pembantaian dan penangkapan terhadap Partai Komunis Indonesia (PKI) dan simpatisannya. Dan tidak sedikit dari mereka yang ditahan ini adalah tokoh-tokoh kampus yang penting karena tokoh-tokoh PKI juga banyak yang beraktivitas sebagai tokoh yang tersohor dalam ilmu pengetahuan dan pendidikan.

Sementara Soeharto selama 32 tahun juga masih menempatkan kampus untuk memacu pembangunan (developmentalisme), dengan catatan bahwa ia telah menumpulkan situasi politis PT. Para tokoh akademisi dari kampus ternama menjadi fungsionaris pembangunan yang berkiblat pada modernisasi ala kapitalis Barat. Sayang, banyak PT di Indonesia juga begitu terlenanya untuk memberikan legitimasi ilmiah terhadap fondasi pembangunan yang keropos dengan menegasikan potensi sosio-ekonomi dan politik lokal. PT baik yang di kota besar maupun yang berada di pinggiran sibuk untuk menyebarkan mantra-mantra pembangunan yang bersifat sentralistik di bawah kendali instrument politik Orde Baru (ABG: ABRI, Birokrasi, Golkar).

Potensi Daerah

Setelah wacana desentralisasi muncul, kebutuhan untuk membangun dari daerah mulai disadari. Potensi lokal harus mulai digarap secara maksimal untuk memenuhi kesejahteraan masyarakat. Budaya lokal yang positif harus dijaga kelestariannya dan dijadikan aset yang berguna bagi kekayaan daerah. Kebutuhan itu mengundang PT untuk memainkan perannya, melakukan penelitian, mengkonseptualisasi kebijakan yang efektif dan menjawab persoalan.

Berbagai persoalan yang ada di daerah juga membutuhkan pemikiran dan rekomendasi-bahkan keterlibatan-dari kalangan PT yang ada di daerah setempat. Sikap tanggap dan peka akan permasalahan daerah setempat perlu terus dipupuk. Jika di suatu daerah terjadi kemacetan atau penumpukan sampah secara berlebihan, misalnya, perguruan tinggi yang ada di sana perlu memberi rekomendasi untuk menyelesaikan masalah tersebut.

Selama ini perguruan-perguruan tinggi di Indonesia mampu menghasilkan riset-riset berkualitas tinggi. Selain itu, juga mampu mencetak lulusan-lulusan yang cerdas dan berkualitas. Namun, perguruan tinggi kurang mampu memberi sumbangan bagi pemecahan masalah di daerahnya. Dan mulai sekarang paradigma posisi dan peran PT itu harus diubah. PT harus merasa memiliki dan dimiliki daerahnya, biar pendidikan tidak tercerabut dari akar sosialnya. (*)

NURANI SOYOMUKTI
Jaringan Kaum Muda untuk Kemandirian Nasional (JAMAN) Surabaya

Jawa Pos Selasa, 20 Mei 2008

Jangan Paksa Masyarakat Baca Buku!

Oleh Muhidin M. Dahlan*

Kepada para pemangku buku dan kutubuku yang angkuh dan sombong, saya tuliskan pamflet ini. Di negara yang tak punya seperangkat Undang-Undang Buku dan Perpustakaan ini, kelompok ini terus-menerus menebarkan teror ke dalam lubuk masyarakatnya yang bukan saja tak mampu membaca buku, tapi merasa aneh saja kenapa harus mencintai pekerjaan itu.



Bagi masyarakat kelas menengah ke bawah, memiliki buku bukan perkara mudah. Selain karena tradisi lisan (dan menonton) lebih dominan, penetrasi buku hanya berlangsung di perkotaan. Perpustakaan berhenti di ibu kota provinsi dan kabupaten dan itu pun nasibnya merana. Alhasil, untuk mengisi waktu luang yang sangat banyak, masyarakat beralih ke televisi. Dari sisi ekonomi, televisi juga praktis. Sekali beli nyaris semua informasi bisa diserap.

Dan, mereka menyayangkan kenapa begini jadinya masyarakat itu. Pamflet-pamflet membaca buku pun disebar rutin, baik oleh pemerintah maupun kelompok-kelompok partikelir. Lalu muncul Hari Buku Nasional yang secara sembrono diambil begitu saja dari hari berdirinya IKAPI (Ikatan Penerbit Indonesia) pada 17 Mei 1950. Bisakah hari jadi sebuah organisasi dijadikan sebagai sandaran nilai, semangat, ketika oleh masyarakat penerbit sendiri memakzulkan keberadaannya. Tanyalah kepada penerbit-penerbit di Jogjakarta, mengapa mereka tak mengakui IKAPI sebagai payung buku nasional dan mendirikan pusparagam organ baru untuk melawan dan mengolok-oloknya seperti, APA (Asosiasi Penerbit Alternatif), API (Aliansi Penerbit Alternatif), SePI (Sarekat Penerbit Independen), dan IKAPO (Ikatan Penerbit Optimis). Kasus ini mirip organ PWI yang sekaligus hari lahirnya dipaksakan jadi Hari Pers Nasional. Padahal organ ini dengan sewenang-wenang turut membabat warganya sendiri, yang kemudian eksodus mendirikan organ lain.

Lalu ada Hari Kunjung Perpustakaan pada 14 September dan sekaligus bulan itu dijadikan Bulan Gemar Membaca. Gubernur Sutiyoso tak ketinggalan untuk mencanangkan Hari Anak Jakarta Membaca pada 24 Agustus 2006. Saya tak tahu 5.000 anak tingkat SD-SMA di Jakarta yang tumplek di Monas waktu itu datang untuk membaca buku, atau ngecengin cewek-cowok dan bermasyuk dengan pelbagai hiburan seperti nyanyian dan tarian tradisional.

Yang saya herankan juga membiak semacam anggapan dari kelompok yang sombong diri ini bahwa tidak membaca buku adalah "dosa". Maka, ada yang sambil merintih bawang bombay membeberkan bagaimana membaca buku di Indonesia berada di titik nol. Oh, sombong sekali. Mungkin ia benar, tapi ia tak memperhatikan tradisi panjang apa yang ada dalam kalbu masyarakat. Orang-orang sombong dan kalap diri ini juga lupa bahwa mereka tak juga memberi contoh yang baik. Banyak program buku dikibarkan pemerintah yang sok jago baca, tapi di sana juga kerakusan membumbung. Di Jogjakarta, Solo, Semarang, dan di mana-mana koran Jawa Pos memberitakan korupsi buku oleh aparat pemerintah sendiri. Para penerbit, tak peduli penerbit spesial buku agama atau buku sekuler dan umumnya anggota IKAPI, sikut-menyikut suap-menyuap untuk dapat jatah uang banyak dari penerbitan buku-buku pelajaran kaum belia itu. Uh, sungguh memalukan!

Membaca buku, mengapa harus jadi keharusan? Heran. Lalu mereka mengecam dengan semena-mena bahwa segala malapetaka ini disebabkan oleh televisi. Mereka tuding televisi sebagai sumber gegar budaya, kotak idiot, kotak dungu, tuhan kedua, bahkan setan jahat citra. Padahal, televisi bagi keluarga Indonesia saat ini sudah menjadi kebutuhan utama keluarga.

Televisi sejatinya hanya pengulangan paling modern dari tradisi visual yang sudah berlangsung turun-temurun di Indonesia. Panggung yang biasanya terbuka di lapangan kini dipersempit hanya dalam sebuah kotak kecil di tengah ruang keluarga.
Bagi aktivis perbukuan yang sombong dan angkuh ini televisi tak lain hanyalah sebuah kedangkalan berpikir. Televisi hanya memproduksi keseronokan ketimbang kebijaksanaan. Karena itu, membaca buku lebih mulia dari menonton televisi. Tradisi menonton hanya melakukan pengulangan dari kelisanan primer yang terus-menerus coba "dilenyapkan" para juru kampanye kemelekan aksara ini.

Mereka kecam program-program sinetron atau kuis murahan yang tak mendidik, tapi mereka lupa bagaimana memproduksi buku berkualitas dan mempertontonkan tauladan yang baik bagaimana memperlakukan buku sebagai laku pencerahan. Memangnya cuma televisi yang memproduksi keseronokan dan kedangkalan. Buku juga ada kok. Maka, ada "buku bajakan", "buku dodol" (buku yang sampulnya keren, promonya kuat, endorsement seabrek, tapi isinya kosong ngawur nggak jelas asal ngoceh); "buku msg" (buku yang renyah dan sangat enak dibaca, tapi isinya dangkal, bagaikan jajanan ber-msg, tidak meninggalkan kesan).

Ada juga "buku latah" (buku yang judul atau temanya ikut-ikutan dan atau dimuat mirip dengan buku yang terbit sebelumnya dan sukses). Contoh jenis buku ini adalah Di Atas Sajadah Cinta yang mirip dengan Ayat-Ayat Cinta; buku Rumah Pelangi yang dimirip-miripkan dengan Laskar Pelangi). Lalu "buku spanyol" (buku yang ditulis dengan cara sungguh ganjil: separo isinya nyolong dari buku orang lain).

Karena itu, pamflet ini menyeru-nyeru: jangan percaya sepenuhnya bahwa dunia buku dan aktivis-aktivisnya adalah brahmana dan kuil-kuil suci penyebar pencerahan. Omong-kosong itu semua. Mereka juga manusia yang berhasrat, punya nafsu merusak, dan tak ada bedanya dengan dunia yang mereka kutuk habis-habisan.

Karena keasyikan mengkritik televisi, mereka lupa bahwa masyarakat punya pandangan hidup sendiri bagaimana memperlakukan hidup. Sejarawan-sejarawan seperti Taufik Abdullah meyakini betul bahwa tradisi budaya lokal kita adalah lisan dan bukannya tulisan. Ingatan kolektif, pengetahuan, informasi atau perbendaharaan kultural apa pun ditransmisikan secara lisan dan visual.

Yang lahir dari kultura seperti itu kemudian bukanlah cendekiawan-pemikir, tapi kreator dan maestro upacara. Dan yang muncul dalam tradisi upacara adalah mantra dan rambu ibadat. Dalam perkembangannya mantra itu kemudian menubuh dalam syair, seloka, dongeng, sastra, dan sebagainya. Maka, jangan heran bila Indonesia melahirkan hanya seupilan maestro dalam bidang buku. Hal ini jauh berbeda dengan maestro tradisi seni visual (lukisan, patung, maupun kerajinan tangan rakyat) serta seni pertunjukan (teater, ketoprak, tari, kesenian rakyat, dan sebagainya).

Dan, memang bahasa Indonesia yang kita kenal ini pun bukan bahasa yang diperuntukkan untuk bahasa tulis, bahasa refleksi, bahasa filsafat. Bahasa ini tak punya struktur lampau, kini, dan akan datang. Semua bahasa sehari-hari dan hari ini (present tense). Karena itu disebut dengan lingua franca.

Maka, berhentilah berkhotbah muluk-muluk dan meneror masyarakat berlatar visual dan tontonan ini, hai para pemangku buku dan kutubuku! (*)

* Muhidin M. Dahlan, kerani di Indonesia Buku, anggota Dewan Kutu Buku Gila (KuBuGil), dan pimpinan program penulisan Kronik Kebangkitan Indonesia (1908-2008)

Jawa Pos, Minggu, 18 Mei 2008

Mahasiswa Tumbal Kapitalisme Budaya

Judul Buku : Dari Demonstrasi hingga Seks Bebas
Penulis : Nurani Soyomukti
Penerbit : Garasi, Jogjakarta
Cetakan : Pertama, Januari 2008
Tebal : 182 halaman



AHMAD Wahib (1942-1973) sempat menambang kerisauan ketika mengamati pola gerakan mahasiswa: "Kalau gerakan mahasiswa Indonesia dibandingkan dengan negara-negara maju, saya kira kita ketinggalan puluhan tahun, baik dari segi keradikalan ide-idenya, kerevolusioneran sikap-sikapnya, kematangan koordinasinya, serta kekompakannya. Meski demikian kita boleh bangga bahwa pemimpin-pemimpin gerakan mahasiswa sebelum kemerdekaan adalah pejuang sekaligus pemikir."

Kegelisahan yang digemakan Wahib dalam Pergolakan Pemikiran Islam pada 23 Oktober 1970 itu hingga kini masih terasa gaungnya. Apalagi ketika mengamati gerakan mahasiswa saat ini yang bias oleh kepentingan pragmatis serta tidak memiliki pijakan paradigmatik yang jelas. Gerakan mahasiswa pun tumpul. Dan, predikat agen perubahan (agent of change) seperti bertengger di menara gading.

Gerakan mahasiswa pernah mencapai klimaks pada Mei 1998 ketika berhasil menumbangkan (rezim otoriter) Soeharto sekaligus meneluhkan badai reformasi. Namun perlahan gelombang gerakan mahasiswa pun menyusut. Hatta, satu dasawarsa kemudian, Mei 2008, reformasi ternyata belum menghasilkan perubahan substansial yang benar-benar berarti. Tak ubahnya gerbong kosong, sebab reformasi tak dikawal dengan gerakan sistemik untuk membumikan agenda-agenda kerakyatan. Pertanyaan pun mencuat: ke manakah mereka, para mahasiswa, itu?

Nurani Soyomukti mendedahkan jawabnya dalam buku ini. Alumnus Fisip Universitas Jember itu menuduh mahasiswa saat ini tengah meringkuk dalam ruang pengap budaya yang dikonstruksi oleh kapitalisme. Dengan keperkasaannya, kapitalisme mengasingkan mahasiswa dari realitas sosial dan kebiasaan berpikir kritis serta berilmu pengetahuan, baik di lingkungan kampus maupun di luar kampus. Kapitalisme telah menelikung eksistensi mahasiswa agar tak lagi dapat menjadi "mahasiswa sejati" yang getol membela kebenaran dan keadilan, sehingga lahirlah generasi mahasiswa bergaya hidup anti-ilmiah dan anti-aksi-aksi advokasi kerakyatan (hlm. 23).

Meski masih ada segelintir mahasiswa yang berusaha loyal dengan khitahnya sebagai agen perubahan, keberadaan mereka mirip sepercik tinta yang menetes di lautan. Mereka gagal membangun pencitraan massif yang positif terhadap mahasiswa. Ironisnya, justru citra negatif yang kerap melekat pada diri mahasiswa karena acapkali tersandung kasus-kasus amoral.

Itulah sekelumit fenomena buram gaya hidup mahasiswa yang dipotret buku ini: mulai dari melemahnya tradisi berpikir kritis lewat forum-forum diskusi yang tergantikan oleh budaya cangkrukan dan ngerumpi sambil pencat-pencet HP, menguatnya sikap hedonistik dengan gemar berbelanja di mal ketimbang membeli buku, bahkan merayakan pesta narkoba dan prostitusi terselubung. Soyomukti menguraikannya dengan sangat gamblang tentang bagaimana terjadi pergeseran karakter mahasiswa dalam setiap zaman sampai pencitraan mahasiswa yang berubah di mata masyarakat.

Mahasiswa memang mengalami penindasan kapitalisme melalui konstruksi gaya hidup dan budaya keseharian. Tanpa mereka sadari, nalar kritisnya ditumpulkan dan akses pengetahuan meski tampak kasat mata namun terbentur budaya tanding yang berorientasi pada pemenuhan hasrat hedonistik yang menggelapkan mata. Dalam situasi demikian, eksistensi mahasiswa benar-benar berada di tubir jurang kehancuran.

Betapa tidak, mahasiswa kini dikepung kapitalisme dari berbagai penjuru, mulai privatisasi pendidikan, materi pendidikan yang semata-mata mengabdi pada kepentingan industri pasar, serbuan realitas semu media yang menampilkan hipokritisme sosial melalui sinetron dan tayangan infotainment. Hal ini mengindikasikan kehidupan mahasiswa yang kian berjarak dengan realitas ketidakadilan dan pemiskinan masyarakat. Mereka kiranya tak menyadari bahwa semakin masuk dalam pusaran kultur yang diciptakan kapitalisme, maka eksistensi dan gaya hidup mereka pada hakikatnya tengah diteror (hlm. 80-91).

Dalam menganalisis fenomena kehidupan mahasiswa ini, Soyomukti tidak terjebak pada pendekatan moral-religius. Misalnya seperti yang dilakukan Iip Wijayanto dengan Sex in The Kost. Pendekatan demikian hanya melihat objek dengan kacamata hitam-putih dan mengasumsikan mahasiswa hidup di ruang hampa. Naga-naganya, pendekatan ini cenderung melarang atau mengharuskan dengan kriteria moral tertentu. Gaya hidup mahasiswa yang menyimpang serta sirnanya idealitas kerakyatan lantas dituduh sebagai temperamen yang memang sudah melekat. Bagi Soyomukti, moral bukanlah sebab, melainkan akibat dari kontradiksi kapitalisme.

Karena itu, cukup masuk akal bila refleksi Soyomukti dalam buku ini sangat menarik dan terbilang tidak biasa. Ia tidak hanya melihat wajah makro kehidupan mahasiswa, tetapi juga meneroka fenomena subtil dan terdalam dari mahasiswa. Maka, lebih dari sekadar reportase gerakan mahasiswa, buku ini mengungkap sisi lain kehidupan mahasiswa yang nyaris tak tersentuh oleh karya-karya serupa lainnya.

Namun, di tengah-tengah kepiawaian Soyomukti dalam mengeksplorasi teori-teori kritis dan pemikiran kiri ala Marxian, psikologi Frommian, dan filsafat cinta Gibranian sebagai pisau analisis kajian, ia masih terkesan kurang tajam dalam menelanjangi teknologi kekuasaan dan kepentingan ideologis kapitalisme yang meneror kehidupan mahasiswa, sehingga analisisnya pun terasa agak normatif.

Dus, munculnya garis demarkasi antara kegiatan subtil seperti berpacaran, dugem, shopping di mal dengan menelusuri kenikmatan belajar dan membangun aksi-gerakan melahirkan stigma moralitas oposisi biner. Kesan mereproduksi gaya tutur bernuansa dakwah pun tidak tertampik meski disusupi dengan analisis wacana kekiri-kirian.

Selain itu, meski cukup detail menjelajahi lajur-lajur pembebasan mahasiswa dalam konteks bernalar dan berpikir kritis guna membongkar hegemoni kapitalisme, buku ini tidak tegas memberi jawaban mengenai bagaimana praktik pembebasan yang terintegrasi dengan kekuatan-kekuatan gerakan rakyat dalam membumikan agenda kerakyatan.

Secuplik kelemahan tersebut tentu tidak mengurangi signifikansi dan kontribusi positif buku ini. Karena itu, buku ini layak diapresiasi para (calon) mahasiswa untuk bercermin, sekaligus bekal introspeksi dalam memaknai eksistensinya. (*)

*) Faizah S.A., Guru SMK Al-Munawwir Krapyak Jogjakarta

Jawa Pos Minggu, 18 Mei 2008

PJTKI Minta Polisi Usut Pengambilan Paspor TKI di Terminal IV

Indonesia-policewatch.com:Empat perusahaan jasa TKI meminta polisi mengusut pengambilan paspor oleh sebuah LSM di Terminal IV khusus TKI di Bandara Soekarno Hatta , karena hal itu melanggar peraturan perundangan yang mengatur keimigrasian, khususnya kepemilikan paspor.


Keempat perusahaan jasa TKI itu adalah Asosiasi Perusahaan Jasa TKI (Apjati), Himpunan Pengusaha Jasa TKI (Himsataki), Asosiasi Pengusaha Jasa penempatan TKI ke Asia Pasifik (Ajaspac) dan Indonesia Employment Agency Association (Idea).

Ketua Bidang Hukum Dan Organisasi Ajaspac Halomoan Hutapea di Jakarta, Jumat (16/5), mengatakan jika kondisi ini tetap dibiarkan maka keempat organisasi itu akan melaporkan kasus tersebut ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono secepatnya.

Sebelumnya, anggota Komisi IX DPR yang melakukan inspeksi mendadak ke Teriminal IV mengatakan terdapat praktik "mafia" di sana dalam melayani TKI.

Salah satunya tindakan pemerasan sehingga sangat merugikan bagi "pahlawan devisa" itu ketika hendak pulang ke rumah masing-masing.

"Saya mencatat bahwa terdapat praktik `mafia` di terminal yang terletak di Kelurahan Selapajang Jaya, Kecamatan Neglasari ,Kota Tangerang itu, ada aksi pemerasan terhadap TKI," kata anggota Komisi IX DPR Arisman Zagoto kepada ANTARA di Tangerang, Rabu (15/5).

Selain itu , Arisman juga mencatat sebuah LSM yang tidak berwenang menahan paspor milik TKI ternyata bisa menahan dokumen resmi itu sehingga mereka terlunta belasan jam di terminal itu.

Arisman Zagoto, yang datang bersama sejumlah anggota Komisi IX lainnya, menyimpulkan telah terjadi pemerasan terhadap TKI dengan meminta sejumlah. Karena itu, dia menilai keberadaan terminal IV tidak untuk melindungi TKI atau memberikan kemudahan, melainkan mempersulit mereka pulang ke kampung halaman masing-masing.

Sementara Halomoan menyatakan kepemilikan paspor adalah hak setiap warga negara sebagai kartu identitas international.

"Jadi, paspor itu seperti KTP. Milik yang paling pribadi bagi seseorang. Tidak ada hak mana pun mengambilnya secara tidak sah," kata Halomoan.

Ambil tiap hari

Sementara di Terminal IV Bandara Soetta, sebuah LSM bidang hukum setiap hari mengambil paspor TKI bermasalah (TKI yang pulang sebelum habis masa kerja, dengan alasan untuk mengurus asuransi sang TKI.

Setiap TKI yang masa kerjanya kurang dua tahun kerja diminta mengisi formulir yang berisikan surat kuasa untuk mengurus gaji dan asuransi.

Halomoan menerima sejumlah pengaduan atas praktik tersebut dan tiga diantaranya adalah dari Ruti Purwaningsih, Ika Sunarti dan Nopi Nurlia Ningsih Bt Encep.

Praktik generalisasi bahwa TKI yang pulang sebelum dua tahun kerja berarti bermasalah sehingga harus dibuat berita acara, dinilai Halomoan sebagai suatu sikap yang keliru.

Hal itu dialami oleh Ruti yang ingin kembali dari Hong Kong karena diminta oleh majikannya setelah bekerja tiga bulan. Saat sang majikan memintanya kembali karena masalah keluarga majikan sudah selesai satu bulan kemudian, Ruti tidak bisa kembali ke Hong Kong karena paspornya ditahan oleh LBH Kompar saat mendarat di Terminal IV.

"Dia sudah meminta paspor itu berulang kali tetapi tidak mendapat jawaban yang memuaskan dan paspornya tak pernah kembali," kata Halomoan.

Halomoan menilai penahanan paspor itu bertujuan untuk mendapatkan uang gaji dan asuransi TKI secara ilegal. UU No.39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI menyatakan PJTKI bertanggung jawab atas TKI sejak direkrut hingga kembali ke tanah air.

Untuk itu, setiap TKI diasuransikan sebelum ditempatkan ke luar negeri. Namun, saat mereka kembali ke tanah sebelum kontrak habis, maka klaim asuransi diurus oleh pihak lain.

"Saya tidak yakin dana asuransi itu diserahkan ke TKI, khususnya jika upahnya tidak dibayar," kata Halomoan.

Seharusnya, paspor itu diberikan ke TKI atau PJTKI yang menjadi penjamin pembuatan paspor.

"Pihak imigrasi selalu memberi stempel perusahaan PJTKI penjamin paspor di belakang buku paspor TKI," kata Halomoan. PJTKI-lah yang bertanggung jawab atas paspor itu setelah TKI, bukan LSM.

Kembalikan Paspor

Dia juga menambahkan, pada setiap pertemuan dengan Ditjen Imigrasi, PJTKI selalu diingatkan agar melaporkan paspor yang sudah diterima dan berapa yang kembali.

Dengan sistem finger print, paspor itu tidak bisa digunakan oleh pihak lain. Tapi dengan surat kuasa, pihak lain bisa menggunakan paspor untuk mencairkan asuransi.

Karena itu, Halomoan mengingatkan semua konsorium agar tidak mencairkan asuransi jika TKI dan PJTKI tidak diikutsertakan.

"Jika konsorsium asuransi mencairkannya maka kami, empat organisasi TKI, akan menuntut dan meminta Menakertrans(Erman Soeparno, red) membubarkan sistem asuransi," kata Halomoan.

Dia juga meminta Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI) bertanggung jawab atas penyimpangan ini. BNP2TKI adalah lembaga yang mengelola Terminal IV sejak diresmikan.

Direktur Pengawasan BNP2TKI Mardjono hingga berita ini diturunkan belum bisa dihubungi.

Halomoan juga meminta Menakertrans bertanggung jawab karena berdasarkan UU maka Depnakertrans adalah pihak yang bertanggung jawab pada pengelolaan terminal khusus TKI meskipun sudah mengalihkannya ke BNP2TKI melalui Kepmen No.18/2007.

Berdasarkan Kepmen 18/2007, Menakertrans menyerahkan sebagian urusan administrasi ke BNP2TKI. Menyusul dugaan sejumlah penyimpangan yang dilakukan BNP2TKI, Halomoan mendesak Menakertrans mencabut Permen tersebut dan mengembalikan semua urusan administrasi ke Depnakertrans.

"Kita harus mengembalikan BNP2TKI ke asalnya, yakni menempatkan TKI melalui sistem G to G, dimana PJTKI tidak boleh melakukannya, Bukan sebagai operator yang juga regulator," kata Halomoan.

Diingatkannya, berdasarkan peraturan perundangan yang menjadi pengemban amanat melaksanakan UU adalah menteri, bukan lembaga setingkat badan seperti BNP2TKI.

Dia juga meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk memberi perhatian pada kasus ini agar TKI tidak menjadi obyek pemerasan dan sarana pengambilan keuntungan dengan dalih perlindungan.

Berkaitan dengan itu, empat asosiasi akan membuat surat pengaduan ke Presiden agar kasus ini tidak menjadi preseden buruk bagi penempatan dan perlindungan TKI. (IPW/Ant)


dari sini

Kapolri: Tersangka Baru Munir Oknum di Institusi

Indonesia-policewatch.com:Tersangka baru kasus Munir akan diumumkan pada Juni 2008 mendatang. Kapolri Jenderal Pol Sutanto memberikan petunjuk tersangka adalah sesorang di institusi.


"Ya oknumlah, oknum kan bisa si A, si B, si C," kata Sutanto di Mabes Polri Jl Trunojoyo, Jakarta, Jumat (16/5).

Apakah polisi sudah bekerja sama dengan institusi tersebut? "Tentu semua pihak kita kerjasama, untuk kelancaran dalam penyelidikan kasus ini. Termasuk Garuda dahulu kita kan kerjasama, dan lain-lainnya," jelasnya.

Sutanto meminta agar masyarakat bersabar karena penyelidikan masih dilakukan. "Tunggulah kita masih proses, tentu kita harus mengumpulkan barang bukti, saksi, keterangan segala macam supaya lengkap dahulu, baru tindakan-tindakan berikutnya," jelas Sutanto.

Hal ini dilakukan, menurut Sutanto agar hasil yang didapat bisa maksimal. "Tentu semua pihak kita berkoordinasi, karena ini nantinya berkaitan dengan proses di pengadilan," imbuhnya. (IPW/Dtc)

Dari sini

Mbah Rus [2]

Cerpen: Bonari Nabonenar

Mbah Rus, selain lahir dari keluarga terkaya di kampung, pasti ia sangat cantik waktu mudanya, sehingga seorang guru dari kampung yang jauh melamarnya. Itu sungguh luar biasa. Guru, pada zaman itu, nyaris seperti berdarah biru. Ia adalah golongan priyayi, sangat dihormati di masyarakat. Dan Mbah Rus berhasil mendapatkannya. Tetapi, nasib buruk menimpa guru itu, suami Mbah Rus itu. Ia menjadi buta. Ini adalah salah satu dari sekian banyak detail yang belum pernah terungkap. Mengapa guru itu menjadi buta, mengapa lalu Mbah Rus bercerai dengannya. Dan hingga kini pun saya tidak pernah tahu, bagaimana kemudian Mbah Rus yang hingga kini tak memiliki seorang pun anak itu bisa dipersunting seorang laki-laki yang boleh dimasukkan ke dalam daftar laki-laki paling tampan dan perkasa di kampung.



Ada beberapa fragmen kisah mengenai kehebatan laki-laki suami kedua Mbah Rus itu. Sebagai laki-laki, ia sebegitu memesona para perempuan, sehingga perempuan-perempuan yang sudah bersuami pun akan memimpikannya. Kalau ia melenggang di jalanan, mungkin, para perempuanlah yang akan menyiulinya, bukan sebaliknya. Ada yang pernah bercerita, seorang preman kampung menjajal kehebatanya dengan menantangnya untuk membawa ke hadapannya, hanya membawa saja, seorang perempuan tercantik di kampung.

Malam makin merambat. Udara dingin. Tetapi tantangan itu cukup memanaskan.

’’Kalau kau mengaku hebat, bawa dia ke sini sekarang juga.’’

Maka, laki-laki itu pun bergegas menuju rumah perempuan itu, menunggunya di halaman sampai perempuan itu keluar dari rumah. Ia berbatuk kecil dan memanggil lirih ketika perempuan itu ternyata benar-benar kencing di luar rumah.

’’Oh…!’’ perempuan itu terkejut, dan menyebut nama si laki-laki.

’’Maaf, ada yang penting, Jangan berteriak, ya?’’

Dan belum sempat melontarkan reaksi, baik kata-kata maupun isyarat, perempuan itu telah mendapati dirinya di pundak si laki-laki. Ia telah dipikul, benar-benar dipikul seperti kayu, dibawa ke hadapan preman kampung yan menunggunya di pos ronda.

’’Sudah, sekarang aku antarkan kau pulang. Keperluannya sudah cukup,’’ kata laki-laki yang kelak menjadi suami kedua Mbah Rus kepada perempuan tercantik di kampung itu.

Perempuan itu benar-benar tampak bengong. Mungkin masih juga belum jernih pikirannya ketika ia berucap, ’’Aku berani kok pulang sendiri,’’ sambil ngeloyor begitu saja.

Dalam hal keperkasaan fisik, jangan tanya pula. Lepaskanlah seekor rusa di hadapannya, maka ia akan mengejarnya dan menangkapnya dengan tangannya. Maka, perempuan mana yang tidak tunduk di hadapan laki-laki yang memesona, tampan, dan secepat itu? Pun Mbah Rus. Ia boleh dijuluki anak orang terkaya di kampung, perempuan tercantik di kampung, tetapi pada akhirnya tertaklukkan juga. Oh, tidak. Mbah Rus adalah perempuan perkasa. Kalau kemudian ia menikah dengan laki-laki yang kemudian jadi suami keduanya itu, pastilah bukan dalam rangka takluk-menaklukkan. Buktinya, beberapa tahun kemudian Mbah Rus bisa bersikap tegas ketika mendapati seorang perempuan yang bukan dirinya mendesah di dekat laki-laki itu.

’’Itulah yang terjadi, saya lupa tahun berapa. Yang pasti, itu kejadiannya di siang bolong yang tiba-tiba menjadi gelap karena Gunung Kelud meletus,’’ tutur Mbah Rus pada suatu kesempatan.

Mbah Rus segera bercerai dengan suami keduanya itu.

[3]

Setelah itu Mbah Rus memilih hidup sendiri di rumah dan mencari nafkah sendiri dari pekarangan warisan yang menjadi bagiannya. Orangtua yang kaya raya sudah menjadi sejarah. Tiga orang bersaudara itu, ini juga detail yang hilang, tidak meneruskan tradisi hidup dalam gelimang harta-benda seperti orangtua mereka. Sudah jatuh miskin, hidup tanpa suami tanpa anak pula.

Itu dialami Mbah Rus hampir persis setengah abad lamanya, sebelum kemudian tubuhnya takluk kepada kerentaan dan terpaksa menumpang pada keluarga Jaelani yang membangun rumah menumpang di pekarangannya.

Kini Mbah Rus benar-benar sudah renta. Dan mulai sakit-sakitan pula. Beberapa bulan lalu kakinya bengkak karena penyakit gula. Saya mulai cemas, karena jarak kami yang sangat jauh, harus beberapa kali oper pesawat untuk sampai ke hadapan Mbah Rus. Saya sudah kehilangan Mbah Kakung, Mbah Jemani, dan Mbah Painah dengan cara yang lebih menyakitkan daripada sekadar kehilagan orang-orang tercinta. Saya tidak punya kesempatan untuk mengantarkan mereka ke kuburan.

’’Bagaimana, apakah Mbah Rus masih sehat?’’ begitulah pertanyaan yang hampir tak pernah lupa saya selipkan saat ada --atau saya-- yang menelepon. Saya tahu, akan semakin banyak kehilangan detail sejarah saya sendiri. Saya tahu satu per satu orang-orang tercinta saya akan berguguran. Dan saya pasti akan belajar mengarang-ngarang agar sejarah itu bisa dibaca. Mungkin saya harus menyampur-adukkan karangan saya dengan fakta. Tetapi itu tidak begitu menjadi soal bukan? Maka, saya harus banyak belajar kepada Mbah Rus. Belajar menikmati kesepian.[]



kamus kecik:

konthol-kinthil = laki-laki yang menikah dan kemudian tinggal di lingkungan keluarga sang istri, kebalikanya: kinthil-konthol).
gadhuh = buruh memelihara ternak dengan imbalan sebagian (biasanya separo) ternak hasil pemeliharaan itu.
gebyog = rumah adat Jawa, berdinding papan/kayu
sengkeran = simpanan
tunggu watang = (harfiah: penjaga batang)

Mengenal Sosok Surapin, Petugas KA Pencipta Lagu Daerah Banyuwangi

Tidak Bisa Main Musik, Lagunya Bisa Jadi Hits

Lingkungan pekerjaan yang keras sebagai pegawai PT Kereta Api Indonesia, tidak membuat perasaan Surapin ikut mengeras. Siapa sangka, lelaki berusia 55 tahun yang tinggal di Kelurahan Tanjung, Kecamatan Kalipuro, Banyuwangi itu juga mampu tampil sebagai pencipta lagu daerah berbahasa Using.



....Aran bokong, nongko sesigar
aran alis, nanggal sepisan
kulite kuning langsat....


Sebait lagu tersebut mungkin sudah familiar di telinga sebagian masyarakat Banyuwangi. Lagu yang melukiskan sosok ideal perempuan di mata laki-laki itu, sempat menjadi tembang hit pecinta musik lagu Using. Siapa sangka, sukses lagu tersebut ternyata bermula dari hingar bingar ruang kerja Pemimpin Perjalanan Kereta Api (PPKA).

Sosok Surapin turut andil besar sebagai pencipta lagu berjudul Bokong Semok itu. Bapak tiga anak ini mampu menuangkan eskpresi pemikirannya menjadi sebait lagu di tengah kesibukannya sebagai PPKA di Stasiun KA Banyuwangi Baru.

Lagu bokong semok diciptakan dalam tempo singkat. Surapin yang tengah tugas saat itu, berhasil menciptakan lagu ini hanya dalam waktu tiga jam. Prosesnya pun tidak rumit. Mantan Kepala Stasiun KA Argopuro ini cukup merenung sejenak. "Jika saya seperti itu, teman-teman kerja sudah faham. Pasti akan muncul lagu baru," katanya.

Selanjutnya, hasil renungannya itu dituangkan ke dalam catatan kecil. Karena tercipta sembari bekerja, banyak syair lagu yang ditulis di atas kertas dinas. Satu persatu lembaran syair itu diberi tanggal dan paraf oleh Surapin.

Tidak dipungkiri, kemampuan cipta syair lagu Surapin patut diacungi jempol. Berbagai lagu yang pernah menghiasi blantika musik Kota Gandrung merupakan buah tangannya. Simak saja lagu berjudul Ojo Gede Rumongso, Milih Kembang, Nasibe Kembang, hingga Nawon Kemil kreasi seni Surapin.

Bila ditelurusi lebih dalam, ternyata bakat Surapin diperoleh secara alami. Dalam garis keturunan keluarga, dia tidak memiliki darah seniman. Memainkan alat musik saja, pria yang akan memasuki masa pensiun tahun depan ini mengaku tidak begitu bisa.

Dalam kamus penciptaan lagunya, Surapin menekankan kesimbangan dua hal, yakni syair dan irama. Syair berisi kejadian yang dirangkum menjadi bait lagu. Sedangkan irama merupakan pengiring syair. "Karena tidak bisa musik, kolaborasi syair saya dibantu oleh teman, Nahuri namanya," bebernya.

Rahasia penciptaan lagu Surapin itu rupanya cukup manjur. Kini dia telah menciptakan empat lagu baru lagi. Semua lagu itu diyakininya bakal menyamai kesukesan lagu sebelumnya, Bokong Semok. Persis seperti lagu sebelumnya, proses penciptaan syair lagu ini hanya makan waktu rata-rata tiga jam.

Surapin sudah menyiapkan tembang andalan dalam waktu dekat. Lagu itu berjudul Mancing Teri Ulihe Wiji Nongko. Lagu ini mengisahkan tentang kehidupan muda-mudi. Dikisahkan, seorang pemuda yang mengirim short message service (SMS) kepada temannya. Ternyata pesan singkat itu salah sasaran. Isi SMS itu malah nyasar ke ponsel seorang wanita. Dari sanalah, kemudian cinta mereka bersemi. Lagu tersebut kini masih dalam tahap penyelesaian. [NIKLAAS ANDRIES, Banyuwangi ]

Radar Banyuwangi Minggu, 04 Mei 2008

Renovasi Balai Pemuda Habiskan Rp 10 Miliar

SURABAYA - Rencana Pemkot Surabaya menata kompleks Balai Pemuda (BP) menjadi sentra aktivitas kesenian makin pasti. Setelah mengambil alih Bioskop Mitra, pemkot merancang rehab untuk beberapa bangunan BP. Anggarannya Rp 10 miliar.


Menurut Kasi Program dan Perencanaan Bidang Permukiman Dinas Tata Kota (DTKP) Nurhadi, sesudah pengalihan pengelolaan gedung Mitra dari PT Wedu ke pemkot, DTKP memang akan merenovasi kawasan BP. "Saat ini rencana sedang kami matangkan," terangnya kemarin (6/5).

Nurhadi menjelaskan, penataan itu meliputi renovasi dan perluasan gedung sisi timur BP. Sebagai galeri seni, perluasan gedung bakal dilengkapi beberapa ruang seperti lobi dan ruang pamer, hall utama, ruang diskusi, ruang persiapan dan manajemen, serta toilet.

Pembangunan gedung teater mini di bekas Bioskop Mitra akan dilengkapi dengan beberapa ruang. Antara lain, teras kedatangan, lobi dan resepsionis, ruang VIP dan event organizer (EO), dan hall utama pergelaran.

Menurut Nurhadi, kawasan BP berpotensi besar untuk dikembangkan. Potensi itu meliputi bangunan peninggalan zaman kolonial yang bernilai sejarah, letak yang strategis (di daerah bisnis dan perdagangan), dan akses transportasi yang mudah. "BP sangat potensial menjadi objek kunjungan wisata budaya dan arsitektur," terangnya.

Kendati demikian, ada beberapa kendala pembangunan kawasan itu. Yakni, dana pengelolaan yang terbatas sebagai kawasan cagar budaya. Saat ini, keberadaan gedung BP juga dianggap belum mengakomodasi kehadiran pengunjung. Fungsi bangunan juga dianggap tidak jelas. Kadang digunakan untuk aktivitas kesenian, tapi tidak jarang dimanfaatkan untuk pameran perdagangan atau resepsi pernikahan.

Karena itu, kata Nurhadi, penataan kawasan BP bakal mempertimbangkan beberapa hal. Antara lain, harus tetap memperhatikan kualitas ruang terbuka di antara bangunan-bangunannya. Pembangunan juga harus melindungi dua bangunan yang memiliki nilai sejarah (lihat grafis). Selain itu, ketinggian bangunan baru yang akan direnovasi tidak melebihi ketinggian bangunan lama. "Secara arsitektural, bangunan rehab nanti harus mampu membentuk komposisi yang harmoni dalam kawasan," terangnya.

Kawasan BP juga dilengkapi dengan berbagai fasilitas dan program pendukung. Misalnya, area parkir pengunjung. Ada beberapa alternatif solusi untuk parkir. Misalnya, pembangunan parkir bawah tanah. Namun, kata Nurhadi, biaya pembangunan parkir bawah tanah dianggap terlalu tinggi.

"Permukaan air tanah di Surabaya juga tinggi. Dikhawatirkan terjadi getaran pada bangunan-bangunan sekitar," jelas pria asli Sidoarjo itu.

Alternatif lain, menyediakan sarana parkir insidental pada sebagian sisi utara Jalan Gubernur Suryo. Yaitu, dengan memberi markah atau tanda khusus. Bisa juga "meminjam" tempat parkir hotel-hotel di sekitar BP atau di Taman Surya. Karena itu, harus juga harus ada jalan pedestrian yang nyaman. "Untuk masalah parkir, belum ada keputusan," tandasnya.

Akses keluar masuk BP, tutur Nurhadi, juga perlu diperhatikan secara khusus karena dapat berujung terhadap problem kemacetan lalu lintas. Bisa jadi, ketika ada acara-acara besar nanti disediakan angkutan khusus yang akan menjemput para pejalan kaki dari lokasi pemberhentian yang ditetapkan. Misalnya di Taman Surya, Taman Apsari, maupun Plaza Surabaya.

Selain itu, kata Nurhadi, supaya BP berkembang pesat, pemkot perlu menggandeng kalangan perhotelan dan biro wisata. Juga menjalin kerja sama dengan organisasi pemerhati seni dan budaya. "Termasuk membuat program mingguan, bulanan, dan tahunan untuk meramaikan BP," ujarnya. (kit/ari)


Jawa Pos, Rabu, 07 Mei 2008

Makam Marsinah Sepi Peziarah

Aksi Demo Warnai May Day di Kediri

NGANJUK- Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, makam Marsinah di Nganjuk sepi peziarah saat Peringatan Hari Buruh (May Day) kemarin. Makam di Desa Nglundo, Kecamatan Sukomoro, tersebut tak banyak dikunjungi. Hingga siang hari, hanya ada satu kakek plus dua cucunya yang datang. Itupun, kakek tersebut adalah warga setempat.



"Saya heran, kok tumben sepi," terang Kapolsek Sukomoro AKP Sukarlin.

Memang, walaupun tak mendapat surat pemberitahuan berziarah, polisi tetap berjaga-jaga. Sukarlin, dan dua anak buahnya, berjaga di pemakaman. Beberapa polisi lain juga bersiap di gapura masuk Jalan Marsinah.

Selain sepi pengunjung, kondisi makam peraih Yap Thiam Hien pada 1993 dan Pahlawan Pekerja Indonesia oleh Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) itu juga mengenaskan. Rumput liar tumbuh subur di makam yang terlihat paling ’mewah’ dibanding lainnya itu. "Di sini tidak ada juru kuncinya, Mas," terang Sukarlin, seorang warga setempat.

Saat ini, kerabat Marsinah yang ada di desa tersebut adalah Sini, 53, bibinya. Sedangkan saudara kandung Marsinah yang bernama Marsini tinggal di Sidoarjo. Kemarin, Marsini juga tak terlihat datang.

Harapan dari keluarga, menurut Sini, adalah pemerintah mengangkat kembali kasus tersebut. Dan mengetahui siapa pembunuh keponakannya yang semasa hidup bekerja di PT Catur Putra Surya (CPS) Porong, itu. "Matinya kan dibunuh. Makanya, kami ingin tahu siapa yang membunuh," ujarnya lirih.

Sementara itu, peringatan Hari Buruh di Kediri diwarnai demo oleh puluhan aktivis Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI). Sejak pukul 10.00 demonstran sudah berkumpul di areal Monumen Simpang Lima Gumul (SLG). Poster dan spanduk berisi kecaman terhadap praktik penindasan buruh diusung. Selain itu, ada juga poster yang berisi tuntutan pendidikan murah dan bermutu.

Para demonstran juga menggelar aksi teatrikal di SLG maupun di depan kantor DPRD Kabupaten Kediri. Hanya saja, para pendemo tak ditemui wakil rakyat sama sekali karena hari libur.

Ashar, koordinator demonstran, mengatakan bahwa Mayday harus menjadi momentum mennggalang kekuatan kaum buruh melawan kapitalisme. "Kalau tidak kita akan semakin tertindas," katanya.

Sedikitnya ada delapan tuntutan FPPI kepada pemerintah. Termasuk penghapusan sistem kontrak bagi buruh, menaikkan upah buruh, serta revisi UU Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek).

Saat para demonstran hendak longmarch dari SLG ke kantor DPRD, sempat dicegah polisi. Sebab, demo tersebut tak berizin. Seteah bernegosiasi, pendemo diizinkan turun ke jalan. Mereka kemudian menuju kantor DPRD di Jalan Soekarno-Hatta.

Ketika sampai di tujuan, yang mereka dapati adalah gerbang yang terkunci. Para demonstran akhirnya melakukan orasi dan aksi teatrikal di pinggir jalan. Setelah 15 menit, mereka membubarkan diri. (c2/ery/fud)

JP Radar Kediri Jumat, 02 Mei 2008

Pendidikan yang Menyesatkan


Oleh: Darmaningtyas

Praksis pendidikan nasional kian kering dan cenderung menyesatkan. Hal itu karena terlepas dari proses kebudayaan dan lingkungan sosial yang ada.



Substansi pendidikan sebagai upaya memerdekakan manusia (Ki Hadjar Dewantara) atau sebagai proses pemanusiaan manusia (Driyarkara) justru terabaikan oleh berbagai persoalan teknis, manajerial, dan birokrasi. Padahal, ketiga masalah itu seharusnya hanya menjadi penopang substansi pendidikan, bukan sebaliknya. Tetapi, perhatikan pidato birokrat pendidikan di negeri ini, semua hanya bicara masalah teknis-manajerial.

Fenomena tragis itu bermula dari istilah yang dikembangkan dunia pendidikan berasal dari istilah manajemen industri/ekonomi. Istilah-istilah itu terus diproduksi, lalu menjadi wacana dan secara substil membentuk watak baru institusi maupun praksis pendidikan nasional.

Istilah ekonomi

Awalnya istilah ”SDM” (sumber daya manusia) yang diadopsi mengganti kata ”manusia”. Istilah ini banyak dipakai sejak Wardiman Djojonegoro menjabat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Para Menteri Pendidikan dan Kebudayaan sebelumnya jarang menggunakan istilah itu. Kata SDM hanya digunakan dalam konteks ekonomi saja.

Dalam wawancara pribadi (1998), Fuad Hassan menjelaskan, istilah manusia itu lebih kompleks dan multidimensi daripada SDM yang lebih bersifat ekonomis dan dapat dieksploitasi. Mengganti kata manusia dengan SDM sama dengan mereduksi harkat kemanusiaan.

Penggunaan istilah SDM sejalan dengan konsep pendidikan link and match. Pada kurun waktu yang sama, demam globalisasi mewabah dan menjangkiti pejabat Indonesia, terlebih sejak KTT APEC di Bogor (1994). Penggunaan kata SDM diiringi kata-kata: unggul, nilai tambah, kompetensi, kompetisi, pasar, daya saing, dan lainnya. Berbagai pidato pejabat selalu merangkai kata-kata ”menyiapkan SDM yang memiliki kompetensi unggul atau nilai tambah untuk berkompetisi atau bersaing di pasar global”. Sejak itu, terminologi di korporasi menjadi terminologi sah dunia pendidikan nasional.

Reformasi politik (Mei 1998) bukan mengoreksi, justru memperkaya kekeliruan. Istilah manajemen industri yang diadopsi konsultan dan birokrat pendidikan bertambah banyak, seperti Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), produktivitas, sertifikasi, standardisasi, standar nasional, standar internasional, Sertifikat ISO, Dewan Audit, dan Majelis Wali Amanah.

Bersamaan penambahan istilah manajemen, kian kuat pula upaya pembentukan watak atau karakter institusi/praksis pendidikan menjadi korporasi, yang diikuti perubahan mindset orang- orang di dalamnya. Praksis pendidikan lalu tidak mengarah kepada pencerdasan dan pemerdekaan bangsa, atau pemanusiaan manusia, tetapi lebih melayani kepentingan pemilik kapital. Kebijakan maupun substansi pendidikan yang dikembangkan pun cenderung memperkaya ekonomi maupun budaya negara pemilik kapital dengan memiskinkan (ekonomi maupun budaya) bangsa sendiri.

Pembelajaran bahasa asing sejak TK dan SD demi standar internasional merupakan bentuk kolonialisasi atas bahasa dan budaya lokal yang seharusnya dikembangkan oleh praksis pendidikan. Demikian pula mengukur kemajuan pendidikan hanya dari satu unsur juga amat menyesatkan karena mengabaikan aspek ketahanan pangan, papan, sandang, dan budaya. Kenyataannya, manusia dapat hidup tanpa teknologi informasi asal ketahanan pangan, sandang, papan, dan budayanya terjaga.

Gejala praksis pendidikan yang menyesatkan itu juga tampak dari berbagai kebijakan. Demi efisiensi, misalnya, bidang-bidang studi humaniora atau agro yang sedikit peminat harus ditutup. Sulit membayangkan bila suatu nanti Jurusan Pedalangan di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta harus tutup karena dinilai tidak efisien dan jumlah mahasiswanya lebih sedikit dari jumlah dosennya.

Praksis pendidikan sebagai proses kebudayaan seperti diletakkan Ki Hadjar Dewantara hilang sama sekali, itu terlihat dari perubahan nama dari Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah menjadi Dirjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah. Namanya bertambah panjang, tetapi cakupannya kian sempit karena sebatas manajerial saja.

Melegitimasi kekeliruan

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menjadi pedoman pelaksanaan pendidikan nasional justru melegitimasi kekeliruan cara berpikir yang mengarah pembentukan korporasi pendidikan. Gagasan UU Sisdiknas adalah untuk membentuk korporasi pendidikan. Banyak pasal dalam UU Sisdiknas mengamanatkan pentingnya sertifikasi, standardisasi (nasional dan internasional), pembentukan badan hukum, dan hal-hal di luar pendidikan.

Istilah ”guru” tidak lagi ditemukan lagi dalam UU Sisdiknas karena diganti kata ”pendidik”. Padahal, dalam bahasa Sanskerta, guru lebih dari pengajar. Seorang guru adalah ahli, konselor, saga, sahabat, pendamping, dan pemimpin spiritual. Etimologi esoterik dari istilah guru menggambarkan metafora peralihan dari kegelapan menjadi terang. Jadi, guru bermakna seseorang yang membebaskan dari kegelapan karena ketidaktahuan dan ketidaksadaran (Anita Lie, 2008).

Keberadaan Rancangan Undang-undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP) akan kian menyesatkan karena substansi RUU BHP lebih menyangkut tata kelola lembaga pendidikan yang diarahkan mengikuti tata kelola korporasi. Seluruh istilah yang dipakai dalam pasal RUU BHP adalah istilah korporasi sehingga bila disahkan menjadi UU, otomatis membentuk watak lembaga pendidikan identik dengan korporasi. Atas dasar itu, RUU BHP tidak layak disahkan menjadi UU BHP dan harus ditolak. Praksis pendidikan harus dikembalikan sebagai proses kebudayaan dengan cara mengembalikan terminologi yang dipakai/dikembangkan adalah terminologi pendidikan dan kebudayaan, bukan terminologi manajemen korporasi.

Darmaningtyas Pengurus Majelis Luhur Taman Siswa di Yogyakarta

Kompas Jumat, 2 Mei 2008 | 00:26 WIB