Jangan Paksa Masyarakat Baca Buku!

Oleh Muhidin M. Dahlan*

Kepada para pemangku buku dan kutubuku yang angkuh dan sombong, saya tuliskan pamflet ini. Di negara yang tak punya seperangkat Undang-Undang Buku dan Perpustakaan ini, kelompok ini terus-menerus menebarkan teror ke dalam lubuk masyarakatnya yang bukan saja tak mampu membaca buku, tapi merasa aneh saja kenapa harus mencintai pekerjaan itu.



Bagi masyarakat kelas menengah ke bawah, memiliki buku bukan perkara mudah. Selain karena tradisi lisan (dan menonton) lebih dominan, penetrasi buku hanya berlangsung di perkotaan. Perpustakaan berhenti di ibu kota provinsi dan kabupaten dan itu pun nasibnya merana. Alhasil, untuk mengisi waktu luang yang sangat banyak, masyarakat beralih ke televisi. Dari sisi ekonomi, televisi juga praktis. Sekali beli nyaris semua informasi bisa diserap.

Dan, mereka menyayangkan kenapa begini jadinya masyarakat itu. Pamflet-pamflet membaca buku pun disebar rutin, baik oleh pemerintah maupun kelompok-kelompok partikelir. Lalu muncul Hari Buku Nasional yang secara sembrono diambil begitu saja dari hari berdirinya IKAPI (Ikatan Penerbit Indonesia) pada 17 Mei 1950. Bisakah hari jadi sebuah organisasi dijadikan sebagai sandaran nilai, semangat, ketika oleh masyarakat penerbit sendiri memakzulkan keberadaannya. Tanyalah kepada penerbit-penerbit di Jogjakarta, mengapa mereka tak mengakui IKAPI sebagai payung buku nasional dan mendirikan pusparagam organ baru untuk melawan dan mengolok-oloknya seperti, APA (Asosiasi Penerbit Alternatif), API (Aliansi Penerbit Alternatif), SePI (Sarekat Penerbit Independen), dan IKAPO (Ikatan Penerbit Optimis). Kasus ini mirip organ PWI yang sekaligus hari lahirnya dipaksakan jadi Hari Pers Nasional. Padahal organ ini dengan sewenang-wenang turut membabat warganya sendiri, yang kemudian eksodus mendirikan organ lain.

Lalu ada Hari Kunjung Perpustakaan pada 14 September dan sekaligus bulan itu dijadikan Bulan Gemar Membaca. Gubernur Sutiyoso tak ketinggalan untuk mencanangkan Hari Anak Jakarta Membaca pada 24 Agustus 2006. Saya tak tahu 5.000 anak tingkat SD-SMA di Jakarta yang tumplek di Monas waktu itu datang untuk membaca buku, atau ngecengin cewek-cowok dan bermasyuk dengan pelbagai hiburan seperti nyanyian dan tarian tradisional.

Yang saya herankan juga membiak semacam anggapan dari kelompok yang sombong diri ini bahwa tidak membaca buku adalah "dosa". Maka, ada yang sambil merintih bawang bombay membeberkan bagaimana membaca buku di Indonesia berada di titik nol. Oh, sombong sekali. Mungkin ia benar, tapi ia tak memperhatikan tradisi panjang apa yang ada dalam kalbu masyarakat. Orang-orang sombong dan kalap diri ini juga lupa bahwa mereka tak juga memberi contoh yang baik. Banyak program buku dikibarkan pemerintah yang sok jago baca, tapi di sana juga kerakusan membumbung. Di Jogjakarta, Solo, Semarang, dan di mana-mana koran Jawa Pos memberitakan korupsi buku oleh aparat pemerintah sendiri. Para penerbit, tak peduli penerbit spesial buku agama atau buku sekuler dan umumnya anggota IKAPI, sikut-menyikut suap-menyuap untuk dapat jatah uang banyak dari penerbitan buku-buku pelajaran kaum belia itu. Uh, sungguh memalukan!

Membaca buku, mengapa harus jadi keharusan? Heran. Lalu mereka mengecam dengan semena-mena bahwa segala malapetaka ini disebabkan oleh televisi. Mereka tuding televisi sebagai sumber gegar budaya, kotak idiot, kotak dungu, tuhan kedua, bahkan setan jahat citra. Padahal, televisi bagi keluarga Indonesia saat ini sudah menjadi kebutuhan utama keluarga.

Televisi sejatinya hanya pengulangan paling modern dari tradisi visual yang sudah berlangsung turun-temurun di Indonesia. Panggung yang biasanya terbuka di lapangan kini dipersempit hanya dalam sebuah kotak kecil di tengah ruang keluarga.
Bagi aktivis perbukuan yang sombong dan angkuh ini televisi tak lain hanyalah sebuah kedangkalan berpikir. Televisi hanya memproduksi keseronokan ketimbang kebijaksanaan. Karena itu, membaca buku lebih mulia dari menonton televisi. Tradisi menonton hanya melakukan pengulangan dari kelisanan primer yang terus-menerus coba "dilenyapkan" para juru kampanye kemelekan aksara ini.

Mereka kecam program-program sinetron atau kuis murahan yang tak mendidik, tapi mereka lupa bagaimana memproduksi buku berkualitas dan mempertontonkan tauladan yang baik bagaimana memperlakukan buku sebagai laku pencerahan. Memangnya cuma televisi yang memproduksi keseronokan dan kedangkalan. Buku juga ada kok. Maka, ada "buku bajakan", "buku dodol" (buku yang sampulnya keren, promonya kuat, endorsement seabrek, tapi isinya kosong ngawur nggak jelas asal ngoceh); "buku msg" (buku yang renyah dan sangat enak dibaca, tapi isinya dangkal, bagaikan jajanan ber-msg, tidak meninggalkan kesan).

Ada juga "buku latah" (buku yang judul atau temanya ikut-ikutan dan atau dimuat mirip dengan buku yang terbit sebelumnya dan sukses). Contoh jenis buku ini adalah Di Atas Sajadah Cinta yang mirip dengan Ayat-Ayat Cinta; buku Rumah Pelangi yang dimirip-miripkan dengan Laskar Pelangi). Lalu "buku spanyol" (buku yang ditulis dengan cara sungguh ganjil: separo isinya nyolong dari buku orang lain).

Karena itu, pamflet ini menyeru-nyeru: jangan percaya sepenuhnya bahwa dunia buku dan aktivis-aktivisnya adalah brahmana dan kuil-kuil suci penyebar pencerahan. Omong-kosong itu semua. Mereka juga manusia yang berhasrat, punya nafsu merusak, dan tak ada bedanya dengan dunia yang mereka kutuk habis-habisan.

Karena keasyikan mengkritik televisi, mereka lupa bahwa masyarakat punya pandangan hidup sendiri bagaimana memperlakukan hidup. Sejarawan-sejarawan seperti Taufik Abdullah meyakini betul bahwa tradisi budaya lokal kita adalah lisan dan bukannya tulisan. Ingatan kolektif, pengetahuan, informasi atau perbendaharaan kultural apa pun ditransmisikan secara lisan dan visual.

Yang lahir dari kultura seperti itu kemudian bukanlah cendekiawan-pemikir, tapi kreator dan maestro upacara. Dan yang muncul dalam tradisi upacara adalah mantra dan rambu ibadat. Dalam perkembangannya mantra itu kemudian menubuh dalam syair, seloka, dongeng, sastra, dan sebagainya. Maka, jangan heran bila Indonesia melahirkan hanya seupilan maestro dalam bidang buku. Hal ini jauh berbeda dengan maestro tradisi seni visual (lukisan, patung, maupun kerajinan tangan rakyat) serta seni pertunjukan (teater, ketoprak, tari, kesenian rakyat, dan sebagainya).

Dan, memang bahasa Indonesia yang kita kenal ini pun bukan bahasa yang diperuntukkan untuk bahasa tulis, bahasa refleksi, bahasa filsafat. Bahasa ini tak punya struktur lampau, kini, dan akan datang. Semua bahasa sehari-hari dan hari ini (present tense). Karena itu disebut dengan lingua franca.

Maka, berhentilah berkhotbah muluk-muluk dan meneror masyarakat berlatar visual dan tontonan ini, hai para pemangku buku dan kutubuku! (*)

* Muhidin M. Dahlan, kerani di Indonesia Buku, anggota Dewan Kutu Buku Gila (KuBuGil), dan pimpinan program penulisan Kronik Kebangkitan Indonesia (1908-2008)

Jawa Pos, Minggu, 18 Mei 2008

0 tanggapan: