Menjawab Kritik Cerpen Mutakhir
[Dibandingkan dengan karya sastra transnasional yang lain seperti Ayat-ayat Cinta (AAC) karya Habiburrahman El-Shirazy, misalnya, karya para buruh migran itu lebih jujur dan realistis. AAC menampilkan sosok protagonis mahasiswa berkebangsaan Indonesia yang dengan status sosialnya sebagai intelektual terpelajar, tidak harus banyak menghadapi konflik dan negosisasi identitas diri yang panjang. Tokoh protagonis dalam AAC lebih banyak berkhotbah sementara tokoh yang lain terlalu cepat menerimanya begitu saja. Novel AAC cenderung memakai perspektif yang hanya satu sisi dari tokoh protagonisnya semata, sedangkan Jilbab in Hongkong menampilkan pula suara dan alasan sang majikan dalam penolakannya terhadap jilbab berdasarkan pandangan dunia yang ia miliki.]
Judul Buku: Jurnal Cerpen Indonesia, Edisi 09/2008
Penulis: Frans Nadjira, Martin Aleida, dkk
Penerbit: Akar Indonesi, Jogjakarta
Cetakan: I, Juli 2008
Tebal: xvii+182 Halaman
Sejak terjadinya polemik Takdir-Pane tahun 30-an, fenomena perdebatan sastra kontekstual di tahun 80-an, dan sampai beberapa kongres cerpen pada tahun-tahun belakangan ini, ada kecenderungan dominan dalam sejarah kritik sastra sosialistik Indonesia. Yakni menjadikan ''yang publik'', ''yang massa'', atau ''yang lain'' (the other) sebagai basis tolak ukur berhasil-tidaknya suatu karya sastra. Realitas sosial dipandang menjadi tanggung jawab --sekaligus hantu-- yang membayangi kerja kesusastraan, dalam hal ini cerpen. Dan, sampai saat ini, kritik cerpen masih berada dalam ketegangan permasalahan bagaimana ''mendamaikan'' pengarang dengan teks cerpen sebagai ciptaanya serta realitas sosial yang membayanginya.
Sedemikian mendesaknya alasan krisis sosial yang harus segera menjadi tanggung jawab pengarang, sehingga banyak terjadi pemukul-rataan kritik terhadap banyak cerpen yang dituduh sebagai ''cerpen eksklusif'', ''cerpen individualistik'', bahkan terhadap cerpen-cerpen yang melakukan suatu permainan bahasa yang amat dalam dan ekperimental. Hal ini disebabkan terutama karena kritik sastra belakangan lebih terpaku kepada wacana, bukannya berbasis teks.
Hal ini justru malah berdampak serius pada tradisi penciptaan sastra, yakni marginalisasi karya-karya tertentu yang akan membawa sastra pada kemandekan. Di sisi lain, kesulitan ini makin ditambah dengan adanya standarisasi yang cenderung menjadi mitologisasi atas karya dan sosok pengarang besar dan ternama oleh pusat-pusat kekuasaan sastra.
Atas hal ini, maka Jurnal Cerpen Indonesia edisi terbaru menampilkan teks-teks yang cukup relevan untuk menjawab permasalahan di atas. Cerpen Pohon Kunang-kunang karya Frans Nadjira, meski tidak riuh dengan suara sosial dan slogan perlawanan yang penuh api, ia terlihat menyingkapkan empati antartokohnya yang hanya tiga orang. Jadi, meskipun cerpen ini memancarkan aura soliter yang kuat, ia bukan teks yang psikopat. Ada suara yang lain di dalamnya. Cerpen ini termasuk cerpen sosial yang bersudut pandang eksistensial.
Sudut pandang seperti ini terlihat pula pada cerpen Kupu Malam, Anjing Kurus, dan Udin karya Yanusa Nugroho. Bedanya, Yanusa menggunakan jurus surealis dalam melukiskan berbagai konflik dan kemuraman wajah masyarakat kita. Dengan jurus itu, ia leluasa untuk memainkan permainan suspensi dan ketegangan alur yang akan diakhiri dengan penyelesaian yang penuh kejutan.
Sedangkan Martin Aledia dengan memoarnya yang berjudul Ratusan Mata Dimana-mana menyuguhkan variasi dan teknik lain dari cerpen. Memoarnya bersahaja dan menggugah serta jujur dalam menampilkan setiap sisi tokoh-tokohnya, dan inilah yang membuat pembaca tidak hanya berempati pada sang tokoh protagonis ''aku'', tetapi juga pada tokoh-tokoh antagonisnya.
Yang menarik adalah cerpen karya Fahrudin Nasrulloh yang berjudul Tiga Kisah dari Giri. Lewat cerpen itu, sang pengarang menampilkan dirinya sebagai oposisi kultural dengan cara menghadirkan tokoh-tokoh minor dalam sejarah perkembangan Islam di Jawa. Ia menghadirkan tokoh Sunan Prapen yang nyaris tidak dikenal dalam jagad ''per-sunan-an'' Jawa. Dalam karyanya yang lain, ia juga pernah menghadirkan Syekh Branjang Abang dan Syekh Bejirum di tengah tokoh tunggal kontroversial Syekh Siti Jenar. Dengan karakter penulisan semacam ini, Fahruddin telah memperlihatkan karakter penulisannya sekaligus juga memperlihatkan daya kapasitas sastranya sebagai wacana alternatif yang akan melengkapi secara dialektis keberadaan wacana mainstream.
Bukan hanya karya cerpen, jurnal ini juga menampilkan esai kritik cerpen yang kompeten. Satu hal yang menjadi kekurangan dari kritik cerpen di negeri kita adalah pembahasan cerpen yang lahir dalam konteks kultur yang baru dan unik. Menjawab tantangan ini, seorang peneliti berkebangsaan Jepang, Shiho Sawai, menuliskan esainya yang berjudul Potensi Teleopoesis dan Marginalitas Ganda Transnasional dalam Karya Buruh Migran Perempuan di Hong Kong. Ia memaparkan analisis yang mendetail tentang adanya penggambaran konflik nilai yang kuat dalam kehidupan para buruh perempuan Indonesia di Hong Kong. Amat mencengangkan bahwa karya para buruh yang rata-rata memiliki latar belakang pendidikan formal yang tak terlalu tinggi itu memiliki daya kritis yang bagus.
Karya-karya para buruh imigran perempuan itu adalah Jilbab in Hongkong karya Wina Karnie, yang memotret masalah benturan religiusitas antara majikan dan kaum buruh. Sang tokoh wanita muslim dalam cerpen itu mendapati hambatan saat ia melakukan tradisinya memakai jilbab, lantaran sang majikan merasa risih melihatnya. Setelah melewati sekian banyak negosiasi, akhirnya sang majikan merelakan pembantunya untuk memakai jilbab.
Dibandingkan dengan karya sastra transnasional yang lain seperti Ayat-ayat Cinta (AAC) karya Habiburrahman El-Shirazy, misalnya, karya para buruh migran itu lebih jujur dan realistis. AAC menampilkan sosok protagonis mahasiswa berkebangsaan Indonesia yang dengan status sosialnya sebagai intelektual terpelajar, tidak harus banyak menghadapi konflik dan negosisasi identitas diri yang panjang. Tokoh protagonis dalam AAC lebih banyak berkhotbah sementara tokoh yang lain terlalu cepat menerimanya begitu saja. Novel AAC cenderung memakai perspektif yang hanya satu sisi dari tokoh protagonisnya semata, sedangkan Jilbab in Hongkong menampilkan pula suara dan alasan sang majikan dalam penolakannya terhadap jilbab berdasarkan pandangan dunia yang ia miliki. (*)
Ridwan Munawwar
Bergiat di Komunitas Rumah Poetika Jogjakarta
Jawa Pos, [Minggu, 07 September 2008]
*)Judul "Sastra Buruh MIghran lebih Cerdas" dari fbbmi
[Dibandingkan dengan karya sastra transnasional yang lain seperti Ayat-ayat Cinta (AAC) karya Habiburrahman El-Shirazy, misalnya, karya para buruh migran itu lebih jujur dan realistis. AAC menampilkan sosok protagonis mahasiswa berkebangsaan Indonesia yang dengan status sosialnya sebagai intelektual terpelajar, tidak harus banyak menghadapi konflik dan negosisasi identitas diri yang panjang. Tokoh protagonis dalam AAC lebih banyak berkhotbah sementara tokoh yang lain terlalu cepat menerimanya begitu saja. Novel AAC cenderung memakai perspektif yang hanya satu sisi dari tokoh protagonisnya semata, sedangkan Jilbab in Hongkong menampilkan pula suara dan alasan sang majikan dalam penolakannya terhadap jilbab berdasarkan pandangan dunia yang ia miliki.]
Judul Buku: Jurnal Cerpen Indonesia, Edisi 09/2008
Penulis: Frans Nadjira, Martin Aleida, dkk
Penerbit: Akar Indonesi, Jogjakarta
Cetakan: I, Juli 2008
Tebal: xvii+182 Halaman
Sejak terjadinya polemik Takdir-Pane tahun 30-an, fenomena perdebatan sastra kontekstual di tahun 80-an, dan sampai beberapa kongres cerpen pada tahun-tahun belakangan ini, ada kecenderungan dominan dalam sejarah kritik sastra sosialistik Indonesia. Yakni menjadikan ''yang publik'', ''yang massa'', atau ''yang lain'' (the other) sebagai basis tolak ukur berhasil-tidaknya suatu karya sastra. Realitas sosial dipandang menjadi tanggung jawab --sekaligus hantu-- yang membayangi kerja kesusastraan, dalam hal ini cerpen. Dan, sampai saat ini, kritik cerpen masih berada dalam ketegangan permasalahan bagaimana ''mendamaikan'' pengarang dengan teks cerpen sebagai ciptaanya serta realitas sosial yang membayanginya.
Sedemikian mendesaknya alasan krisis sosial yang harus segera menjadi tanggung jawab pengarang, sehingga banyak terjadi pemukul-rataan kritik terhadap banyak cerpen yang dituduh sebagai ''cerpen eksklusif'', ''cerpen individualistik'', bahkan terhadap cerpen-cerpen yang melakukan suatu permainan bahasa yang amat dalam dan ekperimental. Hal ini disebabkan terutama karena kritik sastra belakangan lebih terpaku kepada wacana, bukannya berbasis teks.
Hal ini justru malah berdampak serius pada tradisi penciptaan sastra, yakni marginalisasi karya-karya tertentu yang akan membawa sastra pada kemandekan. Di sisi lain, kesulitan ini makin ditambah dengan adanya standarisasi yang cenderung menjadi mitologisasi atas karya dan sosok pengarang besar dan ternama oleh pusat-pusat kekuasaan sastra.
Atas hal ini, maka Jurnal Cerpen Indonesia edisi terbaru menampilkan teks-teks yang cukup relevan untuk menjawab permasalahan di atas. Cerpen Pohon Kunang-kunang karya Frans Nadjira, meski tidak riuh dengan suara sosial dan slogan perlawanan yang penuh api, ia terlihat menyingkapkan empati antartokohnya yang hanya tiga orang. Jadi, meskipun cerpen ini memancarkan aura soliter yang kuat, ia bukan teks yang psikopat. Ada suara yang lain di dalamnya. Cerpen ini termasuk cerpen sosial yang bersudut pandang eksistensial.
Sudut pandang seperti ini terlihat pula pada cerpen Kupu Malam, Anjing Kurus, dan Udin karya Yanusa Nugroho. Bedanya, Yanusa menggunakan jurus surealis dalam melukiskan berbagai konflik dan kemuraman wajah masyarakat kita. Dengan jurus itu, ia leluasa untuk memainkan permainan suspensi dan ketegangan alur yang akan diakhiri dengan penyelesaian yang penuh kejutan.
Sedangkan Martin Aledia dengan memoarnya yang berjudul Ratusan Mata Dimana-mana menyuguhkan variasi dan teknik lain dari cerpen. Memoarnya bersahaja dan menggugah serta jujur dalam menampilkan setiap sisi tokoh-tokohnya, dan inilah yang membuat pembaca tidak hanya berempati pada sang tokoh protagonis ''aku'', tetapi juga pada tokoh-tokoh antagonisnya.
Yang menarik adalah cerpen karya Fahrudin Nasrulloh yang berjudul Tiga Kisah dari Giri. Lewat cerpen itu, sang pengarang menampilkan dirinya sebagai oposisi kultural dengan cara menghadirkan tokoh-tokoh minor dalam sejarah perkembangan Islam di Jawa. Ia menghadirkan tokoh Sunan Prapen yang nyaris tidak dikenal dalam jagad ''per-sunan-an'' Jawa. Dalam karyanya yang lain, ia juga pernah menghadirkan Syekh Branjang Abang dan Syekh Bejirum di tengah tokoh tunggal kontroversial Syekh Siti Jenar. Dengan karakter penulisan semacam ini, Fahruddin telah memperlihatkan karakter penulisannya sekaligus juga memperlihatkan daya kapasitas sastranya sebagai wacana alternatif yang akan melengkapi secara dialektis keberadaan wacana mainstream.
Bukan hanya karya cerpen, jurnal ini juga menampilkan esai kritik cerpen yang kompeten. Satu hal yang menjadi kekurangan dari kritik cerpen di negeri kita adalah pembahasan cerpen yang lahir dalam konteks kultur yang baru dan unik. Menjawab tantangan ini, seorang peneliti berkebangsaan Jepang, Shiho Sawai, menuliskan esainya yang berjudul Potensi Teleopoesis dan Marginalitas Ganda Transnasional dalam Karya Buruh Migran Perempuan di Hong Kong. Ia memaparkan analisis yang mendetail tentang adanya penggambaran konflik nilai yang kuat dalam kehidupan para buruh perempuan Indonesia di Hong Kong. Amat mencengangkan bahwa karya para buruh yang rata-rata memiliki latar belakang pendidikan formal yang tak terlalu tinggi itu memiliki daya kritis yang bagus.
Karya-karya para buruh imigran perempuan itu adalah Jilbab in Hongkong karya Wina Karnie, yang memotret masalah benturan religiusitas antara majikan dan kaum buruh. Sang tokoh wanita muslim dalam cerpen itu mendapati hambatan saat ia melakukan tradisinya memakai jilbab, lantaran sang majikan merasa risih melihatnya. Setelah melewati sekian banyak negosiasi, akhirnya sang majikan merelakan pembantunya untuk memakai jilbab.
Dibandingkan dengan karya sastra transnasional yang lain seperti Ayat-ayat Cinta (AAC) karya Habiburrahman El-Shirazy, misalnya, karya para buruh migran itu lebih jujur dan realistis. AAC menampilkan sosok protagonis mahasiswa berkebangsaan Indonesia yang dengan status sosialnya sebagai intelektual terpelajar, tidak harus banyak menghadapi konflik dan negosisasi identitas diri yang panjang. Tokoh protagonis dalam AAC lebih banyak berkhotbah sementara tokoh yang lain terlalu cepat menerimanya begitu saja. Novel AAC cenderung memakai perspektif yang hanya satu sisi dari tokoh protagonisnya semata, sedangkan Jilbab in Hongkong menampilkan pula suara dan alasan sang majikan dalam penolakannya terhadap jilbab berdasarkan pandangan dunia yang ia miliki. (*)
Ridwan Munawwar
Bergiat di Komunitas Rumah Poetika Jogjakarta
Jawa Pos, [Minggu, 07 September 2008]
*)Judul "Sastra Buruh MIghran lebih Cerdas" dari fbbmi