Usaha BMI Hongkong Mencerdaskan Masyarakat Desanya


Muntamah Sekar Cendani

Taman Bacaan “Pondok Maos Cendani” di Desa Cendono, Kandat, Kabupaten Kediri


Buku adalah jendela dunia. Metafora ini sangat po¬puler karena sangat pas menggambarkan pen¬ting¬nya buku dalam kehidupan kita. Buku dapat membuat kita tak seperti katak dalam tempurung. Bahkan, lewat buku, wawasan seseorang menjadi luas tanpa harus keliling dunia.


SAYANGNYA, selama ini ma¬sya¬ra¬¬kat Desa Cendono, Kecamatan Kan¬dat, Kabupaten Kediri, Jawa Ti¬mur, termasuk sulit untuk menda¬pat-kan buku-buku, apalagi buku yang ber¬mutu, karena di desa tersebut be-lum ada perpustakaan umum sehingga kebutuhan masyarakat akan buku kurang terpenuhi.

Kondisi desanya itu membuat Muntamah, BMI Hongkong yang memang pecinta buku, membuka taman bacaan di rumahnya, yang diberi nama Pondok Maos Cendani (PMC). Secara resmi, PMC dibuka pada Kamis (12/1) malam lalu de¬ngan acara pembacaan Surat Yasin, pemotongan tumpeng, dan doa bersama. Selain dihadiri oleh warga sekitar, acara tersebut juga dihadiri oleh sejumlah tokoh masyarakat.

PMC dibuka oleh Turmudi, tokoh masyarakat dan salah seorang perangkat Desa Cendono. Saat dibuka, koleksi PMC sudah mencapai 1.200-an. Terdiri dari aneka judul dan jenis buku, majalah, dan suratkabar. Koleksi sebanyak itu mayioritas adalah koleksi pribadi Muntamah sendiri, sebagian lagi merupakan sumbangan dari berbagai pihak yang concern terhadap pencerdasan dan pemberdayaan masyarakat.

Hadirnya taman bacaan tersebut disambut positif oleh masyarakat Cendono. Usai acara peresmian, warga yang terdiri dari bapak-bapak, ibu-ibu, sampai anak-anak menyerbu buku-buku koleksi PMC, yang tertata rapi di rak. “Ma¬sya¬ra¬kat Cendono ini adalah masyarakat re¬li¬gius. Oleh karena itu, buku-bu¬ku keagamaan sangat diminati,” ujar Supriyadi, warga Cendono yang juga dosen Uniska, Kediri, ke¬pada Berita Indonesia usai peresmian PMC.

Buku anak-anak, seperti buku cerita dan buku pelajaran, juga sangat penting disediakan oleh PMC. Mengingat, di depan rumah peninggalan orangtua Muntamah tersebut, berdiri sebuah sekolah yang cukup mentereng, yakni Madrasah Ibtidaiyah (MI).

Hal itu disampaikan oleh Agus Wahyudi, salah seorang guru di MI tersebut kepada Berita Indonesia. “Namun, setelah buku-buku bisa dipinjam secara gratis dari PMC, tinggal bagaimana kita kemudian meningkatkan minat baca di kalangan anak-anak sekolah ini maupun masyarakat umum,” ujar Agus Wahyudi.

Menurut guru MI tersebut, banyak yang minat bacanya masih perlu ditingkatkan. “Dan untuk meningkatkan minat baca itu sulit,” tambah Agus Wahyudi.

Namun, dengan upaya yang sungguh-sungguh, Agus Wahyudi optimis bahwa budaya membaca itu bisa dimasyarakatkan di Desa Cendono.

Belum 1 Bulan Sudah 600 Pengunjung


Saat ini, Muntamah masih di Hongkong. Kesehariannya, PMC dikelola oleh Khusnul Khotimah dan suaminya, Rokimi. Berbagai hal seputar PMC dibicarakan Khusnul dengan Muntamah lewat telepon.

Hingga Jumat (2/2), menurut Muntamah saat diwawancara Berita Indonesia via chat facebook, sudah ada 600 orang pengunjung PMC, padahal usia PMC belum satu bulan.

“Tambah rame, pengunjung mulai tambah. Anak kelas 1 sudah berani datang minjam buku, awalnya belum berani. Tetangga desa juga sudah mulai banyak yang datang dan pinjam,” ujar Muntamah yang bisa dihubungi di nomor HP 852 92027579.

Muntamah menjelaskan, PMC terus dikembangkan sambil jalan, termasuk penambahan sarana dan prasarana untuk lebih memberikan kemudahan dan menyamanan bagi para pengunjung PMC.

"Kemarin sdh dibelanjakan crayon/alat mewarnai gambar dan alat tulis, kertas hvs aku sdh ada, ke depan, para pengunjung akan kami tawari menggambar atau menuliskan puisi, nanti karya itu akan ditempel di PMC."

Yang agak membuat Muntamah saat ini kuwalahan adalah permintaan buku-buku dari para pengunjung karena di PMC belum tersedia. Permintaan terus mengalir, tetapi Muntamah tidak dapat menyediakan dengan segera karena keterbatasan finansial. Oleh karena itu, PMC juga membuka diri bagi siapa saja yang ingin menyumbangkan buku ke PMC demi kemajuan masyarakat. (ks)

Berita Indonesia, Edisi 126, Februari 2012

Nyonya, Izinkan Aku Pulang


YANI WIJAYA KUSUMA


Pengantar Redaksi: Agaknya karena maraknya pemakai situs jejaring sosial Facebook, membuat para blogger, termasuk dari kalangan BMI juga banyak meninggalkan blog yang sudah dibangunnya. Jarang dijenguk, jarang di-update, malahan ada yang ditinggalkan samasekali. Beberapa orang malah mengaku, ”Wadhuh, mau kuisi lagi, sudah lupa password-nya! Mau buat lagi masih malas. Beberapa di antaranya memang menunjukkan konistensi sebagai blogger sejati.

Dan ada pula yang malah baru giat-giatnya membangun blog-nya. Termasuk golongan terakahir itu, tampaknya, ialah Yany Wijaya Kusuma. Tulisan yang diambil dari blog-nya berikut ini, pernah dibacakan dan jadi topik pembicaraan mengenai ”rindu pulang” di sebuah stasiun radio di Semarang: Smart FM, dalam suasana hari lebaran beberapa waktu lalu.


Aku menengok jam dinding, ketika baru saja aku menyelesaikan pekerjaan terakhirku, mengepel lantai. Jam 10 malam, oh, sudah larut malam rupanya. Setelah benar-benar beres, bergegas aku menuju kamar untuk sejenak melepas penat. Saat berada di kamar sendirian, pikiranku mengembara pulang ke rumah. Serasa jiwaku ada di sana. Membayangkan betapa Ponorogo ramai dengan hiruk pikuknya manusia. Menjelang perayaan grebeg suro, Ponorogo selalu penuh sesak. Perayaan grebeg suro yang memang sudah menjadi tradisi dan berbagai ritual digelar di kota itu. Untuk tahun ini, konon katanya memakan biaya yang tidak sedikit. Ada yang bilang tentang kisaran biaya untuk perayaan grebeg suro kali ini yaitu 1,2 Milyar. Wow, angka yang fantastis menurutku. Ah, entahlah…toh bukan urusanku. Aku hanya kangen dengan kota kelahiranku itu dan keluargaku tentu saja.

Sungguh! aku ingin pulang saat ini. Begitu asyiknya aku dengan pengembaraanku, sampai aku tak menyadari kehadiran momonganku yang kecil. Aku terkejut saat dia tiba-tiba memelukku dan berkata,”Cece…kamu jangan pulang ya,” pintanya tanpa memandangku. Aku melirik bocah ini sekilas. Dengan wajah innocent-nya, dia mampu meluruhkan hatiku.

“Tapi aku ingin pulang untuk menengok keluargaku,” jawabku kemudian.

“Aku ga mau kamu tinggal, aku ingin kamu tetap di sini, mengantar jemput aku sekolah, bermain bersama dan selalu bersama,” ujarnya memohon.

Aku diam dan membiarkan dia bermain-main di ranjangku. Rasanya ada berton-ton beban di kepalaku. Antara rumah dan tanggung jawab pekerjaanku. Seandainya aku punya sayap, ah…aku selalu berandai-andai. Ku raih kotak ajaib dan menyalakannya. Beberapa menit kemudian, aku mulai tenggelam dengan duniaku sendiri.

Tiba-tiba sailo (momonganku) berteriak nyaring di sampingku,” mamiiiiiiii…….”

Tergopoh-gopoh nyonya menyerobot masuk ke kamarku yang pintunya tertutup separuh. Melongok kami berdua yang nangkring di ranjang. Aku asyik dengan kotak ajaibku dan sailo asyik dengan mainannya. Aku menoleh ke sailo lalu beralih ke nyonya yang berdiri dengan wajah penuh tanda tanya.

“Ada apa?” tanyanya sambil memandangi kami berdua bergantian.

“Mami, tolong bilang sama cece, jangan pulang sekarang,” jawab sailo.

Nyonya memandangku dan beranjak duduk di sampingku, lalu hati-hati dia berkata,”Yani, aku tau kamu sudah merindukan kampung halamanmu sana. Aku tahu betapa kamu merindukan putrimu dan aku tahu betapa sulitnya kamu memendam semua rasa rindu itu. Aku bisa merasakan dan aku mengerti.”

“Jadi aku boleh pulang?” sergapku penuh harap.

“Bukan aku tak mengizinkanmu pulang bertemu keluargamu, bukan pula aku tak percaya padamu, aku percaya kamu pasti kembali. Tetapi, mengertilah. Aku mohon padamu, aku masih belum bisa mengizinkanmu pulang dalam waktu dekat ini. Kamu lihat sendiri kan, suamiku baru saja pindah kerja ke Macau dan itu artinya kita, aku dan kamu harus menjaga rumah dan anak-anakku. Aku tak sanggup kamu tinggal sendiri. Bayangkan, aku akan kewalahan mengurus mereka berdua sementara aku sendiri juga harus bekerja. Aku mohon pengertianmu."

“Nyonya…aku ingin menengok anakku, aku ingin tahu keadaan rumahku sepeninggalan ibuku. Aku ingin tahu di mana makam ibuku. Kamu juga tahu saat aku mendapat kabar kepergian ibuku. Aku sangat kehilangan, terpuruk dan sampai pekerjaanku pun amburadul waktu itu. Betapa durhakanya aku kalau sampai saat ini aku belum tahu di mana makam ibuku. Saat beliau sakit pun aku tak bisa mendampinginya. Hingga ajal menjemputnya, aku tetap tak ada di sampingnya,” cerocosku tak tertahankan di antara isakku.

“Yani, aku tahu apa yang kamu rasakan, tapi apa boleh buat? Aku tahu ibumu adalah spirit hidupmu. Beliaulah yang selalu menyemangatimu tiada henti, iya kan? Aku bisa merasakan semua itu, karena aku juga pernah kehilangan ibu. Sebenarnya aku pun tak ingin melakukan ini padamu. Aku sangat bersedih tak bisa mengizinkanmu pulang. Percayalah kami semua sayang padamu dan keluargamu. Kami berdoa untuk kebaikan dan kesehatan keluargamu di kampung halaman sana. Bila saatnya tiba nanti, puaskanlah bercengkerama dengan mereka. Tapi sekali lagi aku mohon maaf, aku tak bisa mengizinkanmu dalam waktu dekat ini,” nyonya masih saja berusaha membujukku.

“Nyonya, aku pulang hanya sebentar, hanya satu bulan. Dan itu tak sebanding jika aku harus meninggalkan keluargaku selama 2 tahun. Selama ini aku selalu berusaha mengabulkan permintaanmu dan menuruti semua keinginanmu bukan semata demi uang, tapi karena tanggung jawab pekerjaan yang kau bebankan padaku. Dan kini aku punya satu keinginan. Please...izinkan aku pulang.”

Nyonya mendesah berat, aku tahu dia pun bingung. Antara iya dan tidak. Kami tenggelam dengan perasaan masing-masing. Sementara momonganku tetap dalam pangkuanku dan memelukku dengan erat. Seakan tak mau berpisah denganku. Setelah terdiam beberapa saat, nyonya meraih sailo dari pangkuanku dan beranjak keluar. Sebelum benar-benar menutup pintu nyonya kembali berkata,” Sudahlah, malam telah larut. Kamu mandi dan istirahat. Jangan terlalu banyak pikiran dulu. Kita bicarakan lagi lain kali. Ok?”

Sepeninggalan nyonya, aku pun termenung sendiri di kamar. Dan rasa rindu akan kampung halamanku, kian membuat sesak nafasku. Kalau sudah begitu, apa yang bisa aku lakukan selain meneteskan air mata. Dan ini konsekuensi yang harus aku terima. Untuk pulang ke rumah sendiri saja begitu sulitnya. Oh Tuhan, aku ingin pulang, meski hanya sejenak....*


Fanling, 26 November 2011

E-mail oh E-mail


Oleh: Anazkia

Ibu majikanku, sudah sepuh, umurnya sudah memasuki enam puluh tahun lebih. Jadi nggak heran, kalau faktor U kadang menghambat ruang gerak berpikir Ibu. Meskipun begitu, Ibu masihlah Ibu majikanku yang aktifnya luar biasahttp://www.blogger.com/img/blank.gif di luar sana. Karena keaktifannyalah, Ibu banyak bertemu dengan orang-orang generasi sekarang, yang melek akan dunia tekhnologi. Setiap ada pertemuan, ada perbincangan ketika bertukar kartu nama, sering relasinya bertanya, "Datin ada e-mail tak?"


Kadang, Ibu pulangnya sering mengadu denganku. Setelah itu, barulah Ibu memintaku mengajari menggunakan e-mail. Lantas, membuatlah aku acount e-mail untuk Ibu. Seingatku, e-mail Ibu pertama kali adalah, rusmiatiharun@yahoo.com. Saat membuat e-mail tersebut, ketika menuliskan password, Ibu memintaku untuk tidak melihatnya. Aku manut, nurut tanpa mengetahui apa password Ibu.

Selesai membuat e-mail, pelajaran pertama adalah mengajarkan Ibu, bagaimana caranya hendak mengoperasikan e-mail. Dari sejak membuka internet, mengklik browser, log in dan cara mengirim surat elektronik tersebut. Tak hanya lisan, aku juga menuliskannya dalam bentuk tulisan. Ibupun menyimpannya...

Saat kutanya, "Bu, kenapa nggak minta ajarin anak-anaknya aja?"

“Ibu lebih suka belajar dengan kamu.” Jawab Ibu

Hari berlalu, waktu berganti. Sesekali Ibu membuka e-mail-nya, juga kadang menggunakan fasilitas e-mail untuk mengirim artikel Ibu yang diminta oleh salah satu majalah religi di Malaysia. Tapi, Ibu masih belum mudheng-mudheng. Masih cenunukan sendiri, keder. Sampai suatu ketika, sewaktu membuka e-mail Ibu nanya password-nya kepadaku. Halah, wong sewaktu nulis password aku ndak lihat, yah mana aku tahu...??? Yang sampai akhirnya, password tidak ditemukan dan terbuang percuma e-mail tersebut...

Tapi Ibu pantang menyerah, beliau, lagi-lagi minta dibuatkan e-mail. Kali ini, aku memaksa biar aku tahu passwodnya. Kembali seperti semula, mengajari Ibu dari awal, membuka browser internet, log in dan bagaimana caranya mengirimkan surat elektronik kepada rekannya. Tak hanya e-mail, kita (aku, anaknya dan keponakannya) membuatkan Ibu blog. Sayangnya, kadang Ibu hangat-hangat tahi ayam, yang akhirnya terbengkalai begitu saja blognya.

Kembali ke e-mail. Aku membuatkan e-mail ke dua Ibu sudah lama, mungkin sekitar setahun lalu. Yang saat itu aku juga membuatkan akun facebook untuk Ibu. Yang lagi-lagi, terbengkalai dan tidak pernah digunakan oleh Ibu.

Sejak saya tinggal dengan anak Ibu, saya sudah tak lagi mengajari Ibu mengoperasikan internet dan tak lagi berurusan dnegan e-mail-e-mail Ibu. Entah apa kabarnya.

Suatu hari sewaktu aku sibuk-sibuk di dapur di rumah anaknya, Ibu menelpon. Entah ujung pangkalnya apa, tapi aku nyambungnya Ibu kirim e-mail ke aku. Selesai masak, aku masuk kamar, melihat hape, ada SMS dari Ibu, "Ibu ada imelkan? Cam ne ye?" Bingung... Buru-buru membuka lapi, ternyata nggak ada e-mail untuk aku dari Ibu.

Setelah makan siang, kami (aku, Kak Sham, Bang Haiyan, Arief beserta Nabila) menuju rumah Ibu. Sampai di rumah Ibu, aku langsung nanya,

"Ibu, e-mail apaan, sih?"

"E-mail Ibu, masih ingat lagi tak?"

Weks, aku nyengir sendiri. Ibu ini lho, dibuatin e-mail sejak tahun jebot kok yah ndak nyangkut-nyangkut. Kebetulan aku membawa laptop. Tapi, saat masuk ke kamar Nani anak bungsunya, dia lagi online. Aku menyuruhnya membuka yahoo, dan log in e-mail Ibu. Aku mengingat-ingat e-mail-nya. Pertama mencoba, salah. Tapi password-nya aku masih mengingat jelas. Percobaan yang ke dua, alhamdulilah berhasil. Kali ini, e-mail Ibu selamat hehehe...

Sorenya, saat aku sedang posting untuk blogspot, Ibu mencari-cariku. Menanyakan nasib e-mail-nya. Iseng, aku bertanya dengan Ibu.

"Ibu masih ingat tak, password-nya?"

"Mana Ibu tahu." Ibu mengedikan bahu. Aku ngekek... Kutulislah di atas buku, alamat e-mail, juga password-nya. Ibu tersenyum...

"Owh, ini ke?" Tanya ibu lagi sambil tersenyum.

Akhirnya, saat itu juga aku kembali mengajarkan Ibu, bagaimana cara membuka internet, menuliskan yahoo, log in juga mengantar e-mail... Tiba-tiba Bang Haiyan nyeletuk,

"Dari dulu belajar itu aje." *

Catatan:
--Dimuat di Majalah Peduli (Rubrik: “Aku dan Majikanku”) edisi Januari 2012

Nasib Pembantu

@Anna Nirwana

Hari Minggu adalah hari liburku.
Pagi-pagi berdandan yang ayu.
Janji berjumpa dengan teman karibku.
Di Victoria tempat yang teduh.
Kuhampar plastik sbagai alas dudukku
menunggu sambil termangu-mangu.
Janji jam tujuh telah lama berlalu
yang ditunggu kok nggak miscall aku,

reff:
sungguh terlaluu..
Kau terlalu
kau buat aku lama menunggu
o..o..terlalu kau terlalu
kau buat aku menjadi pilu
senduu..

Akhirnya kupulang dengan langkah lesu
wajah ayu kuberubah sayu.
Ternyata dia tak bisa jumpa aku
hari liburnya diganti Sabtu,
nasib pembantu


*persembahanku utkmu kawan's BMI. Jangan dongkol lagi ya..?! Selalu optimis!