Brigitta Isworo L
Seusai proses yang gegap gempita dan bergemuruh pada pengujung Mei 1998, Indonesia menapaki dengan tertatih jalan reformasi yang dipilihnya. Banyak hal dirombak, termasuk di antaranya adalah struktur birokrasi. Persoalan kebudayaan pun tidak luput terkena reformasi.
Kebudayaan yang semula "berumah" di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada akhirnya harus berpindah rumah, yaitu ke Departemen Pariwisata, Seni, dan Budaya. Kebudayaan tanpa disadari dengan sendirinya kemudian mengalami penyempitan makna menjadi kesenian, atau bahkan lebih parah lagi menjadi sekadar seni pertunjukan yang begitu menarik bagi wisatawan asing yang ingin mengenal "budaya Indonesia".
Salah seorang pembicara dalam diskusi Kompas bersama Lingkar Budaya Indonesia yang bertajuk "Meletakkan Posisi Kebudayaan dalam Proses Menjadi Indonesia" pada awal Juni lalu menyebutkan, salah satu definisi kebudayaan adalah suatu sikap dan orientasi nilai yang memengaruhi pikiran. Berpedoman pada satu definisi saja, kita akan segera paham, kebudayaan membutuhkan rumah yang lebih luas karena kiprahnya yang juga luas dan mendalam.
Pada era kepemimpinan presiden pertama Bung Karno, seiring dengan keinginan memperkenalkan identitas bangsa di mata dunia internasional, Bung Karno dengan Demokrasi Terpimpin-nya telah mencanangkan perlawanan terhadap neokolonialisme, yang kemudian menukik pada perlawanan terhadap budaya asing dengan antara lain melarang musik "ngak ngik ngok" dan baju "you can see" alias baju tanpa lengan. Secara kultur, seperti diuraikan seorang pembicara, Indonesia menuju ke ketertutupan.
Persoalan kebudayaan pada awal berdirinya negara ini sebenarnya mendapat perhatian cukup besar karena para tokoh politik juga sadar budaya. Menurut istilah seorang pembicara, para pemimpin bangsa ini pada era ’30-an, seperti sosok Soekarno dan Hatta, "they are cultured and sophisticated". Mereka membaca karya-karya sastra dari bangsanya sendiri. Seiring dengan sikap yang berbudaya tersebut, persoalan kebudayaan kemudian diletakkan sejajar dengan pendidikan, yaitu dengan memasukkan urusan kebudayaan di Kementrian Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan.
Pada awal berdirinya negeri ini, persoalan kebudayaan ditempatkan pada posisi sentral. Soekarno sebagai salah satu bapak bangsa ketika itu terus dengan gencar mencanangkan nation and character building, pembangunan bangsa dan karakter bangsa. Bung Karno mencita-citakan bangsa Indonesia yang berkarakter kuat agar dihormati dan disegani di dunia internasional. Ketika itu, dengan Ganefo (Games of the New Emerging Forces), Bung Karno menciptakan blok baru negara-negara yang berpotensi dan memiliki semangat tinggi untuk maju.
Pada tahun 1960-an di Indonesia terjadi semacam revolusi kebudayaan karena pemerintah berorientasi pada budaya "antinekolim" (neokolonialisme) dengan negara Amerika Serikat dan negara-negara maju di Eropa sebagai presentasinya. Musik Barat ditentang dan disebut sebagai musik "ngak ngik ngok" dan cara berpakaian "you can see" alias tanpa lengan pun ditentang.
Perjalanan bangsa ini terus bergulir. Ketika Orde Baru mengambil alih, Indonesia pun membuka diri terhadap budaya dan investasi luar. Kebudayaan diurus di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan pernah juga di Departemen Pariwisata, Seni, dan Budaya. Hingga sekarang persoalan kebudayaan tetap dijadikan satu dengan kepariwisataan. Dengan rumah kebudayaan berupa pariwisata ini muncul kekhawatiran bahwa kebudayaan kemudian mengalami penyempitan ruang hingga hanya sampai pada seni pertunjukan.
Padahal, di beberapa negara, di antaranya adalah negara-negara maju, mereka memiliki departemen khusus kebudayaan. Beberapa negara dapat disebut misalnya Yunani, Denmark, Oman, Finlandia, dan Skotlandia. Di Finlandia, misalnya, tugas menteri kebudayaan adalah menjamin keberagaman budaya dan mengembangkan toleransi.
Kompleksitas kehidupan
Pembentukan departemen khusus mengurus kebudayaan selama ini tetap mendapatkan pandangan pesimistis dari sejumlah pihak. Departemen baru berarti tempat korupsi baru tumbuh subur. Akan tetapi, beberapa kerugian jelas tampak jika tidak ada departemen kebudayaan.
Indonesia saat ini amat membutuhkan menteri kebudayaan, terutama karena kompleksitas kehidupan sosio-kultural yang semakin berat. Ada banyak faktor yang menentukan perhatian khusus. Kebudayaan merupakan prioritas tersendiri.
Pada saat kebudayaan menghadapi masa-masa kritis, telantar, terancam globalisasi, terpuruk oleh berbagai kehancuran pranata sosial, kritis identitas, dan sebagainya, budaya nasional perlu mendapat perhatian lebih serius. Nilai-nilai, pranata kehidupan, karya cipta bangsa, dan kebanggaan nasional memerlukan pengelolaan dan bukannya bisa diabaikan dengan berbagai alasan.
Selain takut akan munculnya lubang korupsi baru, ada sejumlah alasan yang memberatkan dibentuknya departemen kebudayaan. Pertama belum ada acuan yang dapat diterima bersama: apakah kebudayaan Indonesia itu.
Akan tetapi, dengan tidak adanya "departemen kebudayaan", dapat kita catat sedikitnya empat kerugian, yaitu, pertama, semakin tidak jelasnya pemahaman kebudayaan nasional. Semakin sulit menjawab apa definisi kebudayaan Indonesia. Kedua, tanpa adanya otoritas dalam lapangan kebudayaan, peranan agama menjadi sangat penting, bahkan seolah-olah telah menjadi segala-galanya. Otoritas agama menjadi sangat berkuasa dan menentukan cara berpakaian, bentuk musik, dan cara berpikir.
Kerugian ketiga adalah makin cepat runtuh dan punahnya entitas budaya. Banyak kesenian lokal hilang, terlupakan, karena tidak ada badan yang memerhatikan dan melindungi secara bersungguh-sungguh. Keempat, terjadinya permiskinan pola dan gaya hidup, penyederhanaan pandangan, dan semakin hilangnya keragaman dan pengetahuan tradisional.
Di sisi lain ada sejumlah keuntungan dengan memiliki departemen khusus kebudayaan, yaitu terkelolanya sumber daya dan terlindunginya bakat-bakat unggul. Misalnya petani, pemahat, dan penyanyi di desa-desa tidak perlu digiring menjadi kuli bangunan atau sopir truk, tanpa dapat meningkatkan kinerja dan prestasi lain sama sekali.
Yang kedua, departemen kebudayaan diharapkan dapat melakukan sosialisasi nilai-nilai positif secara lebih efektif. Misalnya dalam menurunkan peringkat Indonesia sebagai negara paling korup. Juga secara proaktif dapat ditanamkan sikap-sikap proaktif, kreatif, inovatif, transparan, jujur, dan fair.
Keuntungan ketiga, departemen kebudayaan dapat mengelola, menampung, mengembangkan, dan memanfaatkan nilai-nilai, ekspresi kesenian, karya budaya, adat, kepercayaan, dan keagamaan yang memperkaya hidup masyarakat Indonesia.
Departemen itu juga dapat menemukan alternatif solusi, bahkan mencegah terjadinya konflik-konflik sosial, rasial, kultural, dan ideologi. Yang pasti adalah dengan departemen itu bangsa Indonesia bisa sungguh-sungguh dalam menjalani hidup sebagai warga dunia yang modern, dan hidup lebih sehat, mampu menanggulangi bencana, memiliki kemampuan berkomunikasi dan pemahaman yang lebih baik pada perkembangan dunia.
Nah, rasanya memang sepantasnya kebudayaan mendapatkan rumahnya sendiri di negeri ini. []
Kompas
Seusai proses yang gegap gempita dan bergemuruh pada pengujung Mei 1998, Indonesia menapaki dengan tertatih jalan reformasi yang dipilihnya. Banyak hal dirombak, termasuk di antaranya adalah struktur birokrasi. Persoalan kebudayaan pun tidak luput terkena reformasi.
Kebudayaan yang semula "berumah" di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada akhirnya harus berpindah rumah, yaitu ke Departemen Pariwisata, Seni, dan Budaya. Kebudayaan tanpa disadari dengan sendirinya kemudian mengalami penyempitan makna menjadi kesenian, atau bahkan lebih parah lagi menjadi sekadar seni pertunjukan yang begitu menarik bagi wisatawan asing yang ingin mengenal "budaya Indonesia".
Salah seorang pembicara dalam diskusi Kompas bersama Lingkar Budaya Indonesia yang bertajuk "Meletakkan Posisi Kebudayaan dalam Proses Menjadi Indonesia" pada awal Juni lalu menyebutkan, salah satu definisi kebudayaan adalah suatu sikap dan orientasi nilai yang memengaruhi pikiran. Berpedoman pada satu definisi saja, kita akan segera paham, kebudayaan membutuhkan rumah yang lebih luas karena kiprahnya yang juga luas dan mendalam.
Pada era kepemimpinan presiden pertama Bung Karno, seiring dengan keinginan memperkenalkan identitas bangsa di mata dunia internasional, Bung Karno dengan Demokrasi Terpimpin-nya telah mencanangkan perlawanan terhadap neokolonialisme, yang kemudian menukik pada perlawanan terhadap budaya asing dengan antara lain melarang musik "ngak ngik ngok" dan baju "you can see" alias baju tanpa lengan. Secara kultur, seperti diuraikan seorang pembicara, Indonesia menuju ke ketertutupan.
Persoalan kebudayaan pada awal berdirinya negara ini sebenarnya mendapat perhatian cukup besar karena para tokoh politik juga sadar budaya. Menurut istilah seorang pembicara, para pemimpin bangsa ini pada era ’30-an, seperti sosok Soekarno dan Hatta, "they are cultured and sophisticated". Mereka membaca karya-karya sastra dari bangsanya sendiri. Seiring dengan sikap yang berbudaya tersebut, persoalan kebudayaan kemudian diletakkan sejajar dengan pendidikan, yaitu dengan memasukkan urusan kebudayaan di Kementrian Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan.
Pada awal berdirinya negeri ini, persoalan kebudayaan ditempatkan pada posisi sentral. Soekarno sebagai salah satu bapak bangsa ketika itu terus dengan gencar mencanangkan nation and character building, pembangunan bangsa dan karakter bangsa. Bung Karno mencita-citakan bangsa Indonesia yang berkarakter kuat agar dihormati dan disegani di dunia internasional. Ketika itu, dengan Ganefo (Games of the New Emerging Forces), Bung Karno menciptakan blok baru negara-negara yang berpotensi dan memiliki semangat tinggi untuk maju.
Pada tahun 1960-an di Indonesia terjadi semacam revolusi kebudayaan karena pemerintah berorientasi pada budaya "antinekolim" (neokolonialisme) dengan negara Amerika Serikat dan negara-negara maju di Eropa sebagai presentasinya. Musik Barat ditentang dan disebut sebagai musik "ngak ngik ngok" dan cara berpakaian "you can see" alias tanpa lengan pun ditentang.
Perjalanan bangsa ini terus bergulir. Ketika Orde Baru mengambil alih, Indonesia pun membuka diri terhadap budaya dan investasi luar. Kebudayaan diurus di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan pernah juga di Departemen Pariwisata, Seni, dan Budaya. Hingga sekarang persoalan kebudayaan tetap dijadikan satu dengan kepariwisataan. Dengan rumah kebudayaan berupa pariwisata ini muncul kekhawatiran bahwa kebudayaan kemudian mengalami penyempitan ruang hingga hanya sampai pada seni pertunjukan.
Padahal, di beberapa negara, di antaranya adalah negara-negara maju, mereka memiliki departemen khusus kebudayaan. Beberapa negara dapat disebut misalnya Yunani, Denmark, Oman, Finlandia, dan Skotlandia. Di Finlandia, misalnya, tugas menteri kebudayaan adalah menjamin keberagaman budaya dan mengembangkan toleransi.
Kompleksitas kehidupan
Pembentukan departemen khusus mengurus kebudayaan selama ini tetap mendapatkan pandangan pesimistis dari sejumlah pihak. Departemen baru berarti tempat korupsi baru tumbuh subur. Akan tetapi, beberapa kerugian jelas tampak jika tidak ada departemen kebudayaan.
Indonesia saat ini amat membutuhkan menteri kebudayaan, terutama karena kompleksitas kehidupan sosio-kultural yang semakin berat. Ada banyak faktor yang menentukan perhatian khusus. Kebudayaan merupakan prioritas tersendiri.
Pada saat kebudayaan menghadapi masa-masa kritis, telantar, terancam globalisasi, terpuruk oleh berbagai kehancuran pranata sosial, kritis identitas, dan sebagainya, budaya nasional perlu mendapat perhatian lebih serius. Nilai-nilai, pranata kehidupan, karya cipta bangsa, dan kebanggaan nasional memerlukan pengelolaan dan bukannya bisa diabaikan dengan berbagai alasan.
Selain takut akan munculnya lubang korupsi baru, ada sejumlah alasan yang memberatkan dibentuknya departemen kebudayaan. Pertama belum ada acuan yang dapat diterima bersama: apakah kebudayaan Indonesia itu.
Akan tetapi, dengan tidak adanya "departemen kebudayaan", dapat kita catat sedikitnya empat kerugian, yaitu, pertama, semakin tidak jelasnya pemahaman kebudayaan nasional. Semakin sulit menjawab apa definisi kebudayaan Indonesia. Kedua, tanpa adanya otoritas dalam lapangan kebudayaan, peranan agama menjadi sangat penting, bahkan seolah-olah telah menjadi segala-galanya. Otoritas agama menjadi sangat berkuasa dan menentukan cara berpakaian, bentuk musik, dan cara berpikir.
Kerugian ketiga adalah makin cepat runtuh dan punahnya entitas budaya. Banyak kesenian lokal hilang, terlupakan, karena tidak ada badan yang memerhatikan dan melindungi secara bersungguh-sungguh. Keempat, terjadinya permiskinan pola dan gaya hidup, penyederhanaan pandangan, dan semakin hilangnya keragaman dan pengetahuan tradisional.
Di sisi lain ada sejumlah keuntungan dengan memiliki departemen khusus kebudayaan, yaitu terkelolanya sumber daya dan terlindunginya bakat-bakat unggul. Misalnya petani, pemahat, dan penyanyi di desa-desa tidak perlu digiring menjadi kuli bangunan atau sopir truk, tanpa dapat meningkatkan kinerja dan prestasi lain sama sekali.
Yang kedua, departemen kebudayaan diharapkan dapat melakukan sosialisasi nilai-nilai positif secara lebih efektif. Misalnya dalam menurunkan peringkat Indonesia sebagai negara paling korup. Juga secara proaktif dapat ditanamkan sikap-sikap proaktif, kreatif, inovatif, transparan, jujur, dan fair.
Keuntungan ketiga, departemen kebudayaan dapat mengelola, menampung, mengembangkan, dan memanfaatkan nilai-nilai, ekspresi kesenian, karya budaya, adat, kepercayaan, dan keagamaan yang memperkaya hidup masyarakat Indonesia.
Departemen itu juga dapat menemukan alternatif solusi, bahkan mencegah terjadinya konflik-konflik sosial, rasial, kultural, dan ideologi. Yang pasti adalah dengan departemen itu bangsa Indonesia bisa sungguh-sungguh dalam menjalani hidup sebagai warga dunia yang modern, dan hidup lebih sehat, mampu menanggulangi bencana, memiliki kemampuan berkomunikasi dan pemahaman yang lebih baik pada perkembangan dunia.
Nah, rasanya memang sepantasnya kebudayaan mendapatkan rumahnya sendiri di negeri ini. []
Kompas