Paradoks Keberaksaraan

Selama ini keberaksaraan (literacy) kerap didaulat menjadi kunci yang mampu membuka pintu bagi datangnya modernisasi, partisipasi, empati, demokratisasi, desentralisasi ilmu pengetahuan, perbaikan taraf hidup terutama ekonomi, serta kemajuan suatu bangsa. Laporan UNESCO tahun 2005 berjudul Literacy for life menyebutkan ada hubungan erat antara illiteracy (ketidakberaksaraan) dan kemiskinan. Di banyak negara berangka kemiskinan tinggi seperti Bangladesh, Ethiopia, Ghana, India, Nepal, dan Mozambique, tingkat illiteracy-nya juga tinggi.


Sayang, UNESCO tidak memasukkan Indonesia menjadi salah satu negara yang diteliti. Kalau iya, tentu simpulannya akan lain. Karena berdasarkan data SUSENAS 2004, meskipun tingkat keberaksaraan penduduk usia produktif sangat tinggi, mencapai 98,7 persen, ternyata angka kemiskinannya juga sama tinggi (23,4 persen).

Keberaksaraan baik sebagai tema diskursus maupun sebagai sebuah gerakan, saat ini tengah menjadi sesuatu yang seksis. Diseminarkan di mana-mana. Jadi bahan obrolan kaum cerdik pandai. Menjadi perhatian, tidak saja pemegang kuasa politik (partai) tapi juga ekonomi (perusahaan). Hingga ibu-ibu pejabat pun merasa harus ikut ambil bagian untuk merayakan gairah keberaksaraan itu.

Audit Kemasyarakatan

Namun dari riuhnya perayaan itu, ada satu persoalan pokok yang rupa-rupanya tercecer. Entah karena lupa atau memang dengan sengaja dilupakan. Yaitu menyangkut ukuran-ukuran yang dipakai untuk menyimpulkan, apakah seseorang atau suatu kelompok masyarakat sudah tergolong literit atau belum. Apakah berdasarkan tingkat melek huruf, besarnya belanja buku masyarakat (daya beli buku), jumlah judul buku baru yang diterbitkan, jumlah penerbit buku, akses masyarakat terhadap buku dan koran, disandarkan pada minat baca masyarakat terhadap buku. Atau ukuran lainnya?

Memetakan saja tidak, alih-alih mengukur parameter-parameter di atas yang oleh Daniel Lerner (1978) disebut sebagai audit kemasyarakatan (societal audits). Padahal melalui audit kemasyarakatan itu kita akan jadi tahu seberapa eratkah hubungan antara tingkat kemajuan suatu bangsa dengan taraf keberaksaraan. Sehingga kita tidak terjebak pada pemitosan keberaksaraan.

Absennya audit kemasyarakatan akan berakibat kepada penetapan tujuan, sasaran, rencana kerja, dan program aksi keberaksaraan yang tidak tepat. Sehingga berbagai macam bentuk kampanye keberaksaraan lebih kental bernuansa reaktif, jangka pendek, dan cenderung menyederhanakan persoalan. Salah satu bentuk penyederhaan itu adalah mengartikan literasi terbatas pada (aktivitas membaca) buku. Lengkap dengan sesanti klise: buku mencerdaskan bangsa.

Snobisme Intelektual

Ketiadaan audit kemasyarakatan di satu segi dan mengagungkan buku di segi lain melahirkan apa yang dinamakan dengan paradoks keberaksaraan. Dalam paradoks keberaksaraan semua berlaku seolah-olah. Seolah-olah berupaya meningkatkan minat baca masyarakat, sejatinya mencari modus baru praktik hina (korupsi) di industri mulia (penerbit buku). Angka statistik menyatakan tingkat melek huruf tinggi, ternyata hanya terbatas pada melek huruf secara teknis. Sedangkan secara fungsional dan budaya masih buta huruf. Terbukti antara tingkat melek huruf dan kemiskinan sama-sama tinggi. Seorang doyan membeli buku dalam jumlah besar seolah-olah ia pendaras teks yang tekun, nyatanya itu hanya bagian dari wujud snobisme intelektual.

Keberaksaraan (buku) menjadi objek permainan tanda. Penanda tidak harus representasi dari sebuah petanda. Buku sebagai penanda dianggap memunyai citraan atau fetisisme yang menguntungkan. Buku dianggap memiliki modal simbolik (cerdas, tercerahkan, bijak, berwawasan luas).

Modal simbolik ini dalam masyarakat konsumer dipercaya mampu memberikan status-status tertentu pada individu-individu yang mengonsumsinya. Medium pembentukan personalitas, gaya, citra, gaya hidup, dan status sosial (Yasraf, 2004). Dalam masyarakat konsumer, membeli buku tidak lagi disandarkan pada kebutuhan akan inspirasi, perenungan, informasi, pencapaian tingkat kesadaran yang lebih tinggi, tapi disandarkan pada hasrat (desire) yang hanya berhenti pada perburuan penanda (ikon). Pusat perhatian konsumsi tidak pada logika nilai guna tapi pada logika nilai tanda.

Lagi, berbeda dengan kelisanan yang menyaratkan adanya kebersamaan, dialog, pertemuan fisik yang hangat, akrab, dan membahagiakan --keberaksaraan mengandaikan, meminjam istilah yang diberikan Ignas Kleden (1999) adanya invidualisme kebudayaan. Semacam kesanggupan untuk masuk ke dalam dunia diri (kontemplasi), menyendiri setelah riuh rendah dalam kesibukan ekspansi peranan di dunia luar (transformasi). Sebuah metodologi proses yang kalau tidak hati-hati bisa tergelincir pada individualisme dalam bentuknya yang paling konservatif: egois, tertutup, terasing, tercerabut dari akar lingkungannya.

Jika demikian, kekuatan literasi bukannya menumbuhkan partisipasi, dan empati. Yang terjadi justru sebaliknya, menguatkan egoisme dan ketidakpedulian. (*)

Agus M. Irkham, instruktur Literasi Forum Indonesia Membaca

Jawa Pos [Minggu, 09 November 2008]

0 tanggapan: