Sudah ada banyak situs jejaring soSial dalam format Grup di Facebook atau mungkin juga di situs lain yang mengundang orang-orang, para pihak, untuk peduli pada para pekerja migran. Termasuk, tentu saja, para pekerja migran itu sendiri. Dan, ketika dalam pekan-pekan terakhir Februari 2011 ini terbetik gagasan dan kemudian dengan segera dilakukan, membuat grup-grup untuk mengumpulkan balung pisah, atau menjalin silaturahmi berdasarkan pekerjaan (sebagai pekerja migran) dan daerah asal (berdasarkan kabupaten/kota) ternyata ada yang khawatir bahwa grup-grup seperti itu berpotensi memecah belah. Oh, tidak!
Saya, memang, yang selama ini ikut menggawangi majalah ini, sering berhadapan dengan pertanyaan begini: ’’Saya mau pulang kampung terus nih, apa ya bisnis yang paling bagus sekarang?’’ Pertanyaan seperti itu, berkaitan dengan si penanya yang mau pulang kampung, pastilah mengundang pertanyaan balik: ’’Lha, Anda pulang kampungnya ke mana?’’
Kalau sudah menyangkut peluang usaha/bisnis, apa pun bidangnya, pastilah berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah lainnya. Bahkan, ambil contoh saja misalnya: Trenggalek, antara kecamatan yang satu akan berbeda dengan kecamatan lainnya. Karena itulah, sesungguhnya berbagai lembaga yang peduli pada pekerja migran, baik lembaga pemerintah meupun nonpemerintah, sesungguhnya penting untuk memiliki data berdasarkan dsaerah asal ini.
Ketika data itu ada, misalnya lagi, seandainya Bupati Tuban hendak bertemu/mengunjungi warganya yang ada di Hong Kong, atau Taiwan, untuk membicarakan program apa yang seharusnya diprioritaskan pemerintah untuk membantu para pekerja migrannya menginvestasikan dana yang mereka dapat dari membanting tulang di negri lain itu, secara teknis akan sangat gampang.
Dan begitulah seharusnya, memang, kalau sudah menyangkut birokrasi pemerintahan. Segala bantuan, kerjasama, atau apa antara lembaga pemerintah di Indonesia, jika dari kabupaten tertentu atau provinsi tertentu, seharusnya secara langsung menyentuh warga kabupaten/provinsi yang bersangkutan. Kecuali program dari pemerintah pusat, yang, tak perlu memandang asal daerahnya selama masih warga Negara Indonesia. Adalah tidak mathuk, misalnya, Bupati Wonosobo, datang ke Hong Kong mengajak berdiskusi pekerja migran di sini yang sebagian besar berasal dari luar Wonosobo, sedangkan lebih banyak lagi warga Wonosobo jusrtru tidak kebagian kursi. Dalam hal-seperti itulah dibentuknya grup/komunitas per daerah kabupaten/kota menjadi penting.
Terlebih lagi, misalnya, ketika ikatan persaudaraan sudah semakin erat sejak di perantauan, bukan tidak mungkin ketika sama-sama memutuskan pulang kampung kemudian sepakat membangun usaha bersama. Alangkah indahnya, bukan?
Jadi, mengapa harus dikhawatirkan adanya potensi memecah-belah itu? Barangkali di sinilah pentingnya mengingat kata-kata ini: ’’Yang penting adalah niatnya.’’ Selama diniatkan untuk kebaikan, percayalah, potensi-potensi negatif akan cepat terdeteksi, dan dengan begitu bisa diantisipasi bersama-sama. Semoga!
BONARI NABONENAR
Saya, memang, yang selama ini ikut menggawangi majalah ini, sering berhadapan dengan pertanyaan begini: ’’Saya mau pulang kampung terus nih, apa ya bisnis yang paling bagus sekarang?’’ Pertanyaan seperti itu, berkaitan dengan si penanya yang mau pulang kampung, pastilah mengundang pertanyaan balik: ’’Lha, Anda pulang kampungnya ke mana?’’
Kalau sudah menyangkut peluang usaha/bisnis, apa pun bidangnya, pastilah berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah lainnya. Bahkan, ambil contoh saja misalnya: Trenggalek, antara kecamatan yang satu akan berbeda dengan kecamatan lainnya. Karena itulah, sesungguhnya berbagai lembaga yang peduli pada pekerja migran, baik lembaga pemerintah meupun nonpemerintah, sesungguhnya penting untuk memiliki data berdasarkan dsaerah asal ini.
Ketika data itu ada, misalnya lagi, seandainya Bupati Tuban hendak bertemu/mengunjungi warganya yang ada di Hong Kong, atau Taiwan, untuk membicarakan program apa yang seharusnya diprioritaskan pemerintah untuk membantu para pekerja migrannya menginvestasikan dana yang mereka dapat dari membanting tulang di negri lain itu, secara teknis akan sangat gampang.
Dan begitulah seharusnya, memang, kalau sudah menyangkut birokrasi pemerintahan. Segala bantuan, kerjasama, atau apa antara lembaga pemerintah di Indonesia, jika dari kabupaten tertentu atau provinsi tertentu, seharusnya secara langsung menyentuh warga kabupaten/provinsi yang bersangkutan. Kecuali program dari pemerintah pusat, yang, tak perlu memandang asal daerahnya selama masih warga Negara Indonesia. Adalah tidak mathuk, misalnya, Bupati Wonosobo, datang ke Hong Kong mengajak berdiskusi pekerja migran di sini yang sebagian besar berasal dari luar Wonosobo, sedangkan lebih banyak lagi warga Wonosobo jusrtru tidak kebagian kursi. Dalam hal-seperti itulah dibentuknya grup/komunitas per daerah kabupaten/kota menjadi penting.
Terlebih lagi, misalnya, ketika ikatan persaudaraan sudah semakin erat sejak di perantauan, bukan tidak mungkin ketika sama-sama memutuskan pulang kampung kemudian sepakat membangun usaha bersama. Alangkah indahnya, bukan?
Jadi, mengapa harus dikhawatirkan adanya potensi memecah-belah itu? Barangkali di sinilah pentingnya mengingat kata-kata ini: ’’Yang penting adalah niatnya.’’ Selama diniatkan untuk kebaikan, percayalah, potensi-potensi negatif akan cepat terdeteksi, dan dengan begitu bisa diantisipasi bersama-sama. Semoga!
BONARI NABONENAR