Melalui catatan di facebook-nya, Mega Vristian kembali mengabarkan bahwa sekian banyak buku telah lahir dari para pekerja rumah tangga asal Indonesia di HK. Itu menunjukkan bahwa dunia penulisan di kalangan BMI-HK makin semarak. Itu adalah kabar yang luar biasa baiknya.
Sayangnya, di sekitar kabar baik itu ada beberapa kabar yang kurang baik. Pertama, keasyikan menulis catatan harian, sebagai bagian dari mengasah ketrampilan menulis sambil mendokumentasikan pikiran/perasaan, tampaknya tergerus oleh keasyikan ber-facebook-ria. Ini memang baru dugaan. Tetapi, adalah fakta bahwa beberapa situs pribadi BMI-HK tidak lagi sering di-update, bahkan ada pula yag sudah mangkrak total.
Kabar kurang baik lainnya adalah, semangat menulis yang selalu makantar-kantar ketika berada di HK, ketika saban Minggu bisa bertemu dengan teman-teman seminat-seperhatian, bagaikan mendadak surut dan terkesan mandheg jegreg ketika pulang ke tanah air. Mereka yang ’berkibar’ ketika masih di HK tiba-tiba terlipat (baca: mandeg) ketika sudah berada di kampung halaman. Jika di sini disebut dua nama saja: Eni Kusuma dan Maria Bo Niok, tampaknya mereka memang berbeda dengan BMI penulis lainnya: mereka justru mulai berkibar begitu tiba di tanahair. Lalu ke manakah kibarnya Etik Juwita, Wina Karnie, Mei Suwartini, dan lain-lainnya yang pernah meratui dunia penulisan di kalangan BMI-HK?
Kabar kurang baik lainnya lagi adalah sambutan komunitas BMI sendiri terhadap karya tulisan/buku teman BMI lain juga kurang signifikan. Kalaulah ada sambutan hangat, pertama-tama adalah dari sesama penulis atau sesama BMI yang aktif di komunitas-komunitas literer. Lihatlah contoh soal berikut ini. Buku kumpulan cerpen Mutiara untuk Ayah karya Niswana Ilma Agustin bersama Nadia Cahyani yang dicetak 2.000 eksemplar sekitar 8 bulan lalu, hingga saat ini baru terjual separohnya (sekitar 1.000 eksemplar). Padahal, harga buku itu tidak tergolong mahal, hanya HKD 35/buku. Padahal, jumlah BMI di seantero HK saat ini sudah hampir mendekati angka 150.000 orang (?). Apakah gerangan sebabnya 2.000 buku itu tidak habis terjual pada bulan pertama? Bukankah seratus ribu lebih BMI-HK itu semua bisa membaca, dan pasti tidak berat (walau fakta banyak yang keberatan) untuk membelanjakan HKD 35 –itu tak sampai seharga sebungkus nasi yang beredar di Victoria Park, bukan?
Sekali lagi, ini bukan semata-mata persoalan kita penggila sastra/tulisan atau bukan, kawan! Ini lebih ke persoalan solidaritas. Dengan membeli buku karya sesama BMI, apakah Anda baca dengan sukacita atau Anda simpan saja, atau Anda hibahkan ke siapa, sesungguhnya Anda telah ikut menggalang kekuatan BMI itu sendiri. Meludeskan 5.000 buku terbitan/karya sesama BMI dalam bulan pertama setelah dicetak seharusnya bukanlah perkara susah di Negeri Beton ini. Dan jika itu terjadi, bergetarlah dunia Sastra Indonesia. Percayalah. Bukankah HK itu tak seberapa luasnya? Bukankah banyak komunitas/organisasi bisa menjadi agen distribusinya? Bukankah jejaring komunikasi real maupun virtual sangat potensial untuk dimanfaatkan bagi promosi, sosialisasi, dan transaksi?
Ini memang masih serba asumsi. Dan kalau kita boleh berasumsi mengenai faktor kendala, selain faktor peluang tadi, maka adalah kemauan dan kesadaran kita itu yang masih perlu dipupuk terus. Betul?
Kita sering mengeluh, pihak lain kurang perhatian terhadap BMI/mantan BMI. Perhatian dalam hal apa? Ya dalam semua hal. Nah, untuk ’’melawan’’ sikap seperti itu, sesungguhnya ada yang bisa dilakukan kawan-kawan, komunitas/organisasi BMI-HK, misalnya membuat acara dengan mendatangkan mantan BMI-HK untuk berbagi pengalaman, menjadi narasumber dalam workshop penulisan, atau membacakan karyanya, misalnya.
Bagaimana kalau nyaris tidak ada yang tertarik untuk menghadiri/menjadi peserta acara tersebut? Begitulah yang namanya perjuangan. Kalau ada kemauan, seharusnya ada jalan. Sekali dicoba, gagal, dicoba lagi. Selama kawan-kawan masih terlalu silau dengan nama-nama besar yang kemedol, selama itu pula pihak lain akan meremehkan. Saya sering mendengar kawan-kawan BMI berseru, ’’Siapa mau peduli nasib kita, jika bukan kita sendiri?’’ Nah, siapa yang mau nanggap mantan BMI baca puisi di Negeri Beton ini, jika kita hanya mau takjub kepada wajah cantik dan wajah ganteng yang sering nongol di televisi?*
BONARI NABONENAR
Sayangnya, di sekitar kabar baik itu ada beberapa kabar yang kurang baik. Pertama, keasyikan menulis catatan harian, sebagai bagian dari mengasah ketrampilan menulis sambil mendokumentasikan pikiran/perasaan, tampaknya tergerus oleh keasyikan ber-facebook-ria. Ini memang baru dugaan. Tetapi, adalah fakta bahwa beberapa situs pribadi BMI-HK tidak lagi sering di-update, bahkan ada pula yag sudah mangkrak total.
Kabar kurang baik lainnya adalah, semangat menulis yang selalu makantar-kantar ketika berada di HK, ketika saban Minggu bisa bertemu dengan teman-teman seminat-seperhatian, bagaikan mendadak surut dan terkesan mandheg jegreg ketika pulang ke tanah air. Mereka yang ’berkibar’ ketika masih di HK tiba-tiba terlipat (baca: mandeg) ketika sudah berada di kampung halaman. Jika di sini disebut dua nama saja: Eni Kusuma dan Maria Bo Niok, tampaknya mereka memang berbeda dengan BMI penulis lainnya: mereka justru mulai berkibar begitu tiba di tanahair. Lalu ke manakah kibarnya Etik Juwita, Wina Karnie, Mei Suwartini, dan lain-lainnya yang pernah meratui dunia penulisan di kalangan BMI-HK?
Kabar kurang baik lainnya lagi adalah sambutan komunitas BMI sendiri terhadap karya tulisan/buku teman BMI lain juga kurang signifikan. Kalaulah ada sambutan hangat, pertama-tama adalah dari sesama penulis atau sesama BMI yang aktif di komunitas-komunitas literer. Lihatlah contoh soal berikut ini. Buku kumpulan cerpen Mutiara untuk Ayah karya Niswana Ilma Agustin bersama Nadia Cahyani yang dicetak 2.000 eksemplar sekitar 8 bulan lalu, hingga saat ini baru terjual separohnya (sekitar 1.000 eksemplar). Padahal, harga buku itu tidak tergolong mahal, hanya HKD 35/buku. Padahal, jumlah BMI di seantero HK saat ini sudah hampir mendekati angka 150.000 orang (?). Apakah gerangan sebabnya 2.000 buku itu tidak habis terjual pada bulan pertama? Bukankah seratus ribu lebih BMI-HK itu semua bisa membaca, dan pasti tidak berat (walau fakta banyak yang keberatan) untuk membelanjakan HKD 35 –itu tak sampai seharga sebungkus nasi yang beredar di Victoria Park, bukan?
Sekali lagi, ini bukan semata-mata persoalan kita penggila sastra/tulisan atau bukan, kawan! Ini lebih ke persoalan solidaritas. Dengan membeli buku karya sesama BMI, apakah Anda baca dengan sukacita atau Anda simpan saja, atau Anda hibahkan ke siapa, sesungguhnya Anda telah ikut menggalang kekuatan BMI itu sendiri. Meludeskan 5.000 buku terbitan/karya sesama BMI dalam bulan pertama setelah dicetak seharusnya bukanlah perkara susah di Negeri Beton ini. Dan jika itu terjadi, bergetarlah dunia Sastra Indonesia. Percayalah. Bukankah HK itu tak seberapa luasnya? Bukankah banyak komunitas/organisasi bisa menjadi agen distribusinya? Bukankah jejaring komunikasi real maupun virtual sangat potensial untuk dimanfaatkan bagi promosi, sosialisasi, dan transaksi?
Ini memang masih serba asumsi. Dan kalau kita boleh berasumsi mengenai faktor kendala, selain faktor peluang tadi, maka adalah kemauan dan kesadaran kita itu yang masih perlu dipupuk terus. Betul?
Kita sering mengeluh, pihak lain kurang perhatian terhadap BMI/mantan BMI. Perhatian dalam hal apa? Ya dalam semua hal. Nah, untuk ’’melawan’’ sikap seperti itu, sesungguhnya ada yang bisa dilakukan kawan-kawan, komunitas/organisasi BMI-HK, misalnya membuat acara dengan mendatangkan mantan BMI-HK untuk berbagi pengalaman, menjadi narasumber dalam workshop penulisan, atau membacakan karyanya, misalnya.
Bagaimana kalau nyaris tidak ada yang tertarik untuk menghadiri/menjadi peserta acara tersebut? Begitulah yang namanya perjuangan. Kalau ada kemauan, seharusnya ada jalan. Sekali dicoba, gagal, dicoba lagi. Selama kawan-kawan masih terlalu silau dengan nama-nama besar yang kemedol, selama itu pula pihak lain akan meremehkan. Saya sering mendengar kawan-kawan BMI berseru, ’’Siapa mau peduli nasib kita, jika bukan kita sendiri?’’ Nah, siapa yang mau nanggap mantan BMI baca puisi di Negeri Beton ini, jika kita hanya mau takjub kepada wajah cantik dan wajah ganteng yang sering nongol di televisi?*
BONARI NABONENAR