Jaya Suprana
Anda ingin menjadi presiden Republik Indonesia?
Jika ya, banyak syarat yang harus dipenuhi: takwa kepada Tuhan; WNI sejak kelahiran dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain atas kehendak sendiri; tidak pernah mengkhianati negara, tidak pernah melakukan korupsi dan tindak pidana berat lainnya; mampu secara rohani dan jasmani melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden; bertempat tinggal di wilayah NKRI; telah melaporkan kekayaan kepada instansi berwenang; tidak sedang memiliki tanggungan utang secara perseorangan dan/atau secara badan hukum yang merugikan keuangan negara; tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan; terdaftar sebagai pembayar pajak yang memiliki NPWP dan telah melaksanakan kewajiban membayar pajak selama lima tahun terakhir dibuktikan dengan SPT-PPWP Orang Pribadi; belum pernah menjabat sebagai Presiden selama dua kali masa jabatan; setia kepada Pancasila; UUD 1945, dan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945; usia minimal 35 tahun; pendidikan paling rendah tamat SLTA atau sederajat; bukan bekas anggota PKI!
Aturan main Pemilu 2009 memaksa para capres bukan hanya memenuhi syarat kualitas pada diri sendiri, tetapi juga syarat kuantitas bagi parpol atau gabungan parpol yang mendukung pencalonannya. Maka, seorang capres harus memiliki kemampuan aritmatika atau kemampuan berhitung. Jenis kemampuan berhitung yang terfokus ke wilayah politik, terutama parpol.
Rekayasa
Pada masa kanak-kanak, saya gemar berorganisasi meski terbatas pada organisasi yang bisa saya kendalikan. Selain perpustakaan, band bocah, perkumpulan olahraga sepeda dan tinju, saya juga mendirikan klub bulu tangkis, terangsang keberhasilan Tan Joe Hok menjuarai All England 1959.
Perkumpulan bulu tangkis itu untuk menampung semangat dan bakat bulu tangkis teman- teman sekelas dan sebaya mulai usia 10 sampai maksimal 15 tahun. Secara berkala, diselenggarakan pertandingan untuk memilih juara. Sebagai pendiri sekaligus ketua, jelas saya ingin menjuarai pertandingan yang saya selenggarakan. Untuk menjadi juara tunggal, saya pesimistis akibat sadar atas keterbatasan kemampuan diri. Maka, peluang bagi saya hanya untuk menjadi juara ganda. Untuk itu, saya harus habis-habisan memanfaatkan hak, kekuasaan, dan wewenang untuk memilih dan menetapkan pasangan yang tentu harus terbaik.
Sebagai ketua, saya juga memiliki kekuasaan prerogatif untuk merekayasa konstelasi babak pertandingan sedemikian rupa sehingga kemungkinan pasangan ganda saya berjumpa pasangan kuat lain di babak final agar minimal posisi runner up teraih pasangan ganda saya.
Perhitungan aritmatika politik di atas kertas seperti itu ternyata berhasil menampilkan pasangan ganda saya sebagai runner up.
Kekuasaan parpol
Pemilihan presiden RI tentu lebih penting dan lebih kompleks ketimbang kejuaraan bulu tangkis di klub yang saya dirikan pada masa kanak-kanak itu.. Namun, pengaruh aritmatika politik bagi saya untuk menjadi runner up klub bulu tangkis anak-anak pada masa lalu pada dasarnya serupa tapi tak sama dengan pengaruh aritmatika politik bagi capres guna menjadi presiden RI saat ini.
Meski presiden dipilih langsung oleh rakyat, UU pemilihan presiden masih memaksakan tiap pasangan calon presiden harus didukung, bahkan resmi dicalonkan parpol atau gabungan parpol yang masih dipersulit klausa: yang memenuhi syarat. Klausa ini rawan menjadi batu sandungan bagi capres yang hanya memenuhi syarat administratif- kualitatif tanpa memerhatikan, apalagi memperhitungkan syarat kuantitatif yang harus dipenuhi parpol atau gabungan parpol pendukung pencalonan dirinya.
Seorang capres harus beraritmatika politik dalam memilih parpol atau gabungan parpol yang secara kuantitas memenuhi syarat untuk mendukung pencalonan dirinya. Sedahsyat apa pun kemampuan, kepribadian, dan popularitas seorang capres yang mengabaikan perhitungan aritmatika politik demi meraih dukungan parpol atau gabungan parpol, dia akan sulit menjadi presiden jika tidak masuk babak final pemilihan langsung.
Seperti dulu, saya pasti gagal masuk babak final kompetisi bulu tangkis jika keliru memilih pasangan dan keliru beraritmatika politik dalam merekayasa konstelasi babak pertandingan! Meski sebutannya megah: pemilihan langsung oleh rakyat, sebenarnya secara konstitusional parpol masih memiliki kekuasaan dan wewenang absolut untuk memilih dan menentukan siapa layak atau tidak layak dipilih langsung oleh rakyat. Selama UU pemilihan presiden masih memaksakan capres didukung parpol atau gabungan parpol yang memenuhi syarat kuantitatif, rakyat harus rela untuk hanya menerima sisa-sisa capres yang telah dikunyah dan dicerna para parpol atau gabungan parpol.
Jaya Suprana Budayawan
dari kompas
Anda ingin menjadi presiden Republik Indonesia?
Jika ya, banyak syarat yang harus dipenuhi: takwa kepada Tuhan; WNI sejak kelahiran dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain atas kehendak sendiri; tidak pernah mengkhianati negara, tidak pernah melakukan korupsi dan tindak pidana berat lainnya; mampu secara rohani dan jasmani melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden; bertempat tinggal di wilayah NKRI; telah melaporkan kekayaan kepada instansi berwenang; tidak sedang memiliki tanggungan utang secara perseorangan dan/atau secara badan hukum yang merugikan keuangan negara; tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan; terdaftar sebagai pembayar pajak yang memiliki NPWP dan telah melaksanakan kewajiban membayar pajak selama lima tahun terakhir dibuktikan dengan SPT-PPWP Orang Pribadi; belum pernah menjabat sebagai Presiden selama dua kali masa jabatan; setia kepada Pancasila; UUD 1945, dan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945; usia minimal 35 tahun; pendidikan paling rendah tamat SLTA atau sederajat; bukan bekas anggota PKI!
Aturan main Pemilu 2009 memaksa para capres bukan hanya memenuhi syarat kualitas pada diri sendiri, tetapi juga syarat kuantitas bagi parpol atau gabungan parpol yang mendukung pencalonannya. Maka, seorang capres harus memiliki kemampuan aritmatika atau kemampuan berhitung. Jenis kemampuan berhitung yang terfokus ke wilayah politik, terutama parpol.
Rekayasa
Pada masa kanak-kanak, saya gemar berorganisasi meski terbatas pada organisasi yang bisa saya kendalikan. Selain perpustakaan, band bocah, perkumpulan olahraga sepeda dan tinju, saya juga mendirikan klub bulu tangkis, terangsang keberhasilan Tan Joe Hok menjuarai All England 1959.
Perkumpulan bulu tangkis itu untuk menampung semangat dan bakat bulu tangkis teman- teman sekelas dan sebaya mulai usia 10 sampai maksimal 15 tahun. Secara berkala, diselenggarakan pertandingan untuk memilih juara. Sebagai pendiri sekaligus ketua, jelas saya ingin menjuarai pertandingan yang saya selenggarakan. Untuk menjadi juara tunggal, saya pesimistis akibat sadar atas keterbatasan kemampuan diri. Maka, peluang bagi saya hanya untuk menjadi juara ganda. Untuk itu, saya harus habis-habisan memanfaatkan hak, kekuasaan, dan wewenang untuk memilih dan menetapkan pasangan yang tentu harus terbaik.
Sebagai ketua, saya juga memiliki kekuasaan prerogatif untuk merekayasa konstelasi babak pertandingan sedemikian rupa sehingga kemungkinan pasangan ganda saya berjumpa pasangan kuat lain di babak final agar minimal posisi runner up teraih pasangan ganda saya.
Perhitungan aritmatika politik di atas kertas seperti itu ternyata berhasil menampilkan pasangan ganda saya sebagai runner up.
Kekuasaan parpol
Pemilihan presiden RI tentu lebih penting dan lebih kompleks ketimbang kejuaraan bulu tangkis di klub yang saya dirikan pada masa kanak-kanak itu.. Namun, pengaruh aritmatika politik bagi saya untuk menjadi runner up klub bulu tangkis anak-anak pada masa lalu pada dasarnya serupa tapi tak sama dengan pengaruh aritmatika politik bagi capres guna menjadi presiden RI saat ini.
Meski presiden dipilih langsung oleh rakyat, UU pemilihan presiden masih memaksakan tiap pasangan calon presiden harus didukung, bahkan resmi dicalonkan parpol atau gabungan parpol yang masih dipersulit klausa: yang memenuhi syarat. Klausa ini rawan menjadi batu sandungan bagi capres yang hanya memenuhi syarat administratif- kualitatif tanpa memerhatikan, apalagi memperhitungkan syarat kuantitatif yang harus dipenuhi parpol atau gabungan parpol pendukung pencalonan dirinya.
Seorang capres harus beraritmatika politik dalam memilih parpol atau gabungan parpol yang secara kuantitas memenuhi syarat untuk mendukung pencalonan dirinya. Sedahsyat apa pun kemampuan, kepribadian, dan popularitas seorang capres yang mengabaikan perhitungan aritmatika politik demi meraih dukungan parpol atau gabungan parpol, dia akan sulit menjadi presiden jika tidak masuk babak final pemilihan langsung.
Seperti dulu, saya pasti gagal masuk babak final kompetisi bulu tangkis jika keliru memilih pasangan dan keliru beraritmatika politik dalam merekayasa konstelasi babak pertandingan! Meski sebutannya megah: pemilihan langsung oleh rakyat, sebenarnya secara konstitusional parpol masih memiliki kekuasaan dan wewenang absolut untuk memilih dan menentukan siapa layak atau tidak layak dipilih langsung oleh rakyat. Selama UU pemilihan presiden masih memaksakan capres didukung parpol atau gabungan parpol yang memenuhi syarat kuantitatif, rakyat harus rela untuk hanya menerima sisa-sisa capres yang telah dikunyah dan dicerna para parpol atau gabungan parpol.
Jaya Suprana Budayawan
dari kompas