Sastra Buruh Migran lebih Cerdas*)

Menjawab Kritik Cerpen Mutakhir

[Dibandingkan dengan karya sastra transnasional yang lain seperti Ayat-ayat Cinta (AAC) karya Habiburrahman El-Shirazy, misalnya, karya para buruh migran itu lebih jujur dan realistis. AAC menampilkan sosok protagonis mahasiswa berkebangsaan Indonesia yang dengan status sosialnya sebagai intelektual terpelajar, tidak harus banyak menghadapi konflik dan negosisasi identitas diri yang panjang. Tokoh protagonis dalam AAC lebih banyak berkhotbah sementara tokoh yang lain terlalu cepat menerimanya begitu saja. Novel AAC cenderung memakai perspektif yang hanya satu sisi dari tokoh protagonisnya semata, sedangkan Jilbab in Hongkong menampilkan pula suara dan alasan sang majikan dalam penolakannya terhadap jilbab berdasarkan pandangan dunia yang ia miliki.]



Judul Buku: Jurnal Cerpen Indonesia, Edisi 09/2008

Penulis: Frans Nadjira, Martin Aleida, dkk
Penerbit: Akar Indonesi, Jogjakarta
Cetakan: I, Juli 2008
Tebal: xvii+182 Halaman

Sejak terjadinya polemik Takdir-Pane tahun 30-an, fenomena perdebatan sastra kontekstual di tahun 80-an, dan sampai beberapa kongres cerpen pada tahun-tahun belakangan ini, ada kecenderungan dominan dalam sejarah kritik sastra sosialistik Indonesia. Yakni menjadikan ''yang publik'', ''yang massa'', atau ''yang lain'' (the other) sebagai basis tolak ukur berhasil-tidaknya suatu karya sastra. Realitas sosial dipandang menjadi tanggung jawab --sekaligus hantu-- yang membayangi kerja kesusastraan, dalam hal ini cerpen. Dan, sampai saat ini, kritik cerpen masih berada dalam ketegangan permasalahan bagaimana ''mendamaikan'' pengarang dengan teks cerpen sebagai ciptaanya serta realitas sosial yang membayanginya.

Sedemikian mendesaknya alasan krisis sosial yang harus segera menjadi tanggung jawab pengarang, sehingga banyak terjadi pemukul-rataan kritik terhadap banyak cerpen yang dituduh sebagai ''cerpen eksklusif'', ''cerpen individualistik'', bahkan terhadap cerpen-cerpen yang melakukan suatu permainan bahasa yang amat dalam dan ekperimental. Hal ini disebabkan terutama karena kritik sastra belakangan lebih terpaku kepada wacana, bukannya berbasis teks.

Hal ini justru malah berdampak serius pada tradisi penciptaan sastra, yakni marginalisasi karya-karya tertentu yang akan membawa sastra pada kemandekan. Di sisi lain, kesulitan ini makin ditambah dengan adanya standarisasi yang cenderung menjadi mitologisasi atas karya dan sosok pengarang besar dan ternama oleh pusat-pusat kekuasaan sastra.

Atas hal ini, maka Jurnal Cerpen Indonesia edisi terbaru menampilkan teks-teks yang cukup relevan untuk menjawab permasalahan di atas. Cerpen Pohon Kunang-kunang karya Frans Nadjira, meski tidak riuh dengan suara sosial dan slogan perlawanan yang penuh api, ia terlihat menyingkapkan empati antartokohnya yang hanya tiga orang. Jadi, meskipun cerpen ini memancarkan aura soliter yang kuat, ia bukan teks yang psikopat. Ada suara yang lain di dalamnya. Cerpen ini termasuk cerpen sosial yang bersudut pandang eksistensial.

Sudut pandang seperti ini terlihat pula pada cerpen Kupu Malam, Anjing Kurus, dan Udin karya Yanusa Nugroho. Bedanya, Yanusa menggunakan jurus surealis dalam melukiskan berbagai konflik dan kemuraman wajah masyarakat kita. Dengan jurus itu, ia leluasa untuk memainkan permainan suspensi dan ketegangan alur yang akan diakhiri dengan penyelesaian yang penuh kejutan.

Sedangkan Martin Aledia dengan memoarnya yang berjudul Ratusan Mata Dimana-mana menyuguhkan variasi dan teknik lain dari cerpen. Memoarnya bersahaja dan menggugah serta jujur dalam menampilkan setiap sisi tokoh-tokohnya, dan inilah yang membuat pembaca tidak hanya berempati pada sang tokoh protagonis ''aku'', tetapi juga pada tokoh-tokoh antagonisnya.

Yang menarik adalah cerpen karya Fahrudin Nasrulloh yang berjudul Tiga Kisah dari Giri. Lewat cerpen itu, sang pengarang menampilkan dirinya sebagai oposisi kultural dengan cara menghadirkan tokoh-tokoh minor dalam sejarah perkembangan Islam di Jawa. Ia menghadirkan tokoh Sunan Prapen yang nyaris tidak dikenal dalam jagad ''per-sunan-an'' Jawa. Dalam karyanya yang lain, ia juga pernah menghadirkan Syekh Branjang Abang dan Syekh Bejirum di tengah tokoh tunggal kontroversial Syekh Siti Jenar. Dengan karakter penulisan semacam ini, Fahruddin telah memperlihatkan karakter penulisannya sekaligus juga memperlihatkan daya kapasitas sastranya sebagai wacana alternatif yang akan melengkapi secara dialektis keberadaan wacana mainstream.

Bukan hanya karya cerpen, jurnal ini juga menampilkan esai kritik cerpen yang kompeten. Satu hal yang menjadi kekurangan dari kritik cerpen di negeri kita adalah pembahasan cerpen yang lahir dalam konteks kultur yang baru dan unik. Menjawab tantangan ini, seorang peneliti berkebangsaan Jepang, Shiho Sawai, menuliskan esainya yang berjudul Potensi Teleopoesis dan Marginalitas Ganda Transnasional dalam Karya Buruh Migran Perempuan di Hong Kong. Ia memaparkan analisis yang mendetail tentang adanya penggambaran konflik nilai yang kuat dalam kehidupan para buruh perempuan Indonesia di Hong Kong. Amat mencengangkan bahwa karya para buruh yang rata-rata memiliki latar belakang pendidikan formal yang tak terlalu tinggi itu memiliki daya kritis yang bagus.

Karya-karya para buruh imigran perempuan itu adalah Jilbab in Hongkong karya Wina Karnie, yang memotret masalah benturan religiusitas antara majikan dan kaum buruh. Sang tokoh wanita muslim dalam cerpen itu mendapati hambatan saat ia melakukan tradisinya memakai jilbab, lantaran sang majikan merasa risih melihatnya. Setelah melewati sekian banyak negosiasi, akhirnya sang majikan merelakan pembantunya untuk memakai jilbab.

Dibandingkan dengan karya sastra transnasional yang lain seperti Ayat-ayat Cinta (AAC) karya Habiburrahman El-Shirazy, misalnya, karya para buruh migran itu lebih jujur dan realistis. AAC menampilkan sosok protagonis mahasiswa berkebangsaan Indonesia yang dengan status sosialnya sebagai intelektual terpelajar, tidak harus banyak menghadapi konflik dan negosisasi identitas diri yang panjang. Tokoh protagonis dalam AAC lebih banyak berkhotbah sementara tokoh yang lain terlalu cepat menerimanya begitu saja. Novel AAC cenderung memakai perspektif yang hanya satu sisi dari tokoh protagonisnya semata, sedangkan Jilbab in Hongkong menampilkan pula suara dan alasan sang majikan dalam penolakannya terhadap jilbab berdasarkan pandangan dunia yang ia miliki. (*)

Ridwan Munawwar

Bergiat di Komunitas Rumah Poetika Jogjakarta

Jawa Pos, [Minggu, 07 September 2008]

*)Judul "Sastra Buruh MIghran lebih Cerdas" dari fbbmi

TKI Tuntut 40 Agen Nakal Masuk Daftar Hitam

JAKARTA, SENIN - Praktik pelanggaran hak-hak tenaga kerja Indonesia di Hongkong masih terjadi. Pemerintah diminta memasukkan 40 agen nakal yang sering memeras dan menahan paspor tenaga kerja Indonesia di Hongkong ke dalam daftar hitam kerja sama penempatan.


Ketua Indonesia Migrant Workers Union (IMWU) Rusemi di Hongkong, Senin (8/9), mengatakan, sedikitnya 22.000 orang dari 120.000 tenaga kerja Indonesia (TKI) yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Hongkong masih menerima upah di bawah standar. Agen juga m asih mengambil upah TKI selama tujuh bulan pertama, dengan dalih untuk biaya pelatihan dan penempatan, meski aturan ketenagakerjaan di Hongkong melarang.

"Kami sudah mendata 40 agen penempatan yang selama ini kerap melanggar hukum. Kami minta pemerintah segera memasukkan mereka dalam daftar hitam agen penempatan di Hongkong agar tidak ada lagi TKI yang menjadi korban mereka," kata Rusemi.

Menurut Hongkong Employment Ordinance, biaya agen tidak boleh lebih dari 10 persen upah sebulan buruh migran, yang rata-r ata 3.580 dollar Hongkong (setara Rp 4,2 juta). Namun dalam praktiknya, agen sering memotong upah TKI sampai 21.000 dollar Hongkong (setara Rp 24,6 juta).

Berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja Depnakertrans Nomor KEP.186/PPTK/VI/2008, biaya penempatan TKI di Hongkong ditetapkan Rp 15,5 juta per orang. Akan tetapi, SK ini belum juga diterapkan.

Pemerintah seharusnya tidak tunduk kepada kepentingan agen dan perusahaan penempatan TKI swasta yang membuat biaya jadi mah al. Kami juga menuntut Konsul Jenderal RI di Hongkong minta maaf atas kekerasan petugas keamanan kepada TKI yang menjadi anggota IMWU, kata Rusemi.

Segera atasi

Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Erman Suparno yang menghubungi Kompas dari Seoul, Korea, menyesalkan insiden tersebut. Menurutnya, insiden tidak perlu terjadi jika aktivis IMWU menyalurkan aspirasinya dengan sopan.

"Namun saya minta Atase Ketenagakerjaan RI segera merespons dan membicarakan masalah ini dengan Menteri Ketenagakerjaan Hongkong. Penanganan harus secepatnya dilakukan dan tetap menjaga hubungan baik dengan Pemerintah Hongkong," kata Menakertrans.

Di Jakarta, Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) Mohammad Jumhur Hidayat menyesalkan pemukulan TKI yang menyampaikan aspirasinya oleh petugas keamanan Konjen di depan Konjen RI di Hongkong.

Tetapi soal tuntutan mereka, itu masih dilema. Biaya pelatihan calon TKI ke Hongkong mahal sehingga upah mereka terpaksa dipotong untuk menggantinya. Persoalan ini baru bisa diatasi jika Indonesia sudah memiliki sistem perekrutan yang baik sehingga TKI benar-benar siap kerja, kata Jumhur.

Hamzirwan

Kompas Senin, 8 September 2008 | 21:02 WIB

TKW Dihajar di Depan Menteri

JAKARTA, SENIN - Malang nian nasib sembilan wanita warga negara Indonesia (WNI) yang tengah mengais nafkah di Hongkong. Ketika mau mengadu ke Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans) Erman Suparno yang tengah berkunjung ke Hongkong, mereka malah digebuki. Ironisnya para pelaku pemukulan adalah petugas Konsulat Jenderal (Konjen) RI di Hongkong


Akibat pemukulan itu, dua wanita dilarikan ke rumah sakit karena terluka cukup parah, sementara empat wanita lainnya mengalami memar-memar dan berdarah. Pemukulan itu disaksikan Menakertrans Erman Suparno yang berada di Gedung Queen Elizabeth, Hongkong, Minggu (7/9).

Duta Buruh Migran, Franky Sahilatua, saat dihubungi Warta Kota semalam mengatakan, pemukulan itu terjadi sekitar pukul 11.00 waktu Hongkong. Saat itu, puluhan tenaga kerja wanita (TKW) yang bekerja di Hongkong mengadakan pertemuan dengan Menakertrans. Beberapa TKW kemudian menggelar spanduk bertuliskan ”Stop Underpayment” (hentikan pembayaran upah di bawah standar) di depan menteri.

”Tiba-tiba saja, mereka langsung diseret dan dipukuli oleh petugas keamanan sampai luka-luka, padahal mereka hanya menggelar spanduk. Wajar dong, mereka mengutarakan aspirasi kepada menteri,” ujar penyanyi balada ini.

Franky menegaskan, pemukulan itu terjadi persis di depan Menakertrans. Anehnya, kata Franky, Pak Menteri hanya berdiam dan tidak bereaksi apa-apa. Petugas keamanan yang memukuli para TKW, jumlahnya lebih dari dua orang, juga berkewarganegaraan Indonesia. ”Mereka itu lebih sok berkuasa dibanding polisi Hongkong, mereka harus diberi sanksi tegas,” katanya.

Ia menyesalkan tindakan pemukulan petugas keamanan tersebut. Ia berharap Menakertrans lebih cerdas dalam memimpin, sehingga tidak terjadi peristiwa seperti ini. Dalam pertemuan itu, sejumlah pejabat Depnakertrans, dan DPRD Tingkat I Jawa Timur juga ikut serta. Namun tidak ada yang melerai pemukulan itu dan hanya membiarkannya. ”Sudah wanita, lagi puasa, belum digaji, dipukuli bangsa sendiri lagi, ini kan jahanam sekali,” tegasnya.

Selengkapnya baca Kompas [Senin, 8 September 2008|11:03 WIB]

Hidup Tanpa Ijazah

5 09 2008

Ada seorang putra Indonesia yang tak punya gelar akademik sama sekali, bahkan ijazah SMA pun tak punya karena ia tidak menamatkan SMA-nya, tetapi ia diangkat sebagai gurubesar di tiga perguruan tinggi di Jepang. Bagaimana bisa?



Kita barangkali akan sulit meneladani tokoh yang satu ini, bukannya tidak mampu, tetapi kesempatan yang ada pada masa kita hidup saat ini sudah jauh berbeda dengan kesempatan yang lebar terbuka pada saat dahulu. Orang harus mampu, dan ada kesempatan untuk menunjukkannya, maka ia akan sukses. Memang kesempatan bisa diciptakan, tetapi belum tentu selalu menjadi terbuka. Ini cerita tentang seseorang, barangkali ada manfaatnya, paling tidak menekankan : no pain no gain !

Sebuah buku baru diterbitkan Pustaka Jaya, Januari 2008. Tebalnya setebal bantal, 1364 halaman, dicetak di kertas HVS. Meskipun tebal dan cetakannya bagus, harganya murah untuk buku setebal ini, Rp 95.000 (bandingkan dengan buku seri Harry Potter terakhir, Deadly Hollows, tebal 1008 halaman, berkertas dengan kualitas di bawah HVS, berharga Rp 175.000). Saat mengetahui harganya, saya cukup kaget juga, buku-buku yang dicetak biasa (bukan deluks) dengan tebal sekitar 200-300 halaman kini harga rata-ratanya sekitar Rp 35.000-50.000, dengan harga rata2 itu maka buku tebal Pustaka Jaya ini mestinya berharga sekitar Rp 250.000. Bagaimana buku setebal 1364 halaman ini harganya hanya Rp 95.000 ?

Saya mendapatkan jawabannya pada halaman 1329 di buku ini dalam “Ucapan Terimakasih”. Buku yang akan saya ceritakan ini memang harga seharusnya adalah sekitar Rp 300.000. Tetapi, siapa yang mau membeli buku setebal 1364 halaman dengan harga Rp 300.000 ? Kata Rosihan Anwar, wartawan dan penulis senior itu, tebal buku maksimal yang masih menarik untuk dibaca orang-orang Indonesia adalah sekitar 300-400 halaman. Memang Rosihan Anwar menganjurkan

penulis buku ini untuk memotong bukunya sampai menjadi maksimal 400 halaman saja, tetapi penulisnya merasa sayang memotong manuskripnya yang sudah sampai 1000 halaman, jadi ia tak memotongnya sama sekali, maka akhirnya menjadi 1364 halaman. Harganya ? Ada sekitar 100 orang, sebagian di antaranya tokoh-tokoh terkenal Indonesia dan Manca Negara dari berbagai

latar belakang, dari seniman sampai birokrat, dari ilmuwan sampai jenderal, yang bersedia membeli buku ini dengan harga edisi khusus dan terjadilah subsidi silang sehingga masyarakat umum dapat membelinya Rp 95.000. Sebuah ide bagus !

Baik, saya ceritakan saja buku ini. Judulnya adalah “Hidup Tanpa Ijazah : Yang Terekam dalam Kenangan”, sebuah otobiografi Ajip Rosidi, sastrawan dan budayawan Indonesia. Buku ini ditulis dalam waktu kurang dari setahun, ditulis atas anjuran teman-teman Ajip dan mengejar waktu agar telah terbit saat Ajip berusia 70 tahun pada 31 Januari 2008. Buku ini ditulis oleh Ajip sendiri, jadi bukan otobiografi pesanan seperti banyak dipesankan oleh para tokoh politik dan militer (namanya otobiografi ya harusnya ditulis sendiri dong, kalau dituliskan orang lain ya namanya biografi). Walaupun buku ini mulai ditulis tahun 2006, Ajip dapat merekam dengan cukup detail peristiwa2 puluhan tahun sebelumnya sejak Ajip anak-anak, remaja, pemuda, dewasa muda, dewasa, sampai usianya sekarang (70 tahun). Pasti Ajip biasa menulis jurnal kegiatan harian sehingga ia bisa menuliskan kembali peristiwa sehari-hari puluhan tahun ke belakang.

Mengapa Ajip memberi judul buku ini “Hidup Tanpa Ijazah” ? Karena Ajip tak punya ijazah apa-apa, ijazah SMA pun tidak, sebab ia keluar sebelum ujian akhir SMA (Taman Madya). Ajip tidak pernah kuliah, bukan sarjana, tentu bukan master, apalagi doktor. Ia hanya seorang otodidaktis (pelaku otodidak) tulen. Tetapi, lihat karya, sepak terjang, dan pengakuannya. Itu semua melebihi pencapaian rata-rata sarjana, master, doktor, dan profesor pada umumnya.

Saya tidak akan menceritakan dengan detail isi buku ini, untuk yang berminat silakan membelinya saja. Saya ingin menyoroti mengapa Ajip keluar sekolah, tidak mau meneruskan sekolahnya, otodidaknya, dan karya, sepak terjang, serta pengakuannya. Dengan sikap dan kiprahnya seperti itu Ajip adalah manusia langka, bukan hanya di Indonesia, di dunia pun jarang yang seperti dia.

Ajip lahir di Jatiwangi, Kabupaten Majalengka, wilayah yang banyak menghasilkan genteng dan kecap itu, pada 31 Januari 1938. Menempuh pendidikan hanya sampai setingkat SMA yaitu di Taman Madya, Taman Siswa Jakarta, itu pun tidak tamat.Tahun 1956 dia dengan sengaja keluar dari sekolahnya seminggu sebelum ujian akhir dimulai. Pendidikan formalnya berakhir 52 tahun yang lalu. Tetapi, ia tidak pernah berhenti belajar. Pendidikan dan belajar tak harus di satu tempat. Pendidikan harus di sekolah, belajar bisa di mana saja.

Saat Ajip mau menempuh ujian nasional, ramai terjadi kebocoran soal-soal ujian, orang tak segan mengeluarkan uang dalam jumlah banyak untuk membeli soal ujian, guru-guru pun bisa disogok. Di koran-koran timbul polemic tentang manfaat ujian. Dipertanyakan tentang keabsahan ujian untuk menilai prestasi murid yang sebenarnya. Ajip muda (16 tahun) berkesimpulan : orang tidak segan melakukan perbuatan hina, membeli soal ujian atau menyogok guru, demi lulus ujian. Untuk apa lulus ujian ? Untuk dapat ijazah. Untuk apa ijazah ? Untuk melamar kerja. Untuk apa kerja ? Untuk dapat hidup. Kalau begitu, hidup berarti bergantung kepada secarik kertas bernama ijazah ! Ajip terkejut sendiri dengan kesimpulannya. Ia saat itu telah empat tahun berkarya (Ajip mulai mengirimkan tulisan2 cerita dan puisi dan dimuat di koran2 dan majalah2 sejak tahun 1952 saat umurnya masih 14 tahun) dan telah merasa bisa hidup cukup mandiri dengan honorariumnya. Ajip bertanya, apakah seorang pengarang membutuhkan ijazah untuk bisa hidup ? Tidak.

Ajip memutuskan bahwa hidupnya tidak akan digantungkan kepada selembar ijazah. Prestasinya tidak akan bergantung kepada selembar ijazah. Menurutnya tak ada sekolah atau universitas yang dapat menuntunnya menjadi seorang pengarang yang baik, apalagi ia punya pengalaman bahwa guru2 bahasa Indonesianya semasa di SMP dan SMA harus lebih banyak membaca daripada dirinya.

“Aku akan dapat meningkatkan pengetahuan dan kemampuanku dalam bidang sastra dan penulisan dengan banyak membaca. Dan membaca tidak usah di sekolah. Tidak usah juga bersekolah tinggi karena aku sudah mengenal huruf-huruf. Buku-buku dapat dibeli, atau dipinjam dari perpustakaan. Dalam membaca aku dapat melampaui kebanyakan orang yang punya ijazah lebar. Dengan kian luasnya bacaanku, maka tulisanku akan lebih berbobot. Kalau tulisanku berbobot, niscaya orang-orang akan menghargaiku sebagai pengarang. Akhirnya yang penting dalam hidup adalah prestasi yang diakui oleh masyarakat. Berapa banyak orang yang mempunyai ijazah tinggi dan menduduki jabatan penting dalam masyarakat tetapi tidak pernah memperlihatkan prestasi pribadi ? Mereka akan lenyap dari ingatan masyarakat kalau mereka sudah pensiun atau setelah meninggal. Aku ingin tetap dikenang orang walaupun aku sudah meninggalkan dunia yang fana ini. Dan hal itu hanya dapat dicapai dengan berkerja keras, dengan mencipta karya yang bagus. Orang akan tetap mengingat namaku kalau karya-karya yang kutulis bermutu” begitu tulis Ajip Rosidi di dalam buku ini halaman 167-168.

Dan, keluarlah Ajip dari sekolah alias drop out, dia menulis surat kepada gurunya di atas kartu pos, “saya tidak jadi ikut ujian nasional karena saya akan membuktikan bahwa saya dapat hidup tanpa ijazah” Luar biasa keputusan anak remaja ini, keputusan sendiri, tanpa memberi tahu orang tuanya di Jatiwangi.

Dan puluhan tahun berikutnya adalah puluhan tahun pembuktian bahwa Ajip bisa hidup tanpa ijazah. Sebuah bakat yang ditekuni secara luar biasa akan berhasil luar biasa juga. Setahun sebelum ia keluar dari SMA, buku pertamanya telah terbit ketika umurnya masih 17 tahun, berjudul “Tahun-Tahun Kematian” (kumpulan cerpen). Itu adalah buku pertama yang mengawali sebanyak lebih dari 110 judul buku berikutnya selama puluhan tahun kemudian. Ajip menulis buku-buku baik kumpulan cerpen, kumpulan puisi, roman, drama, penulisan kembali cerita rakyat, cerita wayang, bacaan anak-anak, kumpulan humor, esai dan kritik, polemik, memoar, bunga rampai, buku terjemahan, biografi (ada 10 halaman daftar lengkap karya Ajip di buku otobiografi ini). Ajip menulis baik dalam bahasa Sunda maupun bahasa Indonesia. Banyak karyanya diterjemahkan oleh penerbit internasional ke dalam bahasa-bahasa asing Belanda, Cina, Hindi, Inggris, Jepang, Jerman, Kroasia, Prancis, Rusia, Thai, dan lain-lain.

Sepak terjang Ajip tak hanya dalam dunia penulisan sastra dan sekitarnya. Ia adalah redaktur dan Pemimpin majalah Suluh Pelajar (1953-1955) saat Ajip masih duduk di SMP dan SMA. Juga ia menjadi pemimpin redaksi Majalah Sunda (1965-1967), Budaya Jaya (1968-1979), dan Cupumanik (sejak 2005).

Ajip juga adalah redaktur, pendiri dan pemimpin usaha2 penerbitan. Ia adalah seorang redaktur Balai Pustaka (1955-1956). Tahun 1962 mendirikan Penerbit Kiwari, tahun 1964-1969 mendirikan dan memimpin Penerbit Tjupumanik di Jatiwangi. Tahun 1971 mendirikan Penerbit Pustaka Jaya dan menjadi pemimpinnya. Tahun 1981 mendirikan Penerbit Girimukti Pusaka, Tahun 2000 ia mendirikan dan memimpin Penerbit Kiblat Buku Utama di Bandung. Usaha penerbitannya ada yang terus berjalan sampai Sekarang (Pustaka Jaya), ada juga yang telah lama berhenti.

Ajip juga sangat giat dalam berorganisasi, misalnya tahun 1954 (umur 16 tahun) menjadi anggota Badan Musyawarat Kebudayaan Nasional. Tahun 1956 menjadi anggota Lembaga Bahasa dan Sastra Sunda. Tahun 1972-1981 menjadi ketua Dewan Kesenian Jakarta (dewan ini juga dibentuk pada tahun 1968 atas prakarsa Ajip. Tahun 1973-1979 sebagai ketua Ikatan Penerbit Indonesia(IKAPI). Tahun 1993 Ajip mendirikan Yayasan Kebudayaan Rancage, sebuah yayasan yang mengapresiasi karya-karya sastra daerah dalam bahasa Sunda, Jawa, dan Bali.

Ajip juga menduduki banyak anggota badan-badan kehormatan. Tahun 1960-1962 dia adalah anggota Badan Pertimbangan Ilmu Pengetahuan bidang Sastra dan Sejarah. Tahun 1978-1980 sebagai staf ahli menteri Pendidikan dan Kebudayaan, tahun 1979-1982 menjadi anggota Dewan Fim Nasional, tahun 1979-1980 menjadi anggota Dewan Pertimbangan Pengembangan Buku Nasional. Tahun 2002 diangkat menjadi anggota Akademi Jakarta.

Meskipun Ajip tak menamatkan SMA-nya, tak pernah kuliah, bukan sarjana, tentu bukan master, apalagi doktor, tahun 1967 ia diangkat sebagai dosen luar biasa pada Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran di Bandung. Ajip pun sering diundang memberikan kuliah umum di berbagai perguruan tinggi di seluruh Indonesia. Dan, tahun 1981, Ajip diangkat sebagai Visiting Professor pada Osaka Gaikokugo Daigaku di Osaka, Jepang. Ajip mengajar di Jepang sampai tahun 2003. Ajip pun diangkat sebagai Gurubesar Luar Biasa pada tahun 1983-1994 di Tenri Daigaku di Tenri, Nara, Jepang. Tahun 1983-1996 menjadi Gurubesar Luar Biasa pada Kyoto Sangyo Daigaku di Kyoto. Pensiun sebagai guru besar, Ajip pulang ke Indonesia pada tahun 2003. Sekalipun Ajip berada di Jepang selama 22 tahun, dia tetap menulis buku2nya dalam bahasa Sunda dan Indonesia, tetap berhubungan dengan para penggiat sastra di Tanah Air, dan tetap memantau serta mengelola organisasi2 yang pernah didirikannya dari jauh.

Sebagai penggiat sastra, tentu Ajip pun banyak menjadi pembicara di berbagai simposium, seminar, kongres, konferensi atau lokakarya mengenai kebudayaan dan kesenian, terutama tentang sastra dan bahasa, baik di tingkat daerah, nasional, regional, maupun internasional. Sebagai orang yang mumpuni dalam bidang sastra, Ajip pun kerap diminta sebagai anggota dewan juri dalam menilai berbagai perlombaan bidang sastra dan kesenian.

Ajip dan organisasinya pun beberapa kali mendapatkan dana nasional maupun internacional untuk penelitian sastra dan budaya. Tahun 1969-1972 Ajip mendirikan dan memimpin proyek penelitian pantun dan folklor Sunda. Tahun 1960-1967 Ajip mendapatkan dana dari the Toyota Foundation untuk meneliti kebudayaan Sunda dalam rangka penyusunan Ensiklopedi Sunda (telah terbit pada tahun 2000). Tahun 1960-1994 meneliti puisi Sunda, dan hasilnya dituliskan dalam tiga jilid buku dengan tabal total 1700 halaman (telah terbit dua jilid).

Karena dedikasinya yang total lepada kesustraan dan kebudayaan, Ajip beberapa kali diganjar penghargaan, yaitu 1957 : Hadiah Sastra Nasional untuk kumpulan puisinya, 1960 : Hadiah Sastra Nasional untuk buku kumpulan cerpennya, 1974 : Cultural Award dari Australia, 1993 : Hadiah Seni, 1994 : penghargaan sebagai salah satu dari 10 putra Sunda terbaik, 1999 : penghargaan Order of the Sacred Treasure, Gold Rays with Neck Ribbon dari Jepang, 2003 : penghargaan Mastera dari Brunei, 2004 : Teeuw Award dari Belanda.

Demikian sekilas karya-karya dan pencapaian-pencapai an Ajip. Ia berkarya sejak berumur 14 tahun sampai kini usianya 70 tahun, menekuni sastra dan budaya Sunda dan sastra Indonesia selama 56 tahun.

Di dalam buku ini, yang berisi 23 bab, kita bisa mengetahui bahwa pergaulan Ajip begitu luas, baik dengan kalangan sesama sastrawan dan budayawan, juga dengan banyak tokoh dari berbagai bidang baik di Indonesia maupun peneliti2 asing yang datang ke Indonesia untuk meneliti sastra dan budaya Indonesia. Bagaimana pergaulan dan pandangan Ajip dengan tokoh2 seperti Ali Sadikin, Mochtar Lubis, Taufik Ismail, Asrul Sani, Affandi, Gus Dur, Nurcholish Madjid, dan masih banyak lagi bisa dibaca di sini. Pengamatannya tentang kejadian2 penting yang dialami Indonesia entah itu pertikaian politik, bencana, korupsi, dan lain2 dari tahun2 1940-an sampai sekarang bisa dibaca juga di sini. Ajip juga menceritakan pikiran dan sikapnya tentang itu semua dan hal2 yang dialaminya, termasuk saat gempa Kobe di Jepang, sebagaimana layaknya sebuah otobiografi. Buku otobiografi setebal 1364 halaman ini adalah salah satu dari buku2 otobiografi paling tebal yang pernah ditulis.

Kata seorang pengamat, Ajip adalah seorang langka dengan kelebihan yang tidak dimiliki H.B. Jassin, Goenawan Mohamad, dan Soebagio Sastrowardojo (Dr. Faruk dalam Kompas 31 Mei 2003).

“Mungkin ada orang yang membaca buku ini menuduh bahwa buku ini merupakan usaha Ajip untuk memamerkan kehebatannya sebagai orang yang “kurang sekolah”, tetapi berhasil mencapai prestasi internasional. Tentu saja tuduhan itu sukar dibantah. Meskipun tentunya sah-sah saja bagi orang berprestasi untuk memamerkan prestasinya, apalagi prestasi ini dicapai melalui perjuangan dan usaha sendiri dengan kerja keras. Ajip sudah merupakan seorang yang dihargai di Indonesia, dia tak akan perlu memamerkan diri lagi, buku ini ditulisnya lebih kepada keinginan untuk mengawetkan kenangan2 dan pikiran2-nya, berbagi pengalaman dengan orang lain”, begitu tulis Arief Budiman dari Melbourne, teman karib Ajip, dalam kata pengantar otobiografi ini.

Satu hal yang sangat penting yang merupakan pesan Ajip melalui buku ini adalah : meskipun pendidikan sangat penting, orang bisa juga berhasil meskipun tidak atau kurang sekolahnya. Ajip telah membuktikan kepada kita semua bahwa ia bisa hidup dan berhasil sampai punya reputasi internasional bahkan sampai menjadi gurubesar di tiga perguruan tinggi di luar negeri meskipun tak punya gelar akademik apa pun, bahkan ijazah SMA pun tak ia miliki, Ajip benar2 : hidup tanpa ijazah.

“Ajip akan diterjang kegelisahan yang luar biasa saat ia mandeg membaca dan gagap menulis” (Maman S. Mahayana dalam Panji Mas, Februari 2003).

Tulisan bagus ini ditemukan di Pesantren al-Muhajir

9 TKI Perempuan Digebuki Satpam KJRI Hong Kong

Nograhany Widhi K - detikNews

Jakarta - 9 Perempuan buruh migran Indonesia digebuki petugas keamanan Konjen RI di Hong Kong. Gara-garanya, mereka menggelar spanduk 'Stop Underpayment' saat Menakertrans Erman Suparno bertemu buruh migran di Gedung Queen Elizabeth, Hong Kong.



Peristiwa itu diungkapkan duta buruh migran Franky Sahilatua pada detikcom, Minggu (7/9/2008). Peristiwa itu terjadi hari ini pukul 11.00 waktu setempat.

"Cuma bawa spanduk saja, tidak bikin apa-apa. Mereka kan maksudnya mengadu kepada menterinya, agar tahu di Hong Kong masih terjadi upah di bawah standar. Eh malah digebuki," ujar Franky.

Hasilnya, menurut penyanyi balada ini, dari 9 orang yang digebuki, 4 orang luka-luka dan 2 orang lainnya masuk rumah sakit. Namun, Franky masih belum mengetahui semua identitas tenaga kerja wanita (TKW) itu.

Petugas keamanan KJRI itu, menurutnya, juga warga negara Indonesia.

Menurutnya selama ini para buruh migran tidak bisa mengeluh atas ketidakadilan upah di bawah standar, atas persekongkolan Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) dan agen-agen TKI di Hong Kong.

"Katanya dianggap pahlawan devisa, tapi diperlakukan nggak lebih dari budak, diperas keringatnya, dan dipukuli kalau mau bersuara. Hanya mengangkat spanduk dianggap sudah mengganggu," protes dia.

Dia berharap Menakertrans Erman Suparno dan KJRI Hong Kong meminta maaf atas perlakuan terhadap warganya sendiri ini.

"Pak Erman agak lebih cerdaslah dalam menangani departemennya ini," harap Franky.

Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), menurutnya, akan melayangkan protes kepada Menakertrans dan Deplu atas insiden Hong Kong ini secepatnya.

Sementara itu, Jubir Deplu Teuku Faizasyah dan Direktur Perlindungan WNI Deplu Teguh Wardoyo tidak mengangkat ponselnya saat hendak dikonfirmasi detikcom.(nwk/nrl)

Detiknews Minggu, 07/09/2008 18:18 WIB

TKI Laporkan Pungli Bandara

JOGJA - Puluhan tenaga kerja Indonesia (TKI) yang baru pulang dari Malaysia lewat Bandara Adisutjipto, Jogjakarta, mengadu ke lembaga bantuan hukum (LBH) kemarin. Mereka mengeluhkan pungutan liar yang dilakukan petugas imigrasi bandara itu saat kedatangan mereka 26-29 Agustus lalu.


Didampingi agen mereka PT Timuraya Jaya Lestari, ke-38 TKI yang sebagian besar perempuan tersebut memaparkan kejadian itu kepada Bagian Ekonomi LBH Ahmad Deva Permana. ''Kami minta LBH bisa memberikan bantuan hukum kepada kami,'' ujar Ade Emira Damayanti, wakil dari para TKI, saat mengadu ke LBH Jogja kemarin.

Emira menuturkan, begitu tiba di bandara sekitar pukul 11.00, dirinya dan beberapa rekan TKI digiring ke sebuah ruangan di kanan pintu masuk. ''Setelah pemeriksaan dan cap (stempel paspor), tiap TKI dimintai Rp 50 ribu, tanpa ada kuitansi,'' tambah Emira yang dibenarkan teman-temannya.

Sekeluar dari ruangan itu, seseorang sudah menghadang mereka di pintu keluar. Orang yang mengaku petugas money changer itu ''memaksa'' para TKI tersebut menukarkan uang ringgit yang mereka bawa. ''Katanya, sekarang ada undang-undang yang mewajibkan penumpang yang membawa mata uang asing untuk menukarkan dengan rupiah. Jika tidak ditukarkan, orang itu tidak bisa keluar, Sebab, ketika melewati pintu keluar, alarm akan bunyi,'' tambahnya.

Desy Susanty, salah seorang TKI yang telanjur menukarkan uang ringgit dengan rupiah, mengaku ditipu lantaran satu ringgit yang semestinya Rp 2.700 hanya dihargai Rp 2.500. ''Kami mohon pemerintah, terutama kantor imigrasi, benar-benar mengawasi pegawainya,' ' tambah TKI asal Bayat, Klaten, itu.

Setelah menerima pengaduan tersebut, LBH Jogja mengirimkan somasi ke kantor imigrasi. ''Jika tidak segera ada tanggapan, kami tindak lanjuti dengan melapor ke pihak berwajib,'' kata Deva.

Deva menyesalkan terjadinya pungli dan pemaksaan agar TKI menukarkan uang di bandara. Dia mengatakan, kasus semacam itu tidak hanya sekali, tapi sering terjadi. ''Kami minta pihak imigrasi benar-benar serius menanggapi masalah ini. Birokrasi di instansi ini memang harus segera dibenahi,'' katanya. (cw1/jpnn/ru)

Jawa Pos [Jum'at, 05 September 2008]