Mempertanyakan Etika Penerbit Buku Recycle

Pernah membeli buku dan kecewa karena ternyata Anda pernah membeli buku yang sama dengan judul berbeda? Saya pernah. Berkali-kali malah. Sebut saja beberapa buku tes CPNS yang saya beli untuk persiapan menjajal nasib menjadi pegawai negeri. Lalu buku-buku psikotes ketika berburu pekerjaan dan memerlukan tes psikologi. Kemudian juga buku-buku Kahlil Gibran yang booming di awal 2000-an. Yang terakhir saya beli kumpulan cerpen laris Budi Darma, Laki-Laki Lain dalam Secarik Surat.


Buku-buku kumpulan soal tes CPNS dan psikotes diterbitkan beberapa penerbit dengan judul yang kurang lebih sama. Buku disegel sehingga saya hanya berpaku pada pengantar di setiap sampul belakang untuk mengira-kira isinya. Ternyata setelah dibeli, isi buku-buku dengan penerbit berbeda itu banyak kesamaan, bahkan ada yang nyaris sama. Hanya nomor soalnya saja yang diubah-ubah. Karena itu, banyak kunci jawaban yang tak sesuai dengan soalnya. Saya selaku konsumen yang ingin mendapatkan informasi soal yang variatif tentu saja kecewa.

Buku Kahlil Gibran setali tiga uang. Ini mungkin buku yang paling banyak diterbitkan dalam banyak versi melebihi karya orisinil penulisnya. Adhe dalam bukunya Declare (2008) menuliskan bahwa karya-karya Gibran telah diterbitkan oleh lebih dari 20 penerbit dengan 76 judul berbeda. Luar biasa bukan? Ini fenomena yang menarik sekaligus memprihatinkan. Sosok Gibran yang sufi itu dikenal hingga ke kalangan anak-anak remaja SMP. Ada memang karya yang orisinil, seperti Sayap-sayap Patah dan Sang Nabi. Tapi selebihnya adalah judul-judul baru hasil ''kreativitas'' penerbit yang isinya kebanyakan potongan cuplikan dan bahkan saduran. Tanpa pengetahuan yang memadai tentang Gibran, pembeli akan mengira itu semua karya baru (lain) dari Gibran.

Sementara itu, buku Budi Darma, Laki-laki Lain dalam Secarik Surat, diterbitkan oleh Bentang (anak penerbitan Mizan), merupakan daur ulang dari buku kumpulan cerpen yang terbit sebelumnya dengan judul Kritikus Adinan. Buku ini dikemas dengan gaya buku baru. Sampul sama sekali berbeda dan pengantar sampul belakang menarik, plus foto diri pengarang. Pada buku baru ini ditambahkan satu karya baru. Jika Anda pernah membeli kaset dari penyanyi yang merupakan repacked atau recycled --lagu-lagu lama ditambahi satu-dua lagu baru-- buku ini menggunakan strategi pemasaran yang sama.

Bagi fans berat --yang selalu ingin mengoleksi karya idolanya-- edisi recycled pun akan disikat meski mengeluarkan sejumlah uang untuk karya yang sudah pernah dimiliki. Tapi, bagi konsumen yang ingin membaca dan mengetahui hal baru apa lagi yang disuguhkan dari seorang begawan seperti Budi Darma, membeli karya recycled tentu mengecewakan.

Segendang sepenarian dengan Bentang, Qanita (lagi-lagi, anak penerbitan Mizan) menerbitkan karya fenomenal Fatima Mernissi berjudul Perempuan-perempuan Harem. Buku ini pernah diterbitkan Mizan dengan judul berbeda, Teras Terlarang. Tak ada keterangan sama sekali di buku edisi baru itu, bahwa dua buku dengan judul berbeda itu memiliki isi yang sama, terjemahan dari Dreams of Trespass: Tales of Harem Girlhood. Hanya sedikit keterangan di lembar copyright: Edisi baru, cetakan 1, Juni 2008. Keterangan ini pun bias karena melahirkan asumsi rancu bahwa buku ini baru.

Penerbit Serambi, juga melakukan hal yang sama. Tapi mereka agak fair karena mencantumkan judul lamanya dengan font yang lebih kecil, Event Angel Ask: Bahkan Malaikat pun Bertanya karya terjemahan dari Jeffrey Lang dari judul yang digunakan untuk penerbitan sebelumnya; Bahkan Malaikat pun Bertanya.

ScriPtaManent adalah penerbit yang menerbitkan ulang Aku, Buku, dan Sepotong Sajak Cinta karya Muhidin M. Dahlan dengan judul baru Jalan Sunyi Seorang Penulis. Yang terakhir ini lebih ''jujur'' karena memberikan keterangan di sampul belakang --meski dengan tulisan kecil dan samar: ''edisi terbaru: aku, buku, dan sepotong sajak cinta''.

Buku-buku recycle yang disajikan dengan judul baru tanpa informasi lengkap tentang kebaruan dan perbedaannya dengan terbitan sebelumnya, bagi saya, merugikan pembaca. Apalagi pembeli tak diberi kesempatan yang berlebih untuk melakukan pemeriksaan. Sebab buku-buku yang tergelar di toko kerap terbungkus segel plastik (wrapping) dan tak boleh dibuka sebelum menyelesaikan ''administrasi'' di meja kasir.

Calon pembeli hanya berbekal narasi singkat atau komentar-komentar pembaca yang umumnya figur publik agar calon pembeli terpikat dan terjerat. Menurut saya, ini gaya pengelabuhan yang tak bertanggung jawab.

Dalam menegakkan ''mata rantai'' perbukuan, penerbit adalah pilar yang memegang peran penting di antara penulis, percetakan, distributor, toko buku, perpustakaan, dan pembaca. Penerbit adalah filter pertama dari transfer ilmu pengetahuan yang akan diterima konsumen. Penerbit yang menentukan naskah mana yang akan terbit dan mana yang tak perlu dikonsumsi pembaca.

Sebagai konsumen, pembaca buku tentu saja akan terampas haknya untuk mendapatkan pengetahuan yang utuh dikarenakan ulah penerbit yang ugal-ugalan mengganti-ganti judul dengan isi buku yang sama. Kenapa tak tetap diterbitkan dengan judul sama saja? Tambahan isi baru atau beberapa revisi bisa diberikan sebagai keterangan. Dengan begitu, pembeli bisa mendapatkan bahan pertimbangan yang layak apakah ingin membeli lagi edisi terbarunya atau tidak. Jika memang buku itu laris dan dicari pembaca, pastilah buku itu akan tetap habis.

Namun, jika penerbit memang meniatkan untuk mengelabuhi pembaca, maka ini sebentuk penipuan publik yang bekerja di dunia perbukuan. Calon pembeli tak mendapat informasi yang utuh tentang apa-apa yang akan dibeli dan dibacanya.

Mestinya, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) yang kritis atas barang niaga demi perlindungan hak konsumen juga mencermati soal ini. Sehingga pembodohan ini tak bekerja terus-menerus, bahkan di dalam sebuah dunia yang menjadi agen pencerahan akal budi dan selalu merapalkan jargon besar: untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. (*)

*) Diana A.V. Sasa, pegiat buku, tinggal di Surabaya

Jawa Pos, Minggu, 30 November 2008

Halo Tiwan!


Kami sangat senang bisa menjumpai warga Indonesia yang kini tengah berada di Taiwan, terutama para tenaga kerja yang sungguh sangat berjasa untuk 2 hal: membantu pemerintah mengurangi angka pengangguran yang makin menumpuk di tanahair, dan mengirim devisa untuk keluarga dan negara, terlebih dalam situasi krisis global seperti sekarang ini.


Para Pembaca yang budiman, seperti biasanya sebuah kelahiran, kami berharap Radar Taiwan yang masih bayi cenger ini mendapatkan sambutan yang hangat. Seperti halnya saudara-saudari kita di Hong Kong menyambut dengan hangat kelahiran media dari Berita Indonesia Ltd yakni: Berita Indonesia, Intermezo, dan Peduli. Kawan-kawan kita di Hong Kong dengan gembira manyambut media berbahasa Indonesia, dan mereka beramai-ramai mengirimkan tulisan, dari yang bernama surat pembaca, puisi, cerita, hingga tulisan opini.

Bahkan, beberapa nama, sebut saja: Rini Widyawati, Dhenok Kanthi Rokhmatika, Eni Kusuma, Wina Karni, Maria Bo Niok, Mei Suwartini, dan masih ada beberapa nama lagi yang meneruskan kegemarannya menulis setelah kembali ke tanahair. Maria Bo Niok yang dulunya pernah bekerja di Taiwan (baca: halaman 05) bahkan telah melahirkan beberapa buku.

Begitulah pula yang kami harap dari warga Indonesia yang berada di Taiwan ini. Mari kita sambut Radar Taiwan dengan senang hati, dan kirimkanlah kritik dan saran demi peningkatan kualitas maupun oplahnya!

Terima kasih, dan marilah tetap bersemangat!

Redaksi

Achmad Bakrie Award--DKJ: Harusnya Ada yang Menolak Seperti Romo Magnis

Nograhany Widhi K - detikNews

Jakarta - Tahun 2007 lalu, penerima Achmad Bakrie Award Franz Magnis- Suseno menolak menerima penghargaan. Romo Magnis menolak penghargaan itu beralasan karena Lumpur Lapindo yang ditimbulkan perusahaan kelompok Bakrie itu.



Tahun 2007 lalu, sastrawan Putu Wijaya pernah mikir-mikir untuk menerima penghargaan itu, setelah menerima banyak pesan singkat dari rekannya untuk tidak menerima.

Kali ini, sastrawan yang menerima adalah Sutardji Calzoum Bachri. Pria yang dijuluki sebagai 'presiden penyair' ini beralasan bersedia menerima penghargaan itu karena seniman, tidak punya wewenang untuk menolak apresiasi apa pun dan dari siapa pun, termasuk memilih siapa orang yang diperbolehkan memberikan apresiasi pada karya seninya.

Sastrawan selama ini diidealisasikan sebagai orang yang menyuarakan kaum lemah ataupun menyuarakan hati nurani. Bagaimana seharusnya sastrawan menyikapinya pemberian penghargaan Achmad Bakrie yang sempat menjadi kontroversi ini?

"Dikembalikan kepada sastrawannya sendiri apakah akan menerima penghargaan yang notabene bermasalah dari segi bisnis. Achmad Bakrie dan Lapindo hanya dipersatukan Aburizal Bakrie," kata Ketua Komunitas Sastra Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) Nur Zain Hae, Kamis (14/8/2008).

Nurzain mengatakan sikap Romo Magnis yang menolak penghargaan Achmad Bakrie karena alasannya sendiri patut dihargai.

"Harusnya memang ada juga sikap seperti itu (Romo Magnis yang menolak PAB), yang memang berpihak pada yang lemah. Hal ini juga menjadi dilema," kata dia.

Namun, sastrawan seharusnya bisa tetap kritis saat menerima penghargaan yang lembaganya masih ada hubungan dengan lembaga yang bermasalah.

"Menerima dengan memberi catatan kritis pada Bakrie misalnya. Kalau menerima dengan senang hati nggak apa-apa juga," ujar dia.

Selebihnya, Nurzain menilai semakin banyak penghargaan dalam bidang sastra semakin baik. "Artinya, prestasi kepengarangan seseorang dihargai," tutur dia.(nwk/iy)

detikNews Kamis, 14/08/2008 14:18 WIB

Paradoks Keberaksaraan

Selama ini keberaksaraan (literacy) kerap didaulat menjadi kunci yang mampu membuka pintu bagi datangnya modernisasi, partisipasi, empati, demokratisasi, desentralisasi ilmu pengetahuan, perbaikan taraf hidup terutama ekonomi, serta kemajuan suatu bangsa. Laporan UNESCO tahun 2005 berjudul Literacy for life menyebutkan ada hubungan erat antara illiteracy (ketidakberaksaraan) dan kemiskinan. Di banyak negara berangka kemiskinan tinggi seperti Bangladesh, Ethiopia, Ghana, India, Nepal, dan Mozambique, tingkat illiteracy-nya juga tinggi.


Sayang, UNESCO tidak memasukkan Indonesia menjadi salah satu negara yang diteliti. Kalau iya, tentu simpulannya akan lain. Karena berdasarkan data SUSENAS 2004, meskipun tingkat keberaksaraan penduduk usia produktif sangat tinggi, mencapai 98,7 persen, ternyata angka kemiskinannya juga sama tinggi (23,4 persen).

Keberaksaraan baik sebagai tema diskursus maupun sebagai sebuah gerakan, saat ini tengah menjadi sesuatu yang seksis. Diseminarkan di mana-mana. Jadi bahan obrolan kaum cerdik pandai. Menjadi perhatian, tidak saja pemegang kuasa politik (partai) tapi juga ekonomi (perusahaan). Hingga ibu-ibu pejabat pun merasa harus ikut ambil bagian untuk merayakan gairah keberaksaraan itu.

Audit Kemasyarakatan

Namun dari riuhnya perayaan itu, ada satu persoalan pokok yang rupa-rupanya tercecer. Entah karena lupa atau memang dengan sengaja dilupakan. Yaitu menyangkut ukuran-ukuran yang dipakai untuk menyimpulkan, apakah seseorang atau suatu kelompok masyarakat sudah tergolong literit atau belum. Apakah berdasarkan tingkat melek huruf, besarnya belanja buku masyarakat (daya beli buku), jumlah judul buku baru yang diterbitkan, jumlah penerbit buku, akses masyarakat terhadap buku dan koran, disandarkan pada minat baca masyarakat terhadap buku. Atau ukuran lainnya?

Memetakan saja tidak, alih-alih mengukur parameter-parameter di atas yang oleh Daniel Lerner (1978) disebut sebagai audit kemasyarakatan (societal audits). Padahal melalui audit kemasyarakatan itu kita akan jadi tahu seberapa eratkah hubungan antara tingkat kemajuan suatu bangsa dengan taraf keberaksaraan. Sehingga kita tidak terjebak pada pemitosan keberaksaraan.

Absennya audit kemasyarakatan akan berakibat kepada penetapan tujuan, sasaran, rencana kerja, dan program aksi keberaksaraan yang tidak tepat. Sehingga berbagai macam bentuk kampanye keberaksaraan lebih kental bernuansa reaktif, jangka pendek, dan cenderung menyederhanakan persoalan. Salah satu bentuk penyederhaan itu adalah mengartikan literasi terbatas pada (aktivitas membaca) buku. Lengkap dengan sesanti klise: buku mencerdaskan bangsa.

Snobisme Intelektual

Ketiadaan audit kemasyarakatan di satu segi dan mengagungkan buku di segi lain melahirkan apa yang dinamakan dengan paradoks keberaksaraan. Dalam paradoks keberaksaraan semua berlaku seolah-olah. Seolah-olah berupaya meningkatkan minat baca masyarakat, sejatinya mencari modus baru praktik hina (korupsi) di industri mulia (penerbit buku). Angka statistik menyatakan tingkat melek huruf tinggi, ternyata hanya terbatas pada melek huruf secara teknis. Sedangkan secara fungsional dan budaya masih buta huruf. Terbukti antara tingkat melek huruf dan kemiskinan sama-sama tinggi. Seorang doyan membeli buku dalam jumlah besar seolah-olah ia pendaras teks yang tekun, nyatanya itu hanya bagian dari wujud snobisme intelektual.

Keberaksaraan (buku) menjadi objek permainan tanda. Penanda tidak harus representasi dari sebuah petanda. Buku sebagai penanda dianggap memunyai citraan atau fetisisme yang menguntungkan. Buku dianggap memiliki modal simbolik (cerdas, tercerahkan, bijak, berwawasan luas).

Modal simbolik ini dalam masyarakat konsumer dipercaya mampu memberikan status-status tertentu pada individu-individu yang mengonsumsinya. Medium pembentukan personalitas, gaya, citra, gaya hidup, dan status sosial (Yasraf, 2004). Dalam masyarakat konsumer, membeli buku tidak lagi disandarkan pada kebutuhan akan inspirasi, perenungan, informasi, pencapaian tingkat kesadaran yang lebih tinggi, tapi disandarkan pada hasrat (desire) yang hanya berhenti pada perburuan penanda (ikon). Pusat perhatian konsumsi tidak pada logika nilai guna tapi pada logika nilai tanda.

Lagi, berbeda dengan kelisanan yang menyaratkan adanya kebersamaan, dialog, pertemuan fisik yang hangat, akrab, dan membahagiakan --keberaksaraan mengandaikan, meminjam istilah yang diberikan Ignas Kleden (1999) adanya invidualisme kebudayaan. Semacam kesanggupan untuk masuk ke dalam dunia diri (kontemplasi), menyendiri setelah riuh rendah dalam kesibukan ekspansi peranan di dunia luar (transformasi). Sebuah metodologi proses yang kalau tidak hati-hati bisa tergelincir pada individualisme dalam bentuknya yang paling konservatif: egois, tertutup, terasing, tercerabut dari akar lingkungannya.

Jika demikian, kekuatan literasi bukannya menumbuhkan partisipasi, dan empati. Yang terjadi justru sebaliknya, menguatkan egoisme dan ketidakpedulian. (*)

Agus M. Irkham, instruktur Literasi Forum Indonesia Membaca

Jawa Pos [Minggu, 09 November 2008]

Integritas dan Jalan Hidup Intelektual

Oleh Muhammad Al-Fayyadl*

Menjadi
intelektual di zaman yang penuh dengan godaan anti-intelektualisme tidaklah mudah. Menjadi intelektual berarti terlibat dalam persoalan-persoalan yang melingkupi lingkungan sekitar tanpa kehilangan integritas dan keotentikan. Persoalannya kemudian, mungkinkah mengambil posisi yang demikian saat ini?



Gempuran budaya populer yang dibawa oleh teknologi dan perkembangan audio-visual membawa konsekuensi yang tak terelakkan bagi pergeseran dunia pemikiran dewasa ini. Pengaruh budaya populer yang mengutamakan ''komunikativitas'' (communicativeness), yaitu tersampaikannya ide-ide menjadi lebih komunikatif di mata orang kebanyakan, telah mengubah cara seorang intelektual mengutarakan gagasannya. Dulu, kita terpikat dengan pemikiran-pemikiran intelektual yang mengutamakan abstraksi, yang mendalam dan sarat dengan muatan ide. Tetapi kini, kondisi yang berbeda membawa pemandangan yang berbeda pula, di mana seorang intelektual harus banyak menyesuaikan pemikirannya dengan tuntutan orang kebanyakan. Ia harus mengemas ide-idenya menjadi lebih atraktif dan komunikatif di hadapan orang lain.

Tuntutan eksternal untuk menjadi lebih komunikatif, lebih menarik, dan ''menghibur'', membawa akibat-akibat yang, pelan tapi pasti, membuat peran-peran intelektual kian merosot dari hari ke hari. Banyak intelektual yang hidup tanpa intelektualisme dalam pemikirannya. Para intelektual menjadi mudah tidak percaya diri jika ia harus menyampaikan gagasannya secara langsung kepada publik. Ia akan lebih merasa nyaman, merasa lebih ''enjoy'' (meminjam ungkapan sebuah iklan), jika ia mengemas terlebih dulu pemikirannya dalam bentuk-bentuk yang populer dan mudah dicerna.

Kemerosotan yang terjadi adalah terdistorsinya kebebasan kreatif seorang intelektual dalam memperjuangkan gagasan-gagasannya. Setidak-tidaknya, ada satu hal yang terlihat kemudian, sebagai akibat dari kondisi tersebut, yaitu: begitu mudahnya dunia pemikiran dewasa ini terjatuh ke dalam sikap-sikap konformisme; sebuah sikap yang ditandai dengan pengiyaan secara tidak kreatif atas opini umum.

Buku, sebuah dokumen tertulis tentang pemikiran seseorang, barangkali bisa dianggap barometer dalam perjalanan seorang intelektual. Mengamati buku dan karya-karya intelektual yang dihasilkan dalam beberapa waktu belakangan ini, bisa diamati bersama betapa terpesonanya dunia pemikiran pada apa yang disebut dengan lazim sebagai ''trend''. ''Trend'' adalah ungkapan lain dari kepopuleran sebuah ide di mata publik kebanyakan. Sejauh mana sebuah karya dapat menyesuaikan diri dengan trend yang ada, tergantung dari sejauh mana karya tersebut mampu menampilkan dirinya secara renyah dan komunikatif bagi audiens. Dan, semakin ia trendy, semakin sebuah pemikiran dapat konformis (baca: selaras-sejalan) dengan keinginan publiknya, maka semakin ia populer dan ''sukses''.

''Popularisme'', konformisme, dan kegandrungan pada hal-hal yang menjadi buah bibir masyarakat pada umumnya dapat dirasakan secara kuat dalam bidang-bidang yang dulunya melahirkan eksperimen-eksperimen serius dalam dunia pemikiran; bidang-bidang keilmuan yang sebelumnya banyak memunculkan perdebatan-perdebatan yang mendalam, yang merangsang pemikiran generasi berikutnya; bidang-bidang pemikiran yang dahulu digarap dengan konsistensi pemikiran yang tangguh dan ulet. Bidang kebudayaan, misalnya, di Indonesia telah melahirkan seorang generasi intelektual seperti Sutan Takdir Alisjahbana yang mengkaji dengan mendalam bentuk-bentuk kebudayaan di Indonesia dalam kaitannya dengan tradisi dan modernitas. Bukan sosok Takdir yang paling penting dalam hal ini, tetapi peran yang dia ambil dalam perdebatan itu yang membuatnya layak dihargai. Takdir, dalam beberapa karyanya, mungkin menunjukkan kualitas yang tidak sebaik apa yang digagasnya. Puisi-puisinya tidak sekuat pemikiran kebudayaannya; novel-novelnya tidak sekuat pemikirannya tentang sastra; dan seterusnya. Bukan karya Takdir itu sendiri yang penting untuk mendapat sorotan dalam konteks ini, melainkan apa yang terbentuk dari karya-karya itu, paradigma pemikiran yang konsisten disuarakan dari dalamnya (meskipun kita perlu meneliti juga inkonsistensinya), dan pertanyaan-pertanyaan menantang yang muncul dari interpretasi atas karya-karya itu.

Pemikiran di bidang keagamaan juga semakin langka memperlihatkan gairah akan kemendalaman dan kultur kajian yang sungguh-sungguh. Agak sulit mencari perdebatan yang mendalam seperti terlihat dari kajian tentang Islam dan sekularisme dalam pemikiran Nurcholish Madjid dan Natsir; tentang Islam dan budaya lokal dalam pemikiran Gus Dur muda; tentang agama dan modernisasi serta pembangunan dalam pemikiran Soedjatmoko. Seperti halnya dalam kasus Takdir di atas, bukan sosok pribadi Nurcholish atau Natsir, atau Soedjatmoko, yang menarik untuk diperbincangkan, melainkan yang terpenting adalah peran yang mereka ambil, posisi, dan sikap yang mereka perjuangkan, yang kemudian menentukan signifikansi pemikiran mereka dalam percaturan intelektual saat itu. Nurcholish menunjukkan beberapa pengulangan dalam karya-karyanya yang belakangan sehingga tidak sepenuhnya baru; Natsir tidak terlalu produktif di akhir-akhir hidupnya; Gus Dur kehilangan sentuhannya sebagai ilmuwan di usia tua karena kesibukannya dalam politik; atau Soedjatmoko yang terlalu berhati-hati dalam mengungkapkan gagasan. Bukan sosok atau karya satu-dua mereka yang terpenting, tetapi paradigma yang terbentuk dalam perjalanan intelektual mereka saat itu.

Paradigma yang baru, yang muncul dari kegelisahan akan situasi, merupakan sesuatu yang berharga yang langka ditemukan saat ini. Dalam bidang kebudayaan, kita lebih banyak menghasilkan karya sastra daripada kajian sastra; lebih banyak novel daripada telaah dan pemikiran sungguh-sungguh tentang novel; lebih banyak kumpulan cerita daripada jurnal sastra; lebih banyak selebritis daripada para pemikir sastra; dan barangkali lebih banyak gosip dan isu tentang konflik antar-berbagai komunitas sastra daripada pemikiran yang tulus dan jernih tentang masalah sastra tertentu. Hal yang agak serupa juga terlihat dalam ranah pemikiran keagamaan: kita lebih banyak menghasilkan buku agama yang penuh dengan rangsangan untuk membenci, provokasi, atau semacamnya daripada karya yang meletakkan agama untuk dikaji. Atau sebaliknya, kita lebih banyak menghasilkan buku agama yang praktis, ringan, atau populer; daripada buku pemikiran agama.

Dua bidang di atas baru sekelumit contoh dari kompleksitas dunia pemikiran dewasa ini. Dalam keduanya terlihat gejala, dunia pemikiran begitu cepat kehilangan pesonanya akan kemendalaman. Gejala yang, barangkali, boleh disebut sebagai ''simplified-mindedness'', sebuah pola berpikir yang terlalu menyederhanakan.

Saat ini, perluasan pola pikir ekonomi (economy-minded), yang melihat segala sesuatu sebagai produk yang harus dijual, juga menjadi tantangan dunia pemikiran. Sebuah buku, di alam yang berpola pikir demikian, akan dilihat semata-mata sebagai produk yang keberhasilannya diukur dari laku-tidaknya buku tersebut. Keberhasilan buku itu tidak dilihat dari kualitas ide di dalamnya, melainkan dari seberapa banyak oplah buku itu laris. Intelektualisme kontemporer menjadikan pemikiran sebagai bisnis, dan bisnis sebagai pemikiran.

Jalan hidup seorang intelektual saat ini benar-benar di ambang kegamangan. Hanya ada satu pilihan baginya: menjadi seorang intelektual sejati yang mau bergulat dengan kegelisahan dan keterasingannya, dan mau memperjuangkan idenya. Atau menjadi intelektual tanpa intelektualisme, yang selalu kompromistis dan konformis dengan keadaan. (*)

*) Muhammad Al-Fayyadl, pengamat muda, tinggal di Jogjakarta

Jawa Pos [Minggu, 02 November 2008]