Potret Susi

Cerpen: Ratna Khaerudina

Pulang liburan wajah Susi berubah mendung tak seperti waktu berangkat libur pagi tadi. Kakinya seperti enggan untuk melangkah pulang ke rumah si bos. Terbayang setumpuk pekerjaan yang sudah melambai-lambai menantinya. Mencuci piring, membersihkan dapur yang berantakan, kotor dan berminyak. Belum lagi harus memandikan dua anaksi bos yang super duper nakal. Mandi saja mesti bawa mainan yang aneh-aneh. Ujung-ujungnya Susi juga nanti yang ngebeersihin lagi mainan-mainan itu. Itu masih diiringi irama lagu wajib ciptaan nyonya yang khas; khas pedasnya dan bikin kuping memerah.


Fiuhh!! Membayangkan itu semua, Susi jadi semakin malas pulang. Dia duduk dengan menopang dagu di sudut taman bawah rumah bosnya. Nelangsa.

Ting tong...ting tong...

Susi memencet bel rumah si bos. Tak dikasih kunci jadi ya harus pencet bel, kalau tidak memangnya mau berdiri semalaman di luar. Susi berdebar-debar menanti si bos membukakan pintu untuknya. Selalu rasa cemas itu menggempakan hati Susi setiap pulang liburan. Meskipun sudah berjalan hampir setahun lebih, tapi rasa resah tak jelas itu masih betah berkawan dengan hatinya.
Sepuluh menit menunggu di luar tak ada tanda-tanda si bos membukakan pintu untuknya. Susi mencoba memencet bel sekali lagi, tapi si bos tak kunjung membuka pintu, Susi cemas, namun Susi takut untuk menelpon ke rumah.

"Ah, mungkin sedang pada makan di restoran." Susi membatin, seperti sudah hafal tabiat bosnya. Susi pasrah menunggu di luar, memberikan tubuhnya jadi santapan musim dingin.

"Susiii....Bangun!! Dasar pemalas! Sudah gila ya? Masa tidur di depan pintu?"
Susi gelagapan mendengar suara menyerupai petir yang sudah lekat diotaknya. Di depannya, nyonya dan antek-anteknya sudah berdiri pongah. Tuan cuma cengar-cengir kelihatan sekali kalau dia seorang ISTI ( Ikatan Suami Takut Istri). Bos-bos kecil tak kalah dengan induknya, datang-datang malah langsung menyiram susi dengan sisa soya milk. Sengaja banget. Nakal. Tak beradat. Beraninya saja sama pembantu. Memang yang gila juga siapa? Mereka sendiri tidak kasih kunci, bagaimana mau masuk ke dalam rumah? Susi menggeremeng dalam hati. ***

Semua sudah beres, sudah dijalaninya sesuai prosedur, tinggal kasih susu buat anak-anak, lalu tidur. Susi sudah siap-siap hendak menggapai selimut ketika tiba-tiba nyonya memanggilnya keras sekali. Tergopoh-gopoh susi datang dengan membungkuk-bungkuk hormat macam kawulo alit yang mau menghadap sang raja.

"Nyonya, ada apa panggil saya?" Tanya Susi dengan menahan gondok,karena jam istirahatnya terganggu. "Libur ndak libur kok sama saja kerja, Duh Gusti semoga diberi kesabaran," dumel Susi dalam hati.

"Stim dulu botol susu itu baru tidur. Pemalas sekali sih kamu, gak ada inisiatif sama sekali." kata nyonya antagonis.
"Masa hari libur masih kerja juga, Nya?" Jawab Susi takut-takut menyuarakan isi hati.
"Heh, Sejak kapan kamu berani melawan perintahku? Lekas laksanakan tak usah banyak oceh! Kamu mau diterminit?"
Huh...! Demi mendengar kalimat sakti "terminit" (PHK), Susi langsung ngeloyor pergi menyetim botol, meskipun dengan setengah hati. Susi tidak mau diterminit. Betapa susahnya nanti kalau sampai diterminit. Siapa yang akan ngasih uang bapak-ibunya di kampung. Siapa akan membiayai sekolah buat adik-adik dan seabrek kebutuhan yang belum tercukupi. Ya! Bersabar saja demi semua itu. Oh uang betapa kau membuat semua orang jadi kliyengan.***

Musim dingin membuat sekujur tubuh jadi semakin ngilu. Kadang suhu drop hingga minus. Bibir pecah berdarah-darah, begitu pula tangan dan kaki yang juga kering bagaikan musim kemarau.
Namun begitu, cuaca kadang tidak bisa diramalkan. Seperti juga nasib Susi, tak ada badai tak ada hujan tiba-tiba Nyonya men-terminit-nya. Susi megap-megap menahan sedih dan kecewa. Hari itu juga Susi diantar Nyonya kembali keagent.

"Apa salah saya, Bu? Kok saya di-terminit?" tanya Susi pada salah satu staff agent yang kelihatan judes.
"Majikan bilang kamu tuh pemalas, gak ada inisiatif, you know?" jawab siagent penuh arogansi.
"Malas bagaimana, Bu? Saya sudah bekerja sesuai dengan yang mereka inginkan kok." Susi membela diri berharap si agen berbaik hati untuk membantunya agar dirinya tidak di-terminit.
Bagaimanalah nanti nasib keluarganya padahal semua beban tertanggung dipundaknya. Susi memohon pada agen agar membujuk majikannya untuk membatalkan itu semua. Bukan tanpa sebab Susi memohon begitu rupa, dia tak ingin potongan gaji lagi jika nanti dapat majikan baru. Agen selalu saja semaunya sendiri mengatur-atur nasib orang, semua nasib BMI ( Buruh Migran Indonesia) seperti tergantung di tangan agen. Menggemaskan.

"Pokoknya, majikan kamu bilang kamu itu malas. Sekarang majikan tak mau kamu lagi. Sebaiknya kamu cari majikan baru saja. Kami akan bantu kok, ya?" bujuk agen pada Susi.
Dia tahu sekali apa yang ada diotak si agen. Nasibnya kini di agen harus mencari majikan baru, lantas memberi uang lagi pada si agen sebagai kompensasi mencari majikan baru untuknya.
Susi sekarang hanya pasrah. Ditatapnya sekeliling ruangan agen. Ada enam BMI sepertinya di situ. Didekatinya mereka dan ditanyai satu persatu, ternyata semua juga di-terminit majikan. Ada yang baru 3 bulan, ada yang baru habis potongan, bahkan ada yang tinggal 2 bulan lagi habis kontrak malah di-terminit.
Susi jadi merasa tak sendiri namun otaknya berputar-putar. Hatinya enggan menerima nasib itu. Nasib bisa berubah selama mau untuk mengubahnya. Susi mondar-mandir di depan ke-enam BMI ynag di-terminit tersebut.
Di sebuah taman yang agak lengang, Susi mengumpulkan mereka, mencoba mengajak mereka untuk mau merubah nasib mereka sendiri. Mencoba mengadu pada labour (Departemen Tenaga Kerja) atau setidaknya KJRI agar mau menginvestigasi agen yang sewenang-wenang men-terminit para BMI dengan alasan tak jelas.

"Kita ini sudah kaya dagangan saja, teman-teman. Coba bayangkan, massa kita harus potongan lagi paling tidak 5 bulan. Kalau begini caranya, habislah masa tua kita di sini tanpa menghasilkan apa-apa, ayolah kita cari dukungan dari BMI-BMI lain yang bernasib sama dengan kita dan kita juga bisa minta bantuan pada pihak KJRI." Susi mencoba membuka pembicaraan.
"Aku tidak mau ikutlah, Sus. Aku takut sama agen kita yang galak itu. Biarlah aku nyari majikan lagi, potongan lagi juga ndak apa-apa . Wong niatnya kesini memang mau kerja kok. Aku ndak mau ikut aneh-aneh gitu." Salah satu dari mereka mengeluarkan pendapatnya.
"Aku juga ndak ikutanlah, Sus." susul yang lain.
Semua menyatakan tidak akan ikut dengan rencana Susi untuk merubah nasib. Mutlak. Susi kini sendiri ditinggalkan oleh mereka. Hatinya semakin sembab melihat kenyataan itu.
Susi membawa tubuhnya kembali ke agen. Hatinya belum menyerah. AApapun itu, Susi ingin ada perubahan atas nasibnya saat ini. Kalau bisa, juga nasib teman-teman lain yang diperlakukan seperti barang dagangan. Celakanya, mereka sama sekali tidak menyadari hal itu.
Setibanya di agen, Susi mendapati semua mata mengawasinya, apalagi orang-orang agen, tatapannya penuh selidik ke arahnya. Sepertinya, dia seorang maling ayam yang pantas untuk digebugi orang sekampung. Susi agak jerih juga, namun dirinya terus melangkah karena tak merasa berbuat kesalahan apa-apa.

"Sus, kamu mau coba-coba melawan ya? Mau sok jadi pahlawan ya?" tanya salah seorang staff agen dengan sadis. Tangannya menuding-nuding kepala Susi.
Dia, langsung faham, pengkhianatan telah terjadi dan itu dilakukan oleh teman senasibnya juga. Susi makin sesak jiwanya, namun ia tak menyalahkan keadaan, apalagi menyalahkan mereka.
"Pantas saja majikanmu men-terminit kamu. Sebagai hukuman nanti kamu ikut Bu Linda, kerja di sana sampai ada majikan yang mau sama kamu. Jangan harap ada gaji atau libur. Mengerti!! kata Si Agen.
"Saya akan bekerja di rumah Bu Linda kalau saya digaji. Kalau tidak saya tidak akan pergi," jawab Susi tegas.
"Kamu dibilangin kok ngeyel, kamu mau ditangkap polisi, huh?" Si agen coba-coba menakuti Susi. Rupanya mereka telah salah duga. Susi bukanlah pembantu kebanyakan yang menerima dengan tunduk segala perintah si agen.
"Kebetulan sekali kalau mau panggil polisi.Saya tidak usah capek-capek mendatangkan polisi kemari untuk mengambil dokumen saya yang telah kalian tahan," jawab Susi tak kalah galak.
Harga dirinya sudah merasa terluka sekali. Beban yang menghimpit membuatnya harus berani berpijak dengan kuat pada kakinya sendiri.
Si agen ingin muntab tapi sepertinya akan percuma saja, bahkan mungkin malah bisa terjadi hal-hal yang tidak dimauinya. Yang kini dihadapinya bukanlah pembantu atau buruh biasa. Jelas sekali si agen telah kalah karena tiba-tiba saja Si Agen mengambil semua dokumen Susi lantas menyerahkannya meski disertai teriakan yang sangat tak beradab.

"Pergi dari agen sini! Pergiiii!" teriak Si agen.

Susi mengambil tasnya. Dengan gontai melangkah keluar dari agen. Pikirannya masih kalut karena di-terminit dan belum juga menemukan majikan baru.
Di sebuah taman Susi berhenti dan mencari tempat duduk. Dicarinya nomor yang sangat penting baginya. Nomor yang menurutnya hanya itu yang bisa menjadi dewa penolong dan mengerti segala isi hatinya. Nomor keberuntungan yang selalu membuatnya merasa tenang karena sebentar lagi pasti segala urusan akan segera bisa teratasi.
Penuh perasaan Susi memencet nomor sakti tersebut. Hrapannya kian menggunung ketika di seberang terdengar suara menyahut.

"Hallo Pak, ini KJRI kan?" tanya Susi dengan suara membuncah.

"Iya benar, katakan ada keperluan apa?" saut suara diseberang sana.
"Begini Pak, saya di-terminit dan saya butuh perlindungan dari Bapak, karena saya diperlakukan sewenang-wenang oleh agen, Pak." Susi memuntahkan seluruh unek-uneknya dalam hati.
"Si Agen itu, Pak. Masa semua BMI di sini seperti dibuat mainan. Sesuka-sukanya mereka main terminit dan setelah itu disuruh bekerja tanpa diupah. Pokoknya hak-hak kita tidak dipenuhi, Pak." lanjut Susi pula dengan antusias.
"Kita mau, Bapak bertindak untuk kami para pekerja yang ada di HongKong agar kami tidak diperlakukan semena-mena," pungkasnya.

"Mbak, sebaiknya mbak cari agen lagi dan cari majikan baru. Sudah untung mbak bisa bekerja di HongKong daripada di Indonesia, paling-paling mbak juga jadi pembantu dan itu gajinya sedikit sekali. Kok masih mau protes segala. Gitu aja kok repot. Sudah maaf mbak, ini kantor mau tutup."

Krekk!! Suara telpon terputus. Susi terbengong-bengong, harapanya langsung melumer lagi seperti agar-agar. Oh, ya nasib. (End)


Juara 1 Lomba Cerpen FLPHK & KJRI-HK (Mei 2010)