Sedih dan Gembira


April adalah bulan yang selalu saja mengingatkan kita kepada perempuan hebat bernama Kartini. Ia adalah lambang perlawanan terhadap ketertinggalan dan penindasan atas perempuan. Karena itulah ia dijuluki pahlawan emansipasi perempuan.

Kini kita membayangkan, andai saja Ibu Kartini masih berada di tengah-tengah kita, ia akan menangis sejadi-jadinya melihat kaumnya masih saja dipinggirkan, masih saja harus terpelanting dari negri yang dicintainya, untuk menegakkan kehidupannya. Sudah begitu, masih dapat perlakuan kurang baik pula. Masih dicitrakan sebagai warga negara kelas sekian pula. Padahal, sekian banyak warga lain ikut (lebih) menikmati cucuran keringat, airmata, dan bahkan darah mereka!

Apalagi jika sampai dengar kabar mengenai bergelimpangannya BMI korban penipuan orang-orang jahat. Dan notabene, pelaku kejahatan itu sebagian besar adalah: laki-laki. Kaum perempuan adalah kaum ibu. Dari merekalah generasi penerus bangsa dilahirkan. Kalau ada pepatah mengatakan ibu adalah bumi, dan laki-laki adalah langit, seharusnyalah tidak dimaknai bahwa langit lebih tinggi daripada bumi dan karenanya lebih mulia. Langit dan bumi adalah pasangan, yang satunya tidaklah lebih tinggi dan lebih mulia daripada lainnya. Bumi menumbuhkan segala macam flora, hal yang tak bisa dilakukan oleh langit. Dan langit menurunkan hujan, hal yang tidak dilakukan oleh bumi. Karena itulah, pertentangan mana lebih mulia: laki-laki atau perempuan, hanyalah urusan orang-orang cupet nalar (pikiran sempit). Yang pasti, kalau ada kaum atau bangsa yang menistakan perempuannya, niscaya bangsa itu sedang berada di bibir jurang kehancurannya sendiri. Dan tangis Ibu Kartini akan semakin menjadi-jadi.

Tetapi, ada kabar lain yang bisa membuat Ibu Kartini trersenyum bangga. Banyak BMI-HK yang gigih menuntut ilmu sambil banting-tulang mengais rezeki di Negeri Beton ini. Ada yang ambil kursus, ada yang ambil diploma, ada pula yang rajin ke perpustakaan, dan kemudian menuliskan buah pikirannya. Ibu Kartini pasti tersenyum bangga. Dan akan mengelus dengan penuh kasih setiap kaumnya yang tak kenal putus asa memerjuangkan hak-haknya sebagai manusia, melawan siapa pun yang merendahkan atau bahkan menistakan perempuan.

Apalagi bila dengar rencana kawan-kawan akan menyelenggarakan Festival Sastra Buruh Migran. Ibu Kartini pasti bertambah bangga lagi. Bukan hanya di dalam perasaan, tetapi pastilah disertai tindakan. Beliau akan segera menghubungi Ketua Panitianya, dan meminta agar beliau diberi kesempatan untuk membuka acara yang sangat bergengsi itu. Beliau putri seorang bupati, pasti tidak akan terlalu susah untuk mendapatkan tiket pesawat kelas eksekutif sekalipun.

Maka, jika kelak Festival Sastra Buruh Migran jadi digelar di HK, kalau tidak dibuka Presiden atau Menakertrans, atau Menteri Pemberdayaan Perempuan, biarlah dibuka Ibu Kita Kartini!*